• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ARAHAN PENERAPAN INSENTIF DAN DISINSENTIF

5.3 Arahan Penerapan Insentif dan Disinsentif

5.3.1 Insentif

1. Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak a. Penjelasan:

Pemberian insentif dari Pemerintah pusat dan/atau Pemerintah daerah kepada masyarakat (korporasi) dalam bentuk pembebasan atau pengurangan pajak untuk jangka waktu tertentu. Pembebasan atau pengurangan pajak yang diberikan dapat berupa pajak Pemerintah Pusat (PPN, PPh, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah) dan/atau pajak Pemerintah Daerah (Pajak Bumi dan Bangunan/PBB dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan/ BPHTB).

Penetapan jangka waktu pemberian insentif pembebasan atau pengurangan pajak ini dilakukan berdasarkan hasil kajian sesuai dengan kebutuhan yang dapat berbeda untuk setiap kasus. Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa jangan sampai biaya yang dikeluarkan untuk pemberian insentif ini lebih besar daripada manfaat yang diterima. Hal lain yang dapat menjadi pertimbangan adalah pemberian insentif dapat dihentikan setelah kawasan terbangun/berkembang sesuai peruntukan dan tujuannya (kurang lebih) sebesar 70% atau kawasan sudah berkembang dengan mapan (tidak akan menurun kembali/mati).

Khusus untuk pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dapat diberikan untuk jangka waktu antara 5 – 10 Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial. Setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan, Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 50% dari Pajak Penghasilan terutang selama dua Tahun Pajak. Bila dirasakan perlu, berdasarkan pertimbangan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan di atas.

Badan yang berhak menerima fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan adalah Wajib Pajak badan baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) Merupakan Industri Pionir; (b) Mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang paling sedikit sebesar satu triliun rupiah; (c) Menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% dari total rencana

penanaman modal, dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan (d) Harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan industri pionir mencakup: (a) industri logam dasar; (b) industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; (c) industri permesinan; (d) industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau (e) industri peralatan komunikasi.

Pelaksanaan insentif ini harus dimonitor dan dievaluasi secara berkala setiap tahun agar pemberian insentif dapat tepat sasaran, sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan, serta tidak disalahgunakan atau berlebihan.

Khususnya untuk insentif pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan harus menyampaikan laporan secara berkala kepada Direktur Jenderal Pajak dan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan. Laporan tersebut harus memuat, antara lain: (a) laporan penggunaan dana yang ditempatkan di perbankan di Indonesia; dan (b) laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit.

b. Dari: Pemerintah (Pusat/Daerah) kepada Masyarakat/Korporasi c. Stakeholder yang Terlibat:

 Wajib Pajak

 Menteri Perindustrian

 Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal  Menteri Keuangan

 Menteri Terkait

 Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

 Presiden Republik Indonesia d. Mekanisme:

 Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak Daerah (PBB)

Sebelum menerapkan pemberian insentif, Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD harus menetapkan ketentuan pemberian insentif di daerahnya yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Dengan mengacu pada Perda tersebut, Bupati/Walikota menetapkan pemberian insentif kepada masyarakat/korporasi melalui keputusan Kepala Daerah.

1. Bupati/Walikota menyampaikan surat rancangan Perda untuk pemberian insentif di daerah kepada DPRD dengan tembusan kepada Sekda Provinsi selaku Ketua BKPRD Provinsi terkait. Rancangan perda tersebut dilengkapi dengan:

- Deliniasi rinci batas kawasan yang diprioritaskan untuk diberikan insentif pada RTRW Kabupaten/Kota yang telah disahkan;

- Naskah akademis memuat analisis kajian pemberian insentif, tujuan pemberian, jangka waktu pemberian, serta kemungkinan dampak yang terjadi.

2. Bersama DPRD melakukan kajian dan analisis atas rancangan Perda tentang usulan pemberian insentif di daerah;

3. DPRD menyepakati untuk menerima atau tidak menerima rancangan Perda tentang usulan pemberian insentif di daerah;

4. Bupati/Walikota dan DPRD menetapkan peraturan daerah tentang pemberian insentif di daerah.

5. Perda Pengaturan Pemberian Insentif di Daerah tersebut kemudian disampaikan kepada Sekda Provinsi, Menteri Dalam Negeri, dan Ketua BKPRN.

