• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBANGUNAN MANUSIA : KONSEP DAN METODOLOGI

2.7 Indikator Komposit Utama IPM

Indikator komposit pembangunan manusia adalah alat ukur yang dapat digunakan untuk melihat pencapaian pembangunan manusia secara antar wilayah dan antar waktu. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan alat ukur dimaksud yang menunjukkan persentase pencapaian dalam pembangunan manusia dengan memperhatikan pada tiga faktor yang paling esensial dalam kehidupan manusia, yaitu: kelangsungan hidup, pengetahuan, dan daya beli. Secara umum IPM adalah rata-rata pencapaian dalam tiga faktor. Pencapaian setiap faktor dihitung sebagai persentase pencapaian terhadap sasaran dengan cara:

Pencapaian x 100 Indeks Faktor / Komponen ke – i = ──────────── Sasaran

Dimana: pencapaian = kondisi pada saat pengukuran – kondisi terburuk, sasaran = kondisi terbaik – kondisi terburuk.

Sebagai indikator komposit, IPM mempunyai manfaat terbatas, terutama kalau disajikan tersendiri hanya dapat menunjukkan status pembangunan manusia suatu wilayah. Namun demikian manfaat yang terbatas tersebut dapat diperluas kalau dilakukan perbandingan antar waktu dan antar wilayah, sehingga posisi relatif suatu wilayah terhadap wialayah yang lain dapat diketahui serta kemajuan/pencapaian antar waktu di suatu wilayah dan perbandingannya dengan pencapaian wilayah lain dapat dibahas.

Tabel 1 Kondisi Ideal (Sasaran) dan Kondisi terburuk Komponen IPM

Faktor Komponen Kondisi Sasaran Ideal Terburuk (1) (2) (3) (4) (5) Kelangsungan Hidup

Angka Harapan Hidup

(tahun) 85,0 25,0 60

Pengetahuan

Angka Melek Huruf

(persen) 100 0 100

Rata-rata lama Sekolah

(tahun) 15 0 15

Daya Beli Konsumsi riil per kapita (Rp) 732.720 360.000 732.720

IPM bernilai 0 – 100, yang semakin tinggi menyatakan status pencapaian yang lebih tinggi. Komponen IPM adalah indikator dampak sehingga memberikan gambaran tentang dampak pembangunan.

Indikator yang digunakan serta kondisi terburuk dan kondisi ideal dari setiap faktor disajikan pada tabel 1.

IPM disusun dari tiga komponen: lamanya hidup, diukur dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga); dan tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan (PPP Rupiah). Indeks ini merupakan rata-rata sederhana dari ketiga komponen tersebut diatas:

IPM = 1/3 [ Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3]

Dimana X1, X2, dan X3 adalah lamanya hidup, tingkat pendidikan, dan tingkat kehidupan yang layak.

Indeks X(i,j) = (X(i,j) – X(i-min)) / (X(i-max) – X(i-min))

Dimana: X(i,j) : Indikator ke i dari daerah j X(i-min) : Nilai minimum dari Xi

X(i-max) : Nilai maksimum dari Xi

Untuk setiap komponen IPM, masing-masing indeks dapat dihitung dengan rumus umum berikut:

2.7.1 Lamanya Hidup (Longevity)

Kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama diukur dengan indikator harapan hidup pada saat lahir (Life Expectancy at Birth – eo). Angka eo yang disajikan pada laporan ini merupakan angka perhitungan yang dilakukan secara tidak langsung berdasarkan dua data dasar, yaitu rata-rata jumlah kelahiran hidup dan rata-rata jumlah anak yang masih hidup, yang dilaporkan dari tiap kelompok ibu-ibu umur 15 – 49 tahun. Untuk memperoleh eo diperlukan sistem program analisis kependudukan sejenis MORTPAK dengan data input yang berasal dari Sensus Penduduk (SP) atau Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

Proses awalnya adalah menghitung Mean Age Child Bearing dengan prosedur Children Ever Born (rata-rata anak lahir hidup) sebagai input, dilanjutkan menghitung eo dengan Mean Age Child Bearing sebagai input.

2.7.2 Tingkat Pendidikan

Dalam publikasi ini, komponen tingkat pendidikan diukur dari dua indikator, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Angka melek huruf adalah persentase dari penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya, terhadap jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih. Indikator ini diberi bobot dua per tiga. Bobot sepertiga sisanya diberikan pada indikator rata-rata lama sekolah, yaitu rata-rata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang

pernah dijalani. Indikator ini dihitung dari variabel pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki.

