• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Bagi WNA di Indonesia Melalui Perjanjian Nominee

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Upaya Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Bagi WNA di Indonesia Melalui Perjanjian Nominee"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Upaya Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Bagi WNA di Indonesia Melalui Perjanjian Nominee

1Ayura Monica Zandra dan 2Reni Anggriani

1,2Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia Email: ayura.monica.2016@law.umy.ac.id ; anggriani@umy.ac.id

Abstrak

Pembatasan penguasaan tanah bagi orang asing yang berkedudukan di Indonesia dibatasi oleh Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA berupa hak pakai dan hak sewa bangunan dengan jangka waktu tertentu mengakibatkan orang asing mencari celah untuk mendapatkan hak milik meskipun secara melawan hukum dengan membuat perjanjian nominee. Pada dasarnya kepemilikan tanah oleh WNA dengan status hak milik bertentangan dengan asas nasionalitas yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana akibat hukum perjanjian nominee sebagai kepemilikan hak atas tanah bagi WNA di Indonesia yang bertujuan untuk mengetahui akibat hukum terhadap pembuatan perjanjian nominee dalam upaya kepemilikan hak milik atas tanah bagi WNA di Indonesia. Metode penelitian ini bersifat yuridis normatif yang meletakkan hukum sebagai suatu bangungan pada sistem norma dengan pendekatan kasus dan pendekatan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya substansi perjanjian nominee yang dibuat untuk mengalihkan kepemilikan hak milik atas tanah kepada Warga Negara Asing secara tidak langsung bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA, sehingga syarat obyetif yaitu causa halal yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai syarat sahnya suatu perjanjian tidak terpenuhi yang mengakibatkan perjanjian nominee batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sehingga sangat beresiko bagi WNA karena tidak mendapat kepastian dan perlindungan hukum.

Kata Kunci: Perjanjian Nominee, Kepemilikan Tanah Bagi WNA, Penyelundupan Hukum Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah

PENDAHULUAN

38 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, 2005, hlm 19

39 F.X. Sumarja, 2015, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing, Yogyakarta, STPN Press, hlm 1

Tanah merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan manusia. Sebagai negara agraris, rakyat Indonesia dalam segala kegiatannya memerlukan tanah baik sebagai lahan tempat tinggal maupun usaha sehingga kebutuhan masyarakat akan tanah dari hari ke hari terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Menurut Maria S.W. Sumardjono, karena sifatnya yang langka dan terbatas, serta merupakan kebutuhan dasar setiap manusia inilah maka pada hakekatnya masalah tanah merupakan masalah yang sangat menyentuh keadilan.38 Hal tersebut menjadikan tanah sebagai kebutuhan vital manusia yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam mencapai kesejahteraan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan hukum manusia dengan tanah termuat secara konstitusional dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Pesatnya arus globalisasi, telah mengubah berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya termasuk hukum) masyarakat dunia.

Globalisasi disatu sisi ditandai dengan terbukanya investasi asing masuk dalam sebuah Negara termasuk Indonesia. Pada sisi lain berdampak negative terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah terhadap warga Negara Indonesia. 39 Menghadapi hal tersebut, pemerintah telah memberikan batasan penguasaan tanah bagi warga Negara asing berupa hak pakai dan hak sewa untuk bangunan yang telah diatur dalam Pasal 42 dan 45“Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).40”Ketentuan batasan waktu dari hak pakai dan hak sewa untuk bangunan, mengakibatkan orang asing mencari celah untuk mendapatkan hak

40 Annisa Fitria, “Kajian Yuridis Perjanjian Nominee dalam Kepemilikan Tanah oleh Warga Negara Asing di Kabupaten Badung Bali”, Lex Jurnalica, Volume 15 Nomor 2, (Agustus 2018), hlm 92

(2)

milik karena hak milik merupakan hak tertinggi yang dapat dipunyai seseorang atas tanah.

Secara yuridis berdasarkan Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 21 ayat (1) UUPA, Warga Negara Asing (WNA) yang mempunyai kepentingan di Indonesia dilarang menguasai tanah dengan hak milik. Pengaturan larangan tersebut sesuai dengan prinsip nasionalitas atau kebangsaan guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun dalam praktiknya banyak orang asing yang menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh hak milik meskipun harus melawan hukum dengan mengadakan perjanjian nominee.

Modus penyelundupan hukum lain yang sering dilakukan orang asing adalah melalui perkawinan campuran karena ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur mengenai harta bersama dianggap membuka celah bagi orang asing untuk mendapatkan tanah hak milik di Indonesia.

Keberadaan nominee di Indonesia bukan merupakan hal yang asing. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap bentuk kepemilikan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh orang asing di Indonesia seperti halnya pemilikan hak milik atas tanah dikuasai melalui penunjukkan nominee untuk dipinjam namanya oleh orang asing tersebut dalam membeli tanah. Nominee yang ditunjuk adalah seorang Warga Negara Indonesia yang dalam pandangan hukum Indonesia merupakan pihak yang diperbolehkan memiliki tanah di Indonesia dengan status hak milik.41 Selanjutnya, guna melindungi kepentingan orang asing tersebut dibuatkan satu paket perjanjian yang substansinya secara tidak langsung mengalihkan hak milik atas tanah kepada orang asing sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi aturan UUPA. Segala bentuk upaya yang secara langsung maupun tidak langsung mengalihkan hak milik kepada orang asing jelas dilarang oleh undang-undang. Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa:

“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan- perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara”.

41 Anita D.A Kolopaking, 2013, Penyelundupan Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia, Bandung, Alumni, hlm 143

Penyalahgunaan perbuatan tersebut tidak jarang banyak menimbulkan konflik yang berujung pada gugatan di pengadilan. Sebagai bahan analisis dalam penelitian ini adalah contoh kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 787/Pdt.G/2014//Pn.Dps di Bali yang terjadi antara KARPIKA WATI berkewarganegaraan Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai Penggugat melawan ALAIN MAURICE PONS berkewarganegaraan asing yang selanjutnya disebut Tergugat I dan EDDY NYOMAN WINARTA, SH yang selanjutnya disebut Tergugat II.

Kasus ini Penggugat dan Tergugat I adalah pasangan suami istri yang menikah pada tahun 2006. Berawal dari Penggugat dengan uang pinjaman dari Tergugat I membeli tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor:

1022/Desa Pererenan seluas 975m2 tercatat atas nama KARPIKA WATI berdasarkan Akta Jual Beli Nomor:

169 tanggal 12 Juni 2007 yang dibuat dihadapan Tergugat II selaku Notaris/PPAT. Tergugat I menjanjikan kepada Penggugat akan membangun villa diatas tanah tersebut dan akan disewakan yang kemudian hasil yang didapat dari pengelolaan villa tersebut akan dibagi bersama. Kemudian Tergugat I meminta kepada Penggugat untuk membuat akta-akta atas tanah tersebut dihadapan Tergugat II yang diantaranya adalah:

1.

Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang sewa menyewa, secara substansinya hal yang diperjanjikan tidak sesuai dengan kelaziman dalam perjanjian sewa-menyawa yang berlaku dalam hukum Indonesia.

2.

Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang dengan Memakai Jaminan yang menyatakan bahwa Penggugat telah berhutang kepada Tergugat I dan hanya dapat dikembalikan dan dibayar dengan hasil penjualan obyek jaminan dan benda diatasnya.

3.

Akta Notaris Nomor 108 tanggal 1 April 2018 tentang Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

4.