6. Mengacu pada Perda Pengaturan Pemberian Insentif di Daerah, Kepala Daerah mengeluarkan Keputusan Kepala Daerah tentang pemberian insentif pembebasan atau pengurangan pajak daerah kepada masyarakat/korporasi sesuai dengan kebutuhan (Gambar 5.1).

Gambar 5.1

Mekanisme Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak Daerah

KDH DPRD Perda diterima Sekda Provinsi selaku Ketua BKPRD Menteri Dalam Negeri Ketua BKPRN 1 2 3 4 5 1 Keputus an KDH Masyarakat/ Korporasi 5 5 6 6

 Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak Pusat (PPN, PPh, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah)

Saat ini sudah ada peraturan rinci yang mengatur pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan untuk badan, yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.011/2011 yang diimplementasikan melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 93 Tahun 2011 dan Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2011. Peraturan tersebut telah mengatur prosedur permohonan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan untuk badan secara jelas. Untuk prosedur permohonan pemberian insentif pembebasan atau pengurangan pajak pusat lainnya dapat mengacu pada prosedur yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut.

Prosedur untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dapat dijelaskan sebagai berikut (pasal 4 dan 5):

a. Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

b. Menteri Perindustrian atau Kepala BKPM, setelah berkoordinasi dengan menteri terkait, menyampaikan usulan kepada Menteri Keuangan dengan melampirkan fotokopi:

• Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;

• Surat persetujuan penanaman modal baru yang diterbitkan oleh Kepala BKPM yang dilengkapi dengan rinciannya; dan

• Bukti penempatan dana di perbankan di Indonesia seperti yang telah disyaratkan di atas.

Penyampaian usulan tersebut harus disertai dengan uraian penelitian mengenai: (a) ketersediaan infrastruktur di lokasi investasi; (b) penyerapan tenaga kerja domestik; (c) kajian mengenai pemenuhan kriteria sebagai Industri Pionir; (d) rencana tahapan alih teknologi yang jelas dan konkret; dan (e) adanya ketentuan mengenai tax sparing di negara domisili. Tax sparing adalah pengakuan pemberian fasilitas pembebasan dan pengurangan dari Indonesia dalam penghitungan Pajak Penghasilan di negara domisili sebesar fasilitas yang diberikan.

c. Menteri Keuangan menugaskan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk membantu melakukan penelitian dan verifikasi dengan mempertimbangkan dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional. Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan tersebut dibentuk oleh Menteri Keuangan.

d. Dalam melakukan penelitian dan verifikasi, komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berkonsultasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

e. Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan menyampaikan hasil penelitian dan verifikasi kepada Menteri Keuangan disertai dengan pertimbangan dan rekomendasi, termasuk rekomendasi mengenai jangka waktu pemberian fasilitas.

f. Menteri Keuangan memutuskan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi dari Komite Verifikasi dan setelah berkonsultasi dengan Presiden Republik Indonesia.

g. Bila Menteri Keuangan menyetujui usulan tersebut, maka diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan.

h. Sedangkan bila Menteri Keuangan menolak usulan tersebut maka disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penolakan tersebut kepada Wajib Pajak dengan tembusan kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Secara umum disajikan pada Gambar 5.2 berikut.

Gambar 5.2

Mekanisme Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan

Menko Pereko-nomian Menteri Keuangan Menteri Perindustri an/Kepala BKPM Menteri Terkait Wajib Pajak Keputu san MK Komite Verifikasi Presiden 1 2 2 3 4 5 6 7 8 8

e. Contoh Penerapan (Lihat Lampiran II)

No Tipologi KSN Tujuan/Dampak yang Diharapkan

1 Kawasan Perkotaan Metropolitan:

Insentif pembebasan atau pengurangan pajak diberikan kepada petani

Untuk mempertahankan dan memelihara lahan pertanian serta meningkatkan produktivitasnya, terutama untuk mencegah

terjadinya alih fungsi lahan sebagai akibat dorongan pembangunan perkotaan. Insentif ini diberikan dalam kaitannya dengan kebijakan dan prioritas pemerintah pusat sehubungan dengan lahan pertanian abadi dan ketahanan pangan nasional.

2 KAPET:

Pemberian pembebasan atau pengurangan pajak:

- Pajak Penghasilan

- Pajak Pertambahan Nilai dan - Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Untuk mendorong pertumbuhan perekonomian di KAPET dan menarik para pelaku ekonomi untuk

melakukan investasi di KAPET. 3 Kawasan Industri:

Fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak diberikan kepada pengusaha yang bergerak di bidang industri unggulan di kawasan industri. Fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak ini diberikan dalam rentang waktu tertentu, yaitu antara 5– 10 tahun. Selanjutnya diberlakukan tarif pajak yang normal.

