• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.4 Self-Esteem

2.4.1 Pengertian self-esteem

Self-esteem adalah sikap, yaitu evaluasi individu dari konsep diri. Self-esteem menurut Tafarodi dan Swann (1995) harus mengukur sikap negatif dan positif secara keseluruhan terhadap dirinya. Sedangkan menurut Rosenberg (dalam Guindon,2009) self-esteem adalah sikap terhadap objek tertentu setiap karakteristik diri dievaluasi dan menghasilkan perkiraan karakteristik tersebut dan setiap elemen diri dievaluasi sesuai dengan nilai yang telah berkembang selama masa kanak-kanak dan remaja.

Selain itu menurut Minchington (1993) self-esteem adalah nilai yang kita tempatkan pada diri kita sendiri. Nilai tersebut adalah penilaian kita sebagai manusia, berdasarkan persetujuan atau ketidaksetujuan dari diri kita sendiri dan perilaku kita. Self-esteem juga bisa menggambarkan sebagai hal untuk

yang kita percaya. Meskipun kita berpikir apakah kita sebagai seseorang yang baik.

Self-esteem menurut Minchington (1993) bukanlah kualitas tunggal atau aspek dalam arti yang lebih luas, tetapi self-esteem adalah kombinasi dari sifat-sifat dan sikap yang berhubungan dan merupakan pusat dasar di mana kita membangun kehidupan kita dan karena kita tidak hidup terisolasi dengan lingkungan, cara kita merasa tentang diri kita dapat mempengaruhi bagaimana kita berhubungan dengan orang-orang di sekitar kita dan setiap aspek kehidupan lainnya. Adapun teori yang digunakan untuk variabel self-esteem

yang menjadi landasan penelitian yaitu teori yang digunakan oleh Tafarodi and Swann (1995).

2.4.2 Aspek self-esteem

Beberapa ilmuwan menyatakan tentang aspek-aspek self-esteem, salah satunya yaitu menurut Tafarodi dan Swann (1995) membagi self esteem menjadi dua aspek atau dua dimensi yaitu self-liking dan self-competence penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Self-liking adalah penilaian afektif kita tentang diri kita, persetujuan atau ketidaksetujuan dari diri kita, sejalan dengan nilai-nilai sosial diinternalisasi, keinginan diri yang tinggi ditandai dengan positif mempengaruhi, penerimaan diri, dan kenyamanan dalam pengaturan sosial Rogers (dalam Tafarodi & Swann, 1995).

2. Self-competence adalah rasa keseluruhan dalam diri yang mampu, efektif dan terkendali. Jika seseorang memiliki self-competence yang tinggi maka

ia akan memiliki afektif dan evaluatif karakteristik yang positif (Tafarodi & Swann, 1995).

Sedangkan menurut Michington (1993) self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal saja, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan perilaku kemudian ia membagi aspek self-esteem menjadi tiga aspek yaitu: 1. Perasaan mengenai diri sendiri

a. Menerima diri sendiri

Individu dapat menerima dirinya secara penuh, merasa nyaman dengan keadaan dirinya dan memandang baik tentang dirinya apapun kondisinya. Oleh karena itu, apapun yang terjadi individu mampu menilai dirinya memiliki keunikan tersendiri, menghargai setiap potensi yang dimiliki tanpa pernah mengeluh.

b. Memaafkan diri sendiri

Memaafkan diri sendiri atas ketidaksempurnaan dan kesalahan yang dibuatnya. Jika seseorang tidak menyukai dirinya sendiri, membiarkan orang lain merendahkannya, kerap mencela dirinya sendiri, serta merendahkan diri maka ia akan merasakan kepedihan dan penderitaan mental. Dua hal ini pada puncaknya akan termanifestasikan dalam harga diri yang rendah

c. Menghargai diri sendiri.

Dengan menghargai dirinya sendiri, perasaannya tentang kompetensi lebih tinggi dan tidak bergantung pada kondisi eksternal. Dimana perasaannya akan gembira saat dipuji orang lain. Seseorang dengan

self-esteem rendah berusaha membuktikan dirinya dan ingin mengesankan orang lain. Apabila melakukan kesalahan dan orang lain mencacinya, maka ia pun akan menghukum dirinya sendiri. Dengan demikian orang dengan self-esteem rendah tidak akan berani mencoba, karena tidak berani mengambil resiko.

d. Mengendalikan emosi diri

Seseorang dengan harga diri yang tinggi memegang kendali atas

emosinya sendiri. Sebaliknya, keadaan yang buruk dapat

mempengaruhi perasaan seseorang dengan self-esteem yang rendah. 2. Perasaan terhadap hidup

a. Menerima realita (kenyataan)

Perasaan terhadap realitas berarti menerima tanggung jawab atas setiap bagian hidup yang dijalaninya. Maksudnya, seseorang dengan self-esteem tinggi akan lapang dada dan tidak menyalahkan orang lain atas segala masalah yang dihadapinya. Ia sadar bahwa semuanya itu terjadi berkaitan dengan pilihan dan keputusannya sendiri, bukan karena faktor eksternal.

b. Harapan yang realitas

seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi akan membangun harapan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perasaan seseorang terhadap hidup juga menentukan apakah ia akan menganggap sebuah masalah adalah rintangan hebat atau kesempatan bagus untuk mengembangkan diri.

c. Memegang kendali atas diri sendiri

Seseorang dengan self-estem tinggi tidak akan berusaha untuk mengendalikan orang lain, sebaliknya ia akan dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.

3. Hubungan dengan orang lain

a. Menghargai orang lain

Seseorang dengan toleransi dan penghargaan yang sama terhadap semua orang berarti memiliki self-esteem yang baik. Ia percaya bahwa setiap orang termasuk dirinya, mempunyai hak yang sama dan patut dihormati.

b. Bijaksana dalam melakukan hubungan

Seseorang dengan self-esteem yang tinggi mampu memandang

hubungannya dengan orang lain secara lebih bijaksana. c. Bersikap asertif

Secara alami seseorang dengan self-esteem yang tinggi akan menjadi seseorang yang asertif. Ia menghormati kebutuhan dirinya serta mengakui kebutuhan orang lain. Ia tahu apa yang ia inginkan dan tidak takut mewujudkannya.

2.4.3 Karakteristik individu berdasarkan tingkatan self-esteem

Michington (1993) menjelaskan beberapa karakteristik individu ditinjau dari tinggi rendahnya atau positif negatifnya self-esteem. Oleh karena itu setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda-beda sebagai individu maka

1.Karakteristik individu dengan self-esteem tinggi

a. Seseorang dapat menerima dirinya tanpa syarat, seperti ia menghargai nilai dirinya sebagai manusia.

b. Seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi memliki suatu keyakinan bahwa ia memiliki rasa bertanggung jawab dan merasa mampu mengontrol setiap bagian kehidupannya.

c. Tingginya self-esteem dapat terlihat dari bagaimana cara seseorang dalam bentuk rasa penghormatan, toleransi, kerja sama dan saling memiliki antara satu dengan yang lain.

2.Karakteristik individu dengan self-esteem yang rendah:

a. Seseorang dengan self-esteem yang rendah meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan instrinsik yang kecil, merasa bahwa keberhasilan yang diperolehnya merupakan sebuah prestasinya.

b. Seseorang dengan self-esteem yang rendah merasa bahwa kehidupan ini sering berada diluar kontrol atau kendali dirinya.

c. Seseorang dengan self-esteem yang rendah kita kurang menghormati dasar bagi orang lain, tidak toleran terhadap orang-orang dan percaya bahwa mereka harus hidup dengan cara yang kita inginkan.

2.4.4 Pengukuran self-esteem

Beberapa ilmuan mengemukakan beberapa pengukuran mengenai self-esteem. Diantaranya yaitu Rosenberg Self-Esteem (RSE) (1965), skala ini terdiri dari sepuluh item dan skala ini cukup sensitif terhadap manipulasi eksperimenal. Selain itu self-esteem inventory yang dikembangkan oleh

Michinton (1993) terdiri dari 25 item yang mengukur perasaan terhadap diri sendiri, perasaan terhadap orang lain dan perasaan terhadap kehidupan.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala yang diperkenalkan oleh Tafarodi and Swann (2001) yaitu Self-Lliking and Competence Scale-Revised (SLCS-R). SLCS-R berisi dua sub-skala, yang masing-masing diukur dengan delapan item. Self-liking subskala merupakan senilai sosial (misalnya "saya merasa hebat tentang siapa saya"), dan self-competence merupakan subskala perasaan keberhasilan dan kontrol (misalnya "Saya hampir selalu mampu untuk mencapai apa yang saya coba" ). Tanggapan pada semua item diberikan dengan menggunakan skala likert.

2.5 Faktor Demografis 2.5.1 Usia

Usia merupakan suatu tahapan perkembangan individu, yang tumbuh dan berkembang secara potensial. Variabel demografis ini atau usia dapat membedakan variasi tingkat impulse buying pada setiap jenjang hidup manusia. Menurut Rawlings (dalam Činjarević, 2010) bahwa seseorang yang memliki usia muda memiliki impulsif yang lebih dibandingkan dengan orang tua. Selain itu, konsumen yang lebih muda lebih cenderung mengalami dorongan untuk membeli hal-hal secara spontan ketika terkena benda-benda yang relevan dan untuk bertindak berdasarkan dorongan. Sedangkan konsumen orang tua dapat menunjukkan kemampuan lebih baik untuk mengendalikan impuls pembelian mereka.

Menurut Schiffman dan Kanuk (dalam Antasari & sahrah) menunjukkan bahwa remaja putri pada usia 16-21 tahun tergolong konsumen yang konsumtif, karena dalam pembelian suatu produk hanya ditujukan untuk prestise dan harga diri, bukan berdasarkan pada kebutuhan yang sebenarnya. Selain itu menurut Antasari dan sahrah alasan seorang remaja melakukan

impulse buying biasanya tertarik dengan kemasan, warna atau banyak teman-temannya juga memiliki.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Widawati (2011) usia di atas 42 tahun, lebih banyak yang menunjukkan perilaku impluse buying yang tinggi dibanding sampel yang berusiadi bawah 42 tahun. Kondisi ini menjadi menarik, mengingat bila merujuk pada tahap perkembangan manusia, pada masa usia di atas 42 tahun, adalah masa dewasa madya. Pada masa ini, manusia memiliki kebutuhan untuk menampilkan eksistensi diri melalui kemapanan dari sisi status sosial. Dengan status sosial dan ekonomi yang mapan, memberi peluang bagi konsumen untuk dengan mudah menentukan perilaku pembelian. Kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan sisi pengakuan atau penghargaan sosial menjadi hal yang signifikan penting untuk dipenuhi, dan hal tersebut memberi peluang untuk melakukan pembelian-pembelian secara spontan.

Dokumen terkait