ii
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK MILIK
KEKAYAAN NEGARA MELALUI PERJANJIAN TUKAR
GULING (RUILSLAG)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM: 060200041
DEASY AVRIESTA
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
iii
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK
MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA MELALUI
PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM: 060200041
DEASY AVRIESTA
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
iv
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK MILIK
KEKAYAAN NEGARA MELALUI PERJANJIAN TUKAR
GULING (RUILSLAG)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM: 060200041
DEASY AVRIESTA
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW
NIP: 196603031985081001 DR. Hasim Purba,SH.M.Hum
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
Prof.Dr. Tan Kamello S.H.M.S
NIP: 1962042119808031004 NIP: 131961354
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
atas berkat, rahmat, serta kasih karunia-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Peralihan Hak Milik Atas Kekayaan
Negara Melalui Perjanjian Tukar Guling (Ruilslag).
Skripsi ini dibuat dengan untuk memenuhi syarat kelulusan guna
memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Bandung.
Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Tan Kamello S.H.M.S sebagai
pembimbing utama dan Ibu Rosnidar S. SH,MHum sebagai co.
pembimbing, atas kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing, serta
memberikan saran, arahan dan koreksi dalam penyempurnaan skripsi
penulis.
Pada kesempatan ini juga, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Seluruh Staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas
ilmu dan bimbingannya yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menuangkan suatu konstruksi berpikir dalam penulisan skripsi ini.
2. Seluruh Staff Administrasi (SBA) dan seluruh staff Perpustakaan
vi
3. Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tuaku, Papa Mama
ku serta Kakak-kakak dan, abang-abangku, atas segala dukungan, moril
dan materiil, kesabaran, kasih sayang, serta do’a yang tak henti-hentinya
dipanjatkan.
4. Seluruh teman-teman angkatan 2006 Fakultas Hukum Universitas
Suamtera Utara, atas bantuan dan dukungannya.
5. Serta berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan tugas akhir ini masih
terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Akhirnya penulis berharap semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi
penulis sendiri pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Medan, 10 Maret 2011
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak
………...….……..……. i
Kata Pengantar ………...….. ii
Daftar Isi ……….………...……. iv
Daftar Lampiran……….…………...………….vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian…………...………...1
B. Identifikasi Masalah………...………...8
C. Tujuan Penelitian………...………...8
D. Manfaat Penelitian………...…...8
E. Kerangka Pemikiran………...9
F. Metode Penelitian………...15
viii
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN SAHAM
PERSEROAN TERBATAS
A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya ...…………...20
1. Pengertian Perjanjian ...……..…….………...21
2. Unsur-unsur Perjanjian ...….……….…...24
3. Jenis-jenis Perjanjian ...……….………...27
4. Syarat Sahnya Perjanjian ....……….……...….41
5. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian……...45
6. Asas-Asas dalam Perjanjian...46
7. Pengertian dan Akibat Hukum dari Wanprestasi...47
B. Perjanjian Pemberian Kuasa...48
1. Pengertian...48
2. Kewajiban-kewajiban Si Kuasa...49
3. Kewajiban-Kewajiban Si Pemberi Kuasa ... 50
4. Berakhirnya Pemberian Kuasa...51
C. Pengertian Modal dan Saham Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas ... 56
1. Modal Perseroan Terbatas...56
2. Pengertian dan Klasifikasi Saham...57
3. Pengeluaran Saham Perseroan...58
4. Pemindahan Hak Atas Saham...59
ix
BAB III PERJANJIAN NOMINEE SAHAM ANTARA MERBABU CORP
DENGAN NOMINEE PEMEGANG SAHAM
A. Latar Belakang Perjanjian Nominee Saham Antara Merbabu
Corp dengan Nominee Pemegang Saham……...…….. 50
B. Perihal Perjanjian Nominee Saham Antara Merbabu Corp dengan Nominee Pemegang Saham... 51
1. Para Pihak dalam Perjanjian...………... 51
2. Kewenangan Pelaksanaan Perjanjian Nominee saham... 53
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian.……... 55
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN NOMINEE SAHAM ANTARA MERBABU CORP SEBAGAI PEMEGANG SAHAM YANG SEBENARNYA DENGAN NOMINEE PEMEGANG SAHAM DIKAITKAN DENGAN UU NO. 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS A. Perjanjian Nominee Saham Antara Merbabu Corp Dengan Nominee Pemegang Saham Ditinjau Dari Hukum Perjanjian 74
B. Perjanjian Nominee Saham Antara Merbabu Corp Dengan Nominee Pemegang Saham Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas ... 78
x
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan...…...……… 103
B. Saran ... 104
xi
PERALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA MELALUI PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG)
ABSTRAK
Deasy Avriesta Sembiring 060200041
Perjanjian nominee saham menjadi satu dari sekian banyak cara yang dipakai oleh investor luar negeri untuk masuk ke dalam yurisdiksi hukum Indonesia dan mendirikan perusahaan yang bukan sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) namun disamarkan menjadi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan mengenai perjanjian nominee saham dalam Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.
Penelitian yang dilakukan penulis ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktek pelaksanaan yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normatif, yaitu penelitian yang berpegang teguh pada ilmu hukum dan segi-segi yuridis.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan terbatas tidak mengatur mengenai perjanjian nominee saham ini secara jelas, namun hanya beberapa bagian saja. Diantaranya adalah Pasal 1338 KUH Perdata menjadi dasar hukum perjanjian nomine saham ini berdiri. Namun jika ditelaah lebih dalam lagi ternyata perjanjian nominee saham yang penulis teliti tidak memenuhi syarat keempat dari syarat sahnya perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata, jadi jika ditelaah dari kaca mata hukum maka perjanjian ini batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat objektif dari perjanjian. UUPT hanya mengenal dan melindungi pemegang saham secara hukum
(legal owner) dan sekaligus pemegang saham ini menjadi pemegang saham
xi
PERALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA MELALUI PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG)
ABSTRAK
Deasy Avriesta Sembiring 060200041
Perjanjian nominee saham menjadi satu dari sekian banyak cara yang dipakai oleh investor luar negeri untuk masuk ke dalam yurisdiksi hukum Indonesia dan mendirikan perusahaan yang bukan sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) namun disamarkan menjadi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan mengenai perjanjian nominee saham dalam Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.
Penelitian yang dilakukan penulis ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktek pelaksanaan yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normatif, yaitu penelitian yang berpegang teguh pada ilmu hukum dan segi-segi yuridis.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan terbatas tidak mengatur mengenai perjanjian nominee saham ini secara jelas, namun hanya beberapa bagian saja. Diantaranya adalah Pasal 1338 KUH Perdata menjadi dasar hukum perjanjian nomine saham ini berdiri. Namun jika ditelaah lebih dalam lagi ternyata perjanjian nominee saham yang penulis teliti tidak memenuhi syarat keempat dari syarat sahnya perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata, jadi jika ditelaah dari kaca mata hukum maka perjanjian ini batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat objektif dari perjanjian. UUPT hanya mengenal dan melindungi pemegang saham secara hukum
(legal owner) dan sekaligus pemegang saham ini menjadi pemegang saham
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya.1 Hegel di dalam thesisnya membagi Negara hukum ke dalam dua bentuk, yaitu : Negara hukum dalam
arti sempit, dan Negara hukum dalam arti formal. Yang menarik dari
pendapat Hegel tersebut adalah pengertian dari Negara hukum dalam arti
formil, yaitu Negara boleh ikut campur tangan dalam urusan kemakmuran
rakyatnya, akan tetapi dibatasi dengan Undang-Undang, agar supaya
Negara tidak berbuat sewenang-wenang.2 Ciri-ciri khas Negara hukum itu sendiri adalah :3
a. “Pengakuan dan perlindungan hak-hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;
b. Peradilan yang bebas dari tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga; c. Legalitas dalam arti segala bentuknya”.
Hal yang sama mendasari sifat Negara hukum yang dianut oleh
Negara Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan di dalam Undang-Undang Dasar
1945, dimana di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 terdapat
indikasi terhadap Negara hukum. Pada Pembukaan UUD 1945 dijelaskan
1
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum FH UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm. 153
2
Ibid., hlm. 158
3
xiii
mengenai tujuan Negara Indonesia, yaitu menciptakan masyarakat adil dan
makmur.
Tujuan dan arah Pembangunan Nasional Indonesia tertuang kembali
dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009
yang menetapkan Visi Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 adalah
sebagai berikut:
1. Terwujudnya kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang
aman, bersatu, rukun, dan damai.
2. Terwujudnya kehidupan bangsa, dan negara yang menjunjung
tinggi hukum, kesetaraan, dan Hak Asasi Manusia, serta;
3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan
kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta
memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang
berkelanjutan.
Berdasarkan Visi Pembangunan Nasional tersebut ditetapkanlah Misi
Pembangunan Nasional tahun 2004-2009, yaitu:
1. Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai
2. Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis
3. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera
Ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia memberi perhatian yang
sangat besar untuk menciptakan suatu Negara hukum yang ideal, dimana
Negara ikut campur di dalam usahanya menciptakan kemakmuran bagi
xiv
UUD 1945 banyak pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mencapai tujuan Negara hukum tersebut, salah satunya terdapat di dalam
Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang berbunyi :
2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
3 Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak sangat perlu diatur dan dimonopoli
oleh Negara. Hal ini disebabkan, bahwa Negara Indonesia menghendaki
adanya kesejahteraan dalam masyarakat, bukan kesejahteraan secara
individu. Oleh sebab itu, Negara mempunyai hak lebih untuk menguasai dan
mengatur seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat. Bumi dan air yang
dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut menggambarkan
mengenai kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah Negara, maupun
tanah itu sendiri.
Pemerintah sebagai agen atau organisasi pekerja Negara, memiliki
peranan untuk menguasai (bukan memiliki) kekayaan alam tersebut,
sepanjang kekayaan alam tersebut dipergunakan seluas-luasnya demi
kepentingan hajat hidup orang banyak. Fungsi dari kekayaan alam itu
sendiri adalah sebagai alat atau sarana bagi suatu organisasi Pemerintah
untuk mendukung dan menunjang pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan pengawasan dan pengaturan
xv
Untuk memaksimalkan pemberdayaan kekayaan alam yang dikuasai
Negara tersebut, yang berupa kekayaan alam yang dapat dipergunakan
bagi kepentingan hajat hidup orang banyak, maka Pemerintah menyadari
perlu membentuk suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
mempunyai spesialisasi di setiap bidang usaha masing-masing. Semua
Badan Usaha Milik Negara tersebut berkewajiban untuk mengusahakan
setiap kekayaan alam yang dimandatkan kepada mereka, misalnya:
Pertamina, berkewajiban untuk mengelola aset atau kekayaan Negara
berbentuk gas dan minyak bumi (yang terdapat di bawah tanah). Pertamina
diwajibkan memaksimalkan pengelolaan atas kekayaan alam tersebut untuk
kepentingan hajat hidup orang banyak.
Selain kekayaan alam yang berada di bawah tanah yang telah
disebutkan di atas, maka terdapat juga kekayaan alam yang juga
dimandatkan kepada Pemerintah untuk dipergunakan sebaik-baiknya demi
kepentingan hajat hidup orang banyak salah satunya adalah tanah. Bagi
bangsa Indonesia, tanah mempunyai pengaruh besar di dalam kehidupan
bermasyarakat, diantaranya dipergunakan untuk prasarana permukiman,
prasarana jalan dan jembatan, prasarana pendukung di bidang ekonomi,
pendidikan, peribadatan, rekreasi, serta keperluan lainnya.
Atas dasar ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, mendasari
Pasal 1 ayat (2) UUPA, dinyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang
angkasa yang terkandung di dalam wilyah Republik Indonesia merupakan
xvi
Pasal 2 UUPA disebutkan, bahwa tanah pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Pengertian tanah negara dalam arti sempit menurut Boedi Harsono
adalah :4
“Tanah yang dikuasai oleh departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah non departemen lainnya dengan hak pakai dan hak pengelolaan, yang merupakan aset atau bagian kekayaan negara yang penguasaannya ada pada menteri keuangan”.
Hal ini berarti bahwa setiap Badan Usaha Milik Negara juga memiliki
bagian di dalam penguasaan tanah negara tersebut. Penguasaan atas
tanah tersebut diberikan oleh Negara untuk memaksimalkan kinerja dari
setiap BUMN yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia.
Akan tetapi, banyak juga BUMN yang tidak dapat memaksimalkan
aset tanah yang dimilki tersebut. Hal ini dikarenakan minimnya sumber daya
modal yang dimilki oleh BUMN yang bersangkutan. Agar dapat
memaksimalkan pemberdayaan dari aset tanah negara tersebut kepada
masyarakat, maka berdasarkan hak menguasai yang dimiliki oleh negara,
pemerintah dapat memberikan atau mengalihkan hak-hak atas tanah negara
tersebut kepada seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau
suatu badan hukum untuk diberdayakan bagi kepentingan masyarakat
banyak. Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk
mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur dalam
perundang-undangan. Dalam hal ini, Hak menguasai yang dimiliki oleh negara tidak
4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
xvii
dapat dipindahkan kepada pihak lain, melainkan hanya diberikan dengan
suatu hak atas tanah negara kepada kepada pihak lain.
Pemberian hak atas tanah negara kepada seseorang atau badan
hukum, bukan berarti melepaskan hak menguasai tersebut dari tanah yang
bersangkutan. Tanah tersebut tetap berada di dalam penguasaan Negara.
Negara tidak melepaskan kewenangannya terhadap tanah yang
bersangkutan.
Pengalihan atas tanah negara yang dimilki oleh sebuah BUMN dapat
dilakukan melalui perjanjian. Dalam hal ini, penulis mengambil bahan kajian
pengalihan tanah negara yang dimiliki oleh sebuah BUMN, dalam hal ini
BULOG, melalui perjanjian tukar guling yang dilakukan dengan PT. Goro
Batara Sakti. Dari pihak BULOG sendiri bersedia menukar lahan yang
diperuntukkan bagi BULOG dengan luas sekitar kurang lebih 50 Ha yang
terdapat di kawasan Kelapa Gading, dengan tanah pengganti seluas kurang
lebih 125 Ha yang dimilki oleh PT. Goro Batara Sakti. Akan tetapi di dalam
pelaksanaan perjanjian tukar guling tersebut telah terjadi
penyimpangan-penyimpangan, diantaranya : bahwa tanah yang ditukar guling tersebut tidak
dipergunakan seluas-luasnya bagi kepentingan masyarakat, melainkan
untuk kepentingan individu dan negara malah mengalami kerugian sebesar
Rp. 95.407.486.0005
5
Varia Peradilan, “Tindak Pidana Korupsi Kasus Ruislaght Tanah dan Gudang BULOG”, No. 183 Desember 2000, hlm. 8
setelah perjanjian tukar guling ini dilaksanakan.
Kerugian yang dialami oleh negara disebabkan proses tukar menukar
xviii
ketentuan ruilslag yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Keputusan
Menteri Keuangan No. 350/KMK/03/1994. Ketentuan ruilslag yang telah
dilanggar adalah proses ruilslag itu sendiri, yaitu adanya campur tangan
Presiden dalam pengambil alihan aset Bulog oleh PT. Goro Batara Sakti;
proses ruilslag tidak dijalankan melalui proses tender; aset yang hendak
dilepas oleh Bulog telah dipergunakan terlebih dahulu oleh PT. Goro Batara
Sakti; dan adanya uang Bulog yang dipakai untuk membeli tanah aset
pengganti yang seharusnya disediakan oleh PT. Goro Batara Sakti.
Oleh karena itu, pemerintah melalui putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 2 K/Pid/2000 membatalkan perjanjian tukar guling
antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, karena akibat dari perjanjian
tukar guling tersebut negara telah dirugikan, dan para pihak baik BULOG
(dalam hal ini terdakwa Beddu Amang) maupun PT. Goro Batara Sakti
(dalam hal ini terdakwa Ricardo Galael dan Tomi Soeharto) telah terbukti
dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi. Didasarkan hal-hal yang
diuraikan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang
Pengalihan Hak Milik Atas Kekayaan Negara Melalui Perjanjian Tukar
Guling (RUILSLAG) Antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti
Dihubungkan Dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 20
xix
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah hak milik atas kekayaan negara yang dikelola oleh BUMN
dapat dialihkan atau dikuasai oleh Badan Usaha Milik Swasta
(BUMS) menurut peraturan hukum yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana akibat hukum dibatalkannya Perjanjian Tukar Guling
(ruilslag) antara BULOG dengan PT. Goro Batara Sakti?
3. Bagaimana tanggungjawab pidana pihak BULOG terhadap kerugian
negara yang timbul dari Perjanjian Tukar Guling (ruilslag) tersebut
dihubungkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan memahami tentang tentang pengalihan hak milik
atas kekayaan negara yang dikuasai oleh BUMN atau dikuasai
menurut peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Mengetahui dan memahami akibat hukum dibatalkannya Perjanjian
Tukar Guling (ruilslag) antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti
tersebut.
3. Mengetahui dan memahami tentang pertanggungjawaban pidana
pihak BULOG terhadap kerugian negara yang timbul dari perjanjian
tukar guling (ruilslag) tersebut dengan dihubungkan dengan
xx
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a) Diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam
berbagai upaya pengembangan ilmu hukum dan pembaharuan
hukum nasional khususnya tentang Perjanjian Tukar Guling
(ruilslag).
b) Diharapkan dapat memberikan bahan referensi bagi
kepentingan yang bersifat akademis baik dalam penelaahan
hukum secara monodisipliner, maupun multidisipliner dan
sebagai tambahan bagi kepustakaan.
2. Kegunaan Praktis
a) Memberikan sekedar informasi bagi pihak-pihak yang terkait
dalam perjanjian tukar guling (ruilslag) khususnya mengenai
ketentuan wanprestasi beserta eksistensi dari perjanjian tukar
guling itu sendiri.
b) Memberikan masukan bagi instansi pemerintah atau
departemen yang terkait serta pihak swasta khususnya bagi
para pihak yang sedang atau telah melakukan rangkaian
proses di dalam mencapai tujuan dari tukar guling ataupun
bagi para pihak yang hendak melakukan perjanjian tukar
xxi
E. Kerangka Pemikiran
Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum, seperti yang
termaktub di dalam UUD 1945 telah melakukan amandemen di dalam UUD
1945. Hal ini dilakukan untuk mendukung terciptanya suatu tujuan negara
hukum, salah satunya adalah menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Hasil dari Amandemen tersebut diantaranya adalah :
a. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (dan warga negara);
b. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
c. Pemerintah di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasarkan atas hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis;
d. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Untuk menciptakan negara hukum, diperlukan adanya suatu sistem hukum.
Suatu sistem hukum memiliki elemen-elemen pendukung untuk terciptanya
penegakan hukum itu sendiri, diantaranya adalah :6 a. Kelembagaan (institutional);
b. Kaedah aturan (instrumental);
c. Perilaku para subjek hukum yang menunjang hak dan kewajiban
yang ditentukan oleh norma aturan tersebut (elemen subyektif dan
kultural).
Pemerintah sebagai organisasi pekerja Negara (elemen kelembagaan)
memiliki peranan untuk mengatur dan menguasai seluruh kekayaan dan
aset-aset negara yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk
dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3
6
xxii
UUD 1945). Untuk itu, Negara sebagai organisasi kekuasaan
bertanggungjawab untuk mengelola sumber kekayaan alam dan aset-aset
tersebut (elemen instrumental). Pengelolaan atas kekayaan negara dan
aset-aset tersebut dapat saja dialihkan kepada pihak swasta apabila negara
(BUMN) memiliki keterbatasan sumber daya modal untuk mengelolanya,
sepanjang pengalihan tersebut dilakukan untuk kemakmuran rakyat yang
sebesar-besarnya. Pengalihan atas hak negara untuk mengelola kekayaan
dan aset-aset tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian,
salah satunya adalah perjanjian tukar guling (ruilslag).
Didasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan No.