Tujuan mendorong pertumbuhan kegiatan perekonomian di kawasan industri.

No Tipologi KSN Tujuan/Dampak yang Diharapkan 4 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan

Bebas (KPBPB):

Pengusaha yang melakukan kegiatan dalam KPBPB bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai (terpisah dari daerah pabean)

Untuk mendorong pertumbuhan perekonomian di KPBPB dan menarik para pelaku ekonomi.

4 Kawasan Perbatasan Negara:

Pajak yang dimintakan pembebasan atau pengurangan adalah terbatas pada beberapa jenis Pajak yang ditarik Pemerintah Pusat untuk Badan Hukum/Usaha seperti PPN, PPH, dan Pajak Import Barang Modal

Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah terkait.

5 Kawasan Hutan Lindung:

Pembebasan atau pengurangan Pajak LH Untuk mendorong kegiatan pemanfaatan ruang yang dalam kegiatannya berupaya menjaga kelestarian lingkungan

6 Kawasan Taman Nasional:

Pembebasan atau pengurangan Pajak LH Untuk mendorong kegiatan pemanfaatan ruang yang dalam kegiatannya berupaya menjaga kelestarian lingkungan

2. Pengurangan Retribusi a. Penjelasan:

Pemberian insentif dari Pemerintah daerah kepada masyarakat (korporasi) dalam bentuk pengurangan retribusi daerah untuk jangka waktu tertentu. Dengan memperhatikan UU No. 28 Tahun 2009, retribusi yang dimintakan keringanan terbatas pada retribusi kabupaten/kota, yaitu Retribusi Jasa Usaha serta Retribusi Perizinan Khusus.

Penetapan jangka waktu pemberian insentif pengurangan retribusi ini dilakukan berdasarkan hasil kajian sesuai dengan kebutuhan yang dapat berbeda untuk setiap kasus. Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa jangan sampai biaya yang dikeluarkan untuk pemberian insentif ini lebih besar daripada manfaat yang diterima. Hal lain yang dapat menjadi pertimbangan adalah pemberian insentif dapat dihentikan setelah kawasan terbangun/berkembang sesuai peruntukan dan tujuannya (kurang lebih) sebesar 70% atau kawasan sudah berkembang dengan mapan (tidak akan menurun kembali/mati). Hal ini harus dimonitor dan dievaluasi secara berkala setiap tahun agar pemberian insentif dapat tepat sasaran, sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan, serta tidak disalahgunakan atau berlebihan.

b. Dari: Pemerintah Daerah kepada Masyarakat/Korporasi c. Stakeholder yang Terlibat:

Terdapat Lembaga Khusus KSN Tanpa Lembaga Khusus KSN

Lembaga Khusus KSN Misalnya:

- KAPET: Badan Pengembangan KAPET, Badan Pengelola KAPET

- Kawasan Industri: Timnas KI

- Kawasan Perbatasan Negara: BNPP dan BDPP

Terdapat Lembaga Khusus KSN Tanpa Lembaga Khusus KSN Pelabuhan Bebas: Dewan Kawasan PBPB,

Badan Pengusahaan KPBPB

Bupati/Walikota DPRD

DPRD Sekda Provinsi selaku Ketua BKPRD Provinsi

Sekda Provinsi selaku Ketua BKPRD Provinsi Gubernur

Gubernur Menko Perekonomian selaku Ketua BKPRN

Menko Perekonomian selaku Ketua BKPRN Menteri Keuangan

Menteri Keuangan Menteri Dalam Negeri

Menteri Dalam Negeri d. Mekanisme:

Catatan: Sebelum menerapkan pemberian insentif, Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD harus menetapkan ketentuan pemberian insentif di daerahnya yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Dengan mengacu pada Perda tersebut, Bupati/Walikota menetapkan pemberian insentif kepada masyarakat/korporasi melalui keputusan Kepala Daerah.

