• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV UPAYA PEMBANGUNAN MANUSIA –

4.2 Indeks Pendidikan

Pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup besar. Wajib Belajar 6 tahun, yang didukung pembangunan infrastruktur sekolah dan diteruskan dengan Wajib Belajar 9 tahun adalah program sektor pendidikan yang diakui cukup sukses. Hal ini terlihat dari meningkatnya partisipasi sekolah dasar dari 41 persen pada tahun 1968 menjadi 94 persen pada tahun 1996, sedangkan partisipasi sekolah tingkat SMP meningkat dari 62 persen tahun 1993 menjadi 80 persen tahun 2002.

Tetapi dibalik keberhasilan program-program tersebut, terdapat berbagai fenomena dalam sektor pendidikan. Kasus tinggal kelas, terlambat masuk sekolah dasar dan ketidakmampuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan hal yang cukup banyak menjadi sorotan di dunia pendidikan. Kasus putus sekolah yang juga banyak terjadi terutama di daerah pedesaan menunjukkan bahwa pendidikan belum banyak menjadi prioritas bagi orang tua. Rendahnya prioritas tersebut antara lain dipicu oleh akses masyarakat terhadap pendidikan yang masih relatif kecil, terutama bagi keluarga miskin yang tidak mampu membiayai anak mereka untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Selain itu, ujian akhir sekolah dianggap tidak dapat menjadi ukuran kemampuan murid. Nilai rata-rata ujian akhir yang rendah seringkali diikuti oleh persentase kelulusan yang cukup tinggi. Pada tahun ajaran 1998/1999, rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA di Indonesia adalah 3,99. Padahal nilai minimum untuk lulus adalah 6. Tetapi pada periode tersebut, 97 persen siswa SMA dinyatakan lulus. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ujian akhir bukanlah satu-satunya alat untuk menyaring kelulusan murid.

Bidang pendidikan yang diharapkan dapat mencetak tenaga-tenaga atau SDM berkualitas telah menjadi perhatian banyak pihak. Pembangunan manusia tidak terlepas dari upaya peningkatan kemampuan penduduk untuk menyerap hasil-hasil pembangunan. Untuk mencapai sasaran pembangunan tersebut, maka penduduk harus terbebas dari, antara lain buta huruf atau buta aksara. Dengan demikian semakin tinggi persentase penduduk yang terbebas dari buta huruf atau semakin tinggi angka melek huruf maka peluang tercapainya sasaran pembangunan akan semakin besar.

Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. AMH dapat digunakan untuk :

1. Mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah pedesaan di Indonesia dimana masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD.

2. Menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari berbagai media.

3. Menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat berdasarkan kabupaten mencerminkan potensi perkembangan intelektual sekaligus kontribusi terhadap pembangunan daerah.

Dalam rangka terbebasnya penduduk dari buta huruf, program pembangunan manusia berupa pengentasan buta huruf menjadi semakin penting. Pada tabel 19. terlihat angka melek huruf Kabupaten Kudus sebesar 92,48 persen, ini artinya masih terdapat 7,52 persen penduduk Kabupaten Kudus yang buta huruf. Angka ini dihitung menurut kelompok umur 15 tahun keatas.

.

Tabel 19. Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah per Kecamatan Tahun 2009

Kecamatan Angka Melek Rata-rata

Huruf Lama Sekolah

(1) (2) (3) 010 Kaliwungu 90.41 7.52 020 Kota 97.81 9.94 030 Jati 97.45 8.93 040 Undaan 87.88 6.97 050 Mejobo 88.83 7.42 060 Jekulo 89.89 7.17 070 Bae 92.99 8.44 080 Gebog 97.27 8.61 090 Dawe 89.76 8.02 Kabupaten Kudus 92,48 8,11

Kecamatan Kota Kudus menduduki urutan teratas baik untuk angka melek huruf maupun rata-rata lama sekolah. Angka melek huruf Kecamatan Kota sebesar 97,81 persen, dengan demikian hanya ada 2,19 persen yang buta huruf. Terendah Kecamatan Undaan dengan angka melek huruf sebesar 87,88 persen, maka masih ada yang buta huruf sebesar 12,12 persen.

Sasaran pemerintah untuk tahun 2010, angka melek huruf ditentukan sebesar 95 persen. Di Kabupaten Kudus hanya ada tiga kecamatan yang telah melampui sasaran yang ditetapkan yaitu Kecamatan Kota Kudus, Kecamatan Jati, dan Kecamatan Gebog. Enam kecamatan lainnya belum mencapai sasaran.

75 80 85 90 95 100 2006 2007 2008 2009 Kaliwungu Kota Jati Undaan Mejobo Jekulo Bae Gebog Dawe

Lamanya Sekolah atau years of schooling adalah sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir. Pada prinsipnya angka ini merupakan transformasi dari bentuk kategorik Tingkat Pendidikan Tertinggi (TPT) menjadi bentuk numerik.

Lamanya bersekolah merupakan ukuran akumulasi investasi pendidikan individu. Setiap tahun tambahan sekolah diharapkan akan membantu meningkatkan pendapatan individu tersebut. Rata-rata lama bersekolah dapat dijadikan ukuran akumulasi modal manusia suatu daerah. Ukuran ini mengatasi masalah kekurangan estimasi dari TPT yang tidak mengakomodir kelas tertinggi yang pernah dicapai individu.

Tetapi, jumlah tahun bersekolah ini tidak mengindahkan kasus-kasus tidak naik kelas, putus sekolah yang kemudian melanjutkan kembali, dan masuk sekolah dasar di usia yang terlalu muda atau sebaliknya. Sehingga nilai dari jumlah tahun bersekolah menjadi terlalu tinggi kelebihan estimasi atau bahkan terlalu rendah (underestimate).

5 6 7 8 9 10 11 2006 2007 2008 2009 Kaliwungu Kota Jati Undaan Mejobo Jekulo Bae Gebog Dawe

Gambar 14. Rata-rata Lama Sekolah Tahun 2006 – 2009

Rata-rata lama sekolah yang merupakan komponen penghitungan IPM, seperti halnya komponen angka melek huruf, merupakan indikasi kemampuan penduduk untuk berperan aktif dan sekaligus kemampuan penduduk untuk menyerap dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan. Rata-rata lama sekolah menggambarkan berapa lama seseorang berpartisipasi aktif dalam kegiatan sekolah (formal), semakin tinggi rata-rata lama sekolah maka akan semakin tinggi pula kualitas SDM-nya.

Pada tabel 19. terlihat rata-rata lama sekolah yang dihitung menurut kelompok umur yang sama yaitu 15 tahun keatas, menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Kudus rata-rata lama sekolah hanya 8,11 tahun. Angka ini menggambarkan bahwa penduduk Kabupaten Kudus

Untuk rata-rata lama sekolah, Kecamatan Kota sebesar 9,94 tahun yang artinya penduduk Kecamatan Kota Kudus belajar sampai kelas 3 SMP (tamat SMP). Kecamatan Undaan menduduki rangking paling bawah untuk rata-rata lama sekolah dengan hanya sebesar 6,97 tahun, artinya penduduk Kecamatan Undaan sekolah hanya sampai kelas 6 SD (tamat SD) saja.

Semestinya ada korelasi yang khusus untuk menggambarkan hubungan antara angka melek huruf dengan rata-rata lama sekolah, tidak mesti angka melek huruf tinggi maka rata-rata lama sekolah juga tinggi. Seperti terlihat Kecamatan Dawe mempunyai angka melek huruf lebih rendah dari Kecamatan Kaliwungu, namun rata-rata lama sekolahnya lebih tinggi. Demikian juga kasus yang sama terjadi pada Kecamatan Jekulo.

