• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Perjanjian Tukar Guling (Ruilslag) Antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PENGALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA

C. Indikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Perjanjian Tukar Guling (Ruilslag) Antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti

Sehubungan dengan proses tukar menukar barang atau milik kekayaan negara antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan ruilslag sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 350/KMK/03/1994 tanggal 13 Juli 1994, dengan alasan peminjaman gudang Bulog di Kelapa Gading Jakarta Utara sambil menunggu turunnya Surat Keputusan Presiden, H. M. Ricardo

lxx

Galael membuat surat kepada Beddu Amang untuk meminjam gudang sebanyak 14 (empat belas) buah berdasarkan Surat H. M. Ricardo Galael No. 019/GBS/V/VIII/1995 tanggal 29 Agustus 1995, dimana sebelumnya secara tanpa hak, H. M. Ricardo Galael dan Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto sudah mendapat pinjaman 2 buah gudang milik Bulog. Keenambelas gudang tersebut hendak dibongkar dan digunakan untuk memulai kegiatan pembangunan Pusat Perkulakan Goro karena target Pusat perkulakan Goro tersebut harus diselesaikan pada bulan Januari 1996, namun sampai tanggal 22 September 1995 surat tersebut tidak ditanggapi oleh Beddu Amang, sehingga H. M. Ricardo Galael membuat surat lagi kepada Beddu Amang yaitu surat No. 026/GBS/IX/1995 tanggal 21 September 1996 kali ini surat tersebut ditembuskan kepada Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto selaku komisaris utama PT. Goro Batara Sakti, oleh karena tembusan ini keesokan harinya pada tanggal 22 September 1995, Beddu Amang melalui Deputi Pengadaan Bulog saksi Mohammad Amin langsung menjawab surat tersebut yaitu surat No. 988/111/9/1995 tanggal 22 September 1995 yang isinya menyatakan bahwa dengan berat hati Bulog tidak dapat memenuhi permintaan itu sepenuhnya, namun Bulog meminjamkan 2 buah gudangnya sehingga jumlah gudang yang berhasil didapatkan PT. Goro Batara Sakti menjadi 4 buah gudang. Merasa belum cukup mendapatkan 4 buah gudang, H. M. Ricardo Galael membuat surat No. 031/GBS/IX/1995 tanggal 27 September 1995 kepada Beddu Amang dengan tembusan kepada Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto yang menyatakan bahwa H. M. Ricardo Galael telah

lxxi

mengadakan pembicaraan melalui telepon kepada Beddu Amang yang menyatakan persetujuan Beddu Amang meminjamkan 6 buah gudang Bulog. Kemudian H. M. Ricardo Galael mengajukan surat susulan No. 033/GBS/X/1995 tanggal 5 Oktober 1995 yang isinya ingin meminjam 4 buah gudang lagi. Setelah itu H. M. Ricardo Galael mengajukan memorandum No. 5/GBS/X/95 tanggal 12 Oktober 1995 yang menyatakan pengosongan 6 buah gudang pertama yang dipinjam karena telah disetujui oleh Beddu Amang, padahal Beddu Amang tdak berhak menyetujui pengosongan gudang milik Bulog, apalagi dilakukan oleh pihak swasta. Pada tanggal 18 Oktober, H. M. Ricardo Galael membuat surat kepada Beddu Amang agar menyetujui permohonan 4 gudang berdasarkan surat No. B-1106/III/10/1995 tanggal 18 Oktober 1995 dan dengan merujuk surat H. M. Ricardo Galael No. 031/GBS/IX/1995 tanggal 27 September 1995 Beddu Amang secara tanpa hak menyetujui peminjaman gudang Bulog tersebut tanpa hak.

