• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Milik Dalam Konteks Negara Hukum Yang Berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PENGALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA

A. Hak Milik Dalam Konteks Negara Hukum Yang Berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa

Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Negara, yaitu pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan pada Pasal 1 UUD 1945. Ditegaskan dalam Penjelasan tentang UUD 1945, di dalam Pokok-Pokok Pikiran dalam “Pembukaan” poin keempat, mengatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Selanjutnya di dalam Pasal 33 UUD 1945, ditegaskan bahwa :

(3) Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Segala sumber kekayaan Negara bukanlah milik Negara, melainkan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, kedudukan Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat, memiliki kekuasaan tertinggi dan bertanggungjawab untuk mengelola segala sumber kekayaan Negara tersebut demi kepentingan masyarakat dari generasi ke generasi.

Sehubungan dengan itu, di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya akan disebut UUPA) antara lain ditegaskan bahwa seluruh

xxxv

bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 di atas adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat 3).

Dari ketentuan tersebut di atas dapat diartikan bahwa pengakuan terhadap hak menguasai Negara di Indonesia dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat untuk mengelolah kekayaan nasional demi kepentingan masyarakat dari generasi ke generasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Sehubungan dengan itu, selanjutnya di dalam Pasal 2 ayat (2), poin (a), (b), dan (c) Undang-Undang Pokok Agraria diuraikan tentang tanggungjawab Negara terhadap kekayaan nasional yang berkaitan dengan tanah.

Di dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan mengenai hal penguasaan Negara atas tanah ini. Hak menguasai atas tanah oleh Negara adalah istilah yang diberikan oleh Undang-Undang Pokok Agraria kepada lembaga Negara sebagai organisasi pekerja Negara dan hubungan hukum konkret antara Negara dan tanah di Indonesia, yang lebih rinci isi dan tujuannya

xxxvi

terdapat pada Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Pokok Agraria, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2

(1) : “mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

(2) : “menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

(3) : “menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Kewenangan yang dimiliki negara atas tanah tersebut merupakan suatu bentuk pelimpahan tugas bangsa, baik sebagai pemegang kekuasaan dan sebagai organisasi pekerja Negara.

Dalam hubungan dengan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat, Negara bertindak dalam kedudukannya sebagai kuasa dan petugas bangsa Indonesia.21 Dalam melaksanakan tugas tersebut, pemerintah merupakan organisasi kekuasaan rakyat tertinggi, yang terlibat sebagai petugas bangsa tersebut bukan hanya penguasa legislatif dan eksekutif saja, tetapi juga penguasa yudikatif.22

21

Boedi Harsono, op.cit., hlm.229 22

xxxvii

Didasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria, dijelaskan lebih lanjut mengenai hak menguasai Negara, yaitu :

Pasal 4

(1) : “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum.”

(2) : “hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini

memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”

Hak-hak atas tanah yang bersifat individual dan pribadi dalam konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama.

Hak-hak atas tanah yang bersumber pada hak bangsa adalah apa yang disebut hak-hak primer, yaitu hak milik, hak guna usaha, dan hak pakai yang diberikan oleh Negara sebagai organisasi pekerja Negara. Hak-hak

xxxviii

yang bersumber tidak langsung dari hak bangsa, adalah yang disebut hak-hak sekunder, yaitu: hak-hak-hak-hak yang diberikan oleh pemegang hak-hak primer, seperti hak sewa, bagi hasil, gadai, dan lainnya.23

Dalam konsep “Negara menguasai”, Negara yang memperoleh kewenangan dari seluruh rakyat Indonesia, diberi kedudukan sebagai badan penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang untuk mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka segala tindakan Negara berkaitan dengan pembuatan kebijaksaan dan pengawasaan atas terlaksananya segala peraturan dan kebijakan itu harus dipertanggungjawabkan kembali terhadap masyarakat.

Hubungan hukum yang termaktub dalam UUD 1945 dirumuskan dengan menggunakan istilah “dikuasai” itu, ditegaskan sifatnya sebagai hubungan hukum publik oleh Pasal 2 UUPA, dimana dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA diberikan rincian kewenangan Negara dalam menguasai kekayaan Negara tersebut. Rincian kewenangan yang dimaksud berisikan mengenai: mengatur, menentukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 UUPA tersebut. Undang-Undang Pokok Agraria memeberikan interpretasi resmi mengenai “hak menguasai Negara”, yaitu hanya sebatas hubungan hukum yang bersifat publik semata-mata. Didasarkan dengan hal tersebut, tidak ada lagi tafsiran lain mengenai pengertian dikuasai dalam UUD 1945 tersebut.

23

xxxix

Sebagai bukti atas hak penguasaan oleh Negara, dan bukan pemilikkan Negara atas tanah, maka haruslah setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pemerintah melanggar ketentuan ini, akan membuat masyarakat mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi pergeseran makna, yaitu yang awalnya sebagai pengelola menjadi pemilik. Sebagai contoh adalah perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, dimana proses tukar guling tersebut tidak dijalankan dengan prosedur yang ada.

A 2. Hak Milik Dalam Sistem Hukum di Indonesia

Yang dimaksud dengan hak “kemilikan” adalah hak milik dalam arti umum (luas), tidak terbatas hanya pada hak milik atas tanah, bangunan, mobil, sepeda, dan sebagainya, akan tetapi seluruhnya sepanjang hak kemilikan ini mempunyai objek yang diperbolehkan hukum, yaitu benda (berwujud dan tidak berwujud)24

2.1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)

. Hak “kemilikan” diakui dan mempunyai landasan hukum yang kuat di Indonesia, diantaranya diatur pada:

Istilah Hak “kemilikan” tidak dikenal pada sistem hukum yang terdapat di negara Indonesia. Istilah yang lebih dikenal dan diakui hanyalah hak “milik”. Undang-Undang Dasar 1945 tidak mempunyai ketentuan yang mengatur mengenai hak milik. Namun hak milik ini diakui di dalam UUD

24

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 43

xl

1945 yang dapat disimpulkan dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (Tap MPR No. IV/1970) dan konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).25

2.2. Di Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara

Pengakuan atas hak milik secara tegas dituangkan dalam “Ciri-ciri Demokrasi Ekonomi (Arah Pembangunan Jangka Panjang)”, yaitu:

“Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum”.26 Selanjutnya dasar hukum dari lembaga hak milik dapat ditemukan di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, walapun tidak secara nyata lembaga hak milik ini disebutkan, akan tetapi pengakuan tersebut nyata, yang dapat dijabarkan dari Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Konsideran Undang-Undang Pokok Agraria juga menguatkan hal ini, sebab dasar pembentukan UUPA sendiri dilandasi oleh Pasal 33 UUD 1945.

2.3. Undang-Undang Pokok Agraria 196027

Di dalam Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa, ”hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. 25 Ibid., hlm. 43 26 Ibid., hlm. 44 27 Ibid., hlm. 44

xli

Di dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa, “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

Didasarkan Pasal 20 UUPA tersebut di atas, dijelaskan bahwa hak milik mempunyai ciri yang berbeda dari hak-hak lainnya. Meskipun dikatakan bahwa hak milik merupakan hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah, bukan berarti hak tersebut bersifat mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Pengertian terkuat dan terpenuh itu, bermaksud “untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak milik yang “ter” (paling) kuat dan terpenuh.28

2.4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 570 KUH Perdata Pasal 570 :

“Hak kemilikan (hak milik pada umumnya) adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan sepenuhnya, asal tidak sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”29

Didasarkan pada pasal 570 ini, dapat kita ambil enam ciri dari hak kepemilikan tersebut, yaitu :30

i. Berhak menikmati kegunaan pada sesuatu benda dengan bebas; 28 Ibid., hlm. 45 29 Ibid., hlm. 46 30 Ibid., hlm 46

xlii

ii. Merupakan hak menguasai terkuat;

iii. Tidak melanggar undang-undang atau peraturan umum;

iv. Jika perlu dapat dicabut untuk kepentingan umum dengan memberikan ganti rugi;

v. Tidak menyalahgunakan hak dalam pelaksanaannya.

Para ahli hukum Perdata seperti Suyling, Pitlo, Asser, pada umumnya sepakat untuk mengatakan bahwa hak kepemilikan merupakan hak terkuat yang memberikan sejumlah wewenang menguasai yang maksimal untuk menikmati dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas benda.31

2.5. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) Pasal 26 dan 27

Pasal 26

(1 ):”Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain”.

(2):”Seorang pun tidak boleh dirampas hak miliknya dengan semena-mena”

(3):”hak milik itu adalah suatu fungsi sosial”. Pasal 27

(1):”Pencabutan hak milik untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak diperbolehkan, kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan undang-undang”.

(2):”Apabila suatu benda harus dibinasakan untuk kepentingan umum, ataupun baik untuk selama-lamanya maupun untuk beberapa lama harus dirusakkan samapai tak terpakai lagi, oleh kekuasaan umum, maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian dan menurut aturan undang-undang kecuali jika ditentukan yang sebaliknya oleh aturan-aturan itu”.

31

xliii

A.3. Hak Milik Atas Tanah

Di dalam Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa, ”hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Berdasarkan ketentuan ini, hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

3.1. Batasan Hak Milik

Undang-Undang Pokok Agraria, mengatur secara tegas ketentuan mengenai batas-batas dari hak milik, yaitu:32

i. Hak atas tanah tidak boleh semata-mata dipergunakan untuk kepentingan pribadi, akan tetapi harus seimbang dengan kepentingan umum;

ii. Tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain; iii. Harus dipelihara baik-baik;

iv. Pemerintah mengawasi penyerahan hak atas tanah; v. Pemerintah mengawasi hak monopoli atas tanah.

Undang-Undang Pokok Agraria memberi batasan, bahwa hak milik tersebut bukan merupakan lambang kekuasaan yang tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh kepentingan umum yang diungkapkan oleh Hukum Publik.33

32

Ibid., hlm. 52

Hukum publlik memberikan arahan kepada kita perintah dan larangan terhadap pemilik mengenai apa yang boleh dilakukan dengan hak miliknya. Apabila pemilik melakukan perbuatan melawan hukum atau atau

33

xliv

menimbulkan gangguan kepada pihak lain, maka ia dapat digugat untuk memberikan ganti rugi, demikian juga jika ia menyalah gunakan jabatannya.34

3.2. Subjek Hak Milik

Subjek dari hak milik adalah:

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia

3.3. Asas-Asas Hak Kemilikan

a. Asas hak terkuat atau terpenuh; b. Asas fungsi sosial; c. Asas kemanfaatan; d. Asas sistem tertutup; e. Asas mengikuti benda; f. Asas kepastian hukum; g. Asas publisitas; h. Asas spesialitas; i. Asas totalitas; j. Asas perlekatan; k. Asas dapat diserahkan; l. Asas perlindungan.

B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian