• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PROFIL PEREMPUAN K

G. TRI RISMAHARIN

G.1.

Proil Kandidat

G.1.1. Biograi

Ir. Tri Rismaharini, lahir di Kediri, pada tanggal 20 November 1961, yang beragama Islam, adalah seorang birokrat sukses dengan pangkat terakhir sebagai Pembina Tingkat I (IV/B). Pendidikan sekolah dasarnya diselesaikan di SDN di Kediri pada tahun 1973, kemudian SMPN X di Surabaya diselesaikan tahun 1976, SMUN V di Surabaya selesai pada tahun 1980. Pendidikan S-1 Arsitektur ITS di Surabaya 1987 dan S-2 Manajemen Pembangunan Kota Surabaya selesai tahun 2002.

112

Berbagai jabatan yang pernah dipegang Risma antara lain: Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeko (1997- 2000); Kasie Pendataan dan Penyuluhan Dinas Bangunan (15 Januari 2001 – 16 Januari 2002); Kepala Cabang Dinas Pertamanan (16 Januari 2002 – 2 September 2002); Kepala Bagian Bina Pembangunan (2 September 2002 – 1 Juni 2005); Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan (1 Juni 2005 – 25 November 2005); Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (25 November 2005 – 1 Januari 2008); Kepala Bappeko Surabaya (1 Januari 2008 – Mei 2010); dan kini Wali Kota Surabaya (2010-2015).

Kesuksesan Risma tidak lepas dari berbagai pendidikan non-formal yang dia peroleh selama menjadi birokrat. Di antaranya: diklat fungsional IUDM Belanda (1996); Tata Ruang (1996); Perencanaan Kota Baru (1996); Pemukiman (1999); Transportasi (2000) dan Urban Heritage (2000). Sedangkan diklat struktural yang pernah diikuti di antaranya: ADUM; ADUMLA; SPAMA; DIKLATPIM TK.II di Surabaya (2005).

Kesuksesan Risma ditunjukkan pula oleh berbagai hasil karya diantaranya: E-Procuvement Kota Surabaya 2005; Peningkatan Ruang Terbuka Hijau pada Tahun 2008 dari 2153 ha menjadi 2156 ha (6,51% menjadi 6,52%); Tahun 2009 dari 2156 ha menjadi 6826 ha (6,52% menjadi 20,66%); APBD Surabaya diatas Rp 4 triliun pada tahun 2009-2010; alokasi anggaran pendidikan di Surabaya diatas 32% pada tahun 2009-2010; Penambahan Lokasi Sentra PKL 19 sentra dan pasar masyarakat (7 unit) 2009-2010.

BAB IV - PROFIL PEREMPU AN K ANDID A T D AN PROSES K ANDID ASI DI JA W A TIMUR

113

Beberapa penghargaan yang pernah diterima Risma: Pelajar

Teladan SD; cumlaude pada S2 Manajemen Pembangunan Kota pada tahun 2002; Satya Lencana Karya Satya pada tahun 2005; ”Person of The Year” oleh Jawa Pos 2007; 7 Tokoh Seni dan Arsitektur oleh Majalah TEMPO pada tahun 2007; Surabaya Academy Award Kategori: Board Preference tahun 2007; Suara Surabaya Media, Harian Surya, Harian Surabaya Post, Enciety Business Consult; 12 Tokoh yang merubah wajah Indonesia oleh Koran Tempo tahun 2007 dan muncul dalam rubrik Sosok oleh Kompas Nasional pada tahun 2007. Beberapa penghargaan yang relevan dengan jabatannya antara lain: tahun 2005 meraih Jawa Pos Pro Otonomi Award Spesial Achievement dari Warta Ekonomi; tahun 2007 Award of Excellence for Global Environmental Strategis (UNESCAP dan IGES); International Green Apple Award pada tahun 2006-2009; ADIPURA tahun 2008-2009; PU Award tahun 2009; Best Cost Effectiveness Asian Cities of The Future oleh Financial Times FDI Magazine.

