• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inisiatif hukum lunak: Kode Etik untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dalam Perjalanan dan Pariwisata

Kode Etik untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dalam Perjalanan dan Pariwisata (Kode Etik) tersebut merupakan sebuah instrumen peraturan diri dan tanggung jawab sosial perusahaan yang diprakarsai oleh jaringan ECPAT yang memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap anak-anak dari eksploitasi seksual dalam perjalanan dan pariwisata. Kode Etik tersebut dipandang sebagai salah satu alat utama dunia untuk memerangi pariwisata seks anak dan terdiri dari enam kriteria yang harus diikuti oleh perusahaan-perusahaan perjalanan dan pariwisata agar dapat memberikan perlindungan kepada anak-anak yang rentan di daerah-daerah tujuan wisata. Perusahaan-perusahaan yang telah menandatangani Kode Etik tersebut harus melaksanakan keenam kriteria tersebut sesuai dengan standar minimum, jangka waktu dan persyaratan-persyaratan pelaporan.

Berikut ini adalah keenam kriteria tersebut:

1. Untuk mengembangkan sebuah kebijakan etika tentang eksploitasi seksual komersial anak;

2. Untuk melatih pekerja yang berada di negara asal dan di daerah-daerah tujuan perjalanan;

3. Untuk memperkenalkan sebuah ketentuan di dalam perjanjian dengan para pemasok yang menyatakan sebuah penolakan umum terhadap eksploitasi seksual komersial anak;

4. Untuk memberikan informasi kepada para pelancong melalui katalog, brosur, in-flight film (film dalam penerbangan), slip tiket, homepage; dsb;

5. Untuk memberikan informasi kepada orang-orang kunci lokal yang ada di daerah-daerah tujuan; dan

6. Untuk memberikan laporan setiap tahun.

Sampai akhir tahun 2007, Kode Etik tersebut telah ditandatangani secara global oleh hampir 600 operator perjalanan, hotel, biro perjalanan dan asosiasi mereka serta serikat pekerja dari 26 negara di Eropa, Asia, Amerika Utara serta Amerika Tengah dan Amerika Latin. Informasi tambahan tentang Kode Etik tersebut dapat diakses di: www.thecode.org.

376 The Protection Project, The Johns Hopkins University Paul H. Nitze School of Advanced International Studies. International Child Sex

Tourism: Scope of the Problem and Comparative Case Studies, hal. 187. January 2007.

MEMPERKU

A

T

127

377 Vander Beken, Tom. The best place for prosecution of international corruption cases. Avoiding and solving conflicts of jurisdiction, hal. 5. The Third Global Forum on Fighting Corruption and Safeguarding Integrity. Seoul. 29 May 2003. Diakses pada tanggal 30 September 2008 dari: http://www.ircp.org/uploaded/I-1%20Tom%20Vander%20Beken.pdf.

378 O Brian, Muireann, ECPAT International. Extraterritorial Jurisdiction: What's it About? Diakses pada tanggal 1 Oktober 2008 dari: http://www.preda.org/archives/research/ecpat031001.html.

KESIMPULAN

Penghapusan pariwisata seks anak membutuhkan langkah-langkah legislatif yang luas yang tidak hanya ditujukan pada pelaku perorangan yang melakukan perjalanan untuk tujuan melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak tetapi juga sektor pariwisata agar mereka tidak memfasilitasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran seperti itu.

Walaupun undang-undang ekstrateritorial merupakan sebuah alat yang dibutuhkan dalam memerangi pariwisata seks anak dan walaupun ECPAT telah mendorong negara-negara 'pengirim' untuk memperkuat kerangka hukum mereka berdasarkan pada berbagai rekomendasi yang dibuat dalam bagian ini, tetapi hal itu bukanlah pengganti untuk sebuah pemeriksaan pengadilan di Negara dimana pelanggaran tersebut terjadi. Dalam prakteknya, beberapa Negara hanya akan menetapkan yurisdiksi ekstrateritorial jika Negara dimana pelanggaran

377

tersebut dilakukan tidak ingin atau tidak mampu untuk melakukan penuntutan. Karena berbagai alasan, biasanya solusi terbaiknya adalah dengan menyidangkan pelaku tersebut di negara dimana dia melakukan pelanggaran tersebut; yaitu dimana korban berada dan dimana saksi dan bukti lain ditemukan. Karena alasan yang sama, jika pelaku sudah melarikan diri dari yurisdiksi dimana dia melakukan kejahatan tersebut, maka ekstradisi dengan mengembalikan si

378

pelaku ke negara tersebut merupakan opsi terbaik.

Oleh karena itu, yurisdiksi ekstrateritorial harus dipandang sebagai alat penunjang bagi hukum internasional yang hanya tersedia jika kesempatan lain tidak terbuka. Ketersediaan yurisdiksi ekstrateritorial sendiri tidak mengurangi kewajiban-kewajiban negara 'tujuan' untuk memperkuat hukum mereka dan memberikan penegakan hukum dan penuntutan yang efektif dalam sistem hukum domestik mereka sendiri. Oleh karena itu, dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada negara-negara 'tujuan' dengan meningkatkan kapasitas mereka untuk membuat dan menegakan hukum lokal untuk menghentikan pariwisata seks anak.

Keterlibatan industri pariwisata sangat penting dan membutuhkan langkah-langkah legislatif khusus. Orang-orang dan perusahaan yang mendorong dan mempromosikan pariwisata seks anak harus tunduk pada KUHP yang kuat ditambah dengan hukuman yang berat yang mencerminkan sifat kejahatan seksual terhadap anak yang mengerikan. Telah ada sedikit kemajuan dalam masalah ini tetapi diharapkan akan ada diskusi lebih lanjut, khususnya dalam bidang tanggung jawab perusahaan.

Hukum penanganan eksploitasi seksual anak

MEMPERKU

A

128

CHECKLIST REFORMASI HUKUM

üPariwisata seks anak didefinisikan dan secara khusus dikriminalkan/dihukum dalam perundang-undangan nasional.

üElemen-elemen kejahatan pariwisata seks anak termasuk:

(1) Terlibat dalam aktifitas seks dengan seorang anak di luar negeri: termasuk aktifitas seks terlarang non-komersial dan komersial dengan seorang anak usia dibawah 18 tahun

(2) Melakukan perjalanan dengan niat untuk terlibat dalam aktifitas seksual dengan seorang anak di luar negeri

(3) Mengiklankan atau mempromosikan perjalanan seks anak

(4) Mengorganisir/membuat rencana perjalanan untuk seseorang dengan tujuan untuk terlibat dalam aktifitas seksual dengan seorang anak di daerah tujuan (5) Mengirim seseorang untuk tujuan di atas. Tanggung jawab para operator

perjalanan harus mencakup para mitra lokal di lapangan untuk menjamin bahwa tanggung jawab operator tersebut tidak berakhir saat klien tersebut telah tiba di tempat tujuan.

üNegara-negara menerapkan yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan pariwisata seks anak berdasarkan pada Prinsip Kepribadian Aktif dan Prinsip Kepribadian Pasif (yang berlaku bagi warga negara dan penduduk) dan jika memungkinkan, Prinsip Universalitas. Kewajiban untuk 'mengekstradisi atau menuntut' membentuk bagian dari sistem hukum nasional.

üMenghapus syarat pengaduan korban atau permohonan formal Negara.

üPenolakan jaksa untuk melakukan penuntutan membutuhkan pembenaran.

üPrinsip bahaya ganda tidak boleh dipergunakan kecuali jika orang tersebut sudah dibebaskan atau hukumannya telah dijalani secara penuh.

üMenghapus syarat kriminalitas ganda dalam kaitannya dengan kejahatan pariwisata seks anak.

üWaktu kadaluarsa yang fleksibel untuk permulaan penuntutan kejahatan seksual terhadap anak-anak.

üBadan hukum perusahaan tunduk pada sanksi pidana dan non-pidana.

MEMPERKU

A

T

129

Bagian ini menyoroti beberapa langkah yang tersedia untuk memperkuat kerjasama internasional dalam menyelidiki dan menuntut kejahatan seks terhadap anak-anak.

Jika pelanggaran dilakukan di luar negeri atau jika pelaku melarikan diri ke yurisdiksi lain, maka Negara dimana pelaku tersebut ditemukan bisa diminta untuk mengembalikan pelaku tersebut ke negara dimana pelanggaran tersebut dilakukan untuk diadili di pengadilan di negara yang menuntut tersebut. Hal ini dikenal dengan ekstradisi dan didefinisikan sebagai proses resmi dimana sebuah bangsa atau Negara memohon dan mendapatkan penyerahan diri dari seorang tersangka atau penjahat yang dihukum dari bangsa atau Negara lain. Tujuan dari ekstradisi tersebut adalah untuk mencegah orang-orang yang telah melakukan kejahatan menghindar dari perkara pidana.

Menurut hukum internasional, negara tidak memiliki sebuah kewajiban untuk mengekstradisi jika tidak ada perjanjian ekstrateritorial. Ini karena menurut prinsip kedaulatan, konsensusnya adalah bahwa setiap Negara memiliki otoritas hukum atas orang-orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ekstradisi menjadi sebuah pengecualian untuk peraturan itu, maka ekstradisi sering didasarkan pada instrumen yang mengikat secara hukum seperti perjanjian ekstradisi bilateral walaupun negara-negara juga mengekstradisi atas dasar rasa atau sikap hormat yang merupakan pengakuan santun yang diberikan oleh sebuah bangsa terhadap undang-undang dan lembaga dari bangsa lain.