Pada akhir Januari 1996, H. M. Ricardo Galael mulai melakukan pengosongan gudang milik Bulog, atau milik Dolog Jaya untuk kemudian dibongkar oleh H. M. Ricardo Galael dan selanjutnya dibangun pusat Perkulakan Goro Kelapa Gading Jakarta Utara, padahal H. M. Ricardo Galael tidak berhak melakukan pengosongan dan pembongkaran gudang Dolog tersebut. Melihat perbuatan H. M. Ricardo Galael tersebut, Deputi Administrasi Bulog, Pada Mulya Lubis, melalui surat No. B162/III/02/1996 dan surat No. B165/III/02/1996 tanggal 23 Februari 1996 meminta kepada H. M. Ricardo Galael untuk tidak merubah/menambah atau memindahkan

lxxii

aset Bulog yang akan di ruilslag, namun hal tersebut tidak diindahkan H. M. Ricardo Galael, maupun Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto, bahkan pada tanggal 29 Februari 1996 melalui surat No. 038/GBS/11/96 H. M. Ricardo Galael membuat surat kepada Kakanwil Pertahanan DKI Jakarta melalui Kepala BPN Jakarta Utara mengenai permohonan rekomendasi dalam rangka penyelesaian Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT), sehubungan dengan rencana pembangunan Pusat Perkulakan Goro di Kelapa Gading.

Sejak bulan Februari 1996 sampai dengan bulan Oktober 1996, secara tanpa hak terdakwa bersama saksi Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto secara bertahap melakukan pembongkaran 11 unit gudang milik Bulog dan secara bertahap melakukan pembangunan Pusat Perkulakan Goro Kelapa Gading Jakarta Utara di atas lahan milik Bulog seluas 8 ha senilai Rp. 23.560.000.000,00 (dua puluh tiga milyar lima ratus enam puluh juta rupiah). Puing-puing ataupun besi-besi bekas pembongkaran 11 unit gudang milik Bulog secara tanpa hak dijual oleh Ricardo Galael atau Hutomo Mandala Putra ataupun oleh pegawainya, dan hasil penjualan puing-puing ataupun besi-besi hasil pembongkaran tersebut bernilai Rp. 7.017.120.000,00 (tujuh milyar tujuh belas juta seratus dua puluh ribu rupiah). Pada bulan Oktober 1996 Pusat Perkulakan Goro Kelapa Gading Jakarta Utara tersebut diresmikan oleh Presiden Soeharto dan dihadiri oleh terdakwa, saksi Beddu Amang, dan saksi Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto, padahal terdakwa belum menyerahkan aset

lxxiii

pengganti yang telah selesai dibangun dan siap dipakai, namun terdakwa telah menggunakan aset yang telah di ruilslag, yaitu tanah seluas 8 ha.

Selain melakukan pembongkaran milik Bulog tersebut, terdakwa mengajukan pula kredit kepada Bank Bukopin, sebanyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua pulih milyar rupiah) dengan agunan surat tanah berupa girik seluas ±20 ha yang terletak di Marunda Jakarta Utara milik saksi Hokiarto. Permohonan milik terdakwa tersebut tidak dapat dikabulkan oleh Bank Bukopin karena jaminannya masih berupa surat tanh girik. Karena permohonan kredit tersebut ditolak oleh Bank Bukopin, maka terdakwa dan saksi Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto melaporkannya kepada saksi Beddu Amang agar saksi Beddu Amang membantu terdakwa atau saksi Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto untuk mendapatkan kredit Rp. 20.000.000.000,oo (dua puluh milyar rupiah) dan untuk itu secara tanpa hak saksi Beddu Amang mengganti jaminan surat tanah berupa girik seluas 25 ha yang terletak di Marunda Jakarta Utara tersebut dengan menjaminkan deposito Bulog sebesar Rp. 23.000.000.000,00 (dua puluh tiga milyar rupiah) dengan memerintahkan saksi Ruskandar untuk melaksanakannya, maka Bank Bukopin mengabulkan kredit terdakwa dan saksi Hutomo Mandala Putra sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) dengan jaminan deposito millik Bulog sebesar Rp. 23.000.000.000,00 (du puluh tiga milyar rupiah) pada tanggal 5 Juli 1996 dan pada tanggal 18 Juli 1996 saksi Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto memberikan persetujuan kepada terdakwa untuk membuat perjanjian pendahuluan dengan saksi

lxxiv

Hokiarto dalam rangka membeli tanah di Marunda seluas 60 ha dengan mempergunakan uang kredit dari Bank Bukopin sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah), kemudian terdakwa memberikan kuasa tersebut kepada saksi Ken Laksono, Direktur Keuangan PT. Goro Batara Sakti untuk membuat perjanjian pendahuan dengan saksi Hokiarto di depan notaris Ny. Emmy Hartati Yuniar, SH. Yang tertuang dalam akte No.112 tanggal 19 Juli 1996 yang isinya menyatakan saksi Ken Laksono dari Pt. Goro Batara Sakti membeli tanah kepada Hokiarto sebanyak 60 ha seharga 80.000/m2 (delapan puluh ribu per meter persegi, untuk itu saksi Hokiarto harus mencari lagi tanah seluas 35 ha, karena tanah milik saksi Hokiarto hanya seluas 25 ha dan surat-surat tanahnya sudah diserahkan kepada terdakwaataupun kepada badan hukum PT. Goro Batara Sakti, dan untuk itu saksi Hokiarto menerima pinjaman uang sebesar Rp. 20.000.000.000.00 (dua puluh milyar rupiah) dari terdakwa melalui saksi Ken Laksono dengan bunga 18,5% / tahun, dan belakangan uang tersebut diambil kembali oleh terdakwa sebanyak Rp. 3.750.000.000,00 (tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), sehingga uang yang bersisa pada saksi Hokirto hanya sebesar Rp. 16.250.000.000,00 (enam belas milyar dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pada saat kredit terdakwa dan saksi Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto di Bank Bnukopin jatuh tempo, ternyata mereka dengan sengaja tidak mau melunasi pinjamannya di Bank Bukopin sebesar Rp. 30.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) dengan jaminan deposito Bulog Rp. 23.000.000.000,00 (dua puluh tiga milyat rupiah), untuk itu pihak Bank

lxxv

Bukopin mencairkan deposito Bulog sebesar Rp. 23.000.000.000,00 (dua puluh tiga milyar rupiah) yang dijaminkan/diagunkan untuk menutupi pinjaman terdakwa dan saksi Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto tersebut.

Sekitar bulan Oktober 1996, saksi Hokiarto bertemu dengan saksi Beddu Amang, pada saat itu saksi Hokiarto mengatakan telah mengadakan perjanjian jual beli tanah di Marunda dengan terdakwa ataupun dengan pihak PT. Goro Batara Sakti sebagaimana tertuang dalam akte No. 112 tanggal 19 Juli 1996 yang dibuat di depan notaris Ny.Emmy Hartatai Yunizar, SH. Pada saat itu saksi Hokiarto menyatakan telah kehabisan uang untuk membayar para pemilik tanah seluas 35 ha, yang harus disediakan oleh saksi Hokiarto sesuai dengan perjanjian pendahuluan, karena uang yang diterima dari terdakwa hanya sebesar Rp. 16.250.000.000,00 (enam belas milyar dua ratus lima puluh juta rupiah), padahal jumlah uang yang harus dibayar adalah sebesar 80.000/m2 untuk tanah seluas 60 ha. Menanggapi perkataan Hokiarto tersebut, Beddu Amang mengatakan kepada Hokiarto bahwa ia menyetujui dan mendukung Hokiarto untuk melakukan pengadaan tanah bagi PT. Goro Batara Sakti dan Beddu Amang mengatakan agar jumlah tanah tersebut dinaikkan dari 60 ha menjadi 71,2 Ha dan untuk itu Beddu Amang secara tanpa hak memberikan uang milik Bulog sebesar Rp. 32.500.000.000,00 (tiga puluh dua milyar lima ratus juta rupiah) untuk menambah uang yang diterima Hokiarto dari terdakwa atau Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto untuk membeli tanah di Marunda Jakarta Utara sebesar 71,2 ha.

lxxvi

Pada tanggal 21 Januari 1997 melalui Surat Keputusan Beddu Amang selaku Kabulog No. Kep-13/KA/01/1997 untuk melanjutkan MOU tanggal 1 Agustus 1995, tanpa melalui proses tender yang diikuti sedikitnya 5 peserta tender sebagaimana ditentukan dalam lampiran Kepmenkeu No. 350/KMK/03/1994 tanggal 13 Juli 1994. Saksi Beddu Amang secara langsung menunjuk PT. Goro Batara Sakti sebagai developer tukar menukar kantor dan gudang Dolog Jaya serta turutan-turutannya yang berdiri di atas tanah seluas 502.315 m2 di Kelapa Gading Jakarta Utara yang diikuti dengan perjanjian tukar menukar tanah Bulog hak pakai No. 5 seluas 502.315 m2 beserta bangunan gudang dan segala turutan-turutannya tukar imbang dengan aset dari PT. Goro Batara Sakti dalam surat perjanjian No. PJB.61/02/1997 tanggal 17 Februari 1997 dan No. 001/GBS.Bulog/II/1997. Dalam surat perjanjian ruilslag tersebut dinyatakan bahwa terdakwa selaku Direktur Utama PT. Goro Batara Sakti menyediakan aset pengganti senilai Rp. 192.938.366.000,00 (seratus sembilan puluh dua milyar sembilan ratus tiga puluh delapan juta tiga ratus ena puluh ribu rupiah), termasuk tanah seluas 712.745 m2 dengan harga Rp. 91.000,00/m2, padahal terdakwa mengetahui dengan jelas bahwa ia dan Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto tidak mampu menyediakan dana sekitar Rp. 192.938.366.000,00 (seratus sembilan puluh dua milyar sembilan ratus tiga puluh delapan juta tiga ratus enam puluh ribu rupiah), sedangkan tanah seluas 712.745 m2 dibeli dari Hokiarto dengan menggunakan uang Bulog sebesar Rp. 52.500.000.000,00 (lima puluh dua milyar lima ratus juta rupiah) yang dinyatakan oleh terdakwa dan saksi Hutomo Mandala Putra alias Tomi

lxxvii

bin Soeharto adalah milik PT. Goro Batara Sakti sebagai aset pengganti, dimana seharusnya uang untuk membeli tanah tersebut disediakan oleh terdakwa atau Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto atau Badan Hukum PT. Goro Batara Sakti sebagai developer.

Pada saat Hokiarto hendak membuat surat pelepasan hak atas tanah tersebut saksi Beddu Amang mengatakan kepada Hokiarto agar tanah seluas ± 70.771 m2 ditandatangani oleh Beddu Amang selaku penerima hak, padahal Beddu Amang tidak berhak menandatangani surat pelepasan hak tersebut dalam kapasitasnya sebagai penerima hak. Sedangkan sisanya seluas 637.013 m2 atas perintah terdakwa dan disetujui oleh Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto ditandatangani oleh John Ramses dari PT. Goro Batara Sakti.

Pada tanggal 26 Desember 1997 Beddu Amang menandatangani 20 surat pelepasan hak (SPH) atas tanah di Marunda Jakarta Utara di kantor Bulog Jalan Gatot Subroto No. 49 Jakarta Selatan, padahal saksi Beddu Amang mengetahui bahwa sesuai dengan perjanjian ruilslag tanggal 7 Februari 1997 tanah yang tertera dalam 20 SPH tersebut adalah tanah aset pengganti yang harus diserahkan oleh PT. Goro Batara Sakti yang akan dipertukarkan dengan tanah milik Bulog di Kelapa Gading Jakarta Utara, selain itu dalam SPH dinyatakan bahwa Beddu Amang telah menyerahkan sejumlah uang kepada 20 nama pelepas hak sesuai dengan SPH yang disaksikan oleh Camat Cilincing, saksi Ali Usman, dan Lurah Marunda, saksi Rahman Saputra, S.H., dan SPH tersebut ditandatangani pula oleh Walikota Jakarta Utara, saksi Drs. Subagyo, M.M., dan Kepala Kantor Pertanahan

lxxviii

Jakarta Utara, saksi Ir. Chairul Basri Ahmad, padahal Beddu Amang tidak pernah menyerahkan sejumlah uang kepada 20 pemilik tanah tersebut dimana disebutkan dalam SPH.