Ia bersuamikan Ir. Djoko Saptoadji dan memiliki 2 anak yaitu Fuad Benardi (20 tahun) dan Tantri Gunardi (16 tahun). (sumber Litbang Kompas, Biro Jawa Timur, 23 Februari 2010).

114

G.1.2. Motivasi Kandidat

Tampilnya Tri Rismaharini sebagai kandidat Walikota Surabaya merupakan fenomena menarik, mengingat ia adalah satu-satunya perempuan kandidat yang lolos seleksi dan berhak tampil dalam kontestasi pemilukada Surabaya 2010.Tentang motivasi Tri Rismaharini dalam pencalonan kandidat Walikota Surabaya, terungkap dalam wawancara bahwa ia tidak memiliki ambisi pribadi sebagaimana yang dikatakannya:

“Nggak ada, tidak ada. Sebetulnya prosesnya saya nggak tahu, ya karena saya prinsip bahwa saya tidak mencalonkan diri. kemudian yang kedua saya juga tidak mau melamar. Nah kemudian ada partai-partai yang ingin mengusung dan mereka dengan caranya sendiri-sendiri. Jadi nggak ada dari saya, apa namanya maksudnya keaktifan itu bukan di saya gitu. Temen- temen menyampaikan bahwa menjelaskan bahwa saya -ya saya- kan nggak tahu, menurut mereka saya bisa lah ya dijadikan calon. Terus saya bilang, ‘Oke dasarnya apa?’ Kita harus punya perjanjian, yang pertama pokoknya tetap saya tidak mau melamar, kemudian juga saya tidak mau dengan cara-cara menggunakan uang, melamar saya tidak mau apalagi menggunakan uang begitu ya. Apalagi ‘mbayar partai gitu kan. Temen-temen saya dasarnya pertemanan. Jadi bukan ambisi untuk saya jadi calon, nggak. Ya karena saya sudah selama ini berteman dengan teman-teman dan saya banyak dibantu teman-teman dalam menyelesaikan masalah-masalah di pemerintahan kota. Bagaimanapun meskipun saya seorang birokrasi, saya butuh masukan- masukan, saya butuh -apa namanya- pandangan-pandangan dari luar, derajat penyelesaian permasalahan masalah kota. Karena kalau saya putuskan sendiri dengan pandangan saya sendiri itu tidak fair ya. Nah teman-teman itu yang selama ini membantu saya menyampaikan seperti itu lah ya. ‘Oke’, saya bilang gitu. atas dasar pertemanan jadi bukan atas dasar keinginan saya, saya juga tidak ingin mengecewakan teman-teman, oke. Tapi kemudian diciptakanlah standar-standar tertentu, jadi misalkan apa suara harus minimal 20% itu ya. Kemudian oke, saya juga jalan bukan kampanye tapi kita hanya ingin tahu apakah bisa mencapai angka gitu. Tanpa saya men-declare mau di calonkan...”

BAB IV - PROFIL PEREMPU AN K ANDID A T D AN PROSES K ANDID ASI DI JA W A TIMUR

115

Meskipun pencalonan Tri Rismaharini tidak berdasarkan motif personal namun tampilnya Tri Rismaharini sebagai calon kandidat Walikota Surabaya yang didampingi oleh Bambang DH didorong oleh motif untuk mempertahankan prestasi-prestasi yang telah didapat oleh Kota Surabaya (yang mana tidak dapat dilepaskan dari sosok Tri Rismaharini sebagai birokrat pemerintah Kota Surabaya) dan menyelesaikan persoalan-persoalan publik kota Surabaya. Seperti diuraikan oleh Tri Rismaharini,

“....Sebetulnya itu prestasi itu terakhir ya, terakhir. Sekitar saya terus terang bukan apa namanya bukan ya Alhamdulillah kalau dapat prestasi. Tapi yang betul-betul real itu bagaimana sebetulnya itu dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, itu yang paling utama. Jadi contohnya begini, misalkan saat Adipura itu kita raih itu saya pertama kali setelah sekian tahun tidak mendapat Adipura kemudian kita dapat. Tapi saat itu saya melihat bahwa banyak kelemahan Adipura, sehingga saya ngomong kalau pendekatannya seperti ini saya sampaikan ke pemerintah pusat. Kalau pendekatannya seperti ini, seorang kepala daerah itu karena dia ingin berprestasi di depan warganya, masyarakatnya, hanya karena tanda petik yang namanya mendapatkan prestasi Adipura, segalanya kan dicapai. Contohnya misalkan dia investasikan sekian persen dari belanja APBD nya untuk mendapatkan Adipura dan dia akan kerja sekian bulan pada waktu penilaian. Itu kanndak tabu, itu yang saya sampaikan ke temen-temen penilai pusat. Saya bilang ini harus based on masyarakat, kalau masyarakat tidak mengerti itu lepas Adipura sendiri, masyarakat sendiri, seperti prestasi-prestasi yang lain maka itu tidak akan langgeng. Dan itu Surabaya tidak pernah merasakan seperti itu, saatnya Pak Purnomo Kasidi itu tidak pernah tidak ada tahun tidak tanpa Adipura. Tapi kemudian Pak Purnomo Kasidi turun diganti Pak Narto satu kalipun tidak pernah dia dapat. Karena yang dulu itu dicapai dengan pola seperti itu, lha itu yang terus terang saya tidak anu, berangkatnya memang dari masyarakat, harus dari masyarakat. Ya jadi saya tujuan utamanya adalah kepuasan masyarakat, ya pelayanan kepada masyarakat, masyarakat luas itu pasti akan otomatis atau tidak, itu akan dampaknya pasti positif ke kota. Nah akhirnya [jadi] prestasi itu... “

116

Dari pandangan yang telah diutarakan oleh Tri Rismaharini diatas terlihat bahwa kandidat memaknai pencalonannya menjadi Walikota Surabaya tidak hanya sekedar untuk meraih prestasi-prestasi bagi kota Surabaya namun lebih jauh dari itu adalah untuk menjalankan program pembangunan dan pelayanan dasar berbasis masyarakat. Selanjutnya ia juga menguraikan bagaimana memaknai pencalonannya menjadi kota Surabaya untuk melakukan pembenahan dan perbaikan kota Surabaya secara integratif dan tidak secara parsial. Seperti yang diuraikan oleh Tri Rismaharini:

“Jadi ya gini kan kebetulan kan, kebetulan saya di birokrasi dua tahun terakhir saya kan

menjabat di [posisi] yang menentukan kebijakan ya, kebijakan pembangunan, nah sebetulnya tidak bisa lepas kalau kita ngomong kemiskinan. Kemiskinan itu tidak lepas dari pendidikan, dari budaya, dari itu, nggak bisa. Jadi saya ngomong kemiskinan itu saya selesaikan dengan apa, misalkan saya selesaikan dengan pernyataan masalah ekonomi misalkan kita siapkan jaring-jaring ekonomi tapi kalau mental sama kulturnya tidak mendukung ya nggak bisa. Nah kemudian sekarang saya ngomong pendidikan, saya tidak ngomong masalah bagaimana orang tuanya, contohnya misalkan Surabaya sudah digratiskan tapi kok masih ada anak yang nggak sekolah, apa dasarnya orangtuanya minta dia bekerja, belum tentu dia miskin. Tapi memang dia punya budaya itu, jadi itu salah satu masalah, masalah yang tidak berlaku satu permasalahan kota itu harus diselesaikan dan tidak bisa dipotong, dipilah-pilah itu nggak [permasalah yang ada tidak bisa dipecahkan secara parsial, sepotong-potong]. Kalau mau maju suatu kota maka itu semua harus diangkat gitu, masalah apapun itu, jadi nggak bisa. Contohnya ya itu yang paling gampang misalkan ngomong kemiskinan ya, ngomong kemiskinan kita tidak bisa hanya ngomong, ‘ini tak [aku] siapkan tempat usaha atau tak carikan pekerjaan’, jadi nggak bisa seperti itu. Contohnya misalkan ada satu orang atau beberapa keluarga yang