1. Bupati/Walikota menyampaikan surat rancangan Perda untuk pemberian insentif di daerah kepada DPRD dengan tembusan kepada Sekda Provinsi selaku Ketua BKPRD Provinsi terkait. Rancangan perda tersebut dilengkapi dengan:

 Deliniasi rinci batas kawasan yang diprioritaskan untuk diberikan insentif pada RTRW Kabupaten/Kota yang telah disahkan;

 Naskah akademis memuat analisis kajian pemberian insentif, tujuan pemberian, jangka waktu pemberian, serta kemungkinan dampak yang terjadi.

2. Bersama DPRD melakukan kajian dan analisis atas rancangan Perda tentang usulan pemberian insentif di daerah;

3. DPRD menyepakati untuk menerima atau tidak menerima rancangan Perda tentang usulan pemberian insentif di daerah;

4. Bupati/Walikota dan DPRD menetapkan peraturan daerah tentang pemberian insentif di daerah.

5. Perda Pengaturan Pemberian Insentif di Daerah tersebut kemudian disampaikan kepada Sekda Provinsi, Menteri Dalam Negeri, dan Ketua BKPRN.

6. Mengacu pada Perda Pengaturan Pemberian Insentif di Daerah, Kepala Daerah mengeluarkan Keputusan Kepala Daerah tentang pemberian insentif pengurangan retribusi kepada masyarakat/korporasi sesuai dengan kebutuhan (Gambar 5.3).

Gambar 5.3

Mekanisme Pemberian Pengurangan Retribusi

KDH DPRD Perda diterima Sekda Provinsi selaku Ketua BKPRD Menteri Dalam Negeri Ketua BKPRN 1 2 3 4 5 1 Keputus an KDH Masyarakat/ Korporasi 5 5 6 6

e. Contoh Penerapan (Lihat Lampiran II)

No Tipologi KSN Tujuan/Dampak yang Diharapkan

1 Kawasan Perkotaan Metropolitan: Pengurangan retribusi (Izin Mendirikan Bangunan)

Untuk kawasan yang diarahkan untuk dikembangkan di KSN Metropolitan. 2 KAPET:

Keringanan/pembebasan retribusi diberikan untuk kurun waktu tertentu (5-10 tahun). Apabila pengusaha sudah mengalami keuntungan, maka kebijakan pengurangan retribusi perlu dievaluasi.

Untuk mendorong pertumbuhan perekonomian di KAPET.

3 Kawasan Industri:

Pengurangan retribusi berupa IMB Untuk mendorong pembangunan di kawasan industri. 4 Kawasan Perbatasan Negara:

Keringanan retribusi adalah terbatas pada Retribusi Kabupaten/Kota, dan juga terbatas pada Retribusi Jasa Usaha serta Retribusi Perijinan Khusus

Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah terkait.

5 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB):

Pengurangan retribusi pada kegiatan-kegiatan pendukung seperti Retribusi Pemakaian Alat-alat berat, Retribusi Pemakaian Gedung, Retribusi Ijin Jasa Konstruksi, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Retribusi Perizinan

Untuk mendorong kegiatan usaha di KPBPB

6 Kawasan Hutan Lindung:

Keringanan Retribusi LH Untuk mendorong kegiatan pemanfaatan ruang yang dalam kegiatannya berupaya menjaga

No Tipologi KSN Tujuan/Dampak yang Diharapkan 7 Kawasan Taman Nasional:

Keringanan Retribusi LH Untuk mendorong kegiatan pemanfaatan ruang yang dalam kegiatannya berupaya menjaga kelestarian lingkungan

3. Pengurangan Beban Kompensasi

Catatan: Berdasarkan diskusi dengan narasumber, terdapat perbedaan pemahaman terhadap makna ‘kompensasi’ dalam UU No. 26/2007 dengan pemahaman dalam hukum administrasi. Dalam hukum administrasi, kompensasi dikenakan pada korporasi/masyarakat yang menggunakan/memanfaatkan public domain (air, tanah, dst). Mereka harus membayar kompensasi kepada pemerintah karena telah memanfaatkan public domain. Dengan pemahaman seperti itu, maka istilah insentif pemberian kompensasi kurang tepat, istilah yang lebih tepat adalah pengurangan beban kompensasi Sedangkan makna ‘pemberian kompensasi’ dalam UU No. 26/2007 dan PP No. 15/2010 lebih sesuai dipahami sebagai ‘subsidi’. Selain itu, dalam Permendagri No 69 tahun 2007 tentang Kerja sama Pembangunan Perkotaan, pasal 15 (2) disebutkan bahwa kerja sama pembangunan perkotaan juga memuat perencanaan insentif dan disinsentif; perencanaan kompensasi; dan perencanaan bagi hasil. Jadi menurut Permendagri tersebut perencanaan kompensasi dan bagi hasil bukanlah bagian dari insentif dan disinsentif.

a. Penjelasan:

Pemberian insentif dalam bentuk pengurangan beban kompensasi dimaksudkan untuk memberikan keringanan biaya penggantian atas pemanfaatan public domain. Jenis insentif ini hanya diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat/korporasi.

