• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagan 5. Analisis Data Kualitatif

4.3 Faktor Mempengaruhi Implementasi Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Penataan Ruang Semarang Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Penataan Ruang

4.3.1 Indikator Bekerjanya Implementasi Dengan Baik

Sebuah implementasi dikatakan telah bekerja dengan baik apabila telah melalui proses penyampaian sebuah peraturan dengan tepat sasaran, kemudian melaksanakan peraturan tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari aktor yang berperan langsung untuk melaksanakan sebuah peraturan.

Suatu kebijakan yang telah dirumuskan tentunya memiliki tujuan atau target tertentu yang ingin dicapai. Pencapaian target baru akan terealisasi jika kebijakan tersebut telah diimplementasikan. Oleh karena itu untuk dapat mengetahui apakah tujuan kebijakan yang telah dirumuskan tersebut dapat tercapai atau tidak, maka kebijakan tersebut harus diimplementasikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan.

96

George Edwards III (1980) mengungkapkan ada empat faktor yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan publik yaitu:

1. Komunikasi 2. Sumber daya

3. Disposisi atau perilaku 4. Struktur Birokratik

a. Communication (komunikasi)

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan, membutuhkan adanya pemahaman standart dan tujuan kebijakan dari masing-masing individu yang bertanggung jawab melaksanakannya. Oleh karena itu standar dari tujuan kebijakan harus dikomunikasikan dengan jelas agar tidak menimbulkan distorsi implementasi atau ketidak sempurnaan implementasi. Jika standar dan tujuan tidak diketahui dengan jelas oleh pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, dapat menimbulkan salah pengertian yang dapat menghambat implementasi kebijakan.

Komunikasi kebijakan mencakup dimensi transmisi (transmission), transformasi (transformation) dan kejelasan (clarity). Dimensi transformasi menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran dan pihak lain yang terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada para

97

pelaksana, dan pihak lain yang berpentingan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas, sehingga diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran serta substansi dari kebijakan tersebut. Jika mereka tidak jelas, maka mereka tidak akan tahu apa yang seharusnya dipersiapkan dan dilaksanakan agar apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat dicapai secara efektif dan efisien.

b. Recources (Sumber Daya)

Sumber daya merupakan variable yang sangat penting dalam implementasi kebijakan. Meskipun kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas kepada aparat pelaksana, tetapi jika tidak didukung oleh tersedianya sumber daya secara memadai untuk pelaksanaan kebijakan, maka efektivitas kebijakan akan sulit dicapai. Sumber daya dalam hal ini meliputi: dana, sumber daya manusia (staf) dan fasilitas lainnya.

Oleh karena itu agar sumber daya yang ada dapat menunjang keberhasilan implentasi kebijakan, maka sumberdaya harus dipersiapkan sedini mungkin sehingga pada saat dibutuhkan sudah tersedia sesuai kebutuhan.

98 c. Dispositions (Sikap Pelaksana)

Disamping faktor-faktor di atas, dispositions atau sikap pelaksana juga menjadi faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Dispositions dimaksudkan sebagai kecenderungan, keinginan atau kesepakatan para pelaksana (implementor) untuk melaksanakan kebijakan. Pelaksana kebijakan tidak hanya dituntut kemampuan dan kemauannya secara sungguh-sungguh dalam melaksanakan kebijakan, tetapi juga dituntut untuk mampu membawa kebijakan tersebut kearah yang diinginkan atau diharapkan. Semua itu dapat terwujud jika pelaksana mendukung tujuan kebijakan. Sebaliknya sikap pelaksana yang cenderung menolak kebijakan, akan menyebabkan mereka gagal melaksanakan kebijakan.

d. Bureaucratic Structure (Struktur Birokrasi)

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan tersedia secara memadai, dan para pelaksana (implementor) mengetahui dan memahami apa yang menjadi standart dan tujuan kebijakan serta memiliki kemampuan mengimplementasikannya secara sungguh-sungguh, bisa jadi implementasi masih belum bisa efektif disebabkan ketidakefisienan struktur birokrasi. Struktur birokrasi (bureaucratic structure)

99

mencakup dimensi fragmentasi (fragmentation) dan standart prosedur operasi (standart operating procedure).Dimensi fragmentasi menegaskan bahwa struktur birokrasi yang terfragmentasi (terpecah-pecah) dapat mengakibatkan gagalnya implementasi, karena fragmentasi birokrasi akan membatasi kemampuan para pejabat puncak untuk mengkoordinasikan semua sumber daya yang relevan dalam suatu yuridiksi tertentu yang berakibat lebih lanjut adalah ketidakefeisienan dan pemborosan sumber daya langka. Dimensi standart prosedur operasi akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari pada pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya.

Keempat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Dimana faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi mempengaruhi secara langsung terhadap implementasi kebijakan.

Aktor yang berpengaruh penting dalam pelaksanaan sebuah peraturan adalah masyarakat, karena peraturan tersebut diterbitkan untuk kepentingan, derajat, hak, dan kewajiban masyarakat itu sendiri. Dalam pelaksanaan implementasi Peraturan Daerah Kota Semarang No. 7 Tahun 2010 Tentang Penataan RTH aktor yang berperan

100

penting selain masyarakat adalah pemerintah, dinas-dinas terkait, kelurahan, dan lembaga persatuan masyarakat di setiap kelurahan

Pelaksanaan implementasi Peraturan Daerah Kota Semarang No. 7 Tahun 2010 Tentang Penataan RTH dapat dilihat melalui bagan 4.2 berikut ini :

Bagan 4.2

Alur Bekerjanya Implementasi Peraturan Daerah Kota Semarang No. 7 Tahun 2010 Tentang Penataan RTH

Sumber : Analisis Data Skunder Pensosialisasian Bagian Hukum Setda Kota Semarang 2012.

101

Berdasarkan Bagan 4.2 alur implementasi Peraturan Daerah Kota Semarang No. 7 Tahun 2010 Tentang Penataan RTH adalah dari masyarakat sebagai landasan dasar Peraturan Daerah Kota Semarang No. 7 Tahun 2010 Tentang Penataan RTH diterbitkan melihat laju penduduk yang semakin meningkat. Dalam hal ini Bappeda Kota Semarang mengambil alih untuk menyusun dan membuat rencana pembangunan jangka panjang. Setelah peraturan tersebut disahkan dan ditetapkan menjadi lembaran daerah untuk dilaksanakan kemudian Bagian Hukum sekda Kota Semarang untuk mensosialisasikan produk hukum dengan cara pensosialisasian langsung kepada seluruh SKPD dan Dinas terkait yaitu DTKP, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, kecamatan, kelurahan, dan masyarakat.

Keterkaitan SKPD dan Dinas untuk melaksanakan Peraturan Daerah Kota Semarang No. 7 Tahun 2010 Tentang Penataan RTH sangatlah penting. Diantaranya keterkaitan Kecamatan dengan Kelurahan untuk mengkoordinir melalui lembaga kemasyarakatan yang telah diatur dalam Peraturan daerah Kota Semarang No 4 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Di Kelurahan .

102

“Pasal 2

(2) Di Kelurahan dapat dibentuk Lembaga Kemasyarakatan.

(3) Lembaga Kemasyarakatan yang dibentuk di Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. RT; b. RW; c. Tim Penggerak PKK; d. LPMK; e. Karang Taruna.”

Dinas Tata Kota dan Perumahan yang berperan langsung untuk memberikan perijinan dalam pembangunan gedung, Dinas Kebersihan dan Pertamanan berperan langsung dalam merawat kriteria vegetasi yang ada. dan hubungan masyarakat itu sendiri terhadap lingkungan yang ada.