tak temui, yang laki nggak mau kerja, yang kerja yang perempuan. Yang laki hanya adu ayam aja, [budaya seperti] itu ada mas. Dia tak tawari, ‘bapak mau jualan di sini?’, ‘nggak mau’. Ya itu kan perkara-perkara seperti itu kan namanya penyakit sosial yang juga harus kita selesaikan untuk mengangkat kemiskinan itu. …Ada seorang suami yang, ya mohon maaf ini, dalam tanda petik jual istrinya. Lha itu ada [kasus seperti] itu. Jadi artinya bahwa tidak bisa kita menyelesaikan itu sepotong-sepotong. Nah ini kan yang bahayamisalkan dia suka adu ayam, nggak mungkin kan dia adu ayam sendiri, pasti ada temennya

kan, nah ada kelompoknya. Nah kelompok ini kan juga artinya bahwa itu juga harus diselesaikan begitu, karena bukan hanya satu orang. …dan itu kan juga di lihat anaknya, contohnya misalkan. Di kawasan prostitusi itu kan anak-anak laki kan masih kecil-kecil dia sudahtahu [sudah melihat tingkah laku orang dewasa] terus dia jadi nganggu ke temen- temennya yang perempuan. Nah macam-macam itu nggak bisa diselesaikan hanya satu potong begini, itu nggak bisa...”

BAB IV - PROFIL PEREMPU AN K ANDID A T D AN PROSES K ANDID ASI DI JA W A TIMUR

117

Selanjutnya motivasi tampilnya Tri Rismaharini sebagai kandidat Walikota Surabaya juga berhubungan dengan perspektifnya untuk menghubungkan peningkatan pelayanan dasar yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surabaya dengan keterlibatan dan partisipasi warga dalam proses pembangunan kota Surabaya. Selanjutnya program strategis lain adalah penguatan sentra-sentra ekonomi kecil dan menengah yang sudah mulai dilakukan dan akan terus dipertahankan. Seperti diutarakan oleh Tri Rismaharini: ”...Jadi kan begini, kalau misalkan masyarakat itu, dia sudah tahu bahwa kita ini melayani mereka, maka mereka akan sangat mudah untuk diajak berpartisipasi. Nah mudahnya diajak berpartisipasi, saya akan lebih mudah menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan sosial dengan budaya. Karena ini yang paling sulit ini.. Nah seperti tadi misalkan adu jago, masyarakat [dapat menganggap] ternyata ooo enak ya kondisi lingkungan kita seperti ini. Nah mereka akan serta-merta mengajak temennya yang tadi yang suka adu jago, atau tidak mau bekerja, itu akan mereka akan ajak gitu. Nah itu yang sebelumnya tujuan akhirnya, kalau sudah itu berhasil maka ini akan peningkatan ini akan lebih mudah. Nah sebetulnya saya memang belajar juga masalah ekonomi sedikit, pertumbuhan ekonomi di Surabaya ini ditunjang sama konsumsi. Nah kalau kemampuannya masyarakat daya belinya itu rendah, maka pertumbuhan ekonomi itu tidak tercapai. Nah karena itu kita mengangkat untuk masyarakat itu, jadi kita tujuan kita adalah bagaimana masyarakat itu mengurangi pengeluaran, kemudian meningkatkan pendapatan sehingga dia akan mempunyai margin kekuatan ekonomi lebih besar. Nah kalau dia mempunyai kekuatan ekonomi lebih besar, maka dia bisa membelanjakan uangnya. Nah oleh karena itu pelayanan-pelayanan dasar kita tingkatkan seperti itu. Kemudian juga bagaimana meningkatkan ekonomi, mangkanya kita bangun sentra- sentra PKL, kita bangun pasar-pasar masyarakat, kemudian kita bangun pusat-pusat. Misalkan orang ngomong taman …pernahkah kita tahu bahwa di taman itu ada perputaran ekonomi cukup tinggi? Dulu itu PKL Bungkul itu sebelum ada taman itu, itu sehari itu nggak sampai satu juta [penghasilannya]. Sekarang ini satu hari sampai sepuluh sampai lima belas juta, perhari, satu orang. Dan itu kita tidak bohong, pedagang pun mengakui omsetnya itu sehari antara sepuluh sampai lima belas juta. Kita akan melihat itu, karena kemudian kan bukan hanya masyarakat Surabaya yang datang ke situ

kan. Nah itu yang kita harus lihat, jadi bagaimana menumbuhkan apa namanya suatu pusat-pusat dan center-center kegiatan yang akan mendorong tadi. Nah itu yang kita buat, mangkanya kita mbangun yang ada di pinggir-pinggir kota itu sekarang, untuk lebih mendorong itu, gitu...”

118

Dari apa yang diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tampilnya Tri Rismaharini sebagai kandidat Walikota Surabaya tidak didorong oleh suatu ambisi pribadi untuk maju menjadi Walikota. Motivasi politik yang dimiliki olehnya adalah untuk mempertahankan prestasi yang sudah diraih oleh kota Surabaya. Dalam pandangannya, mengelola dan memimpin Kota Surabaya tidak didasarkan pada capaian prestasi namun lebih pada menginisiasi proses pembangunan kota berbasis masyarakat yang dilakukan dengan menjalankan pelayanan-pelayanan dasar dari pemerintah kota untuk mendorong partisipasi dan keterlibatan warga kota dan penguatan sentral-sentra ekonomi usaha kecil untuk mendorong pertumbuhan dan produktivitas ekonomi kota Surabaya.

G.1.3. Modal Sosial

Tri Rismaharini bukanlah sosok aktivisatau politisi kebanyakan. Risma merupakan birokrat profesional, yang mengawali dan mengakhiri karirnya sebagai birokrat di Pemerintahan Kota Surabaya sebelum memutuskan berhenti dan menjadi calon walikota. Modal sosial yang dimiliki justru terbangun ketika dia berkarir sebagai birokrat profesional itu. Ketika bertindak sebagai Kepala Bagian Bina Pembangunan, Sekretariat Daerah Kota Surabaya, antara 2 September 2002 sampai 1 Juni 2005, Risma telah memelopori diberlakukannya E-procurement di dalam proses tender di Kota Surabaya. Sebelumnya, proses tender ditengarahi berlangsung tidak sehat. Kongkalikong antara pejabat dengan peserta tender atau diantara peserta tender sendiri sering terjadi. Konsekuensinya, besaran tender itu dianggap terlalu mahal, tidak efisien dan memiliki aroma KKN. Melalui instrumen E-procurement, praktik yang tidak

BAB IV - PROFIL PEREMPU AN K ANDID A T D AN PROSES K ANDID ASI DI JA W A TIMUR

119

sehat semacam itu diharapkan bisa terkurangi. Terobosan

Risma ini cepat menyebar ke mana-mana, bukan hanya ke peserta tender dan di lingkungan pemerintahan Kota Surabaya melainkan juga ke masyarakat luas. Media massa telah menyoroti dan mempublikasikan terobosan ini. Radio-radio yang sering mengadakan acara talk show dan melibatkan pendengar juga sering memperbincangkan penggunaan E-procurement di awal-awal 2000-an itu. Ketika Risma dipindah sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, antara 25 Februari 2005 sampai 1 Januari 2008, sempat muncul dugaan bahwa Risma akan ‘dikerangkeng’ karena terlalu keras di dalam menerapkan E-procurement. Penggunaan metode baru dalam proses tender itu dianggap telah merugikan sejumlah pejabat dan peserta tender yang menggunakan pola lama karena tidak bisa lagi leluasa mencari keuntungan untuk diri mereka. Ada dugaan, Risma dipindahkan agar peserta tender bisa lebih mudah melakukan praktek KKN dengan pejabat pemkot kembali. Atas kecurigaan semacam itu, Walikota Bambang DH sempat angkat bicara dan berusaha menampiknya. Menurut Bambang, Risma bukan ‘dibuang’ melainkan ‘dipromosikan’. Selain itu, Risma sendri pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Cabang Dinas Pertamanan, antara 16 Januari 2002 sampai 2 Februari 2002. Dengan demikian, kata Bambang, pekerjaan Risma itu juga bukan sesuatu yang asing sama sekali.

Argumentasi itu mungkin tidak salah. Risma mencatat prestasi yang gemilang ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Risma melakukan gebrakan dengan melakukan perbaikan taman-taman dan

120

penghijauan, serta penataan wajah kota. Akibatnya Surabaya kemudian berubah menjadi salah satu kota terbersih dan berwajah hijau di Indonesia. Di samping masyarakat yang mengetahui dan menikmati secara langsung prestasi ini, Jawa Pos dan media lain juga sering mempromosikan hasil kerja Risma sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Tidaklah mengherankan kalau Risma termasuk kepala dinas terpopuler di Kota Surabaya. Setelah itu, Risma dipromosikan sebagai Kepala Bappeko Kota Surabaya. Ini merupakan posisi strategis karena berkaitan dengan perencanaan pembangunan Kota Surabaya.

Posisi dan prestasi semacam itu telah memungkinkan Risma memiliki jaringan yang lebih luas dengan warga Kota Surabaya. Dalam upaya membangun Surabaya sebagai kota bersih dan hijau, Risma sering bekerjasama dengan pengurus RT/RW. Hal yang sama juga dilakukan ketika bertindak sebagai Kepala Bappeko. Karenanya Risma menjadi salah satu pejabat yang memiliki jaringan dengan masyarakat sampai di level bawah. Ketika ia menjadi Kepala Dinas Pertamanan, ia memiliki kader lingkungan yang dibentuk sampai tingkat RT/RW. Kader lingkungan inilah yang menjadi jaringan Risma dan menguntungkannya dalam pemilukada. Sementara itu, prestasi yang diraihnya selama ini telah menumbuhkan kepercayaan terhadap dirinya. Jaringan dan kepercayaan itu, oleh para ahli ilmu sosial, merupakan elemen penting dari modal sosial. Dalam banyak kasus telah terbukti bahwa modal sosial merupakan salah satu modal penting bagi keterpilihan seseorang menjadi kepala daerah melalui pemilihan langsung.

BAB IV - PROFIL PEREMPU AN K ANDID A T D AN PROSES K ANDID ASI DI JA W A TIMUR

121

G.1.4. Modal Politik

Mengingat ia bukanlah politisi dan tidak terkait dengan partai tertentu, Risma tidak memiliki modal politik berupa dukungan dari partai pada awalnya. Modal politik yang dimilikinya adalah sebagai pejabat di lingkungan birokrasi, yang memungkinkan dirinya berinteraksi dengan pejabat- pejabat politik dan masyarakat. Modal terbesar yang dimiliki Risma adalah predikat birokrat profesional dan berprestasi. Modal ini pula yang memungkinkan Risma memperoleh kepercayaan dari PDIP untuk dicalonkan.

Posisinya sebagai mantan Kadis Pertamanan dan Kepala Bapeko Surabaya membuatnya diperhitungkan oleh Bambang DH untuk berpasangan sebagai Walikota Surabaya. Kedekatan dengan Bambang DH, yang Walikota Surabaya, menjadikan dia diperhitungkan dalam tubuh PDIP. Tri Rismaharini sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan politik praktis. Oleh karena posisinya sebagai birokrat tidak memungkinkan dia untuk memasuki dunia politik. Ia hanya mengenal politisi ketika harus mewakili eksekutif untuk hearing dengan dewan. Bisa dikatakan Risma sama sekali tidak memiliki modal politik.

G.2.

Proses Kandidasi

G.2.1. Persiapan Kandidasi

Tampilnya Tri Rismaharini sebagai kandidat pilwali Kota Surabaya berjalan melalui dinamika politik yang melibatkan interaksi antara kandidat, tim pemenangan dan partai politik pengusung (PDIP). Tri Rismaharini adalah kandidat

122

yang berlatar belakang birokrat non-partai yang diusung oleh partai politik. Seperti diutarakan oleh Jagad Hariseno (Tim Pemenangan pasangan Risma-Bambang) bahwa pada awalnya bursa pencalonan kandidat Walikota Surabaya telah memunculkan beberapa nama yang coba ditawarkan melalui mekanisme internal dari bawah partai politik. Namun demikian dalam mekanisme internal PDIP suara terakhir yang memutuskan rekomendasi partai politik adalah ketua umum partai. Mengetahui mekanisme tersebut maka Jagad Hariseno sebagai tim pemenangan pasangan kandidat Rismadan Bambang melakukan inisiatif untuk langsung menghubungi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, setelah Tri Rismaharini menyatakan kesediaannya untuk dicalonkan menjadi kandidat Walikota Surabaya.

Wacana untuk mencalonkan Risma mulai muncul secara kuat pada Januari 2010, hanya beberapa minggu setelah pendeklarasian pasangan Saleh Ismail Mukadar dan Bambang DH. Pencalonan Risma sekaligus berarti penolakan sebagian pengurus PDIP Surabaya terhadap pencalonan Saleh. Sucipto, mantan Sekjen PDIP memiliki peran yang sangat penting di dalam proses pencalonan Risma. Secara terang-terangan, pada awal Februari, dia merestui pencalonan Risma. Dalam pandangan dia, meskipun bukan kader PDIP, Risma dipandang memiliki kemampuan dan prestasi, serta populer di kalangan warga Surabaya. Meskipun demikian, keputusan ini juga tidak lepas dari persaingan antara Wisnu Sakti dan Saleh Mukadar. Wisnu merupakan anak dari Sucipto. Dalam pendeklarasian ‘SBY’ (Saleh Mukadar-Bambang Yes), Wisnu merasa ditelikung. Beberapa saat setelah pendeklarasian pasanggan ‘SBY’, Safrudin Budiman membuat analisis sebagai berikut:

BAB IV - PROFIL PEREMPU AN K ANDID A T D AN PROSES K ANDID ASI DI JA W A TIMUR

123

“Namun dalam perjalannya deklarasi ini tidak mulus, pasalnya Sekretaris DPC PDIP

Surabaya Wisnu Sakti Buana merasa ditelikung dengan adanya deklarasi pencalonan pasangan Saleh Mukadar-Bambang DH. Berdasar keterangan sumber dari internal PDIP, Wisnu Sakti merasa ditinggal dengan deklarasi pasangan yang berslogan Saleh Mukadar- Bambang Yes (SBY) tersebut. Pasalnya, tidak ada pembicaraan sebelumnya dengan Wisnu terkait deklarasi tersebut” .

(Safrudin Budiman, 21 Desember 2009)

Upaya untuk mewacanakan Risma sebagai calon Wali Kota dari PDIP pada Januari 2010, dengan demikian, juga tidak lepas dari ketidaksetujuan dirinya terhadap pencalonan Saleh Ismail Mukadar. Aroma persaingan antara Saleh Ismail Mukadar dengan Wisnu Sakti Buana memang cukup kencang menjelang pencalonan walikota. Puncaknya adalah ketika diadakan pemilihan Ketua DPC yang baru. Saleh Mukadar tersingkir dan Wisnu terpilih sebagai Ketua DPC yang baru.

Dokumen terkait