BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Pengalihan Hak Milik Atas Kekayaan Negara oleh BUMN Kepada BUMS Pada Kasus BULOG dan PT. Goro Batara Sakti
Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, mengakui bahwa segala sumber kekayaan Negara bukanlah sebagai milik pribadi Negara, melainkan sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang patut dijaga dan dilestarikan. Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat memiliki kekuasaan tertinggi dan bertanggungjawab untuk menguasai dan mengelolah segala sumber kekayaan Negara tersebut demi kepentingan masyarakat dari generasi ke generasi.
Dalam konsep “Negara menguasai”, Negara sebagai organisasi pada tingkatan tertinggi berwenang untuk mengatur mengenai pemanfaatan atas tanah serta memnentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenan dengan tanah, dan hal ini harus dipertanggungjawabkan kembali terhadap masyarakat.
Hak milik atas kekayaan Negara yang dikelola dan dikuasai oleh BUMN, (yang dalam hal ini penulis mengambil objek penelitian
lxxxii
berupa tanah), dapat dialihkan atau dikuasai oleh Badan Umum Swasta. Dalam konsep Negara hukum yang diterapkan pada Bangssa Indonesia, Negara diberi kewenangan untuk mengatur dan memonopoli terhadap seluruh kekayaan Negara dan menggunakannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dibentuk untuk memaksimalkan pemberdayaan kekayaan Negara tersebut. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak BUMN yang tidak dapat memaksimalkan kekayaan Negara yang berupa tanah tersebut, dikarenakan minimnya sumber daya modal yang dimiliki oleh BUMN yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dalam hal ini BUMN yang tidak dapat memaksimalkan pemberdayaan atas tanah yang diberikan kepadanya dapat mengalihkan kepada seseorang, ataupun Badan Usaha Milik Negara, sepanjang dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat.
Ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa Negara dapat memberikan macam-macam hak atas tanah kepada seseorang maupun bersama-sama dengan orang lain serta kepada badan hukum, asalkan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut dalam batas-batas menurut UUPA dan juga peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (ayat 2).
lxxxiii
Dalam Pasal 570 KUHPerdata ditegaskan bahwa hak milik merupakan hak yang dapat menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan dapat berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum yang telah ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan. Ditegaskan dalam Pasal 584 KUHPerdata, bahwa salah satu cara peralihan atas hak milik adalah dengan cara penunjukan atau penyerahan. Dalam hal ini, bahwa pengelolahan kekayaan Negara oleh BUMN dapat saja dialihkan kepada BUMS melalui perjanjian.
Di dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 350/KMK/03/1994 diatur mengenai pengalihan atau tata cara menukar atas kekayaan Negara. Ditegaskan dalam Pasal 2, yang dimaksud dengan tukar menukar barang milik atau kekayaan Negara adalah pengalihan pemilikan dan atau penguasaan barang tidak bergerak milik Negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan keuangan Negara. Proses pengalihan ini didasarkan atas ketidakmampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak dapat memenuhi kebutuhan Departemen atau Lembaga Negara yang berupa gedung atau kantor dan perumahan beserta fasilitasnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, bahwa hak milik atas kekayaan Negara yang dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara dapat dialihkan kepada Badan Usaha Milik
lxxxiv
Swasta, sepanjang pengalihan tersebut dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan juga tidak membawa kerugian terhadap Negara. Akan tetapi, dalam kasus Perjanjian Tukar Guling yang dilakukan oleh Bulog dan PT. Goro Batara Sakti, pengalihan hak milik atas kekayaan Negara tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia. Pada perjanjian tukar guling tersebut, PT. Goro Batara Sakti hendak mendirikan pusat perkulakan Goro, dimana hal ini tidak memenuhi “demi hajat hidup orang banyak”, hanya mencari keuntungan pribadi dari dibangunnya pusat perkulakan Goro tersebut. Selanjutnya, dalam proses perjanjian tukar guling tersebut terdapat kerugian yang di alami oleh Negara (dalam hal ini diwakili oleh Bulog) sebesar Rp. 95.407.486.000 (Sembilan puluh lima milyar empat ratus tujuh juta empat ratus delapan puluh enam ribu rupiah).
Akibat Hukum Dibatalkannya Perjanjian Tukar Guling Antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti
Ada empat syarat suatu perjanjian dikatakan sah, empat syarat tersebut adalah:
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu;
lxxxv
suatu sebab yang halal.
Tidak terpenuhinya poin (a) dan (b) yang merupakan syarat subjektif, maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya poin (c) dan (d) yang merupakan syarat objektif, maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.58
Dalam perjanjian ruilslag yang dilakukan oleh Bulog dan PT. Goro Batara Sakti menunjukan bahwa Bulog sebagai salah satu pihak telah melakukan prestasinya, yaitu berupa penyerahan lahan dan gudang Bulog yang selanjutnya dibongkar dan dijadikan tempat perkulakan Goro. Sedangkan PT. Goro Batara Sakti tidak dapat memenuhi prestasinya terhadap Bulog, dimana seharusnya PT. Goro Batara Sakti menyerahkan lahan pengganti kepada Bulog sebagai kompensasi atas lahan yang diberikan oleh Bulog. Lebih lanjut, PT. Goro Batara Sakti melakukan penipuan kepada Bulog dengan meminjam deposito milik Bulog sebesar Rp. 23.000.000.000,00 (dua puluh tiga milyar rupiah), dan tidak mempunyai itikad baik untuk mengembalikan pinjaman kredit oleh Bank Bukopin untuk mengembalikan deposito Bulog yang dijadikan jaminan tersebut.
Akibat dibatalkannya perjanjian tukar guling antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti adalah bahwa perjanjian tukar guling tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dikarenakan perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif. Secara teori hukum, dari
58
lxxxvi
awal perjanjian tukar guling yang dilakukan antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak.
Akibat hukum dari pembatalan perjanjian adalah ganti rugi. Bulog dan PT. Goro Batara Sakti wajib mengganti rugi kepada Negara, karena dalam kasus ini Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mewakili Negara dalam perjanjian tukar guling tersebut. Dikarenakan perjanjian tukar guling tersebut Negara telah mengalami kerugian terhadap keuangan Negara, maka para pihak (Bulog dan PT. Goro Batara Sakti) wajib mengganti rugi kepada Negara. Karena di dalam Pasal 1365 KUHPerdata ditegaskan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salah satunya menerbitkan kerugian tersebut, mengganti kerugian tersebut.
Tanggung Jawab Pidana Pihak Bulog Terhadap Kerugian Keuangan Negara Yang Timbul Dari Perjanjian Tukar Guling Antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti
Saat ini Indonesia berada dalam suatu era pembangunan yang mencakup seluruh bidang kehidupan, namun kemajuan yang signifikan belum dapat dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena berbagai bentuk penyimpangan yang merajalela di negara kita yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, salah
lxxxvii
satu bentuk penyimpangan yang saat ini sudah mengakar adalah tindak pidana korupsi. Korupsi telah membawa kerugian yang amat besar bagi negara, oleh karena itu muncul keinginan dari masyarakat untuk memberantas tindak pidana korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat. Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi ini harus semakin ditingkatkan dan diintensifikasikan untuk menjaga kepentingan masyarakat.
Para pelaku tindak pidana korupsi semakin lama semakin lihai dalam menghindari jerat hukum, sehingga pengertian mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri dijelaskan dengan cakupan yang lebih luas, tidak hanya memenuhi unsur melawan hukum secara formal tetapi juga menyangkup perbuatan melawan hukum secara materiel. Dengan adanya pengaturan ini, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semangkin cangih dan rumit. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Yang dimaksud dengan ajaran sifat melawan hukum formil, yaitu suatu ajaran yang mengatakan bahwa suatu Tindak Pidana telah terjadi apabila telah terpenuhinya unsur-unsur seperti termuat dalam lukisan delik dan atau disertai akibat-akibatnya, dengan kata lain pengertian melawan hukum adalah sama dengan bertentangan
lxxxviii
dengan Undang-Undang59, sedangkan ajaran sifat melawan hukum materil mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memuat semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik. Perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini memang mengakui alasan-alasan pembenar di luar Undang-Undang60
Dalam pengalihan hak atas kekayaan negara melalui perjanjian tukar guling antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti kejahatan/ Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dapat dinyatakan apabila memuat unsur-unsur yaitu:
.
Unsur Subjektif Dalam Perjanjian Tukar Guling
Dalam Undang-Undang Tentang Pemberantasan Korupsi, menyatakan bahwa subjek daripada Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Tentang
Pemberantasan Korupsi adalah:
- Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
59
Komariah E.Saparadjaja, Loc cit. hlm 18
60
lxxxix
- Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999).
Pengertian korporasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi sendiri merupakan kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam perjanjian tukar guling tersebut subjek perjanjiannya adalah Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara dan PT. Goro Batara Sakti sebagai perusahaan terbatas.
Didasarkan pada Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2003 Tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog, maka yang berhak mewakili Bulog adalah Direksi. Untuk itu, syarat objektif sahnya suatu perjanjian telah dipenuhi. Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 350/KMK.03/1994 unsur pada Pasal 3 dan Pasal 4 mengenai perwakilan Badan Usaha Milik Negara dalam melakukan pengalihan atas kekayaan Negara telah terpenuhi.
Unsur Merugikan Keuangan Negara Dalam Perjanjian Tukar Guling antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti.
xc
Dalam Undang-Undang Tentang Pemberantasan Korupsi, dijelaskan bahwa Keuangan Negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
Berada dalam penguasaan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian, yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejateraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Tanah sebagai objek daripada perjanjian tukar guling dalam hal perumusan keuangan negara diatas dapat dikategorikan ke dalam seluruh kekayaan negara dalam
xci
bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam Perjanjian Tukar Guling yang dilakukan oleh Bulog dan PT.Goro Batara Sakti, tanah yang diberikan oleh PT. Goro Batara Sakti kepada Bulog seharusnya telah menjadi bagian dari kekayaan negara, dengan ditukarnya tanah milik Bulog yang telah dipergunakan oleh PT. Goro Batara Sakti. Namun pada kenyataannya, negara mengalami kerugian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh pihak PT. Goro Batara Sakti. Hal ini meyebabkan hilangnya sebagian dari aset negara dalam bentuk tanah.
Unsur Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perjanjian Tukar Guling antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti.
Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasai yang dapat
xcii
Dalam pasal ini yang dimaksud dengan secara melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka dapat dipidana.
Kata dapat dalam pasal ini menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Dalam pasal 3 yang menyatakan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang daat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...” yang dapat dijabarkan Unsur objektifnya berupa perbuatannya (menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan/atau sarana), yang ada padanya (karena jabatan, dan/atau kedudukan), yang dapat merugikan (keuangan negara dan/atau perekonomian negara).
Yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam
Undang-xciii
Undang.Kewenangan hanya dimiliki oleh subjek hukum orang pribadi dan tidak untuk badan atau korporasi61
Kesempatan adalah peluang atau tersedianya waktu yang cukup dan sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan tertentu. Orang yang karena memiliki jabatan atau kedudukannya, yang karena jabatan atau kedudukannya itu mempunyai peluang atau waktu yang sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu.
, sedangkan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan adalah didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan.
Sarana adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan.
Perjanjian Tukar Guling yang dilakukan oleh Bulog dan PT.Goro Batara Sakti, merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh negara (lembaga negara), dalam hal ini Bulog, untuk pemecahan kebutuhan departemen/lembaga khususnya berupa gedung/kantor karena untuk membangunnya belum atau tidak dapat dipenuhi dari APBN.
61
Adami Chazawi. Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia. Jatim. hlm 50
xciv
Tanah yang diberikan oleh PT.Goro Batara Sakti akan menjadi aset pengganti dari tanah yang dibebaskan oleh Bulog. Akan tetapi, dalam kenyataannya hal ini tidak berjalan dengan baik. Timbul penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.
Kegiatan perjanjian tukar guling antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti pada dasarnya merupakan penyalahgunaan kesempatan untuk melancarkan perbuatan pengalihan atas kekayaan Negara berupa tanah yang pada mulanya tanah tersebut seharusnya dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat, akan tetapi dijadikan pusat perkulakan Goro, dimana dalam hal ini hanya dari Pihak Goro aja yang mengalami keuntungan. Selain itu juga, dikarenakan salah satu pihak dalam perjanjian tukar guling tersebut (Hutomo Mandala Putra) merupakan anak kandung dari Presiden RI pada waktu itu, menyebabkan Beddu Amang yang mewakili Bulog tidak dapat menolaknya, karena pada saat yang bersamaan dengan keluarnya Surat No. B-230/M.Segneg/10/1995 kepada Menteri Keuangan yang menyatakan perihal rencana tukar guling tersebut dapat dilaksanakan lebih lanjut, sehingga hal merupakan penyalahgunaan kesempatan.
Perbuatan tersebut didasarkan atas kegiatan-kegiatan yang berdasarkan dalam rangkaian kegiatan yang tidak nyata (tidak
xcv
rill). Sehingga dapat dikategorikan ke dalam kegiatan penyalahgunaan kesempatan.
Dikarenakan perjanjian tukar guling antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum secara materil (karena dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi tidak disebutkan) namun, pada dasarnya perjanjian tukar guling tersebut telah memuat unsur-unsur dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yaitu dilakukan orang/korporasi dimana Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara dan PT. Goro Batara Sakti sebagai Badan Usaha Milik Swasta..
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tanah dalam objek perjanjian tukar guling tersebut dapat dikategorikan ke dalam keuangan Negara, karena keuangan Negara dapat dikategorikan berupa kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan yang timbul berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Unsur merugikan keuangan negara, dalam pasal 2 yang terdapat kata “dapat” dimana menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
xcvi
perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Sehingga dalam perjanjian ini unsur merugikan atas kekayaan Negara telah terpenuhi.
xcvii
BAB V PENUTUP
KESIMPULAN
Hak milik atas kekayaan Negara yang merupakan hak eksklusif Negara untuk menguasainya dan mempergunakannya untuk hajat hidup orang banyak, dalam hal ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara untuk pemberdayaannya supaya maksimal, dapat dialihkan kepada pihak swasta (BUMS), sepanjang pengalihannya tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam perjanjian tukar guling antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti telah terjadi penyimpangan di dalam pelaksanaannya, yaitu tidak terpenuhinya syarat objektif. Apabila ketentuan ini tidak terpenuhi, maka akibat hukum dibatalkannya perjanjian tukar guling ini adalah batal demi hukum. Untuk itu, semua keadaan harus dikembalikan seperti semula, sebelum perjanjian ini terjadi.
Dikarenakan telah terjadinya kerugian atas keuangan Negara dalam pelaksanaan perjanjian tukar guling ini, maka para pihak wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya. Para terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Bagi para pihak wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, selain itu juga para terdakwa wajib mengganti rugi atas
xcviii
kerugian Negara yang timbul atas terbitnya perjanjian tukar guling ini.
SARAN
Perjanjian tukar guling sebenarnya sah menurut peraturan hukum Indonesia. Untuk mencegah kerugian Negara yang timbul dikemudian hari, maka seharusnya mekanisme dari perjanjian tukar guling tersebut harus dilakukan secara tepat. Bagi BUMN yang hendak melakukan perjanjian ini hendaknya mengutamakan kepentingan masyarakat di dalamnya, sehingga cita-cita bangsa untuk mencapai masyarakat adil dan makmur dapat terlaksana.
xcix