Akta Notaris Nomor 91 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pernyataan dan Kuasa yang menyatakan bahwa uang yang dipakai Penggugat dalam membeli tanah berasal dari Tergugat I dan Penggugat memberikan kuasa kepada Tergugat I untuk bertindak atas nama Penggugat dalam melakukan perbuatan hukum atas tanah tersebut.

(3)

Pada dasarnya kepemilikan tanah secara melawan hukum ini tidak akan menjadi masalah apabila para pihak tidak mempermasalahkan perjanjian nominee tersebut, namun perjanjian ini akan timbul masalah apabila hubungan para pihak tidak baik lagi seperti sebelumnya. Diketahui dalam kasus ini bahwa hubungan antara Penggugat dan Tergugat I sudah tidak baik sejak adanya pembatalan perkawinan. Penggugat mendalilkan mengalami kerugian materiil karena sampai saat ini masih harus menanggung biaya-biaya atas restribusi pajak selaku pemegang hak atas tanah, sedangkan disisi lain Tergugat I diketahui menguasai dan membawa sertifikat asli atas tanah tersebut dan telah menyewakan villa tersebut kepada pihak lain.

Pada prinsipnya UUPA secara tegas melarang kepemilikan hak milik atas tanah oleh orang asing sebagai cerminan dan implementasi dari asas nasionalitas yang termuat didalamnya. 42 Menurut Maria S.W. Sumardjono43 perwujudan perjanjian nominee tersebut terdapat pada perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia, yang mana Warga Negara Indonesia sebagai subyek pemilik hak atas tanah memberikan kewenangan kepada Warga Negara Asing untuk bertindak selayaknya pemilik yang secara yuridis tidak diperbolehkan. Penguasaan hak atas tanah secara tidak langsung dengan memposisikan warga Negara Indonesia sebagai perantara dalam substansinya sangat bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA sehingga dapat disebut sebagai penyelundupan hukum.

Berdasarkan uraian diatas untuk memahami dan mengkaji masalah penguasaan tanah hak milik oleh Warga Negara Asing melalui perjanjian nominee, maka penulis tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul: “Upaya Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Bagi WNA di Indonesia Melalui Perjanjian Nominee”

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas praktik nominee yang sering terjadi di dunia investasi telah bertentangan dengan aturan hukum Indonesia. Maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana akibat hukum terhadap upaya kepemilikan

42 Martin Roestamy, “Konsep Kepemilikan Rumah Bagi Warga Negara Asing Dalam rangka Percepatan Peningkatan Investasi di Indonesia”, Jurnal Hukum De’rechstaat, Vol.2, No.2, (September, 2016), hlm 131

43 Maria S.W. Sumardjono, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Jakarta, Kompas, hlm 18

hak milik atas tanah bagi WNA di indonesia melalui perjanjian nominee?

KAJIAN LITERATUR Perjanjian

Perjanjian mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua atau lebih pihak yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi.44 Pembuatan suatu perjanjian berarti pihak yang mengadakan perjanjian secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri.45 Setiap perjanjian pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dsn acceptance (penerimaan). Penawaran adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu prestasi pada masa yang akan datang sedangkan penerimaan adalah kesepakatan dari pihak penerima prestasi dan pihak penawar untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar.

Berdasarkan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata)

“Perjanjian adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Perjanjian Pinjam Nama (Nominee)

Istilah nominee yang didasari adanya trustee (kepercayaan) berasal dari sistem Anglo Saxon yang dikenal dengan sistem kepemilikan Dual Owenership (kepemilikan rangkap) pada kepemilikan benda terhadap pemilik sah (Legal Owner) dan pemilik yang menerima manfaat atau keuntungan (Beneficiary Owner). 46 Kepemilikan ganda tidak dikenal di Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental (civil law), hak milik (eigendom) dalam KUHPerdata berlaku kepemilikan tunggal sebagai hak kepemilikan atas seseorang, begitu pula berlaku terhadap hak milik atas tanah dalam UUPA.

Sebagai Negara yang menerapkan sistem hukum perdata atau civil law, munculnya konsep perjanjian pinjam nama (nominee) yang berasal dari sistem Common Law,

44 M. Yahya Harahap, 1996, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, hlm 6

45 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm 2

46 Anita D.A Kolopaking, Op.Cit, hlm 139-140

(4)

tidak terlepas karena adanya hubungan antar lintas negara yang menjadi sebab adanya interaksi antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat asing yang tunduk dengan sistem hukum lain yang berbeda dengan sistem hukum Indonesia.47

Konsep nominee dapat masuk dan diterapkan di Indonesia dikarenakan sistem terbuka (open system) yang dianut Buku III KUHPerdata yang mengatur mengenai perjanjian, artinya setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja baik yang sudah ditentukan namanya oleh undang- undang maupun perjanjian yang namanya belum dikenal dalam undang-undang. Adanya sistem terbuka dan implementasi dari asas kebebasan berkontrak menjadikan para pihak bebas dalam membuat perjanjian dengan siapapun yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi, syarat, pelaksanaan dan bentuk perjanjiannya atas kesepakatan bersama.48 Meskipun demikian sistem terbuka yang dianut oleh Buku III KUHPerdata dibatasi oleh ketentuan causa atau sebab yang halal yaitu suatu perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Pengertian Perjanjian Pinjam Nama (Nominee)

Perjanjian pinjam nama atau nominee dalam sistem hukum indonesia merupakan bagian dari perjanjian tidak bernama (innominaat) dan tidak diatur secara tegas dalam KUHPerdata.49 Meskipun tidak diatur secara khusus dan tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bukan berarti perjanjian pinjam nama tidak diperbolehkan.

Perjanjian pinjam nama diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan terpenuhinya semua syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUPerdata agar tidak menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari.50 Istilah Nominee sering juga disebut trustee, kedok, perwakilan atau pinjam nama. Pengertian nominee menurut Black’s Law Dictionary adalah:

“One designated to act for another as his representative in a rather limited sense. It is used sometimes to signify an agent or trustee. It has no connotation, however, other than that of acting for

47 Menurut Kartini Muljadi dalam Tesis Saras Larasati, 2018, “Perjanjian Nominee (Pinjam Nama) Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing Dalam Praktik Jual Beli Tanah Hak Milik Dihubungkan Dengan Buku III KUH Perdata” (Tesis Pascasarjana diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Pasundan), hlm 84

48 Salim HS, 2008, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia Buku I, Bandung, Sinar Grafika, hlm 1

49 Salim HS, Ibid

another, in representation of another, or as the grantee of another.”51

Berdasarkan definisi diatas, dalam konteks Indonesia, nominee adalah seseorang yang ditunjuk untuk bertindak bagi orang lain sebagai wakil dalam arti yang terbatas pada kuasa yang telah diperjanjikan. Ini dapat digunakan untuk menandakan orang ini adalah agen atau orang yang dipercaya. Sehingga perjanjian nominee didasari oleh adanya kepercayaan dari seorang pemberi kuasa dan seorang nominee sebagai penerima kuasa tersebut.

Menurut Maria SW Sumardjono52 “Perjanjian Nominee adalah perjanjian yang dibuat seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (hak milik), dalam hal ini yakni orang asing dengan WNI, dengan maksud agar orang asing tersebut dapat menguasai (memiliki) tanah hak milik secara de facto, namun secara legal-formal (dejure) tanah hak milik tersebut diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh orang asing untuk bertindak sebagai Nominee”

Unsur Perjanjian Nominee

Terdapat beberapa unsur-unsur perjanjian nominee yaitu:53

1.

Terdapat adanya perjanjian pemberi kuasa antara dua pihak, yaitu pemberi kuasa sebagai pemilik penerima manfaat atau keuntungan (Beneficiary Owner) dan penerima kuasa sebagai perwakilan (Nominee) yang didasarkan pada adanya kepercayaan dari pemberi kuasa kepada seorang nominee.

2.

Kuasa yang diberikan bersifat khusus dengan jenis tindakan hukum yang terbatas yaitu hanya sebatas apa yang telah diperjanjikan.

3.

Nominee bertindak seakan-akan (as if) sebagai perwakilan atau agen dari pemberi kuasa didepan hukum.

Unsur perjanjian nominee atau trustee yang didasarkan pada kepercayaan dapat juga dilihat dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut. Biasanya dalam perjanjian nominee melibatkan eksistensi tiga pihak yaitu:54

1. Adanya pihak pemberi perintah (Settlor/Trustor) 2. Pihak pengelola atau penerima kuasa dari seorang

settlor/trustor atas dasar saling percaya

50 Anita DA Kolopaking, Op.cit, hal. 47

51 Robert Sidauruk, et al, “Nominee Agreement:

Legality in Disguise”, Indonesian LawDigest, issue 403, (April, 2015)

52 Maria SW. Sumardjono, 2006, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hal. 17

53 Menurut Natalia Christine Purba dalam Tesis Saras Larasati, Op.cit, hlm 84

54 Anita D.A Kolopaking, Op.cit, hlm 235

(5)

3. Pihak penerima manfaat atau keuntungan (Beneficiary) Konsep kepemilikan hak milik atas tanah oleh Warga Negara Asing melalui perjanjian pinjam nama (nominee) dapat dilihat dalam tabel berikut:55

Kepemilikan hak milik atas tanah oleh WNA melalui perjanjian nominee

Trustor Trustee Beneficiary

WNA

Nominee sebagai Legal Owner:

WNI

WNA sebagai Benerficiary Owner

Berdasarkan konsep diatas, pelaksanaan nominee yang dilakukan oleh Warga Negara Asing sebagai bentuk penyelundupan hukum dalam kepemilikan hak milik atas tanah di Indonesia adalah dengan bersembunyi dibelakang Warga Negara Indonesia. Posisi Warga Negara Indonesia hanya sebagai Legal Owner (sebatas keperluan nama dalam sertifikat tanah) bukan sebagai Real Owner (pemilik senyatanya) karena Warga Negara Indonesia hanya dipinjam namanya untuk ditulis dalam sertifikat tanah, pemilik sebenarnya yang dapat melakukan hubungan hukum dengan tanah yaitu Warga Negara Asing sebagai Real Owner sekaligus sebagai Beneficiary Owner.

Perwujudan Perjanjian Nominee

Perolehan hak milik atas tanah sering ditempuh dengan berbagai cara yang tidak sah oleh orang asing dengan melakukan penyelendupan hukum. Penyelundupan hukum dalam hal ini dimaksudkan untuk menghindari larangan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam praktiknya, perwujudan perjanjian nominee dikemas dalam sepaket perjanjian-perjanjian induk yang mendasarinya untuk mengalihkan kepemilikan hak atas tanah secara tidak langsung sehingga terlihat seakan- akan tidak menyalahi peraturan dalam hukum.

Menurut Martin Roestamy, perjanjian yang dibuat secara notarial seolah-olah tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tidak dalam bentuk pemindahan hak smilik secara langsung dan terang- terangan. Secara garis besar perjanjian-perjanjian yang dimaksudkan untuk memindahkan tanah hak milik kepada WNA umumnya terdiri atas:56

1. Perjanjian Pemilikan Tanah (PPT) dan Pemberian Kuasa

Perjanjian ini pihak WNI mengakui bahwa tanah hak milik yang didaftar atas namanya bukanlah

55 Anita D.A Kolopaking, Ibid.

miliknya, tetapi milik WNA yang telah menyediakan dana untuk pembelian tanah hak milik beserta bangunan tersebut. Selanjutnya dalam perjanjian pemberian kuasa memuat bahwa pihak WNI memberi kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada pihak WNA untuk melakukan segala perbuatan hukum terhadap tanah hak milik dan bangunan tersebut.

2. Perjanjian Opsi

Pihak WNI memberikan opsi untuk membeli tanah hak milik kepada pihak WNA karena dana untuk pembelian tanah hak milik tersebut disediakan oleh pihak WNA.

3. Perjanjian sewa menyewa

Pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang jangka waktu sewa berikut opsi untuk perpanjangannya beserta hak dan kewajiban pihak WNI sebagai pihak yang menyewakan dan pihak WNA sebagai pihak penyewa. Biasanya dalam perjanjian sewa menyewa ini memuat jangka waktu yang tidak terbatas sehingga tidak lazim menurut ketentuan jangka waktu sewa dalam undang-undang.

4. Kuasa untuk Menjual

Perjanjian ini berisi pemberian kuasa dari pihak WNI dengan hak substitusi kepada pihak WNA sebagai penerima kuasa untuk melakukan segala perbuatan hukum menjual, mengalihkan atau memindahkan tanah hak milik dan bangunan tersebut.

5. HIbah Wasiat

Perjanjian ini menyatakan bahwa pihak WNI menghibahkan tanah hak milik atas namanya tersebut kepada pihak WNA. Hibah ini dimaksudkan bahwa tanah hak milik tersebut diberikan oleh WNI kepada WNA.

6. Surat Pernyataan Ahli Waris

Perjanjian ini biasanya berlaku apabila terjadi perkawinan campuran, dimana dalam hal ini istri (sebagai pihak WNA) dan anaknya menyatakan bahwa suaminya (WNI) bukanlah pemilik yang sebenarnya atas tanah hak milik dan bangunan yang terdaftar atas nama suaminya.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini ialah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum

56 Martin Roestamy, 2011, Konsep-Konsep Hukum Kepemilikan Properti Bagi Asing Dihubungkan Dengan Hukum Pertanahan, Bandung, Alumni, hlm 207

(6)

sebagai suatu bangungan pada sistem norma. Lebih lanjut, menurut Peter Mahmud Marzuki dalam Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, menerangkan bahwa penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan sebuah argumentasi, teori atau sebuah konsep terbaru sebagai bentuk analisis deskriptif dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi.57

Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang- undangan bertujuan untuk menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang akan diteliti. Sedangkan pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.58

Bahan Penelitian

1. Bahan Hukum Primer merupakan bahan pustaka yang berisikan mengenai peraturan perundang-undangan, antara lain:

a. Undang-undang Dasar 1945”

b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata”

c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria”

d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia

f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

g. Putusan Nomor 787/Pdt.G/2014/PN.DPS”

2. Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan yang digunakan sebagai penunjang bahan hukum primer yang dapat membantu dalam proses analisis penelitian. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari:

a. buku-buku terkait;

b. jurnal-jurnal ilmiah terkait;

c. hasil penelitian ilmiah terkait;

d. pendapat para ahli; dan

e. situs internet resmi yang terkait dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum tambahan yang digunakan untuk mencari makna dan arti dalam penelitian, yaitu: Kamus Hukum

57 Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad. 2015, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 33

Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat atas obyek yang penulis teliti atas kompetensi keilmuan yang dimiliki oleh narasumber mengenai obyek penelitian penulis. Narasumber dalam penelitian ini dilakukan kepada:

1. Notaris yaitu Bapak Ir. Edwin Rusdi, S.H., M.Kn., M.Hum

2. Hakim Pengadilan Negeri Sleman yaitu Ibu Sagung Bunga Mayasaputri Antara, S.H.

Teknik dan Lokasi Pengambilan Bahan Penelitian Teknik Pengambilan Bahan Penelitian

Metode yang digunakan dalam teknik pengumpulan data penelitian hukum normatif ialah menggunakan teknik wawancara dengan narasumber dan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum yang telah terkumpul sebelumnya, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier.59

a. Wawancara yang dimaksudkan adalah melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan narasumber untuk mendapatkan informasi secara langsung. Hasil dari wawancara ini ditentukan oleh kualitas dari beberapa faktor yang saling memengaruhi dan berkaitan satu sama lainnya.

b. Studi kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip, dan literatur-literatur yang didapatkan melalui jurnal, buku, serta internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

Lokasi Pengambilan Bahan Penelitian

Bahan hukum primer, sekunder dan tersier dalam penelitian ini diperoleh dari:

1. Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

3. Perpustakaan Universitas Gadjah Mada 4. Pengadilan Negeri Sleman

5. Kantor Notaris Ir. Edwin Rusdi, S.H., M.Kn., M.Hum yang beralamat di Jalan Parangtritis Blok A No.35, Randubelang, Bangunharjo, Kecamatan Sewon,

58 Ibid, hlm 185-191

59 Ibid. Hal. 160

(7)

Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55188.

ANALISIS DATA

Bahan penelitian yang telah terkumpul akan dikaji dan dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Metode deskriptif kualitatif dimaksudkan untuk memberikan pemaparan atas hasil obyek yang diteliti.

Dalam hal ini peneliti harus dapat menentukan kualitas data atau bahan hukum yang relevan guna membangun suatu analisis deskriptif terhadap kebenaran hukum dari apa yang seharusnya (das sollen) dan apa yang senyatanya (das sein).60

I. Hasil dan Pembahasan

A. Akibat Hukum Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Bagi WNA di Indonesia Melalui Perjanjian Nominee

(Studi Kasus Putusan Nomor

787/Pdt.G/2014/Pn.Dps) 1. Kasus Posisi

Putusan Nomor 787Pdt.G/2014/PN.Dps sebagai dasar analisis dalam penelitian ini mengenai kasus perbuatan melawan hukum yang terjadi antara KARPIKA WATI (yang selanjutnya disebut Penggugat) berkewarganegaraan Indonesia melawan ALAIN MURICE PONS (selanjutnya disebut Tergugat I) berkewarganegaraan Perancis dan EDDY NYOMAN WINARTA, SH (selanjutnya disebut Tergugat II) sebagai Notaris. Dalam kasus ini Penggugat dan Tergugat I merupakan pasangan suami isteri yang telah menikah pada 13 September 2006.

Kronologi kasus ini bermula pada tanggal 12 Juni 2007, Penggugat dengan uang pinjaman dari Tergugat I membeli tanah Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan, Luas 975 M2, terletak di Jalan Jantuk Angsa (dahulu bernama Gang Sabana), Desa Pererenan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali tercatat atas nama KARPIKA WATI berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 169 tanggal 12 Juni 2007 yang dibuat dan ditandatangani di Kantor Notaris dan PPAT Kabupaten Badung yaitu Tergugat II.

Tergugat I menjanjikan kepada Penggugat akan membangun villa yang diberi nama Villa Emanuelle diatas tanah tersebut dan akan disewakan yang kemudian hasil yang didapat dari pengelolaan villa tersebut akan dibagi bersama. Berkaitan dengan itu, kemudian Tergugat I meminta kepada Penggugat untuk membuat akta-akta atas tanah tersebut dihadapan Tergugat II yaitu sebagai berikut:

60 Ibid, hlm 183

1. Akta Notaris No 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa atas tanah tersebut antara Penggugat selaku pihak yang menyewakan dan Tergugat I sebagai pihak penyewa

2. Akta Notaris No 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang Dengan Memakai Jaminan yang menerangkan bahwa Tergugat I sebagai pihak yang memberikan hutang dan Penggugat sebagai pihak yang berhutang

3. Akta Notaris No 91 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pernyataan dan Kuasa dimana Penggugat selaku pihak yang menyatakan dan memberikan kuasa kepada Tergugat I sebagai penerima pernyataan dan kuasa dari Penggugat

4. Akta Notaris No 108 tanggal 24 Maret 2008 tentang Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas nama Tergugat I

Perjanjian Nominee sebagai bentuk dari penyelundupan hukum ini berujung gugatan karena hubungan antara Penggugat dan Tergugat I tidak lagi baik sehingga Penggugat ingin memperjuangkan haknya sebagai pemegang sah atas Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan yang tercatat atas nama Karpika Wati (Penggugat). Hubungan antara Penggugat dan Tergugat I sudah tidak baik lagi sehingga Penggugat bermaksud untuk mengambil Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022/Desa Pererenan atas nama Penggugat sebagai pemegang hak resmi atas tanah tersebut yang berada dibawah penguasaan Tergugat I.

Tergugat I diketahui telah membawa atau menguasai Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 /Desa Pererenan atas nama Karpika Wati (Penggugat) dan berusaha menguasai tanah dan bangunan obyek sengketa secara paksa yang masih ditempati dan dikuasai oleh Penggugat dengan memerintahkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan perusakan pintu agar dapat masuk ke dalam villa dan Tergugat I juga melakukan tindak pidana pencurian terhadap dokumen-dokumen Penggugat.

Perbuatan dan sikap yang dilakukan Tergugat I menjadikan latar belakang gugatan ini diajukan, dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan kerugian sebagai berikut:

1. Penggugat merasa hanya dimanfaatkan oleh Tergugat I sebagai nominee untuk dapat menguasai tanah di Indonesia;

2. Penggugat sebagai pemegang hak atas Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan tidak bisa

(8)

menguasai tanah dan bangunan tersebut karena sertifikat asli dibawah penguasaan Tergugat I;

3. Penggugat harus menanggung biaya retribusi pajak dan biaya keperluan lain atas tanah dan bangunan obyek sengketa tersebut;

4. Sejak diterbitkannya Akta Notaris No 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa, Akta Notaris No 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang Dengan Memakai Jaminan, Akta Notaris No 91 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pernyataan dan Kuasa, Akta Notaris No 108 tanggal 24 Maret 2008 tentang Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), Penggugat tidak dapat menyewakan tanah dan bangunan Villa Emmanuelle sedangkan diketahui bahwa Tergugat I pada tahun 2010 telah menyewakan villa tersebut selama 8 bulan kepada pihak lain dan pada tahun 2011 telah menyewakan selama 1 tahun dengan biaya uang sewa sebesar Rp 25.000.000/tahun.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan diatas, Penggugat mengajukan gugatan agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar berkenan untuk memberikan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;

3. Menyatakan batal demi hukum atas:

• Akta Notaris No 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa;

• Akta Notaris No 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang dengan Memakai Jaminan;

• Akta Notaris No 91 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pernyataan dan Kuasa;

• Akta Notaris No 108 tanggal 24 Maret 2008 tentang Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);

4. Menyatakan Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan yang dikuasai oleh Tergugat I adalah tidak sah;

5. Memerintahkan kantor pertanahan Kabupaten Badung untuk mencoret hak tanggungan dalam Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan yang tercatat atas nama Karpika Wati;

6. Memerintahkan kantor pertanahan Kabupaten Badung menerbitkan sertifikat hak milik pengganti atas nama Penggugat sesuai dengan Sertifikat Hak Milik Nomor:

1022 / Desa Pererenan;

7. Menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp 2.000.000/hari apabila Para Tergugat lalai dalam melaksanakan putusan ini sejak putusan ini dinyatakan berkekuatan hukum tetap;

8. Menghukum Para Tergugat untuk membayar kerugian yang dialami Penggugat secara tanggung renteng sebesar Rp 11.375.000.000;

9. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya dalam perkara ini.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dalam perkara Nomor 787/Pdt.G/2014/PN.Dps memberikan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum;

3. Menyatakan hukum:

• Akta Notaris No 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa;

• Akta Notaris No 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang Dengan Memakai Jaminan;

• Akta Notaris No 91 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pernyataan dan Kuasa;

• Akta Notaris No 108 tanggal 24 Maret 2008 tentang Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Kesemuanya dibuat dan ditandatangani di Kantor Notaris dan PPAT Kabupaten Badung EDDY NYOMAN WINARTA, SH., (Tergugat II) yang beralamat di Komplek Pertokoan Segitiga Emas Kavling 31-32, Jalan By Pass Ngurah Rai No. 5, Kuta , Kabupaten Badung Propinsi Bali, adalah batal demi hukum;

4. Menyatakan Sertifikat Hak Tanggungan Pertama No.

209/2008 tercatat atas nama ALAIN MAURICE PONS (Tergugat I) adalah batal demi hukum;

5. Memerintahkan kantor pertanahan Kabupaten Badung menerbitkan sertifikat hak milik pengganti atas nama Karpika Wati (Penggugat) sesuai dengan Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan;

6. Memerintahkan kantor pertanahan Kabupaten Badung untuk mencoret hak tanggungan dalam Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022/Desa Pererenan yang tercatat atas nama Karpika Wati;

7. Menyatakan hukum penguasaan Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022/Desa Pererenan tercatat atas nama Karpika Wati oleh Tergugat I adalah tidak sah;

8. Menyatakan Akta Jual beli No. 169 tanggal 12 Juni 2007 yang dibuat dan ditandatangani di Kantor Notaris dan PPAT Kabupaten Badung EDDY NYOMAN WINARTA, SH adalah sah dan mengikat;

9. Menyatakan hukum dan menetapkan Penggugat pemegang hak atas sebidang tanah berikut bangunan dan segala turutannya yang berdiri diatasnya sesuai

(9)

Sertifikat Hak Milik No.1022/Desa Pererenan tercatat atas nama Karpika Wati;

10. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas sebidang tanah berikut bangunan dan segala turutan yang berdiri diatasnya sesuai dengan Sertifikat Hak Milik No. 1022/

Desa Pererenan atas nama Karpika Wati;

11. Menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp 2.000.000/hari apabila Para Tergugat lalai dalam melaksanakan putusan ini sejak putusan ini dinyatakan berkekuatan hukum tetap;

12. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng yang ditaksir sebesar Rp 2.682.000;

13. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.

2. Analisis Kasus

Kepemilikan hak atas tanah bagi WNA yang berkedudukan di Indonesia diberikan dengan status hak pakai dan hak sewa untuk bangunan sesuai yang diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA. Namun dalam praktiknya, adanya batasan waktu penguasaan hak pakai dan hak sewa untuk bangunan mengakibatkan WNA berupaya untuk memperoleh hak milik sebagai hak tertinggi atas tanah yang hanya dapat dimiliki oleh WNI meskipun dengan cara penyelundupan hukum melalui nominee.

Penyelundupan hukum dengan cara perwakilan atau pinjam nama yang istilah asingnya dalam Anglo Saxon dikenal dengan “nominee”, dilakukan pihak WNA dengan memakai nama WNI sebagai pemilik hak atas tanah, tetapi uang yang digunakan untuk membeli tanah hak milik tersebut adalah uang WNA sehingga WNA sebagai pemilik sesungguhnya (real owner). Hal ini dituangkan melalui satu paket perjanjian nominee yang berisi keinginan-keinginan pihak WNA untuk meminjam nama pihak WNI dengan tujuan kepentingan WNA. 61 Sehubungan dengan penguasaan hak milik oleh orang asing melalui satu paket perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT dengan maksud secara tidak langsung memindahkan hak milik kepada Warga Negara Asing, berdasarkan kasus diatas dapat dianalisis sebagai berikut:

1. Akta Notaris No 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa

Secara substansinya hal yang diperjanjikan tidak sesuai dengan kelaziman dalam perjanjian sewa-menyawa yang berlaku dalam hukum Indonesia.

Ketidaklaziman tersebut dilihat dari jangka waktu sewa yang tak terbatas yaitu selama 25 tahun sejak

61 Anita D.A. Kolopaking, Op.cit, hlm 207-208

tanggal 6-08-2007 sampai tanggal 6-08-2107 dan secara otomais dapat diperpanjang. Maka secara tidak langsung dengan jangka waktu sewa atas tanah selama 100 tahun dan dapat diperpanjang serta diperbaharui telah memberi peluang kepada Tergugat I sebagai Warga Negara Asing untuk menguasai tanah di Indonesia dengan hanya membayar uang sewa sebesar Rp 50.000.000.

Terdapat indikasi adanya pemindahan hak secara terselubung karena jangka waktu sewa dalam perjanjian melampaui batas kewajaran yang menunjukkan bahwa secara materiil telah terjadi pemindahan hak milik secara terselubung dan merupakan suatu penyelundupan hukum.

2. Akta Notaris No 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang dengan Memakai Jaminan

Objek jaminan adalah tanah yang diperjanjikan dalam akta sewa-menyewa sebelumnya yaitu Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan yang menjadi obyek sengketa dalam kasus ini. Akta ini menyatakan bahwa Penggugat telah berhutang kepada Tergugat I dan hanya dapat dikembalikan dan dibayar dengan hasil penjualan obyek jaminan dan benda diatasnya. Pada pokoknya dalam akta ini disebutkan bahwa pengembalian hutang oleh Penggugat dapat dilakukan apabila hutang tersebut telah ditagih oleh Tergugat I dan jumlah hutang hanya dapat dibayar atas hasil penjualan tanah yang dijadikan sebagai jaminan hutang.

3. Akta Notaris No 108 tanggal 1 April 2018 tentang Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Pada dasarnya hak sewa tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Berdasarkan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Denpasar menyatakan bahwa hak sewa tidak dapat dijadikan sebagai jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang menyebutkan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, maka dari ketentuan tersebut jelas bahwa hak sewa tidak dapat dibebani hak tanggungan.

4. Akta Notaris No 91 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pernyataan dan Kuasa

Akta ini memuat dua hal, pertama, menyatakan bahwa uang yang digunakan Penggugat untuk membeli tanah Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 Desa Pererenan dan

(10)

membangun Villa Emanuelle berasal dari Tergugat I.

Kedua, Penggugat memberikan kuasa sepenuhnya kepada Tergugat I untuk bertindak secara penuh atas nama Penggugat untuk dapat melakukan segala perbuatan hukum atas tanah tersebut sehingga secara tidak langsung penguasaan hak atas tanah terdapat pada Tergugat I. Posisi Penggugat dalam kasus ini adalah sebagai Legal Owner yang namanya tertulis dalam sertifikat tanah sedangkan Tergugat I berposisi sebagai Real Owner atau Beneficiary Owner karena uang yang digunakan dalam membeli tanah tersebut merupakan uang dari Tergugat I.

Skema perwujudan nominee diatas dapat digambarkan sebagai berikut:

Hubungan antara Penggugat (WNI) sebagai nominee dan Tergugat I (WNA) sebagai real owner diciptakan dalam satu paket perjanjian yang dimaksudkan untuk memberikan segala kewenangan yang mungkin timbul dalam hubungan hukum antara seseorang dengan tananhnya kepada Tergugat I selaku penerima kuasa dari Penggugat dalam Akta Pernyataan dan Kuasa untuk bertindak layaknya seorang pemilik yang sebenarnya atas suatu hak milik. Unsur perjanjian nominee dapat dilihat dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut. Biasanya dalam perjanjian nominee melibatkan eksistensi tiga pihak yaitu:

4. Adanya pihak pemberi perintah (Settlor/Trustor) 5. Adanya pihak pengelola atau penerima kuasa (trustee)

dari seorang settlor/trustor atas dasar saling percaya 6. Pihak penerima manfaat atau keuntungan (Beneficiary)

Konsep kepemilikan hak milik atas tanah oleh Warga Negara Asing melalui perjanjian pinjam nama (nominee) dapat dilihat dalam tabel berikut:62

62 Anita D.A Kolopaking, Op.cit, hlm 235

63 I Gede Yusa et al., “Akibat Hukum Perjanjian Nominee Terhadap Pihak Ketiga”, Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, Vol 2, (2016)

Dilihat dari sebab yang mendasari dibuatnya perjanjian nominee, dapat dikatakan bahwa nominee merupakan perjanjian yang terlarang karena maksud dan tujuannya sengaja untuk menhindari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terutama UUPA.63 Hukum pertanahan berdasarkan UUPA menjelaskan bahwa segala perjanjian yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat I merupakan bentuk penyelundupan hukum karena dibuat untuk menghindari ketentuan asas nasionalitas yaitu asas yang memberikan peringkat tertinggi hak atas tanah yaitu hak milik hanya kepada Warga Negara Indonesia.

Asas nasionalitas diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA yang berbunyi “Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa” jo Pasal 21 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa

“Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Sedangkan satu paket perjanjian yang dibuat sebagai dasar adanya perjanjian nominee menurut Pasal 26 ayat (2) UUPA atas pemindahan hak milik secara tidak langsung kepada orang asing yang mengandung konsekuensi bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada atau batal demi hukum.

Dikatakan sebagai bentuk penyelundupan hukum karena pada hakikatnya perjanjian-perjanjian tersebut dibuat untuk menghindari dari ketentuan-ketentuan hukum Indonesia sehingga secara yuridis perjanjian yang secara tidak langsung atau terang-terangan memindahkan kepemilikan hak milik atas tanah di Indonesia terhadap orang asing tersebut tidak menyalahi aturan.

Ditinjau dari KUHPerdata, perjanjian nominee tergolong dalam perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama yang timbul atas adanya asas kebebasan berkontrak. Meskipun berdasarkan asas kebebasan berkontrak perjanjian bebas dibuat oleh siapa saja dan para pihak bebas menentukan isinya, namun harus

TERGUGAT I sebagai Trustor/pembeli/beneficiary

owner

PENGGUGAT sebagai Nominee/legal owner

TERGUGAT II sebagai Notaris/PPAT dalam membuat akta jual beli tanah

dan perjanjian nominee

Kepemilikan hak milik atas tanah oleh WNA melalui perjanjian nominee

Trustor Trustee Beneficiary

WNA

Nominee sebagai Legal Owner: WNI

WNA sebagai Benerficiary Owner

(11)

tetap memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Perjanjian dapat dikatakan sah apabila memenuhi dua syarat yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sah atau tidaknya suatu perjanjian yang diadakan antara Penggugat dan Para Tergugat dapat dianalisis sebagai berikut:

1). Syarat Subyektif a. Adanya Kesepakatan

Perjanjian pinjam nama (nominee) yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat I dibuat atas dasar kesepakatan para pihak. Sejak awal Penggugat dan Tergugat I mengetahui isi perjanjian dan sepakat mengikatkan dirinya dalam akta-akta yang dibuat dihadapan Tergugat II dengan cara menandatangani akta tersebut tanpa adanya paksaan. Adanya tanda tangan dalam suatu akta telah menandakan suatu kesepakatan secara tertulis.

b. Kecapakapan Para Pihak

Para pihak dalam perjanjian pinjam nama baik Penggugat maupun Tergugat I adalah pihak yang cakap menurut hukum karena telah dewasa tidak berada dibawah pengampuan. Meskipun Penggugat adalah seorang istri yang dinyatakan tidak cakap menurut hukum namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 dan Pasal 31 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan kedudukan istri dan suami adalah sama dalam melakukan perbuatan hukum sehingga istri termasuk golongan orang yang cakap hukum. Sehingga syarat kecakapan telah terpenuhi karena para pihak adalah orang yang sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan.

2). Syarat Obyektif a. Obyek Tertentu

Suatu perjanjian harus memiliki obyek yang jelas untuk diperjanjikan. Obyek dalam perjanjian nominee yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat I adalah tanah. Namun, hukum pertanahan melarang adanya pengalihan kepemilikan hak milik atas tanah kepada orang asing, sehingga tanah yang menjadi obyek dalam perjanjian ini adalah menjadi tidak halal yang

64 Yosia Hetharie, “Perjanjian Nominee Sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik Atas Tanah oleh Warga Negara Asing Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

melanggar asas nasionalitas Pasal 21 ayat (1) UUPA.

Obyek perjanjian yang berupa tanah hak milik dapat menjadi obyek yang terlarang apabila kepemilikannya dipindahkan kepada orang asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perjanjian nominee juga melanggar syarat obyektif yaitu suatu obyek tertentu.64

b. Sebab yang Halal

Suatu perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila memenuhi syarat causa/sebab yang halal artinya tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Jika dilihat dari putusan ini, sebab yang terkandung dalam perjanjian nominee bertentangan dengan undang-undang terkait dengan pengalihan kepemilikan hak milik atas tanah kepada orang asing.

Perjanjian nominee dengan tujuan secara tidak langsung memindahkan kepemilikan dan penguasaan hak milik atas tanah kepada orang asing melalui satu paket perjanjian jelas bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA yang berbunyi:

“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga- negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”

Sehingga perjanjian ini tidak memenuhi syarat obyektif yang berakibat perjanjian batal demi hukum.

Kausa/sebab yang halal erat hubungannya dengan Pasal 1335 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum”

Perdata”, Jurnal SASI FH Universitas Pattimura, Vol 25, No. 1, (Juni, 2019)

(12)

Menurut Subekti, perjanjian nominee yang dibuat antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia dalam penguasaan hak milik atas tanah di Indonesia didasarkan atas sebab yang tidak halal, karena sebab dalam perjanjian nominee dibuat untuk memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia secara tidak langsung oleh orang asing yang secara hukum tidak diperbolehkan. 65 Perjanjian nominee pada praktiknya memberikan kemungkinan bagi orang asing untuk dapat menguasai atau memiliki hak milik atas tanah di Indonesia yang secara hukum tidak diperbolehkan. Dilihat dari segi KUHPerdata diatas, perjanjian nominee yang termasuk dalam perjanjian tidak bernama ini memenuhi syarat subyektif sahnya suatu perjanjian, namun disisi lain perjanjian nominee telah melanggar syarat obyektif suatu perjanjian karena sebab dalam perjanjian tersebut telah melanggar Pasal 26 ayat (2) UUPA sehingga mengakibatkan perjanjian nominee batal demi hukum.

Dasar terwujudnya perjanjian nominee melalui satu paket perjanjian yaitu perjanjian sewa menyewa, perjanjian hutang, APHT, Akta Pernyataan dan kuasa yang ditujukan untuk mengalihkan kepemilikan atau penguasaan hak milik atas tanah kepada orang asing secara tidak langsung dalam kasus ini dibuat antar pasangan suami-istri yang masih terikat perkawinan. Menurut Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar menyatakan “Bahwa suami istri yang masih terkait perkawinan dilarang melakukan perbuatan hukum jual beli, sewa menyewa ataupun hutang piutang karena hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1467 KUHPerdata”. Sehingga dalam hukum perkawinan, menurut Pasal 119 KUHPerdata dan Pasal 35 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, mulai saat perkawinan dilangsungkan maka berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri yang bersifat tetap, selama tidak ada perjanjian perkawinan. Guna menjaga prinsip persatuan harta perkawinan, muncul ketentuan-ketentuan yang bersifat melindungi hal tersebut diantaranya yaitu:

a). Antara suami dan istri dilarang mengadakan perjanjian jual beli (Pasal 1467 KUHPerdata);

65 Asari Putri Kindangen, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Warga Negara Asing yang Memiliki Hak Milik Atas Tanah Melalui Perjanjian Nominee Menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960”, Jurnal Lex Et Societati, Vol. VII, No.2, (Febuari, 2019), hlm 60- 61

b). Pasangan suami istri tidak diperkenankan saling hibah-menghibahkan (Pasal 1678 KUHPerdata);

c). Antara suami dan istri tidak pula diperkenankan mengadakan tukar menukar (Pasal 1546 jo 1467 KUHPerdata). 66

Maka menurut penulis berdasarkan analisis diatas, perjanjian nominee yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat I saat masih dalam masa perkawinan adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum atau dapat dikatakan bahwa perjanjian nominee sejak awal dibuat telah batal demi hukum karena satu paket perjanjian yang mendasarinya tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga perjanjian nominee yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat I dianggap tidak pernah ada atau terjadi dan telah cacat hokum.

Perjanjian nominee yang dibuat para pihak dengan bantuan Notaris tanpa memperhatikan akibatnya, pada dasarnya dapat mencelakakan dan merugikan pihak Tergugat I apabila hubungan dengan Penggugat sudah tidak baik. Secara keperdataan kepemilikan Penggugat yang namanya tercantum dalam sertifikat hak milik adalah sah sehingga kepastian hukum dan perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemegang hak atas tanah yang namanya tercantum dalam sertifikat.

Sejatinya, keberadaan perjanjian nominee di Indonesia tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dan tidak menjamin perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Maria S.W kedudukan orang asing dalam perjanjian nominee sangat beresiko dan lemah karena dua alasan yaitu:67 Pertama, meskipun perjanjian nominee memenuhi syarat subyektif yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu didasarkan adanya kesepakatan kedua belah pihak yang sudah cakap, akan tetapi sebab yang diperjanjikan adalah terlarang karena melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA yang mengakibatkan perjanjian nominee batal demi hukum. Kedua, tidak semua perjanjian berlaku mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, hanya perjanjian yang dibuat secara sah yang mengikat para pembuatnya sebagai undang-undang, sehingga asas pacta sunt servanda sebagai asas kepastian hukum dalam perjanjian nominee tidak dapat terwujud.

66 J. Satrio, Op.cit, hlm 52

67 Mangiliwati Winardi dan Adi Sulistyono,

“Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Dengan Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) di Wilayah Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960”, Jurnal Repertorium, Volume IV, No 1, (Januari-Juni, 2017), hlm 70-71

(13)

Jadi, perjanjian nominee yang dibuat tidak berdasarkan asas itikad baik tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pertanyaan yang sering muncul apabila dilihat dari beberapa putusan terkait perjanjian nominee yang lain yaitu mengapa hak milik atas tanah tersebut sering jatuh kepada WNI sebagai Legal Owner bukan jatuh kepada negara sesuai yang diatur Pasal 26 ayat (2) UUPA? Menurut Sagung Bunga Mayasaputri Antara, S.H selaku Hakim Pengadilan Negeri Sleman68 sertifikat adalah bukti yang sempurna selama tidak dibuktikan terbalik, sehingga status kepemilikannya jelas apabila WNI tersebut dapat membuktikan kepemilikan tanahnya, maka tanah tersebut akan menjadi milik WNI sekalipun uang yang diperoleh untuk membeli tanah tersebut berasal dari orang asing.

Ketentuan undang-undang mengenai “tanah jatuh kepada negara” bisa terjadi apabila status kepemilikan WNI sebagai subyek hak milik dan status tanahnya secara legal tidak jelas misalnya tanah yang dibeli adalah tanah sengketa atau masih tanah negara maka tanah tersebut dapat dikembalikan kepada negara. Namun sepanjang syarat sebagai pemegang hak milik terpenuhi dan status tanahnya jelas secara hukum, maka hak milik atas tanah tersebut akan diakui dan sah milik WNI.

3. Peran Notaris Dalam Membuat Perjanjian Nominee

Praktik perjanjian nominee sebagai penguasaan hak milik atas tanah di Indonesia selalu dibuat dalam bentuk akta otentik dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Pada hakikatnya, perjanjian nominee yang bertujuan untuk memindahkan kepemilikan hak milik atas tanah kepada orang asing secara tidak langsung bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA, sehingga keberadaan akta otentik perjanjian nominee sebagai alat bukti adalah batal demi hukum.69 Notaris/PPAT dalam hal ini memiliki peran strategis dalam membuat perjanjian jual beli dan satu paket akta-akta lain guna memindahkan kepemilikan secara tidak langsung dari seorang nominee yang namanya tercantum dalam sertifikat hak milik kepada orang asing sebagai pemilik sesungguhnya (real owner) sekaligus sebagai penerima manfaat atau keuntungan (beneficiary owner).

Menurut sudut pandang seorang Notaris yaitu Bapak Ir.

Edwin Rusdi, S.H., M.Kn70, saat ini masih banyak terjadi

68 Wawancara pada tanggal 14 Januari 2020

69 Ni Putu Tanjung Eka W, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Nominee Tentang Peralihan Hak Milik Atas Tanah Kepada Warga Negara Asing Ditinjau dari

pengalihan kepemilikan hak atas tanah melalui perjanjian nominee yang terjadi di kota-kota besar dengan tingkat investasi yang menjanjikan seperti Bali dan Yogyakarta.

Celah tersebut tidak hanya dimanfaatkan oleh WNA saja, di Yogyakarta perjanjian nominee masih banyak digunakan oleh WNI Keturunan Tionghoa untuk memperoleh hak milik atas tanah.

Terdapat beberapa WNA yang pernah mendatanginya untuk membuatkan perjanjian nominee, namun oleh Notaris disarankan untuk menggunakan hak pakai atau sewa karena apabila dibuatkan hak milik akan riskan atau beresiko dikemudian hari bagi para pihak maupun bagi Notaris apabila terjadi sengketa yang berujung gugatan di Pengadilan. Menanggapi masih banyaknya praktik nominee di Indonesia khususnya di wilayah-wilayah dengan nilai investasi yang menjanjikan seperti Bali, Lombok dan Yogyakarta, Notaris/PPAT Ir. Edwin Rusdi, S.H., M.Kn., M.Hum berpendapat bahwa:

“…Sebenarnya mudah apabila WNA ingin memiliki properti di Indonesia dengan hak pakai ataupun hak sewa, WNA dapat membeli tanah hak milik WNI yang kemudian tanah hak milik itu akan diturunkan menjadi hak pakai dan apabila dijual kembali kepada WNI dapat berubah status dari hak pakai menjadi hak milik. Harusnya seorang pelaku bidang hukum seperti notaris, lawyer, konsultan harus tegas dalam memberikan kejelasan informasi bahwa orang asing tidak perlu khawatir dalam memiliki properti di Indonesia karena pada dasarnya hak milik, hak sewa dan hak pakai sama saja memiliki fungsi sosial, bedanya hak pakai dan hak sewa perlu memperpanjang sehingga dalam kurun waktu sekian tahun ada pemasukan ke Negara seperti PNBP (Pemasukan Negara Bukan Pajak)….”71

Menurut FX Sumarja sebagai Ahli Hukum Pertanahan, WNA yang tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah, hak guna usaha, ataupun hak guna bangunan masih dimungkinkan untuk membeli hak-hak atas tanah tersebut dengan akta jual beli dihadapan PPAT. Mereka hanya diwajibkan untuk mengajukan permohonan perubahan status hak atas tanah bersamaan dengan pendaftaran peralihan haknya. Melalui permohonan tersebut hak milik, hak guna usaha ataupun hak guna bangunan yang dibeli

Pasal 26 ayat (2) UUPA”, Jurnal Aktual Justice, Vol.3, No.2, (November, 2018), hlm 21-22

70 Wawancara pada tanggal 17 Desember 2019

71 Ibid, Wawancara pada tanggal 17 Desember 2019

(14)

oleh WNA akan diturunkan menjadi hak pakai oleh Badan Pertanahan Nasional.72

Maka untuk menghindari segala penguasaan asing terhadap hak milik atas tanah di Indonesia perlu kerjasama yang baik antara masyarakat, pemerintah dan para notaris untuk tidak memfasilitasi orang asing yang ingin memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia karena hal tersebut melanggar peraturan perundang-undangan.

4. Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi WNA Pihak Penggugat dalam kasus ini mempertahankan hak kepemilikan atas namanya yang secara yuridis adalah sah, karena pada dasarnya Penggugat menyadari bahwa perjanjian yang dibuat itu adalah batal demi hukum, sedangkan peristiwa hak keperdataan atas jual beli tanah Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022/Desa Pererenan adalah miliknya. Menurut Sagung Bunga Mayasaputri, S.H selaku Hakim Pengadilan Negeri Sleman, Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum hanya kepada pemegang hak atas tanah yang sudah didaftarkan meskipun uang yang digunakan untuk membeli hak milik atas tanah tersebut berasal dari WNA.73

Berdasarkan Pasal 2 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Jadi posisi Tergugat I dalam perkara ini sangat beresiko karena tidak mendapat jaminan atas kepastian dan perlindungan hukum.

Satu-satunya jalan bagi Tergugat I dalam menuntut haknya adalah dengan melakukan mediasi/musyawarah kepada pihak Penggugat untuk meminta ganti rugi dengan mengembalikan semua pengeluaran dalam pembelian tanah tersebut atau memindahkan hak milik atas tanah yang semula atas nama Penggugat menjadi nama Tergugat I sesuai dengan peruntukan bentuk kepemilikan bagi WNA yaitu hak pakai, dengan kompensasi yang disepakati para pihak.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu:

Perjanjian nominee yang digunakan orang asing dalam mendapatkan tanah dengan status hak milik di

72 FX. Sumarja, Op.cit, hlm 175-176

Indonesia secara tidak langsung pada dasarnya merupakan bentuk penyelundupan hukum. Akibat hukum perjanjian nominee berdasarkan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 787/Pdt.G/2014/PN.Dps dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan terkait yaitu:

a. Perwujudan perjanjian nominee melalui satu paket perjanjian yang dibuat secara tidak langsung memindahkan kepemilikan kepada orang asing bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA yang melarang setiap pemindahan hak milik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang asing yang mengakibatkan batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.

b. Perjanjian nominee bertentangan dengan syarat ke-4 Pasal 1320 KUHPerdata mengenai suatu sebab halal. Sebab halal adalah sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Sebab yang terkandung dalam perjanjian nominee bertentangan dengan UUPA terkait dengan pengalihan kepemilikan hak milik atas tanah kepada orang asing sehingga mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Kausa/sebab yang halal erat hubungannya dengan Pasal 1335 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum”.

c. Perjanjian sewa-menyewa dan hutang piutang yang menjadi dasar perjanjian nominee dalam studi kasus ini dibuat oleh pasangan suami istri sehingga menurut hukum bertentangan dengan Pasal 1467 KUHPerdata karena dalam perkawinan antara suami istri yang masih terikat perkawinan dilarang melakukan perbuatan hukum jual beli, sewa menyewa ataupun hutang piutang sehingga mengakibatkan perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

REFERENSI

Khairandy, Ridwan. (2014). Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan. Yogyakarta: FH UII Press.

Kolopaking, Anita D.A. (2013). Penyelundupan Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia.

Bandung: Alumni.

73 Wawancara tanggal 14 Januari 2020

(15)

Fajar, Mukti dan Ahmad Yulianto. (2015). Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

S, Salim H. (2008). Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia Buku I. Bandung: Sinar Grafika.

Santoso, Urip. (2012). Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Jakarta: Kecana.

Satrio, J. (1993). Hukum Harta Perkawinan, Bandung:

Citra Aditya Bakti.

Sumardjono, Maria S.W. (2007). Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing.

Jakarta: Kompas.

---. (2005). Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi edisi revisi. Jakarta:

Kompas.

Sumarja, F.X. (2015). Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing.

Yogyakarta: STPN Press.

Roestamy, Martin. (2011). Konsep-Konsep Hukum Kepemilikan Properti Bagi Asing Dihubungkan Dengan Hukum Pertanahan. Bandung: Alumni.

Roestamy, Martin. (2016). Konsep Kepemilikan Rumah Bagi Warga Negara Asing Dalam rangka Percepatan Peningkatan Investasi di Indonesia. Jurnal Hukum De’rechstaat, 2(2).

Fitria, Annisa. (2018). Kajian Yuridis Perjanjian Nominee dalam Kepemilikan Tanah oleh Warga Negara Asing di Kabupaten Badung Bali. Lex Jurnalica, 15(2).

Yusa, I Gede. et al. (2016). Akibat Hukum Perjanjian Nominee Terhadap Pihak Ketiga. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2.

Hetharie, Yosia. (2019). Perjanjian Nominee Sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik Atas Tanah oleh Warga Negara Asing Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Jurnal SASI FH Universitas Pattimura, 25(1).

Asari, Kindangen Putri. Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Warga Negara Asing yang Memiliki Hak Milik Atas Tanah Melalui Perjanjian Nominee Menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.

Jurnal Lex Et Societati. VII(2).

Mangiliwati, Winardi&Sulistyono Adi. (2017). Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Dengan Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) di Wilayah Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

Jurnal Repertorium, IV(1).

W, Ni Putu Tanjung Eka. (2018). Penyelesaian Sengketa Perjanjian Nominee Tentang Peralihan Hak Milik Atas Tanah Kepada Warga Negara Asing Ditinjau dari Pasal 26 ayat (2) UUPA. Jurnal Aktual Justice, 3(2).

Undang-undang Dasar 1945

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Referensi

Dokumen terkait

Sasaran kegiatan yang dimaksud adalah Meningkatnya penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA dengan 6 (enam) indikator kinerja, antara lain:

Seperti diantaranya adalah praktik perjanjian jual beli tanah hak milik oleh pihak asing dengan cara pinjam nama (nominee) yang seolah-olah bahwa pembeli tanah

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya menyertai Penulis dalam menambah keyakinan dan kekuatan, sehingga dapat

Bahkan, warga negara Indonesia (WNI) yang telah melakukan perkawinan campuran dengan Warga Negara Asing (WNA ) tidak dapat mempunyai tanah dengan status hak milik atas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan sekolah dasar negeri di kecamatan Gerokgak memenuhi komponen-komponen akreditasi sekolah ditinjau dari aspek Standar Isi berada

Menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih di Desa Kemudi. kecamatan Duduk Sampeyan

bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, sehingga pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak