• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

1.2 Rumusan Masalah

Cara penentuan pendapatan nasional dan regional dengan menggunakan ukuran PDB atau PDRB yang selama ini digunakan mempunyai kelemahan, yakni bahwa dalam nilai produk yang dihitung masih mengandung depresiasi persediaan sumberdaya alam dan lingkungan. Pengurangan stok sumberdaya alam tidak terbarukan (nonrenewable resources) maupun kelebihan pemanenan terhadap riap

(growth rate) pada sumberdaya alam terbarukan (renewable), dalam perhitungan pendapatan nasional yang konvensional selama ini dianggap produksi (Repetto 1989).

Dampak kegiatan ekonomi terhadap kualitas lingkungan seperti polusi, peningkatan kapasitas alami dalam menguraikan polusi dan limbah juga tidak muncul dalam perhitungan konvensional tersebut. Untuk kepentingan evaluasi pembangunan ekonomi nasional dan regional yang berdasarkan prinsip kelestarian (sustainable economic development, SED), hasil perhitungan pendapatan nasional dan regional berdasarkan cara konvensional tersebut di muka karenanya dianggap perlu dikoreksi, yakni bahwa setiap pengurangan persediaan sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan harus diperlakukan sebagai pengurang bagi pendapatan nasional/regional. Sebaliknya, setiap penambahannya (apresiasi) dianggap sebagai angka yang harus dipertambahkan pada angka pendapatan nasional konvensional (Daly 1986).

Koreksi terhadap perhitungan pendapatan nasional dan regional sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan. Gilbert (1990) mendiskripsikan akuntansi sumberdaya alam sebagai suatu metodologi untuk menyajikan informasi mengenai lingkungan, sumberdaya dan ekonomi. Dalam perhitungan pendapatan nasional maupun regional perlakuan terhadap hutan dinilai bias karena yang dimasukkan adalah pendapatan yang dihasilkan dari sejumlah kayu yang dipanen, sebagai konsekuensinya deplesi atau perubahan stok sumberdaya hutan tidak terlihat dalam PDB atau PDRB. Aspek penting yang lain adalah akuntansi pendapatan nasional/regional yang standar tidak dapat membedakan antara fungsi produktif dan fungsi sumberdaya hutan yang lain yaitu dalam menjalankan fungsi pengaturan ekosistem seperti fungsi perlindungan tanah, pengaturan hidrologi, dan sebagai media rosot (sink) dan asimilasi alami dari emisi.

Penggunaan kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan dapat digunakan sebagai pengujian apakah pemanfaatan sumberdaya hutan di Kabupaten Blora yang kontribusi relatif tinggi terhadap pembentukan pendapatan daerah memenuhi kaidah pemanfaatan yang lestari atau tidak. Terdapat sejumah indikator dengan menggunakan kerangka kerja integrasi deplesi dan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan seperti Adjusted Net Savingatau Genuine Saving, dan Eco Domestik Product.Penelitian ini memfokuskan pada integrasi akuntansi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan dengan Pendapatan Regional Bruto Kabupaten Blora. Pengintegrasian tersebut akan menghasilkan perhitungan PDRB yang diesuaikan sebagai indikator untuk menguji apakah pembangunan ekonomi Kabupaten Blora berada pada jalur berkelanjutan (sustainable path) atau sebaliknya.

Berdasarkan paparan di atas, maka pertanyaan penelitian (research question) dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dampak pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi terhadap perubahan stok tegakan dan karbon?

2. Apabila sumberdaya hutan diperlakukan sebagai salah satu bentuk kapital alami (natural capital), berapa nilai kapitalisasinya dan penyusutan/depresiasinya?

3. Dengan menggunakan kerangka kerja keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pulih sesuai dengan “Daly’s Operational Rule” apakah pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi Kabupaten Blora berada pada jalur berkelanjutan (sustainable path)?

1.3 Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menyusun dan menganalisis neraca tegakan hutan dan sediaan karbon untuk mengkoreksi sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora. Tujuan khusus dari penelitian adalah:

1. Menyusun neraca tegakan dan karbon yang merupakan ikhtisar persediaan volume kayu hutan dan karbon beserta perubahannya dalam suatu periode waktu tertentu

2. Mengestimasi nilai moneter dari sediaan volume tegakan dan karbon, dan nilai penysusutan/depresiasi sumberdaya hutan sebagai salah satu bentuk kapital alami

3. Mengestimasi konstribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora yang berkelanjutan dengan memasukkan nilai deplesi tegakan dan degradasi kemampuan hutan dalam menyimpan karbon

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan kemanfaatan sebagai berikut:

1. Memberikan informasi mengenai besarnya nilai deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan sebagai dampak pembangunan ekonomi di Kabupaten Blora

2. Memperkenalkan metode-metode yang dapat digunakan untuk menghitung nilai deplesi sumberdaya hutan dan nilai ekonomi sumberdaya hutan dalam menjalankan salah satu fungsi ekologisnya yaitu sebagai media rosot (sink) dan penyimpanan (storage) emisi karbon

3. Memperkaya ranah penelitian mengenai aplikasi konsep neraca sumberdaya alam dan lingkungan untuk dapat diperbandingkan dengan metode dan hasil- hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

4. Memberikan informasi kepada pengambil kebijakan pembangunan dan para pemangku kepentingan dalam upaya peninjauan dan perumusan model pembangunan ekonomi yang tidak bias terhadap sumberdaya alam dan lingkungan

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup yang tercakup dalam penelitian ini dibatasi pada:

1. Kawasan hutan yang dimaksudkan adalah kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang berada di wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Blora

2. Aset atau aktiva hutan yang dilakukan penilaian terbatas pada aset hutan dalam bentuk tegakan (standing timber) dan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon yang dikonversi ke dalam bentuk biomassa pohon

3. Biomassa pohon yang diperhitungkan sebagai media rosot karbon dibatasi pada bagian batang (stem), sedangkan kandungan karbon pada bagian biomassa pohon di cabang, akar dan daun tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Indikator Pembangunan Keberlanjutan

Konsep keberlanjutan pada dasarnya berimplikasi kepada suatu karakteristik sistem, program atau sumberdaya yang akan tetap ada sepanjang waktu. Konsep ini pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam konteks strategi konservasi dunia yang digagas olehInternational for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Konsep keberlanjutan selanjutnya menjadi mengemuka setelah pada tahun 1987, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan Bruntland Commisision melalui laporannya yang berjudul Our Common Future, di mana dalam dokumen laporan tersebut menekankan peran kunci keberlanjutan pertanian sebagai basis dari pembangunan berkelanjutan (Singh dan Shishodia 2007).

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan dalam beragam cara yang berbeda yang menyebabkan pembahasan mengenai masalah yang penting ini kadangkala menjadi sesuatu yang membingungkan. Terdapat sejumlah keragaman mengenai pengertian dalam konsep pembangunan berkelanjutan atau topik-topik yang berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan tersebut. Pengertian yang paling sering dikutip untuk mendefinisikan arti pembangunan berkelanjutan adalah definisi yang diberikan oleh Komisi Brundtland yaitu pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”.Permasalahan yang timbul dari definisi pembangunan berkelanjutan tersebut adalah hanya memberikan sedikit kemanfaatan dalam tataran praktis.

Oleh karena permasalahan tersebut maka akan lebih bermanfaat untuk menghubungkan secara langsung konsep pembangunan berkelanjutan dengan konsep konsumsi dalam sistem akuntansi nasional dan Net Domestic Product (NDP). Apabila konsumsi agregat suatu negara kurang dari atau sama dengan NDP maka perekonomian negara tersebut pasti mengikuti jalur pembangunan berkelanjutan karena stok kapital total akan meningkat atau setidaknya tidak mengalami penurunan sepanjang waktu. Secara implikasi terdapat kekonsistenan dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk negara yang mengalami deplesi stok kapital dari sumberdaya alam selama negara tersebut mengkompensasi deplesi tersebut dengan kapital buatan (produced or man made

2. Aset atau aktiva hutan yang dilakukan penilaian terbatas pada aset hutan dalam bentuk tegakan (standing timber) dan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon yang dikonversi ke dalam bentuk biomassa pohon

3. Biomassa pohon yang diperhitungkan sebagai media rosot karbon dibatasi pada bagian batang (stem), sedangkan kandungan karbon pada bagian biomassa pohon di cabang, akar dan daun tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Indikator Pembangunan Keberlanjutan

Konsep keberlanjutan pada dasarnya berimplikasi kepada suatu karakteristik sistem, program atau sumberdaya yang akan tetap ada sepanjang waktu. Konsep ini pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam konteks strategi konservasi dunia yang digagas olehInternational for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Konsep keberlanjutan selanjutnya menjadi mengemuka setelah pada tahun 1987, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan Bruntland Commisision melalui laporannya yang berjudul Our Common Future, di mana dalam dokumen laporan tersebut menekankan peran kunci keberlanjutan pertanian sebagai basis dari pembangunan berkelanjutan (Singh dan Shishodia 2007).

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan dalam beragam cara yang berbeda yang menyebabkan pembahasan mengenai masalah yang penting ini kadangkala menjadi sesuatu yang membingungkan. Terdapat sejumlah keragaman mengenai pengertian dalam konsep pembangunan berkelanjutan atau topik-topik yang berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan tersebut. Pengertian yang paling sering dikutip untuk mendefinisikan arti pembangunan berkelanjutan adalah definisi yang diberikan oleh Komisi Brundtland yaitu pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”.Permasalahan yang timbul dari definisi pembangunan berkelanjutan tersebut adalah hanya memberikan sedikit kemanfaatan dalam tataran praktis.

Oleh karena permasalahan tersebut maka akan lebih bermanfaat untuk menghubungkan secara langsung konsep pembangunan berkelanjutan dengan konsep konsumsi dalam sistem akuntansi nasional dan Net Domestic Product (NDP). Apabila konsumsi agregat suatu negara kurang dari atau sama dengan NDP maka perekonomian negara tersebut pasti mengikuti jalur pembangunan berkelanjutan karena stok kapital total akan meningkat atau setidaknya tidak mengalami penurunan sepanjang waktu. Secara implikasi terdapat kekonsistenan dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk negara yang mengalami deplesi stok kapital dari sumberdaya alam selama negara tersebut mengkompensasi deplesi tersebut dengan kapital buatan (produced or man made

capital) dan kapital insani (human capital). Dalam kasus kapital alami, keberlanjutan mensyaratkan adanya sejumlah nilai ambang batas (treshold) di mana kehidupan di bumi menjadi tetap layak dan oleh karenanya menjadi berbahaya apabila memusatkan perhatian hanya pada satu ukuran agregat tunggal dari kekayaan (wealth).

Pezzy (1989) menarik perbedaan antara pengertian keberlanjutan lemah (weak) dan keberlanjutan kuat (strong). Berdasarkan pengertian keberlanjutan kuat, suatu perekonomian akan berada pada jalur keberlanjutan hanya apabila stok kapital per kapita dari kapital buatan, kapital alami dan kapital insani kesemuanya tidak mengalami mengalami penurunan sepanjang waktu. Definisi menurut keberlajutan lemah hanya mensyaratkan bahwa agregat stok kapital (penjumlahan dari nilai ketiga jenis kapital) tidak mengalami penurunan. Lebih lanjut Pearce dan Barbier (2000) menjelaskan bahwa weak sustainibity secara implisit tidak membedakan antara natural kapital dan made capital sehingga meskipun natural capital mengalami deplesi,selama masih bisa disubstitusi oleh man made capital dan human capital yang sama nilainya maka stok agregat masih berada tingkat yang tidak menurun. Sebaliknya dalam kasus strong sustainibility baik human capital dan man made capital tidak dapat mengganti natural capital yang menyangkut fungsi layanan ekologis yang diberikan oleh sumberdaya alam tersebut.

Fauzi (2004) menyatakan bahwa dalam prakteknya pengukuran keberlanjutan lemah lebih sering digunakan karena syarat yang paling minimum untuk menguji pembangunan berkelanjutan suatu negara. Dua pengukuran keberlanjutan lemah yang sering digunakan adalah metode produk nasional hijau yang dikembangkan oleh Hartwick dan metode genuine saving yang dikembangkan oleh Pearce dan Atkinson.

2.2 Kesejahteraan Nasional Yang Sesungguhnya

Perkembangan yang pesat di bidang ilmu ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan selama dua dasa warsa terakhir, termasuk didalamnya penilaian teknik valuasi ekonomi sumberdaya, cukup memberikan dampak yang berarti bagi pengukuran tingkat kesejahteraan suatu bangsa. Pada masa itu juga perhatian terhadap lingkungan, khususnya dampak terhadap perubahan kuantitas dan kualitas lingkungan akibat pembangunan ekonomi juga semakin menguat. Pada awalnya, perhatian hanya terbatas pada preservasi spesies yang terancam punah dan pemeliharaan estitika lingkungan, selanjutnya mengarah ke yang lebih radikal, dengan pemikiran yang mulai sangat berkembang yaitu bahwa keseluruhan proses pembangunan akan sangat tergantung pada bagaimana sumberdaya alam dan lingkungan tersebut dimanfaatkan (Fauzi dan Anna 2003).

Beberapa faktor seperti deplesi dan degradasi telah dicoba diakomodasikan melalui perhitungan beberapa indeks yang telah disebutkan di atas. Namun demikian, perhatian terhadap sumberdaya alam dan lingkungan masih dirasa belum cukup terakamodasi ke dalam perhitungan indeks tersebut. Dua masalah yang selalu timbul dalam hal aspek lingkungan ini adalah apa yang disebut sebagai “omission-commission”. Sebagai contoh aktifitas perempuan

dinegara berkembang dalam hal pencarian air bersih atau bahan bakar yang merupakan kegiatan rumah tangga tidak diperhitungkan dalam perhitungan national account, sementara proyek-proyek besar seperti rehabilitasi sungai tercemar atau reboisasi dimasukan dalam perhitungan GDP, sehingga peningkatan aktifitas restorasi ini justru malah meningkatkan GDP bukan sebaliknya (Fauzi dan Anna 2003).

Upaya untuk mengkoreksi national account ini kemudian lebih berkembang menjadi pencarian terhadap the true GDP atau Green GDP yang kemudian juga diasosiasikan dengan Resource Accounting (Lobo 2001 diacu dalam Prudham SW, et.al 1993). Resource Accounting secara sederhana diartikan sebagai sistim akunting terhadap stok dan perubahan stok sumberdaya alam baik dalam pengukuran fisik maupun moneter. Resource Accounting pada dasarnya ditujukan untuk menyediakan informasi terhadap kondisi sumberdaya alam dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Secara makro Resource Accounting juga ditujukan untuk menyediakan pengukuran income dan kesejahteraan yang lebih baik dalam rangka mengevaluasi apakah negara-negara, khususnya negara yang kaya tetap berjalan dalam koridor sustainable consumption pathatau tidak (Fauzi dan Anna 2003).

Untuk menjawab masalah di atas, bagian statistika PBB menawarkan jalan keluar dengan cara pengitegrasian aspek lingkungan kedalam perhitungan konvensional GNP. Namun demikian, pengintegrasian aspek lingkungan ini tidak disarankan langsung ke dalam core perhitungan national account, melainkan sebagai komplemen dari SNA (System of National Account). Mengingat sifatnya yang tidak menjadi bagian utuh namun berupa komplemen inilah kemudian sistim ini dikenal juga dengan istilah Satellite Account. Struktur dasar dari Satellite Account ini tidak banyak jauh berbeda dengan SNA, hanya penambahan aspek lingkungan sehingga perhitungan GNP kemudian disesuikan dengan pengeluaran untuk lingkungan dan degradasi/deplesi sehingga menghasilkan perhitungan yang disebut sebagai EDP (Environmentally Adjusted Domestic Product). Satellite account memfokuskan pada dua aspek yakni pengukuran deplesi dari sumberdaya alam yang langka dan yang kedua mengukur biaya degradasi lingkungan dan pencegahannya.

Dalam perjalanannya, resource accounting kemudian menjadi “partner” yang tidak terpisahkan dalam pengukuran keberlanjutan (sustainability) dari proses pembangunan. Theys (1990) bahkan melihat resource accounting (atau diistilahkan dengan patrimony account) bersama-sama dengan national account dan satellite account dapat digunakan untuk menentukan skenario alternatif keberlanjutan pembangunan dengan kriteria evaluasi yang berbeda.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengukuran well being yang sampai saat ini masih berpegang pada Growth Domestik Product (GDP) dalam menilai kinerja ekonomi dari negara kita ternyata mengalami keterbatasan karena masih belum mengakomodasi terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas dari sumber daya alam (deplesi dan degradasi). Perhitungan GDP tersebut dikritik karena tidak dimasukkannya perhitungan nilai kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga nilai yang dihasilkan sama sekali tidak memberikan

gambaran yang sebenarnya dari kondisi kinerja ekonomi keseluruhan (Hartwick 1990; Hung 1993; Maler 1991; Repetto et al.1989).

Oleh karena sumber daya alam merupakan natural kapital yang menjadi bagian dari proses produksi untuk menghasilkan output (GDP), maka patut kiranya pengambil kebijakan dan pengguna sumberdaya memperhatikan penurunan dari pelayanan barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam. Salah satu cara untuk menjembatani keterbatasan tersebut dilakukan dengan pengukuran deplesi dan degradasi sumber daya alam agar kita dapat menghitung the truth national well being/real GDP/Green GDP/PDB (Produk Domestik Bruto Hijau) seperti yang disarankan oleh Lobo (2001) dan ahli-ahli lainnya.

2.3 Sistem Akuntansi Nasional (System of National Accounting=SNA) dan Pendapatan Nasional

Sistem akuntansi nasional (System of National Accunting) merupakan kerangka kerja statistik dan basis data untuk meringkas dan menganalisis kegiatan perekonomian dan kekayaan dari sistem perekonomian suatu negara. Tujuan utama dari akuntansi nasional adalah untuk menyajikan informasi yang berguna dalam analisis ekonomi dan perumusan kebijakan makroekonomi.

Sistem Akuntansi Nasional yang pertama kali diperkenalkan dan dipergunakan merupakan rintisan karya dari Kuznet pada tahun 1946 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1953. SNA kemudian diperbaharui pada tahun 1968 dan sekali lagi dilakukan pembaharuan pada tahun 1993 dan pembaharuan terakhir dilakukan pada tahun 1998. SNA tahun 1993 dipublikasikan secara bersama antara PBB, Bank Dunia, Dana Moneter Internasiona/IMF,Organisasi Kerjasama Ekonomi Negara-Negara Maju/OECD dan Uni Eropa /European Community. SNA tahun 1993 ini kemudian diadopsi di sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Rusia, China dan Amerika Serikat, yang mampu menyediakan kerangka kerja konseptual untuk semua data makroekonomi yang digunakan untuk tujuan analisis dan rumusan kebijakan. SNA tahun 1993 mengintegrasikan pendapatan nasional, pengeluaran, akun produksi, tabel input-output, akun aliran finansial dan neraca pembayaran nasional disamping itu juga memperkenalkan akun penyerta (satellite account) agar dapat mencakup bidang-bidang atau sektor seperti pariwisata, kesehatan dan lingkungan. Pentingnya akuntansi nasional ini dapat dilihat dari pandangan Robert Repetto yang menyoroti peranan Sistem Akuntasi Nasional sebagaimana dalam kutipan berikut ini:

Terlepas dari keterbatasannya dan hanya sebagian kecil susunan/kontruksi dalam SNA yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, sistem akuntasi pendapatan nasional tidak diragukan lagi merupakan salah satu penemuan sosial yang signifikan dari abad kedua puluh. Bukanlah hal yang kebetulan saja bahwa sejak ukuran-ukuran perekonomian yang tersedia di SNA menjadikan pemerintah di sebagian negara telah mengambil tanggung jawab untuk pertumbuhan dan stabilitas dalam perekonomian di negaranya masing-masing dan sejumlah besar invesatsi dalam bidang sumberdaya

manusia dan energi telah ditanamkan untuk memahami bagaimana ekonomi dapat dikelola secara lebih baik. Dampak politik dan ekonomi melampui dari apa yang diperkirakan atau diharapkan sebelumnya (Repetto 1992 diacu dalam Grafton NQR et al 2004)

Akun pendapatan nasional agregat yang paling banyak dipergunakan adalah Gross Dometic Bruto/GDP (Produk Domestik Bruto=PDB). GDP mengukur nilai total berdasarkan harga pasar dari aktivitas produktif di dalam suatu perekonomian selama satu tahun. Ukuran agregat lain adalah Net Domestic Product/NDP (Produk Domestik Neto=PDN). NDP diperoleh dengan mengurangkan depresiasi atau penyusutan stok modal/kapital dari GDP. (Nilai depresiasi dalam hal ini dinotasikan dengan Dt). Oleh karenanya GDP,NDP dan D dalam periode tdapat dihubungkan dalam sebuah persamaan sebagai berikut:

t t

t GDP D

NDP   (1)

Di mana NDPt adalah Net Domestic Product, GDPt adalah Gross Domestic

Brutodan Dt adalah depriasi kapital.

2.4 Pengertian Deplesi, Degradasi dan Depresiasi Kapital Alami

Istilah deplesi, degradasi dan depresiasi seringkali merupakan tiga istilah yang dapat dipertukarkan pengertiannya dan merujuk kepada satu pengertian.Namun demikian dalam studi-studi mengenai akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan ketiganya memiliki arti yang berbeda.Deplesi diartikan sebagai tingkat/laju pengurangan stok dari sumber daya alam tidak dapat diperbarukan (non-renewable resources) dalam hal ini terjadi jumlah penurunan stok sumber daya alam yang jauh di atas laju penurunan stok seharusnya, atau terjadi laju eksploitasi yang lebih tinggi dari yang seharusnya, bila dikaitkan dengan laju eksploitasi optimal yang dihitung dalam analisis dinamik pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan (yang memperhatikan aspek kesejahteraan generasiyang akan datang dengan tidak mengurangi kesejahteraan generasi sekarang). (Fauzi dan Anna 2004).

Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarukan, dalam hal ini sumber daya alam dapat diperbarukan berkurang kemampuan alaminya untuk beregenerasi sesuai kapasitas produksinya. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alami maupun karena faktor pengaruh dari aktivitas manusia. Namun demikian, pada sumber daya alam secara umum kebanyakan degradasi terjadi karena ulah manusia, baik berupa aktivitas produksi; penangkapan/eksploitasi, maupun karena aktivitas non- produksi seperti pencemaran akibat limbah domestik maupun industri (Fauzi dan Anna 2004).

Kedua istilah di atas, baik degradasi maupun deplesi lebih mengacu kepada istilah besaran fisik, sementara depresiasi adalah merupakan nilai besaran moneter dari kedua istilah tersebut, baik deplesi maupun degradasi. Jadi depresiasi adalah merupakan nilai deplesi atau degradasi yang dimoneterkan. Moneterisasi dalam depresiasi ini tentu saja harus mengacu kepada harga riil dan bukan harga nominal. Artinya untuk menghitungnya harus selalu mengacu

kepada indeks harga konsumen yang berlaku untuk setiap komoditi sumber daya alam (Fauzi dan Anna 2004).

2.5 Akuntansi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan muncul dari adanya kebutuhan untuk memahami secaralebih baik mengenai hubungan antara sistem manusia, sosial dan ekonomi serta patrimoni alami. Hubungan tersebut terdiri dari penyediaan berbagai jasa lingkungan untuk manusia dalam bentuk: (1) barang/jasa konsumtif yang pada umumnya merupakan sumberdaya yang dipasarkan (sumberdaya biologis dan sumberdaya tidak pulih),(2) jasa asimilasi yang umumnya dicirikan dengan ketiadaan pasar atau pasar yang tidak lengkap,(3) sumberdaya kualitas lingkungan, di mana beberapa di antaranya sangat penting bagi kehidupan manusia tetapi hanya sedikit yang memiliki kejelasan hak kepemilikan dan pasar.

Kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam memiliki dua tujuan dalam menyusun struktur guna penyediaan informasi mengenai penggunaan sumberdaya alam. Tujuan pertama adalah untuk mengkoreksi kelemahan SNA yang merupakan versi kerangka kerja yang disusun oleh PBB pada tahun 1968 dan sampai sekarang masih tetap digunakan, terutama pada perolehan pendapatan (income) yang berasal dari konsumsi sumberdaya alam dan jasa lingkungan lain yang tidak berkelanjutan. Tujuan yang kedua adalah semata-mata untuk menyediakan informasi dan tidak ditujukan sebagai komponen dari

Dokumen terkait