Tabel 2. Lama Bersekolah berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Kelas

Jenjang Pendidikan Kelas

Jumlah tahun bersekolah (kumulatif)

(1) (2) (3)

Tidak Pernah Sekolah 0

SD 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 SMP 1 7 2 8 3 9 SMA 1 10 2 11 3 12 Diploma I 13 II 14 III 15 S1 I 13 II 14 III 15 IV 16 S2 17 - 19 S3 20-24

Lamanya bersekolah dapat dikonversikan langsung dari jenjang pendidikan dan kelas tertinggi yang pernah diduduki seseorang, misalnya

jika seseorang pendidikan tertingginya adalah SMP kelas 2, maka ia memiliki jumlah tahun bersekolah sama dengan 8 tahun, yaitu 6 tahun bersekolah di tingkat SD ditambah dengan 2 tahun di SMP. Seseorang yang bersekolah sampai kelas 2 SMU, maka jumlah tahun bersekolah adalah 11 tahun. Secara sederhana prosedur penghitungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

=

i i i

f

xS

f

MYS

Dimana MYS fi Si I

: rata-rata lama sekolah (dalam tahun)

: banyak penduduk berumur 10 tahun ke atas pada jenjang pendidikan I

: skor masing-masing jenjang pendidikan I : jenjang pendidikan ( = 1,2,…..7).

Untuk memudahkan perhitungan, dapat digunakan tabel konversi sebagaimana terlihat pada tabel 2.

Tabel diatas menyajikan faktor konversi dari tiap jenjang pendidikan yang ditamatkan. Khusus Indeks Pendidikan dihitung dengan bobot yang berbeda dari setiap komponen sebagai berikut:

Indeks Pendidikan = 2/3 Indeks Melek Huruf + 1/3 Indeks Lama Sekolah

2.7.3 Standar Hidup

Standar hidup, dalam laporan ini didekati dari pengeluaran riil per kapita yang telah disesuaikan. Untuk menjamin keterbandingan antar daerah dan antar waktu, dilakukan penyesuaian sebagai berikut:

1. Menghitung pengeluaran per kapita dari data Susenas.[=Y]; 2. Menaikkan nilai Y sebesar 20% [=Y1], karena dari berbagai studi

diperkirakan bahwa data dari Susenas cenderung lebih rendah sekitar 20%;

3. Menghitung nilai riil Y1 dengan mendeflasi Y1 dengan Indeks Harga Konsumen (CPI) [=Y2];

4. Menghitung nilai daya beli – Purchasing Power Parity (PPP) – untuk tiap daerah yang merupakan harga suatu kelompok barang, relatif terhadap harga kelompok barang yang sama di daerah

yang ditetapkan sebagai standar; Membagi Y2 dengan PPP untuk memperoleh nilai Rupiah yang sudah disetarakan antar daerah

[=Y3]; Paritas daya beli – Purchasing Power Parity (PPP) - dihitung dengan metode yang juga digunakan oleh International

Comparison Project (ICP) dalam menstandarisasi PDB untuk

perbandingan antar negara. Penghitungan didasarkan pada harga 27 komoditas yang ditanyakan pada modul konsumsi Susenas. Formula penghitungan PPP adalah sebagai berikut:

∑ E(i,j)

PPP = ──────── ∑ P(9,j) Q(i,j)

E(i,j) = Pengeluaran untuk komoditi j di daerah i, P(9,j) = Harga komoditi j di daerah standar.

Q(i,j) = Volume komoditi j (unit) yang di konsumsi di daerah. 5. Mengurangi nilai Y3 dengan menggunakan formula Atkinson

untuk mendapatkan estimasi daya beli [=Y4]. Langkah ini ditempuh berdasarkan prinsip penurunan manfaat marginal dari pendapatan. Formula Atkinson yang digunakan untuk menyesuaikan nilai Y3 adalah:

C(I) = C(i) , jika C(i) < Z

= Z + 2 (C(i) – Z)1/2 , jika Z < C(i) < 2Z

= Z + 2 (Z)1/2 + 3 (C(i) - 2Z)1/3 , jika 2Z < C(i) < 3Z = Z + 2 (Z)1/2 + 3 (Z)1/3 + 4 (C(i) – 3Z)1/4 , jika 3Z < C(i) < 4Z

Dimana:

C(i) = PPP dari nilai riil pengeluaran per kapita,

Z = Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 549.500 per kapita per tahun atau Rp 1.500 per kapita per hari.

Dokumen terkait