- Pemda – masyarakat: Pemberian insentif dalam bentuk pengurangan beban kompensasi kepada masyarakat yang memanfaatkan public domain (tanah, air, hutan) sesuai dengan kebijakan dan zoning regulation Pemda (untuk kepentingan yang strategis) untuk pengembangan kawasan.

- Pemda – korporasi: Pemberian insentif dalam bentuk pengurangan beban kompensasi kepada korporasi yang mau melakukan investasi di suatu kawasan tertentu untuk mendorong pengembangan kawasan tersebut. Pengurangan beban kompensasi diberikan untuk menutup kerugian yang dialami korporasi tersebut di awal-awal tahun pendiriannya.

Penetapan jangka waktu pemberian insentif pengurangan beban kompensasi ini dilakukan berdasarkan hasil kajian sesuai dengan kebutuhan yang dapat berbeda antara satu kasus dengan kasus lainnya. Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa jangan sampai biaya yang dikeluarkan untuk pemberian insentif ini lebih besar daripada manfaat yang diterima. Khususnya untuk pemberian insentif pengurangan beban kompensasi terhadap korporasi yang merupakan pioneer, hal yang juga dapat menjadi pertimbangan dalam penetapan jangka waktu adalah pemberian insentif dapat dihentikan setelah kawasan terbangun/berkembang sesuai peruntukan dan tujuannya (kurang lebih) sebesar 70% atau kawasan sudah berkembang dengan mapan (tidak akan menurun kembali/mati). Dasar pertimbangan lain adalah bahwa korporasi tersebut sudah mulai berkembang dan mendapatkan keuntungan dari operasinya di kawasan tersebut. Hal ini harus dimonitor dan dievaluasi secara berkala setiap tahun agar pemberian insentif dapat tepat sasaran, sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan serta tidak disalahgunakan atau berlebihan.

b. Dari: pemerintah kepada masyarakat dan/atau korporasi c. Stakeholder yang Terlibat:

Tanpa Lembaga Khusus KSN Terdapat Lembaga Khusus KSN (misal: KAPET)

Bupati/Walikota Badan Pengembangan KAPET

DPRD Badan Pengelola KAPET

Gubernur Gubernur

Menko Perekonomian selaku ketua BKPRN Bupati/Walikota

Menteri teknis/sektor terkait DPRD

Menteri Keuangan Menteri Keuangan

Menteri Dalam Negeri Menteri Dalam Negeri

d. Mekanisme:

1. Bupati/Walikota bersama DPRD merumuskan pemberian insentif pengurangan beban kompensasi untuk pengusaha yang akan berinvestasi di suatu kawasan tertentu di daerahnya.

2. Surat usulan pemberian insentif pengurangan beban kompensasi dikirimkan kepada Menko Perekonomian selaku Ketua BKPRN. Surat tersebut dilengkapi dengan:

- Deliniasi rinci batas kawasan yang diusulkan untuk mendapatkan pengurangan beban kompensasi dalam RTRW Kabupaten/Kota yang telah disahkan.

- Naskah akademis memuat analisis kajian pemberian insentif pengurangan beban kompensasi, tujuan pemberian, jangka waktu pemberian, serta kemungkinan dampak yang terjadi.

3. Usulan tersebut dikaji oleh Tim Teknis BKPRN.

4. Menteri PU selaku ketua Tim Teknis menyampaikan hasil kajian dan rekomendasi kepada Menko Perekonomian selaku ketua BKPRN.

5. Menko Perekonomian mengundang menteri-menteri terkait untuk membahas rekomendasi Ketua Tim Teknis BKPRN.

6. Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, Menko Perekonomian selaku ketua BKPRN mengirim surat permohonan pengurangan beban kompensasi bagi pengusaha yang melakukan usaha di kawasan tersebut kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur selaku KDH Provinsi yang bersangkutan. 7. Menteri Keuangan mempertimbangkan usulan tersebut dan memutuskan untuk

menerima atau menolak usulan tersebut. Bila usulan diterima, maka Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan yang menetapkan pengurangan beban kompensasi bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di kawasan tersebut.

8. Berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, Bupati/Walikota menetapkan pemberian insentif pengurangan beban kompensasi bagi pengusaha yang bersangkutan. Mekanisme pemberian pengurangan beban kompensasi disajikan pada Gambar 5.4 berikut.

Gambar 5.4

Mekanisme Pemberian Pengurangan Beban Kompensasi

KDH Menko Perekon sbg Ka BKPRN Pokja/ Tim Teknis Lintas Sektor Menteri Keuangan Menteri Dalam Negeri Kete-tapan 2 3 4 5 6 7 Gubernur ybs 6 6 DPRD 1

e. Contoh Penerapan (Lihat Lampiran II)

No Tipologi KSN Tujuan/Dampak yang Diharapkan

1 KPBPB:

Pemberian pengurangan beban kompensasi kepada korporasi

Untuk mendorong kegiatan pertumbuhan ekonomi dan melindungi kelangsungan kegiatan usaha di kawasan ini.

2 Kawasan Industri:

Pemberian pengurangan beban

kompensasi bagi pengusaha industri yang memindahkan lokasi industrinya ke kawasan industri

Agar kegiatan industri terkonsentrasi di kawasan industri sehingga sesuai arahan tata ruang.

3 KAPET:

Pemberian pengurangan beban kompensasi, mulai tahun berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 tahun. (asumsi selama tahun-tahun pertama tersebut, pengusaha belum mendapatkan keuntungan karena masih berupaya untuk mapan dan

mengembangkan usahanya).

Untuk menarik investor/pengusaha untuk mengembangkan kegiatan usaha di kawasan ini dan mendorong pertumbuhan perekonomian.

4 Kawasan SDA:

Pengurangan beban kompensasi bagi korporasi/investor yang melakukan usaha dengan pendekatan ramah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat setempat

Untuk menarik korporasi/investor untuk mengembangkan kegiatan usaha di kawasan ini dan mendorong pertumbuhan perekonomian.

4. Subsidi a. Penjelasan:

Istilah subsidi silang sebenarnya adalah pemberian subsidi dari satu sektor ke sektor lainnya. Namun hal ini tidak dianjurkan karena cenderung disalahgunakan menjadi korupsi. Sesuai dengan penjelasan pada ‘pemberian kompensasi’ di atas, maka makna ‘pemberian kompensasi’ dalam UU No. 26/2007 dan PP No. 15/2010 lebih sesuai dimaknai sebagai ‘subsidi’. Namun demikian, tetap terdapat perbedaan makna dengan makna subsidi dalam hukum administrasi negara. Mengingat dalam hukum administrasi negara, insentif hanya diberikan dari pemerintah kepada masyarakat, maka tidak dikenal pemberian subsidi (silang) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dari pemerintah daerah yang satu kepada pemerintah daerah yang lain. Misalnya subsidi (silang) diberikan oleh daerah pemberi manfaat kepada daerah penerima manfaat (contoh Kota Bandung memberi subsidi silang kepada Kabupaten Sumedang yang memiliki sumber air, di mana airnya juga dimanfaatkan oleh Kota Bandung). Pemahaman ini dalam UU No. 26/2007 dan PP No. 15/2010 dimasukkan ke dalam ‘pemberian kompensasi’.

Pemahaman ‘subsidi’ ini masih perlu dikaji lebih lanjut mengingat pemberian ‘subsidi’ dari pemda yang satu kepada pemda lainnya seharusnya dilakukan dalam konteks kerjasama daerah, jadi bukan dalam konteks pemberian insentif. Namun, dengan adanya pedoman pemberian hibah yang dikeluarkan oleh Kemendagri (Permendagri No. 32/2011), hal tersebut menjadi tidak sesuai karena dalam Permendagri tersebut diatur bahwa pemberian hibah dari pemda kepada pemda lainnya hanya dapat diberikan bagi pemda yang merupakan daerah otonom baru hasil pemekaran. Demikian juga pemberian ‘subsidi’ dari Pemerintah kepada pemerintah daerah –sebagai salah satu jenis insentif- perlu dikaji apakah sudah sesuai dengan hukum administrasi, ataukah lebih tepat disebut sebagai ‘hibah’?

Dokumen terkait