5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.5 Integrasi Neraca Moneter Tegakan dan Karbon ke Dalam Perhitungan PDRB Sektor Kehutanan
Konvensional
Shareterhadap PDRB dengan Nilai Manfaat Karbon $10/tC $15/tC $20/tC 2003 12,84% 19,71% 21,16% 22,57% 2004 13,31% 17,60% 19,07% 20,49% 2005 13,93% 17,17% 18,45% 19,69% 2006 13,56% 16,56% 17,69% 18,78% 2007 14,22% 15,67% 16,69% 17,68% 2008 14,49% 15,72% 16,59% 17,44% 2009 14,49% 14,93% 15,71% 16,49% 2010 16,62% 14,27% 14,96% 15,65% Rerata 14,18% 16,45% 17,54% 18,60%
Sumber: Blora dalam Angka Tahun 2009 dan 2010, Rekapitulasi Lampiran 8 dengan Menggunakan Harga Karbon sebesar $10/tC, $15/tC dan $20/tC
5.5 Integrasi Neraca Moneter Tegakan dan Karbon ke Dalam Perhitungan PDRB Sektor Kehutanan
Secara konvensional nilai PDRB yang disumbangkan dari sektor kehutanan digitung dengan dengan menggunakan pendekatan produksi atau nilai tambah (value added) yaitu selisih antara nilai produk dengan nilai input antara (intermediate input) yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Dengan metode yang demikian, maka nilai penyusutan aset tegakan tidak dapat tergambar dalam PDRB yang dilaporan berdasarkan kerangka kerja konvensional yang ada. Penyesuaian besaran PDRB konvensional diperlukan untuk menghitung besaran PDRB yang berkelanjutan. Penyesuaian tersebut adalah dengan memasukkan nilai depresiasi aset sumberdaya alam degradasi lingkungan sehingga disebut dengan PDRB Hijau atau eco domestic regional product. PDRB Hijau atau disebut juga dengan PDRB ramah lingkungan dihitung dengan mengurangkan PDRB konvensional tersebut dengan deplesi sumberdaya hutan dan nilai degradasi lingkungan (Suparmoko 2005).
Dalam konteks penelitian ini nilai degradasi lingkungan direpresentasikan dengan pengurangan kapasitas hutan untuk menyimpan karbon dalam bentuk biomassa pohon sedangkan nilai deplesi sumberdaya hutan dibatasi pada penurunan nilai moneter dari aset tegakan. Depresiasi sumberdaya alam adalah penyusutan terhadap modal alami (natural capital) di daerah yang bersangkutan. Selanjutnya nilai deplesi dan degradasi sumberdaya alam itu harus dikurangkan dari nilai PDRB sehingga memperkecil nilai PDRB dengan asumsi dana yang terkumpul dari nilai depresiasi tersebut akan diinvestasikan kembali dalam pembentukan modal alami. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa volume sumberdaya hutan tahun tertentu berkurang karena deplesi dan degradasi sumberdaya alam dan sekaligus nilai PDRB harus dikurangi dengan depresiasinya pada tahun yang sama, namun akan diinvestasikan pada tahun-
tahun yang akan datang. Dengan kata lain jika terjadi depresiasi sumberdaya alam, maka baik PDRB maupun kapital alami berkurang sebesar nilai depresiasinya. Tabel 5.27 berikut ini menampilkan ringkasan hasil dari integrasi akumulasi neto tegakan dan karbon untuk mengkoreksi sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora dari tahun 2003 sampai dengan 2010.
Tabel 5.25 PDRB Konvensional, Depresisasi Tegakan & Karbon dan PDRB Hijau Sektor Kehutanan Kabupaten Blora Tahun 2003-2010
Tahun PDRB Sektor Kehutanan Depresiasi Tegakan Depresiasi Karbon PDRB Hijau 2003 378.650.000.000 56.802.758.365,25 2.187.420.871,27 319.659.820.763,48 2004 326.661.000.000 100.673.441.432,56 3.724.157.438,63 222.263.401.128,81 2005 370.277.000.000 73.482.992.076,19 3.520.996.609,11 293.273.011.314,70 2006 408.698.000.000 89.532.926.372,89 2.954.883.648,70 316.210.189.978,41 2007 426.642.000.000 97.042.606.463,84 3.010.917.873,36 326.588.475.662,80 2008 506.631.000.000 78.787.388.457,40 2.180.225.008,53 425.663.386.534,08 2009 531.464.000.000 69.979.878.469,36 1.815.784.710,62 459.668.336.820,02 2010 574.234.640.000 101.145.668.274,57 2.432.194.086,97 470.656.777.638,47
Sumber: Blora dalam Angka Tahun 2009 dan 2010, Pengolahan Data Neraca Moneter Tegakan dan Karbon
Berdasarkan tabel 5.25 diketahui bahwa nilai PDRB Hijau atau PDRB ramah lingkungan yang disumbangkan dari sektor kehutanan nilainya lebih rendah dibandingkan dengan PDRB konvensional. Besaran koreksi sumbangan sektor kehutanan terhadap Kabupaten Blora dengan memasukkan deplesi tegakan dan karbon tersimpan di dalam hutan selama kurun waktu 2003-2010 rata-rata sebesar 2,87%.
Tabel 5.26 Perbandingan Pangsa Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora
Tahun SharePDRB Sektor Kehutanan Konvensional
Share PDRB Sektor
Kehutanan Hijau Koreksi
2003 16,62% 14,03% 2,59% 2004 14,49% 9,86% 4,63% 2005 14,49% 11,48% 3,01% 2006 14,22% 11,00% 3,22% 2007 13,56% 10,38% 3,18% 2008 13,93% 11,70% 2,23% 2009 13,31% 11,51% 1,80% 2010 12,84% 10,52% 2,32% Rerata 14,18% 10,38% 2,87%
Sumber: Blora dalam Angka Tahun 2009 dan 2010, Pengolahan Data Neraca Moneter Tegakan dan Karbon
Dengan diketahuinya nilai sumbangan PDRB dari sektor kehutanan secara konvensional, nilai deplesi tegakan dan nilai degradasi sediaan karbon, maka terlihat bahwa nilai penyusutan dari kapital alami hutan atau nilai depresiasi sumberdaya hutan rata-rata sebesar 20,24 % dari nilai PDRB sektor kehutanan di Kabupaten Blora dari tahun 2003-2010. Apabila dirinci lebih lanjut maka rata- rata depresiasi aset tegakan selama jangka waktu tersebut adalah sebesar 19,58% dan depresiasi kapasitas penyimpanan karbon rata-rata sebesar 0,66% dari rata- rata kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB
Besaran kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora baik yang dinayatakan dalam bentuk nominal maupun pangsa (share) sektor kehutanan terhadap PDRB selama ini terlalu tinggi (overstated) dan belum menunjukkan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya, karena ternyata sumberdayanya terus mengalami penurunan. Penurunan aset tegakan ini dimungkinkan karena adanya pandangan yang masih terdistorsi atas keberdaan sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan lebih dipandang sebagai aset yang memiliki manfaat ketika dilakukan ektrksi atau pemungutan hasil, terutama hasil hutan yang memiliki nilai pasar (market value) seperti kayu dan hasil hutan dalam bentuk barang lain. Berbeda dengan sektor lainnya, sektor kehutanan memberikan manfaat bagi manusia, baik dalam bentuknya sebagai “stock (forest)”maupun dalam “flow (product extracted)”.Hutan bisa dibiarkan begitu saja bentuknya sebagai hutan, dan tetap akan memberikan manfaat kepada manusia, terutama manfaat jasa lingkungan. Dalam hal “flow”hutan memberikan produk yang diambil manusia seperti kayu, getah, hewan. Ini berbeda dengan pertambangan misalnya, yang dalam keadaannya sebagai deposit, tidak bermanfaat bagi manusia, kecuali setelah dikeluarkan (extracted) darinya.
Nilai produksi kayu bulat yang masuk ke dalam pendapatan daerah maupun nasional (PDRB atu PDB) belum dikoreksi dengan kelebihan atau kekurangan terhadap Sustainable Annual Allowable Cutting (SAAC) yaitu tingkat ektraksi di mana stok tegakan tidak mengalami penurunan Sesuai dengan definisinya, pendapatan harus dibedakan dari modal. Pendapatan adalah bagian penghasilan yang maksimum boleh dikonsumsi, sedemikian sehingga pendapatan dimasa mendatang tidak menurun (Hicks 1947). Kaidah pendapatan atau konsumsi yang dikemukakan oleh Hick (1947) tersebut dikenal dengan kaidah pendapatan/konsumsi yang berkelanjutan atau Hicksian’s sustainable income/consumption. Kaidah inilah yang sebenarnya menjadi penjabaran operasional dari prinsip pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan yang berkelanjutan dalam interpretasi ekonomi.
Penerapan Neraca Sumberdaya Hutan dapat dipergunakan untuk menghitung pendapatan riil yang bisa diciptakan sektor kehutanan dengan benar, yakni tingkat pendapatan yang lebih mencerminkan kelestariannya.Berdasarkan hasil-hasil temuan dalam penelitian ini dapat dinyatakan bahwa angka-angka nilai produksi yang dinyatakan dalam PDRB sektor kehutanan Kabupaten Blora selama ini masih mengandung nilai depresiasi dari aset tegakan yang seharusnya nilai depresiasi tersebut harus disisihkan untuk selanjutnya akumulasi nilai penyisihan depresiasi tersebut dikembalikan atau dipergunakan untuk
membangun hutan sehingga nilai asetnya tidak mengalami penurunan pada periode waktu berikutnya.
Tabel 5.27 Besarnya Depresiasi Sumberdaya Hutan dan Prosentasenya Terhadap PDRB Sektor Kehutanan Kabupaten Blora Tahun 2003-2010
Tahun PDRB Sektor Kehutanan (Rp) Depresiasi Sumberdaya Hutan (Rp) % Depresiasi dari PDRB Kehutanan 2003 378.650.000.000 58.990.179.236,52 15,58% 2004 326.661.000.000 104.397.598.871,19 31,96% 2005 370.277.000.000 77.003.988.685,30 20,80% 2006 408.698.000.000 92.487.810.021,59 22,63% 2007 426.642.000.000 100.053.524.337,20 23,45% 2008 506.631.000.000 80.967.613.465,92 15,98% 2009 531.464.000.000 71.795.663.179,98 13,51% 2010 574.234.640.000 103.577.862.361,53 18,04% Rerata 440.407.205.000 58.990.179.236,52 20,24%
Sumber: Blora dalam Angka Tahun 2009 dan 2010, Pengolahan Data Neraca Moneter Tegakan dan Karbon
Hasil perhitungan nilai deplesi dan degradasi sebagaimana dijelaskan sebelumnya mencerminkan nilai penyusutan atau depresiasi dari kapital alami sumberdaya hutan. Dalam konteks kelestarian, setiap terjadi penyusutan atas suatu kapital, maka depresiasi tersebut harus digantikan atau dikompensasi dengan nilai yang sama supaya aset/kapital tersebut dapat secara berkelanjutan memberikan aliran manfaat bagi kesejahteraan manusia. Apabila terjadi sebaliknya, yaitu depresiasi kapital alami tersebut tidak digantikan maka dalam jangka waktu tertentu kapital alami tersebut akan terus mengalami penurunan aliran manfaat dan sampai pada titik waktu tertentu akan mencapai akhir masa pemakaian ekonomisnya (useful life time of capital).Dengan demikian sebenarnya masyarakat akan mengalami penurunan kesejahteraan.
Sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mengkompensasi depresiasi sumberdaya hutan dapat diperoleh dari sebagian pendapatan yang disisihkan dan dialokasikan khusus untuk kepentingan pengelolaan, pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya hutan yang mengalami kerusakan. Pendapatan yang diperoleh dari sumberdaya hutan dapat berasal dari hasil tebangan kayu, hasil hutan non kayu maupun pendapatan lain-lain. Pengalokasian anggaran tersebut dapat dilakukan oleh Perum Perhutani maupun Pemerintah Daerah. Perum Perhutani sebagai organisasi pengelola sumberdaya hutan tentu sudah memiliki pos-pos anggaran untuk peningkatan kualitas sumberdaya hutan, sedangkan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Blora, pendapatan dari hasil hutan misalnya berupa Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) yang menjadi hak bagi pemerintah daerah untuk setiap hasil hutan yang diesktraksi.
PDRB Hijau dapat diaktualisasikan dengan (diantaranya) menerapkan tarif (kompensasi) bagi daerah yang melakukan eksploitasi sumberdaya hutan berlebihan dan memberikan insentif bagi daerah yang menjaga dengan baik kelestarian sumber daya alamnya yang diatur dalam suatu regulasi fiskal
(terutama yang menyangkut dana perimbangan) yang lebih adil dan tidak berorientasi kepentingan ekonomi jangka pendek (termasuk di dalamnya mekanisme carbon trading yang mungkin dapat direalisasikan di masa mendatang).