Namun demikian terlihat adanya pola tertentu jika dilihat pada skala kabupaten per kecamatan seperti terlihat yang menggambarkan grafik angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, yaitu adanya kecenderungan bahwa jika angka melek hurufnya tinggi maka rata-rata lama sekolahnya tinggi. Begitu juga sebaliknya jika angka melek hurufnya rendah, maka rata-rata lama sekolahnya juga rendah.

Perhitungan indeks pendidikan menggunakan rumusan angka melek huruf mempunyai porsi sebesar dua per tiga, sedangkan satu per tiga sisanya merupakan porsi rata-rata lama sekolah.

Wajib belajar sembilan tahun yang digembar-gemborkan pemerintah sejak lama kenyataannya masih menjadi angan-angan yang harus diwujudkan. Kabupaten Kudus saja rata-rata lama sekolahnya masih 8,11 tahun, dan untuk menjadikan rata-rata 9 tahun sungguh

merupakan tantangan yang cukup berat. Namun demikian dengan adanya program pemerintah yang saat ini sedang digulirkan yakni dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sasarannya membebaskan biaya sekolah anak-anak usia sekolah SD dan SMP, akan dapat menaikkan rata-rata lama sekolah menjadi rata-rata sembilan tahun. Di Jawa Tengah baru ada empat daerah yang telah memenuhi wajib belajar 9 tahun, yaitu Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga dan Kota Semarang.

Mengapa pemerintah menggunakan angka partisipasi sekolah dalam menilai kesuksesan program wajib belajar? Mengapa jumlah murid tidak bisa dijadikan ukuran?

Umumnya, terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Keduanya mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan. Perbedaan diantara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan, yang ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 20. Kelompok Usia Menurut Jenjang Pendidikan

Jenjang Kelompok usia

(1) (2)

SD 7 - 12 tahun SMP 13 - 15 tahun SMA 16 - 18 tahun Perguruan tinggi 19 tahun keatas

Angka partisipasi sekolah merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Angka tersebut memperhitungkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Ukuran yang banyak digunakan di sektor pendidikan seperti pertumbuhan jumlah murid lebih menunjukkan perubahan jumlah murid yang mampu ditampung di setiap jenjang sekolah. Sehingga, naiknya persentase jumlah murid tidak dapat diartikan sebagai semakin meningkatnya partisipasi sekolah. Kenaikan tersebut dapat pula dipengaruhi oleh semakin besarnya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak diimbangi dengan ditambahnya infrastruktur sekolah serta peningkatan akses masuk sekolah sehingga partisipasi sekolah seharusnya tidak berubah atau malah semakin rendah. Di Indonesia, proporsi penduduk muda sendiri semakin menurun akibat semakin rendahnya angka fertilitas. Penurunan ini akan menyebabkan semakin menurunnya jumlah anak-anak yang masuk sekolah dasar. Bila ukuran seperti perubahan jumlah murid digunakan, bisa jadi ditemukan penurunan jumlah murid di sekolah dasar dengan interpretasi terjadi penurunan partisipasi sekolah. Namun, bila digunakan angka partisipasi sekolah, maka akan ditemukan peningkatan partisipasi di tingkat SD yang disebabkan semakin rendahnya jumlah penduduk usia SD.

Angka Partisipasi Kasar (APK) menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan. Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang

sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. Misal, APK SD sama dengan jumlah siswa yang duduk di bangku SD dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia 7 sampai 12 tahun.

