• Tidak ada hasil yang ditemukan

INGGRID SONDAKH

PROFIL DAN PROSES KANDIDASI PEREMPUAN KANDIDAT DI SULAWESI UTARA

B. INGGRID SONDAKH

B.1.

Proil Kandidat

B.1.1. Biograi

Inggrid Sondakh terlahir sebagai anak sulung dari dua bersaudara dari pasangan politisi terpandang di Sulut. Ayahnya, Adolf Jouke Sondakh yang meninggal pada 8 Maret 2007, pernah menjabat ketua DPD Partai Golkar Sulut, dan anggota DPR tiga periode, serta mantan Gubernur Sulut 2000-2005. Ibunya, Sientje Mandey, juga seorang politisi yang menjadi anggota DPD Partai Golkar Sulut. Sedangkan adiknya, Deny Sondakh, adalah anggota DPRD kota Manado. Dengan demikian, bisa dikatakan Inggrid Sondakh terlahir dalam lingkungan keluarga yang berkecimpung di dunia politik. Inggrid Sondakh sendiri nyaris mengikuti jejak ayahnya di kala muda, yaitu berperan sebagai dosen dan sekaligus politisi.Inggrid pernah menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Perguruan tinggi negeri ternama di Sulut). Dan, saat maju dalam proses kandidasi sebagai calon papan dua berpasangan dengan Netty Agnes Pantow, Inggrid tengah menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Minahasa Utara. Sebelum itu, Inggrid pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Sulut.

140

B.1.2. Motivasi Kandidat

Motif utama Inggrid Sondakh maju dalam proses kandidasi di MinUt sedikit banyak didorong oleh alasan politik dan religius. Alasan politik itu terkait dengan naluri politisi yang beranggapan bahwa karir politik tertinggi adalah ketika seseorang dapat merengkuh jabatan eksekutif sebagai kepala daerah. Alasan politik ini makin kuat dalam diri Inggrid karena secara struktural ia tengah menjalani masa jabatan kedua sebagai Ketua DPD Partai Golkar MinUt. Sebagaimana dikatakannya dalam hasil wawancara:

“… Sebagai ketua DPD Golkar Minahasa Utara yang sudah dua kali, tentunya untuk seorang politisi rasanya bukan sesuatu hal yang tak terpikirkan lah. Tujuannya tentu untuk bisa menjadi pemimpin eksekutif… terus terang yang pasti sebagai insan politik itu menjadi sasaran, bagaimana untuk nantinya mencapai kekuasaan yang digunakan untuk menyejahterakan masyarakat.”.

(Wawancara dengan Inggrid Sondakh tanggal 28 Juli 2010)

Alasan religius juga menjadi pendorong bagi Inggrid Sondakh. Setidaknya dimensi religiusitas itu kerap terucapkan dalam wawancara peneliti dengannya. Mungkin saja religiusitas itu merupakan semangat yang diperolehnya dari kakeknya, Markus Lolombulan Sondakh, yang adalah seorang pendeta Kristen. Khusus terkait proses kandidasi ini pun, Inggrid secara spesifik berujar,

“Tentunya jika Tuhan berkenan, saya berkerinduan bukan saja di legislatif, tetapi di eksekutif yang nanti penjabarannya langsung…. Saya selalu berpatokan memang kalau Tuhan ijinkan tidak ada yang mustahil.”.

Bahkan saat mengidentifikasi diri sebagai perempuan kandidat yang berpasangan dengan perempuan pula, Inggrid berujar,

“...kepada kaum laki-laki untuk tentunya menyadari bahwa kaum perempuan juga diciptakan Tuhan untuk menjadi penolong bagi kaum laki-laki, yang kiranya diperlakukan pula sebagai mitra.,, karena segala sesuatu bagi saya toh Tuhan buka jalan saya, prosesnya berjalan dengan baik...Bagi saya pribadi, suami, dan keluarga rindu memberi diri, jika Tuhan berkenan, Tuhan pakai kami di sana untuk pelayanan.”

BAB V - PROFIL D AN PROSES K ANDID ASI PEREMPU AN K ANDID A T DI SUL A WESI UT AR A

141

Secara jujur Inggrid mengemukakan, bahwa sesungguhnya

yang diinginkan dalam proses kandidasi ini adalah posisi papan satu (calon bupati, bukan wakil bupati), apalagi ia menjabat sebagai ketua salah satu partai besar di MinUt. Namun Inggrid bersikap realistis dalam berpolitik, karena sebagaimana disebut diatas, hasil survei menunjukkan posisi papan satu belum mungkin dijangkaunya. Untuk itu Inggrid dan partainya memutuskan untuk berpasangan sebagai papan dua dari Netty Pantow.

B.1.3. Modal Sosial

Modal sosial pertama Inggrid Sondakh adalah menjadi salah satu anggota klan keluarga yang terhormat di Sulut. Ayahnya, yang mantan Gubernur Sulut 2000-2005, telah dikenal luas oleh masyarakat Sulut.Ibunya yang hingga kini menjadi anggota DPD Golkar Sulut, sedikit banyak memiliki jejaring sosial yang luas. Dukungan penuh dari keluarga besarnya itu menjadi modal yang berarti dalam menumbuhkan percaya dirinya. Inggrid mengatakan bahwa keluarganya betul-betul mendukung 100%.

Di luar jejaring keluarga, secara pribadi Inggrid Sondakh yang mantan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi itu pastilah memiliki jejaring rekan dosen. Di samping itu, kedudukannya sebagau Ketua DPD Partai Golkar MinUt dua periode, membuatnya memiliki jejaring sosial yang luas.

B.1.4. Modal Politik

Walaupun dari internal Partai Golkar ada pesaing dalam proses kandidasi, dan ada pro-kontra dalam penetapannya sebagai kandidat, tapi baginya itu merupakan dinamika

142

politik yang biasa. Bahkan sebagai Ketua DPD Partai Golkar MinUt, Inggrid berupaya bersikap bijak. Seperti dikatakannya,

“…banyak kader yang kepingin, dan mereka tentu punya hak. Berbagai upaya juga mereka coba lakukan untuk mengganjal. Tetapi saya enjoy saja. Menyerahkan keputusan di atas, tetapi tetap berjuang”.

B.2.

Proses Kandidasi

B.2.1. Persiapan Kandidasi

Suami dan ibundanya, merupakan pihak pertama yang diajak bicara perihal keinginannya untuk maju dalam proses kandidasi. Secara khusus, suaminya merupakan pihak yang mendorongnya untuk maju dalam proses kandidasi, Inggrid mengaku bahwa justru suaminyalah yang mendorongnya untuk maju. Mereka percaya secara religius bahwa tujuan kekuasaan itu adalah pelayanan untuk masyarakat. ia. Komunikasi politik pun dilakukan sebagai persiapan dengan mengikuti prosedur internal Partai Golkar. Karena rekomendasi kandidasi ditentukan oleh DPP Partai Golkar dengan mengacu hasil survei, maka Inggrid pun rela menempati posisi papan dua, serta berpasangan dengan Netty Pantow. Tentu ada pergumulan panjang, namun: “Ibu Netty salah satu kandidat terbaik…memang DPP yang mengeluarkan rekomendasi dan memutuskan Ibu Netty dan saya yang maju”.

Bagi Inggrid, berpasangan sesama perempuan dalam kandidasi ini merupakan hal yang biasa. Secara kultural kehadiran pemimpin perempuan di Minahasa sudah lazim. Dalam ungkapannya dikatakan,

BAB V - PROFIL D AN PROSES K ANDID ASI PEREMPU AN K ANDID A T DI SUL A WESI UT AR A

143

“…manakala memang pada akhirnya kami dua perempuan, bukan suatu hal yang tabu

dan baru lagi di Minahasa Utara”.

Tampaknya memang dari segi sejarah masyarakat Minahasa sudah terbiasa menerima kehadiran pemimpin perempuan. Setidaknya Bupati MinUt terdahulu adalah perempuan (Vonny). Juga pernah ketua DPRD dipimpin perempuan. Kepala kejaksaan negeri pun adalah perempuan. Serta tak sedikit ketua partai adalah perempuan.

Betapa pun demikian, kenyataan obyektif sebagai satu- satunya pasangan perempuan dalam kandidasi di MinUt, dijadikan dasar kekuatan yang coba dioptimalkan secara simbolik. Sebagaimana dituturkannya,

“Justru hal ini coba kami olah menjadi kekuatan kami…karena ternyata dengan berpasangan perempuan dengan perempuan lebih mudah sebenarnya…banyak hal komunikasi berjalan lancar.”

Singkat kata, sinergi antara perempuan dengan perempuan lebih mudah terbentuk.

Lebih lanjut, meskipun pembagian peran antara bupati dan wakil bupati telah diatur dalam UU, tapi dalam proses kandidasi ini secara khusus dibicarakan pembagian peran di antara mereka berdua. Antara lain menyangkut perihal sosialisasi dan strategi kampanye.

B.2.2. Kandidat dan Partai Pengusung

Pengusung formal kandidasi Inggrid sebagai papan dua yang berpasangan dengan Netty Pantow adalahPartai Golkar sendirian. Sekalipun demikian, pendukung riil mereka berasal dari fragmentasi anggota atau pengurus Partai Demokrat. WalauInggrid menjabat sebagai ketua

144

DPD Partai Golkar MinUt, namun negosiasi internal Golkar tak sepenuhnya tuntas. Fragmentasi, walau kecil, tetap ada. B.2.3. Kandidat dan Institusi Sosial

Lazim seperti dilakukan kandidat lain, berjejaring gereja menjadi salah satu hal yang dilakukan oleh Inggrid. Hal ini menjadi lebih mungkin dilakukan karena kakeknya almarhum adalah seorang pendeta Kristen.

B.2.3. Kandidat Dan Penyelenggara Pemilu

Pasangan Netty-Inggrid dalam pencalonannya dipenuhi dengan konflik di internal Partai Demokrat yang memunculkan dua rekomendasi yang berbeda ketika terjadi transisi kepemimpinan di PD. Akhirnya pasangan ini diusung oleh Partai Golkar, namun pihak Netty pun tetap menggugat ke KPUD karena menganggap pengesahan dari KPUD tersebut sebagai pelanggaran hukum. Pada sisi lain KPUD menganggap bahwa konflik internal di tubuh partai bukan menjadi tanggungjawab KPUD. Akhirnya pasangan ini tetap melaju dengan kendaraan Partai Golkar.

Dokumen terkait