350/KMK.03/1994. tanggal 13 Juli 1994 Tentang Tukar Menukar Barang
Milik atau Kekayaan Negara, Perjanjian Tukar Guling (ruilslag) adalah suatu
pengalihan pemilikan dan/atau penguasaan barang tidak bergerak milik
negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam
bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan negara.7
Perjanjian tukar guling (ruilslag) merupakan perkembangan dari salah
satu bentuk perjanjian yang telah diatur dalam KUH Perdata, yaitu perjanjian
tukar-menukar. Pasal 1541 KUH Perdata menyebutkan, yang dimaksud
dengan perjanjian Tukar Menukar adalah:
. Salah satu
objek dari perjanjian tukar guling tersebut adalah tanah.
“suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain.
7
xxiii
Algra mengartikan perjanjian tukar-menukar adalah : “suatu perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan benda kepada satu sama lain.”8
Selain itu, ada juga yang mendefenisikan perjanjian tukar menukar sebagai
suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan pihak lainnya,
dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang
yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang
ditukar.9
Unsur-unsur yang tercantum di dalam defenisi di atas adalah:10 1. Adanya subjek hukum (individu maupun badan hukum)
2. Adanya kesepakatan subjek hukum;
3. Adanya objek, yaitu barang bergerak dan tidak bergerak (tanah);
4. Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek
tukar menukar tersebut.
Didasarkan Kepmenkeu No.350/KMK.03/1994, bahwa siapapun
dapat melakukan perjanjian tukar guling tersebut, baik
departemen-departemen, instansi atau suatu badan usaha milik negara yang mengusai
suatu tanah dapat melakukan perjanjian ini dengan pihak swasta manapun
dengan ketentuan penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak
yang mempunyai nilai tukar yang sama, sehingga tidak menyebabkan
keuangan negara mengalami kerugian. Sepanjang perjanjian tersebut
dilakukan dengan ketentuan-ketentuan tersebut, maka perjanjian tukar
8
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.57
9
Ibid., hlm.57
10
xxiv
guling tersebut menjadi sah bagi para pihak yang mengikatkan dirinya dalam
perjanjian tukar guling tersebut.
Lahirnya perjanjian tukar guling ini, mengacu kepada salah satu sifat
yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yaitu sifat terbuka. Yang
dimaksud dengan sifat terbuka ini adalah para pihak diberi kebebasan untuk
membuat perjanjian yang mereka inginkan, selama perjanjian tersebut tidak
menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai, dan
norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Hal ini tersirat
pula di dalam Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
mengatakan bahwa :
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus,
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada
peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab
yang lalu.”
Seperti telah disebutkan di atas di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak tersebut
telah menjadi undang-undang bagi setiap pihak yang membuat perjanjian
tersebut. Namun, dalam kenyataannya terjadi penyimpangan-penyimpangan
atau dapat dikatakan para pihak di dalam perjanjian tersebut telah
melakukan perbuatan melawan hukum, karena objek yang dipertukarkan
dalam perjanjian tukar guling tersebut adalah milik negara dan memberikan
kerugian pada negara.
Perbuatan melawan hukum sendiri telah di atur di dalam Pasal 1365
xxv
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) yang dikenal di
dalam Hukum Perdata memiliki arti yang sama dengan pengertian
perbuatan melawan hukum pada hukum Pidana (wederrechtelijkheid),
seperti yang terdapat di dalam makalah yang dibuat oleh Indriyanto Seno
Adji, dalam seminar tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, dikatakan
oleh beliau bahwa pengertian onrechtmatigdaad Hukum Perdata
mempunyai arti yang sama dengan pengertian wederrechtelijheid Hukum
Pidana.11
Perbuatan melawan hukum (wederrechtelijheid) sendiri telah
dituangkan oleh pembentuk undang-undang di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia. Hal ini diantaranya dapat kita lihat pada :
12
a. Pasal 406, mengartikan wederrechtelijheid sebagai “tanpa hak
sendiri”
b. Pasal 333, mengartikan wederrechtelijheid sebagai “bertentangan
dengan hukum obyektif”
c. Pasal 167 dan Pasal 522 mengartikan wederrechtelijheid sebagai
“bertentangan dengan hukum”.
Selain itu, Mahkamah Agung sendiri pernah membuat keputusan dalam
suatu kasus No. 30 K/Kr/1969 tanggal 6 Juni 1970, dimana disebutkan
11
Indriyanto Seno Adji, “Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dan Masalahnya Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia”, Azas-azas Hukum Pidana Nasional, Hotel Ciputra Semarang, 2004, hlm.1
12
xxvi
bahwa sifat melawan hukum itu sedemikian pentingnya sehingga
ditegaskan, bahwa :13
1. Dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur “sifat melawan hukum” dari perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.
2. Walaupun rumusan delik penadahan tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum, tidak berarti perbuatan (1) yang dituduhkan telah merupakan delik penadahan walaupun sifat melawan hukum tidak ada sama sekali.
Jadi dalam hal ini, pembentuk undang menegaskan bahwa
undang-undang pidana tersebut berisikan hal-hal yang tidak diperkenankan kepada
setiap orang. Dan alasan dipergunakannya kata “sifat melawan hukum” atau
wederrechtelijheid, karena pembuat undang-undang mengkhawatirkan
adanya bahaya, yaitu tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan undang, terutama yang bertentangan dengan
undang-undang pidana.
Indriyanto Seno Aji di dalam seminar tentang Asas-Asas Hukum
Pidana Indonesia berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu perbuatan melawan hukum formal dan
perbuatan melawan hukum materiil.14
13
R. Achmad S. Soema di Praja, Pengertian Serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi
Terjadinya Tindak Pidana, Armico, Bandung, 1983, hlm. 17
Menurut beliau, yang dimaksud
dengan perbuatan melawan hukum formil, lebih dititikberatkan pada
pelanggaran terhadap pelanggaran terhadap peraturan-peraturan
perundangan yang tertulis, sedangkan perbutan melawan hukum materiil,
lebih dititikberatkan kepada perbuatan yang merupakan pelanggaran
14
xxvii
terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam
masyarakat. Apabila kita merujuk kembali kepada pendapat Mochtar
Kusumaatmadja di dalam bukunya dan telah dikutip ulang oleh Komariah
Emong Sapardjaja di dalam bukunya yang berjudul “Ajaran Sifat Melawan
Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia”, dikatakan bahwa :“Selain
oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat dipedomani moral
manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah susila,
kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah-kaidah sosial lainnya” 15
Kaidah-kaidah tersebut dapat menjadi tuntunan orang untuk berperilaku
atau menjadi norma-norma perilaku dan selanjutnya kaidah-kaidah tesebut
ada yang dikukuhkan menjadi norma hukum oleh negara melalui pembuat
undang-undang.16
Salah satu bentuk perbuatan melawan hukum yang secara implisit
telah disebutkan pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah
dirubah dan ditambah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 2
ayat (1). (Selanjutnya dalam tulisan ini, penulis akan menyebut
Undang-Undang tersebut sebagai Undang-Undang-Undang-Undang Korupsi).
Norma hukum tersebut ada yang menjadi bagian dari
hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi. Salah satu
penerapan norma tersebut dapat kita lihat di dalam perjanjian tukar guling
(rischlaght) yang notabene terdapat dalam lingkup hukum perdata, karena
dalam hal ini, perjanjian tukar guling tersebut termasuk ke dalam hukum
perjanjian.
15
Ny. Komariah Emong S., Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 1
16
xxviii
Tindak pidana didefenisikan sebagai perilaku yang pada waktu
tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan
harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan
oleh hukum.17 Korupsi adalah suatu perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.18 Apabila istilah tersebut digabungkan dengan kata korupsi akan membentuk tindak
pidana korupsi sehingga mudah kita pahami bahwa pengertian Tindak
Pidana Korupsi ialah rumusan-rumusan tentang segala perbuatan yang
dilarang dalam Undang-Undang Korupsi. Undang-Undang tersebut telah
merumuskan 44 (empat puluh empat) kategori perbuatan yang dapat
dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan dasar-dasar
tertentu, tindak pidana korupsi tersebut dapat dibedakan ke dalam beberapa
kelompok berdasarkan pembaginya. Salah satu pembagian Tindak Pidana
Korupsi tersebut dapat dibedakan berdasarkan dapat atau tidaknya
merugikan keuangan dan atau perekonomian Negara.19
Bagian penjelasan Undang-Undang Korupsi memberikan definisi
keuangan negara yang merupakan objek dari Tindak Pidana Korupsi
tesebut. Keuangan negara yang dimaksud kedalam objek perbuatan korupsi
adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan. Termasuk didalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
17
Jan Remmelink, Hukum Pidana “Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 61
18
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia 1976
19
xxix
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. b) Berada dalam pengurusan, pengurusan dan pertanggung jawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara20.
Objek perjanjian ruilslag antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti
merupakan tanah negara yang berada dalam pengurusan dan
pertanggungjawaban BULOG sebagai Badan Usaha Milik Negara, dimana
harus dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian sangat penting dalam rangka memperoleh hasil
penelitian yang akurat, untuk itu penulis akan melakukan penelitian
berdasarkan metode-metode sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
deskriptif analisis yaitu penelitian yang bertujuan memaparkan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang ada.
Dengan demikian penelitian ini akan menggambarkan masalah
hukum, fakta dengan gejala lainnya yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang terjadi di dalam perjanjian tukar guling antara
BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, kemudian menganalisanya
sehingga diperoleh suatu gambaran yang utuh dan menyeluruh
tentang permasalahan yang akan diteliti.
20
xxx
2. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dengan menginventarisasi, mengkaji dan meneliti data sekunder yang
berkaitan dengan materi penelitian ini, dan bagaimana peraturan
tersebut diterapkan dalam praktiknya.
3. Tahap Penelitian
Penyusunan skripsi ini melalui 2 (dua) tahapan penelitian yaitu
penelitian kepustakaan terhadap sumber data sekunder dan data
primer untuk memperoleh fakta-fakta di lapangan melalui wawancara
yang dapat menunjang hasil penelitian kepustakaan. Sumber data
sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan antara lain:
a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan objek penelitian, yaitu:
1) Undang-undang Dasar 1945;
2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak
Pidana Korupsi;
3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
4) UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA);
5) Keputusan Menteri Keuangan No. 350/KMK.03/1994 tentang
Tata Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barang Milik atau
xxxi
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer antara lain adalah beberapa buku-buku serta
tulisan-tulisan beberapa ahli yang berhubungan dengan perjanjian
dan tindak pidana korupsi.
c. Bahan hukum tersier yang menunjang penggunaan bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder antara lain adalah jurnal,
majalah, koran, kamus dan data yang diperoleh melalui internet.
4. Lokasi Penelitian
a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jalan
Imam Bonjol Nomor 21 Bandung;
b. Perpustakaan Universitas Padjadjaran Jalan Dipati Ukur nomor 46
Bandung;
c. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
Jawa Barat;
d. Kantor saksi ahli BPKP yang menangani perkara antara BULOG
dan PT. Goro Batara Sakti.
e. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
5. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode analisa kualitatif. Artinya data
yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah terkumpul sebagai
penunjang penulisan skripsi ini akan disusun secara sistematis dan
lengkap kemudian dianalisa secara kualitatif sehingga akan diperoleh
suatu gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan yang akan
xxxii
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman permasalahan
yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka sistematika penulisan dibagi
menjadi 5 bab. Setiap bab diusahakan akan mengupas lebih dalam
mengenai maksud dan tujuan dari pembahasan skripsi ini serta
menggambarkan seluruh masalah yang dihadapi. Sistematika penulisan ini
terdiri dari:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan mengemukakan secara sistematis mengenai latar
belakang penelitian, identifikasi masalah, maksud dan tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan metode
penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGALIHAN HAK MILIK ATAS
KEKAYAAN NEGARA
Bab ini terbagi menjadi tiga sub bab. Pertama akan membahas
pengertian hak milik dalam konteks negara hukum yang
berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua akan
membahas mengenai hak milik dalam sistem hukum di
Indonesia, ketiga membahas tindak pidana dalam pengelolahan
kekayaan negara.
BAB III PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG) ANTARA BULOG
DAN PT. GORO BATARA SAKTI
Pada bab ini akan dibahas mengenai objek penelitian. Bab ini
xxxiii
tentang latar belakang dan terjadinya perjanjian tukar guling,
kedua akan menguraikan perjanjian tukar guling antara BULOG
dan PT. Goro Batara Sakti, dan yang ketiga akan membahas
indikasi tindak pidana korupsi dalam perjanjian tukar guling
antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti.
BAB IV TINDAK PIDANA DALAM PENGALIHAN HAK MILIK MELALUI
PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG) ANTARA BULOG
DAN PT. GORO BATARA SAKTI
Bab ini terbagi menjadi dua sub bab. Pertama akan menganalisa
terhadap perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro
Batara Sakti, kedua akan menganalisa terhadap indikasi tindak
pidana korupsi dalam perjanjian tukar guling antara BULOG dan
PT. Goro Batara Sakti.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini terbagi menjadi 2 sub bab. Pertama berupa
xxxiv
BAB II
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA
A. Hak Milik Dalam Konteks Negara Hukum Yang Berlandaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa
Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Negara, yaitu pada
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan pada Pasal 1
UUD 1945. Ditegaskan dalam Penjelasan tentang UUD 1945, di dalam
Pokok-Pokok Pikiran dalam “Pembukaan” poin keempat, mengatakan
bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Selanjutnya di dalam Pasal 33 UUD
1945, ditegaskan bahwa :
(3) Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Segala sumber kekayaan Negara bukanlah milik Negara, melainkan
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Oleh sebab
itu, kedudukan Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat, memiliki
kekuasaan tertinggi dan bertanggungjawab untuk mengelola segala sumber
kekayaan Negara tersebut demi kepentingan masyarakat dari generasi ke
generasi.
Sehubungan dengan itu, di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
xxxv
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dan
bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 di atas adalah
hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat 3).
Dari ketentuan tersebut di atas dapat diartikan bahwa pengakuan
terhadap hak menguasai Negara di Indonesia dimaksudkan untuk memberi
kewenangan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat
untuk mengelolah kekayaan nasional demi kepentingan masyarakat dari
generasi ke generasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa bumi air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
Sehubungan dengan itu, selanjutnya di dalam Pasal 2 ayat (2), poin
(a), (b), dan (c) Undang-Undang Pokok Agraria diuraikan tentang
tanggungjawab Negara terhadap kekayaan nasional yang berkaitan dengan
tanah.
Di dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan mengenai hal penguasaan
Negara atas tanah ini. Hak menguasai atas tanah oleh Negara adalah istilah
yang diberikan oleh Undang-Undang Pokok Agraria kepada lembaga
Negara sebagai organisasi pekerja Negara dan hubungan hukum konkret
xxxvi
terdapat pada Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Pokok Agraria,
yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 2
(1) : “mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
(2) : “menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
(3) : “menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
Kewenangan yang dimiliki negara atas tanah tersebut merupakan
suatu bentuk pelimpahan tugas bangsa, baik sebagai pemegang kekuasaan
dan sebagai organisasi pekerja Negara.
Dalam hubungan dengan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, selaku organisasi kekuasaan
seluruh rakyat, Negara bertindak dalam kedudukannya sebagai kuasa dan
petugas bangsa Indonesia.21 Dalam melaksanakan tugas tersebut, pemerintah merupakan organisasi kekuasaan rakyat tertinggi, yang terlibat
sebagai petugas bangsa tersebut bukan hanya penguasa legislatif dan
eksekutif saja, tetapi juga penguasa yudikatif.22
21
Boedi Harsono, op.cit., hlm.229 22
xxxvii
Didasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria, dijelaskan
lebih lanjut mengenai hak menguasai Negara, yaitu :
Pasal 4
(1) : “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan hukum.”
(2) : “hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang
ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.”
Hak-hak atas tanah yang bersifat individual dan pribadi dalam
konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan. Unsur
kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas
tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak
langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama.
Hak-hak atas tanah yang bersumber pada hak bangsa adalah apa
yang disebut hak-hak primer, yaitu hak milik, hak guna usaha, dan hak pakai
xxxviii
yang bersumber tidak langsung dari hak bangsa, adalah yang disebut
hak-hak sekunder, yaitu: hak-hak-hak-hak yang diberikan oleh pemegang hak-hak primer,
seperti hak sewa, bagi hasil, gadai, dan lainnya.23
Dalam konsep “Negara menguasai”, Negara yang memperoleh
kewenangan dari seluruh rakyat Indonesia, diberi kedudukan sebagai badan
penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang untuk mengatur
pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur
hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai
penerima kuasa, maka segala tindakan Negara berkaitan dengan
pembuatan kebijaksaan dan pengawasaan atas terlaksananya segala
peraturan dan kebijakan itu harus dipertanggungjawabkan kembali terhadap
masyarakat.
Hubungan hukum yang termaktub dalam UUD 1945 dirumuskan
dengan menggunakan istilah “dikuasai” itu, ditegaskan sifatnya sebagai
hubungan hukum publik oleh Pasal 2 UUPA, dimana dalam Pasal 2 ayat (2)
UUPA diberikan rincian kewenangan Negara dalam menguasai kekayaan
Negara tersebut. Rincian kewenangan yang dimaksud berisikan mengenai:
mengatur, menentukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 UUPA tersebut.
Undang-Undang Pokok Agraria memeberikan interpretasi resmi mengenai “hak
menguasai Negara”, yaitu hanya sebatas hubungan hukum yang bersifat
publik semata-mata. Didasarkan dengan hal tersebut, tidak ada lagi tafsiran
lain mengenai pengertian dikuasai dalam UUD 1945 tersebut.
23
xxxix
Sebagai bukti atas hak penguasaan oleh Negara, dan bukan
pemilikkan Negara atas tanah, maka haruslah setiap tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah harus didasarkan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila pemerintah melanggar ketentuan ini, akan
membuat masyarakat mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi
pergeseran makna, yaitu yang awalnya sebagai pengelola menjadi pemilik.
Sebagai contoh adalah perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro
Batara Sakti, dimana proses tukar guling tersebut tidak dijalankan dengan
prosedur yang ada.
A 2. Hak Milik Dalam Sistem Hukum di Indonesia
Yang dimaksud dengan hak “kemilikan” adalah hak milik dalam arti
umum (luas), tidak terbatas hanya pada hak milik atas tanah, bangunan,
mobil, sepeda, dan sebagainya, akan tetapi seluruhnya sepanjang hak
kemilikan ini mempunyai objek yang diperbolehkan hukum, yaitu benda
(berwujud dan tidak berwujud)24
2.1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
. Hak “kemilikan” diakui dan mempunyai
landasan hukum yang kuat di Indonesia, diantaranya diatur pada:
Istilah Hak “kemilikan” tidak dikenal pada sistem hukum yang terdapat
di negara Indonesia. Istilah yang lebih dikenal dan diakui hanyalah hak
“milik”. Undang-Undang Dasar 1945 tidak mempunyai ketentuan yang
mengatur mengenai hak milik. Namun hak milik ini diakui di dalam UUD
24
xl
1945 yang dapat disimpulkan dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (Tap
MPR No. IV/1970) dan konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA).25
2.2. Di Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
Pengakuan atas hak milik secara tegas dituangkan dalam “Ciri-ciri
Demokrasi Ekonomi (Arah Pembangunan Jangka Panjang)”, yaitu:
“Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat. Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap
warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak
merugikan kepentingan umum”.26 Selanjutnya dasar hukum dari lembaga hak milik dapat ditemukan di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,
walapun tidak secara nyata lembaga hak milik ini disebutkan, akan tetapi
pengakuan tersebut nyata, yang dapat dijabarkan dari Pasal 33 UUD 1945
tersebut. Konsideran Undang-Undang Pokok Agraria juga menguatkan hal
ini, sebab dasar pembentukan UUPA sendiri dilandasi oleh Pasal 33 UUD
1945.
2.3. Undang-Undang Pokok Agraria 196027
Di dalam Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa,
”hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”.
25
Ibid., hlm. 43 26
Ibid., hlm. 44 27
xli
Di dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa,
“semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Didasarkan Pasal 20 UUPA tersebut di atas, dijelaskan bahwa hak
milik mempunyai ciri yang berbeda dari hak-hak lainnya. Meskipun
dikatakan bahwa hak milik merupakan hak terkuat dan terpenuh yang dapat
dimiliki oleh seseorang atas tanah, bukan berarti hak tersebut bersifat
mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Pengertian terkuat
dan terpenuh itu, bermaksud “untuk membedakannya dengan hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lainnya, yaitu untuk
menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang
hak milik yang “ter” (paling) kuat dan terpenuh.28
2.4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 570
KUH Perdata Pasal 570 :
“Hak kemilikan (hak milik pada umumnya) adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan sepenuhnya, asal tidak sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”29
Didasarkan pada pasal 570 ini, dapat kita ambil enam ciri dari hak
kepemilikan tersebut, yaitu :30
i. Berhak menikmati kegunaan pada sesuatu benda dengan bebas;
xlii
ii. Merupakan hak menguasai terkuat;
iii. Tidak melanggar undang-undang atau peraturan umum;
iv. Jika perlu dapat dicabut untuk kepentingan umum dengan
memberikan ganti rugi;
v. Tidak menyalahgunakan hak dalam pelaksanaannya.
Para ahli hukum Perdata seperti Suyling, Pitlo, Asser, pada
umumnya sepakat untuk mengatakan bahwa hak kepemilikan merupakan
hak terkuat yang memberikan sejumlah wewenang menguasai yang
maksimal untuk menikmati dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas
benda.31
2.5. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) Pasal 26 dan
27
Pasal 26
(1 ):”Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain”.
(2):”Seorang pun tidak boleh dirampas hak miliknya dengan semena-mena”
(3):”hak milik itu adalah suatu fungsi sosial”.
Pasal 27
(1):”Pencabutan hak milik untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak diperbolehkan, kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan undang-undang”.
(2):”Apabila suatu benda harus dibinasakan untuk kepentingan umum, ataupun baik untuk selama-lamanya maupun untuk beberapa lama harus dirusakkan samapai tak terpakai lagi, oleh kekuasaan umum, maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian dan menurut aturan undang-undang kecuali jika ditentukan yang sebaliknya oleh aturan-aturan itu”.
31
xliii
A.3. Hak Milik Atas Tanah
Di dalam Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa,
”hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”.
Berdasarkan ketentuan ini, hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
3.1. Batasan Hak Milik
Undang-Undang Pokok Agraria, mengatur secara tegas ketentuan
mengenai batas-batas dari hak milik, yaitu:32
i. Hak atas tanah tidak boleh semata-mata dipergunakan untuk
kepentingan pribadi, akan tetapi harus seimbang dengan kepentingan
umum;
ii. Tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain;
iii. Harus dipelihara baik-baik;
iv. Pemerintah mengawasi penyerahan hak atas tanah;
v. Pemerintah mengawasi hak monopoli atas tanah.
Undang-Undang Pokok Agraria memberi batasan, bahwa hak milik
tersebut bukan merupakan lambang kekuasaan yang tidak terbatas, akan
tetapi dibatasi oleh kepentingan umum yang diungkapkan oleh Hukum
Publik.33
32
Ibid., hlm. 52
Hukum publlik memberikan arahan kepada kita perintah dan
larangan terhadap pemilik mengenai apa yang boleh dilakukan dengan hak
miliknya. Apabila pemilik melakukan perbuatan melawan hukum atau atau
33
xliv
menimbulkan gangguan kepada pihak lain, maka ia dapat digugat untuk
memberikan ganti rugi, demikian juga jika ia menyalah gunakan
jabatannya.34
3.2. Subjek Hak Milik
Subjek dari hak milik adalah:
a. Warga Negara Indonesia
b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku
di Indonesia
3.3. Asas-Asas Hak Kemilikan
a. Asas hak terkuat atau terpenuh; b. Asas fungsi sosial; c. Asas
kemanfaatan; d. Asas sistem tertutup; e. Asas mengikuti
benda; f. Asas kepastian hukum; g. Asas publisitas; h. Asas
spesialitas; i. Asas totalitas; j. Asas perlekatan; k. Asas dapat
diserahkan; l. Asas perlindungan.
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Pengertian
Perjanjian ini terdapat di dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Dari pengertian
ini, dapat diartikan bahwa, perjanjian atau perikatan adalah
34
xlv
“hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih yang
terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi prestasi”.35
Suatu perjanjian dapat berbentuk lisan maupun tulisan, pada
umumnya perjanjian yang berbentuk tulisan dapat dipakai sebagai alat bukti
yang sah bila terjadi perselisihan.36 Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka (open system), yaitu para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian
dengan siapapun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya, dan
bentuk perjanjian nantinya, yaitu berbentuk lisan ataupun tertulis.37
Setiap perjanjian harus memenuhi syarat sah agar perjanjian tersebut
dapat dilaksanakan dan tidak menyalahi ketentuan hukum yang berlaku.
Syarat sahnya perjanjian ini diatur pada pasal 1320 KUH Perdata, dimana di Dalam
perkembangannya, selain perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata ada
juga perjanjian yang diatur diluar KUH Perdata, inilah yang disebut sebagai
Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst), berbeda dengan
Perjanjian Bernama (Benoemd) yang telah diatur di dalam KUH Perdata.
Contoh dari perjanjian yang bernama adalah: jual beli, sewa menyewa, tukar
menukar dan lain-lain, sedangkan contoh perjanjian yang tidak bernama
adalah: kontrak karya, Buid Operate and Transfer (BOT), kontrak Production
Sharing, dan juga Perjanjian Tukar guling (Ruilslag) yang akan dijelaskan
selanjutnya.
35
Mariam Darus Badrulzaman, et al, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet III, PT. Citra aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.1
36
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, PT. Alumni, Bandung, 1994, halm.18 37
xlvi
dalam pasal ini diatur bahwa untuk suatu perjanjian agar dapat dianggap
sah maka harus memenuhi empat syarat,yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai para pihak atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif
karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum
yang dilakukan itu. Tidak terpenuhnya syarat-syarat subyektif, maka
perjanjian dinyatakan batal demi hukum. Apabila suatu perjanjian tidak
memenuhi syarat-syarat objektif, maka perjanjian dinyatakan dapat
dibatalkan.
Sepakat atau konsensus, merupakan syarat pertama bagi para pihak
sebelum mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian, dalam hal ini para
pihak dapat menentukan keinginannya masing-masing dan dapat mencapai
kata sepakat mengenai kewajiban-kewajiban para pihak, sehingga tidak
terdapat paksaan, penipuan ataupun kekhilafan yang dilakukan oleh para
pihak dalam perjanjian (Pasal 1321).
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah, adanya kecakapan para
pihak, dalam hal ini para pihak yang dianggap cakap menurut hukum adalah
mereka yang telah dinyatkan dewasa menurut undang-undang dan sehat
xlvii
Syarat ketiga, “suatu hal tertentu” berbicara mengenai apa yang
menjadi objek dari perjanjian tersebut. Barang yang menjadi objek dari
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan yang hidup dalam masyarakat.
Syarat terakhir mewajibkan bagi para pihak untuk melaksanakan isi
perjanjian dengan itikad baik, dimana para pihak melaksanakan perjanjian
dengan kepatutan dan keadilan, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa
dirugikan.
2. Subjek Perjanjian dan Objek Perjanian
Pihak-pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian disebut
sebagai subjek perjanjian. Didasarkan Pasal 1340 KUH Perdata, perjanjian
hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Menurut
undang-undang, subjek perjanjian terdiri dari dua, yaitu:
a. Individu yang telah memenuhi syarat-syarat menurut
undang-undang;
b. Badan hukum yang sah.
Objek perjanjian adalah hal-hal yang dijanjikan oleh para pihak,
dalam hal ini para pihak wajib melaksanakan dan memenuhi apa yang telah
diperjanjikan sebelumnya, apabila tidak dilaksanakan maka pihak yang tidak
memenuhi klausa tersebut dapat dimintakan membayar ganti rugi kepada
xlviii
3. Berakhirnya Perjanjian
Didasarkan Pasal 1381 KUH Perdata, cara hapus dan berakhirnya
suatu perjanjian, yaitu :
a. Karena pembayaran;
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti
denganpenyimpanan atau penitipan;
c. Karena pembaharuan utang;
d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
e. Karena percampuran utang;
f. Karena pembebasan utangnya;
g. Karena musnahnya barang yang terutang;
h. Karena kebatalan dan pembatalan;
i. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke
satu buku ini;
j. Karena lewat waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab
tersendiri.
Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, suatu perjanjian
dapat dinyatakan hapus atau berakhir disebabkan oleh:
a. Persetujuan para pihak, dimana para pihak telah menetapkan
jangka waktu kontrak tersebut berlangsung;
b. Telah ditentukan oleh Undang-Undang, bahwa perjanjian tertentu
hanya dapat berlaku sampa jangka waktu tertentu saja;
c. Karena suatu peristiwa tertentu yang telah ditentukan oleh para
xlix
d. Pernyataan menghentikan perjanjian yang dapat dilakukan salah
satu pihak ataupun kedua belah pihak;
e. Karena putusan hakim;
f. Karena telah terpenuhinya tujuan perjanjian tersebut.
C. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Tukar Guling (Ruilslag)
Didasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, dikatakan bahwa hak
atas tanah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Yang dimaksud dengan beralih adalah suatu peralihan hak yang
dikarenakan seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal dunia
maka haknya itu dengan sendirinya menjadi milik dari ahli warisnya tersebut,
dengan kata lain bahwa telah terjadi peralihan hak secara alamiah (tanpa
perbuatan hukum). Sedangkan sebaliknya, yaitu dialihkan. Pengertian
dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja
supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi
hak pihak lain dengan kata lain bahwa peralihan hak tersebut terjadi dengan
dilakukannya suatu perbuatan hukum.38
Pemindahan hak atas tanah berbeda dengan beralihnya hak atas
tanah. Pemindahan hak atas tanah terjadi karena hukum, jadi walaupun
belum terjadi pewarisan sekalipun, pemindahan hak atas tanah dapat terus
berlangsung apabila si pemegang hak atas tanah telah meninggal dunia.
Lain halnya dengan beralihnya hak atas tanah, dalam hal ini harus terlebih
38
l
dahulu terjadi pemindahan hak atas tanah melalui suatu perjanjian ataupun
melalui pejabat yang berwenang (Pejabat Pembuat Akta Tanah).
Bentuk pemindahan hak dapat dilakukan dengan cara:39 a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Pembelian menurut adat;
e. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
f. Hibah atau Wasiat;
Dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
yang bertugas membuat aktanya.
Tukar menukar atau ruilslag barang atau kekayaan milik negara telah
diatur di dalam Kepmenkeu No. 350/KMK/03/1994 tanggal 13 Juli 1994.
Tujuan utama dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan ini agar
departemen/lembaga dapat memanfaatkan aset lebih tepat guna dan
berhasil guna, penyediaan prasarana dan sarana yang tidak mengganggu
anggaran negara, membantu rencana umum tata ruang sesuai dengan
target yang telah ditetapkan.40
Didasarkan Pasal 2 Kepmenkeu No. 350/KMK/03/1994, yang
dimaksud dengan Tukar menukar (ruilslag) Barang Milik atau Kekayaan
Negara adalah pengalihan pemilikan dan atau penguasaan barang tidak
39
Boedi Harsono, op. cit., hlm. 333 40
li
bergerak milik Negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian
utama dalam bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan Negara.
Para pihak dalam perjanjian ruilslag diantaranya adalah, Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau pun Daerah, Koperasi dan Swasta.
Jadi, apabila salah satu pihak (Negara) yang disebutkan di atas mempunyai
kendala dalam pemenuhan sarana dan prasarana, maka departemen atau
lembaga Negara yang membutuhkan dapat mengajukan rencana
pemenuhan rencana ruilslag tersebut.
D. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
1. Tindak Pidana Secara Umum
Untuk menjabarkan lebih jelas mengenai hukum pidana, terdapat
tiga rumusan yaitu rumusan pertama dimana terdapat dua aspek
hukum pidana yaitu mengenai Aturan umum hukum pidana dan
Aspek larangan berbuat disertai ancaman pidana. Rumusan kedua
yaitu mengenai kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
Rumusan ketiga dalam rangka mencapai tujuan hukum pidana yaitu
ketertiban umum apabila tidak dilaksanakan. Hukum pidana yang
berfungsi sebagai dasar-dasar untuk melaksanakan hukum pidana
materil adalah hukum pidana dalam arti ketiga41
41
Chazawi Adami. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, PT.RajaGrafindo. Jakarta.2001.hlm 3-8
. Secara mudah,
maka dapat dikategorikan bahwa rumusan pertama dan rumusan
kedua hukum pidana merupakan hukum pidana materil, dan rumusan
lii
Dalam rumusan pertama hukum pidana, mengenai Aspek
larangan berbuat yang disertai ancaman pidana, hal ini lebih dikenal
dengan sebutan tindak pidana/delik dalam hukum pidana.
Secara mudah, tindak pidana dapat diartikan sebagai perilaku
yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap
tidak dapat ditolerir, dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan
sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana42
Tindak pidana (straafbaar feit) yang secara literlijk terdiri dari tiga
kata, yaitu Straaf, diterjemahkan pada pidana/hukuman, baar
diterjemahkan dengan kata boleh dan dapat sedangkan feit diartikan
ke dalam empat istilah, yaitu tindak, peristiwa, pelanggaran dan
perbuatan.
.
Beberapa ahli, berusaha untuk mendefiniskan tindak pidana
dalam beberapa rumusan, diantaranya:
Menurut Moeljatno, Perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tertentu.
Pompe, merumuskan Straafbaar feit, itu sebenarnya adalah
tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu
rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan
yang dapat dihukum.
42