Tabel 21. Angka Partisipasi Kasar Tahun 2008 - 2009

Kecamatan

Angka Partisipasi Kasar

SD SMP SMA 2008 2009 2008 2009 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 010 Kaliwungu 94,50 91,03 94,36 100,45 73,35 78,50 020 Kota 153,39 146,53 179,83 176,84 195,21 187,43 030 Jati 92,36 85,57 71,49 68,91 32,88 31,37 040 Undaan 106,16 99,46 96,46 94,70 27,91 44,95 050 Mejobo 107,44 97,64 85,67 87,55 51,53 57,64 060 Jekulo 102,32 96,47 92,92 87,84 36,08 40,47 070 Bae 101,63 92,31 100,48 104,27 90,78 81,98 080 Gebog 71,74 104,59 65,82 72,55 35,85 37,80 090 Dawe 113,60 103,41 82,47 85,42 30,07 36,07 Kabupaten Kudus 102,16 102,06 96,56 97,35 64,87 66,93

Sumber : Diknas Kabupaten Kudus

APK Kabupaten Kudus tahun 2009 sebesar 102,06 persen, sedikit menurun jika dibandingkan dengan tahun 2008, yang nilainya sebesar 102.16 persen. Angka ini menggambarkan sebanyak 102.06 persen anak usia 7 sampai 12 tahun di Kabupaten Kudus bersekolah di SD dan sederajat. Kelebihan 2.06 persen bisa jadi anak usia SD dari

daerah lain bersekolah, atau mungkin alasan lain bersekolah di pondok pesantren, di wilayah Kabupaten Kudus.

Terkadang kita akan menemukan APK lebih dari 100% seperti pada Tabel 21 diatas. Hal ini disebabkan pembilang dari rumus APK, yaitu jumlah siswa, adalah seluruh siswa yang saat ini sedang sekolah di suatu jenjang pendidikan dari berbagai kelompok usia. Sebagai contoh, banyak anak-anak usia diatas 12 tahun, tetapi masih sekolah di tingkat Sekolah Dasar (SD). 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 2007 2008 2009 Kaliwungu Kota Jati Undaan Mejobo Jekulo Bae Gebog Dawe

Gambar 15. Grafik APK Tingkat SD Tahun 2007 - 2009

Adanya siswa dengan usia lebih tua dibanding usia standar di jenjang pendidikan tertentu menunjukkan terjadinya kasus tinggal kelas atau terlambat masuk sekolah. Sebaliknya, siswa yang lebih muda

dibanding usia standar yang duduk di suatu jenjang pendidikan menunjukkan siswa tersebut masuk sekolah di usia yang lebih muda.

Kasus di Kecamatan Kota, yang APK baik SD, SMP, maupun SMA di atas 100 persen disebabkan adanya murid-murid yang berasal dari kecamatan-kecamatan lain di sekitar Kecamatan Kota yang bersekolah di sekolah-sekolah baik SD, SMP, maupun SMA di Kecamatan Kota. Dengan masuknya murid-murid tersebut akan membuat pembilang angka APK menjadi lebih besar dari jumlah anak sekolah yang merupakan penduduk asli Kecamatan Kota.

40 60 80 100 120 140 160 180 200 2007 2008 2009 Kaliwungu Kota Jati Undaan Mejobo Jekulo Bae Gebog Dawe

Gambar 16. Grafik APK Tingkat SMP Tahun 2007- 2009

Angka Partisipasi Kasar (APK) Kecamatan Kota menjadi semakin besar di jenjang pendidikan yang makin tinggi. Hal ini diakibatkan jumlah sekolah yang lebih tinggi terkonsentrasi di Kecamatan

Kota. Masalah ini mengakibatkan APK kecamatan lainnya menjadi semakin kecil pada jenjang yang makin tinggi, karena murid-murid di kecamatan tersebut akan mencari sekolah yang lebih tinggi di Kecamatan Kota. Solusinya harus dibuatkan sekolah-sekolah dengan jenjang lebih tinggi merata di masing-masing kecamatan.

0 50 100 150 200 250 2007 2008 2009 Kaliwungu Kota Jati Undaan Mejobo Jekulo Bae Gebog Dawe

Gambar 17. Grafik APK Tingkat SMA Tahun 2007 - 2009

Angka Partisipasi Kasar SMP dan SMA pada tahun 2009 terlihat menurun sangat tajam dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini harus menjadi perhatian yang serius dari instansi terkait, karena hal ini menyebabkan angka rata-sata lama sekolah menjadi relatif konstan.

Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama. APM menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia

sekolah di tingkat pendidikan tertentu. Seperti APK, APM juga merupakan indikator daya serap penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan. Tetapi, jika dibandingkan APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut.

Tabel 22. Angka Partisipasi Murni Tahun 2008 - 2009

Kecamatan

Angka Partisipasi Murni

SD SMP SMA 2008 2009 2008 2009 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 010 Kaliwungu 78,07 74,18 63,66 73,10 45,82 46,08 020 Kota 129,07 121,38 120,81 128,13 136,91 124,65 030 Jati 76,50 70,44 49,41 46,60 22,91 21,95 040 Undaan 86,92 80,34 67,84 56,82 16,65 26,46 050 Mejobo 88,01 78,37 55,85 63,81 35,29 37,87 060 Jekulo 85,66 79,22 65,49 58,74 18,48 26,04 070 Bae 84,29 75,34 72,35 64,76 50,13 46,34 080 Gebog 59,05 86,34 47,65 48,58 20,24 22,74 090 Dawe 93,66 83,53 58,18 59,24 18,84 22,88 Kabupaten Kudus 84.64 83,44 66,74 61,09 41,62 42,37

Sumber : Diknas Kabupaten Kudus

Selisih antara APK dan APM menunjukkan proporsi siswa yang tertinggal atau terlalu cepat bersekolah. Kelemahan APM adalah kemungkinan adanya kekurangan estimasi karena siswa diluar kelompok usia yang standar di tingkat pendidikan tertentu. Contoh: Seorang anak

usia 6 tahun bersekolah di SD kelas 1 tidak akan masuk dalam penghitungan APM karena usianya lebih rendah dibanding kelompok usia standar SD yaitu 7-12 tahun.

APM SD Kabupaten Kudus sama dengan 83,44 persen, artinya dari 100 penduduk usia 7-12 tahun, 83 orang bersekolah di bangku SD. Angka tahun 2009 sedikit menurun dibandingkan dengan tahun 2008. Jika dilihat angka per kecamatan, hanya ada satu kecamatan mengalami kenaikan, yaitu Kecamatan Gebog. Sedangkan delapan kecamatan lainnya menurun. 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 2007 2008 2009 Kaliwungu Kota Jati Undaan Mejobo Jekulo Bae Gebog Dawe

Gambar 18. Grafik APM Tingkat SD Tahun 2007 - 2009

Partisipasi sekolah penduduk usia 13-15 di SMP sebesar 66,83 persen, lebih rendah dibanding APM SD. Hal ini merupakan indikasi

pada usia tersebut sudah banyak yang masuk pada bursa kerja, atau alasan lain misal kesulitan ekonomi sehingga tidak melanjutkan sekolah di SMP.

30 50 70 90 110 130 150 2007 2008 2009 Kaliwungu Kota Jati Undaan Mejobo Jekulo Bae Gebog Dawe

Gambar 19. Grafik APM Tingkat SMP Tahun 2007 – 2009

Terjadi sedikit kenaikan angka APM pada tahun 2009 dari tahun 2008, yaitu dari 66,74 persen menjadi 66,83 persen. Penurunan terjadi di Kecamatan Jati, Undaan, Jekulo, dan Bae. Lima Kecamatan lainnya mengalami kenaikan.

Pada jenjang yang lebih tinggi yaitu SMA, APM menjadi jauh lebih kecil. Alasan-alasan yang mungkin terjadi adalah sudah tercapainya wajib belajar 9 tahun, sehingga tidak melanjutkan ke jenjang SMA yang kemudian masuk dalam bursa kerja.

0 20

Dokumen terkait