Pada tanggal 4 Mei 1998, terdakwa dan Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto yang masih terikat ruilslag dengan pihak Bulog telah menjual seluruh saham PT. Goro Batara Sakti kepada pihak Induk Koperasi Unit Desa (INKUD) seharga Rp. 140.000.000.000,00 (seratus empat puluh milyar rupiah) termasuk surat perkulakan Goro Kelapa Gading, untuk itu terdakwa dan Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto telah menerima uang sebesar Rp. 76.000.000.000,00 (tujuh puluh enam milyar rupiah) untuk nilai good will dari INKUD sedang nilai nett worth senilai Rp. 64.000.000.000,00 (enam puluh empat milyar rupiah menunggu hasil due

dillegent dari Auditor Independent Arthur Andersen.

Atas perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto dan Beddu Amang tersebut, negara dalam hal ini Badan Urusan Logistik (Bulog) dirugikan sebesar Rp. 95.407.486.000,00 (sembilan puluh lima milyar empat ratus tujuh juta empat ratus delapan puluh enam ribu rupiah), yaitu uang yang berasal dari:

a. Uang senilai Rp. 23.000.000.000,00 (dua puluh tiga milyar rupiah), yaitu uang deposito Bulog yang dijaminkan dalam rangka terdakwa bersama Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto meminjam uang atau memperoleh kredit dari Bank Bukopin sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) untuk membeli tanah di Marunda Jakarta

lxxix

Utara dari Hokiarto sesuai akte Notaris No.112 tanggal 19 Juli 1996, oleh karena terdakwa dan Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto dari PT.Goro Batara Sakti tidak melunasi pinjaman/kredit tersebut kepada Bank Bukopin, maka deposito Bulog tersebut dicairkan oleh Bank Bukopin dan uangnya diambil dan dimiliki oleh Bank Bukopin.

b. Uang Senilai Rp. 32.500.000.000,00 (tiga puluh dua milyar lima ratus juta rupiah) yang diserahkan oleh Beddu Amang kepada Hokiarto untuk membeli tanah yang digunakan sebagai aset pengganti yang seharusnya disediakan oleh terdakwa atau Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto atau oleh Badan Hukum PT.Goro Batara Sakti sesuai akte No.112 tanggal 19 Juli 1996, dan MOU tanggal 11 Agustus 1995 serta surat Perjanjian tanggal 7 Februari 1997, tanah tersebut bahkan ditambah oleh Beddu Amang dari jumlah 60 ha menjadi 71,2 ha.

c. Dibongkarnya 11 gudang milik Bulog di Kelapa Gading oleh terdakwa dan Hutomo Mandala Putra alias Tomi bin Soeharto atau pegawai PT.Goro Batara Sakti, senilai Rp. 7.017.120.000,00 (tujuh milyar tujuh belas juta seratus dua puluh ribu rupiah).

d. 1 (satu) gudang yang dijadikan kantor PT.Goro Batara Sakti dan 4 (empat) gudang lainnya yang dijadikan gudang barang PT.Goro Batara Sakti sebesar Rp. 3.189.100.0000,00 (tiga

lxxx

milyar seratus delapan puluh sembilan juta seratus ribu rupiah).

e. Adanya uang negara (Bulog) yang dikeluarkan untuk membayar sewa gudang yang disewa oleh terdakwa atau PT.Goro Batara Sakti yaitu 2 (dua) buah gudang Multi Purpose senilai Rp. 6.200.766.000,00 (enam milyar dua ratus juta tujuh ratus enam puluh enam ribu rupiah).

f. Tidak dapat digunakannya tanah set Bulog seluas 8 ha karena secara tidak sah diatasnya telah didirikan pusat Perkulakan Goro Kelapa Gading yang merugikan negara (Bulog) sebanyak Rp. 23.560.000.000,00 (dua puluh tiga milyar lima ratus enam puluh juta rupiah).

Perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 Undang-Undang No.3 tahun 1971 jo Pasal 55 ayat (1) ke-le jo Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

lxxxi

BAB IV

TINDAK PIDANA DALAM PENGALIHAN HAK MILIK MELALUI