• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrating Forest Resource and Carbon Accounting into the Calculation of Gross Regional Domestic Product of Forestry Sector of Blora Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Integrating Forest Resource and Carbon Accounting into the Calculation of Gross Regional Domestic Product of Forestry Sector of Blora Regency"

Copied!
223
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJ

INSTITUT PERTANIAN B

SLAMET RIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Tegakan dan Karbon Ke Dalam Perhitungan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Kehutanan Kabupaten Blora adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Januari 2013

(3)

SIMANJUNTAK

Forestry sector plays an important role in the economic of Blora Regency.During 2003-2010 period, this sector made significant contribution to the regional economic in term of income, average 14,48% of Gross Regional Domestic Product (GDRP). This figure doesn’t reflect the true contribution of forest resource to regional income and wellbeing because this measure excluded the depletion of the resources to generate the amount of value of product as stated in conventional account using standart and existing accounting framework. The main objective of this study is to develop and use a forest resources accounting framework to correct indicator of economic performance derived from the System of National Account for the true contribution of forestry sector GRDP in Blora Regency, Central Java Province. This study address two components of value creation in forest: timber production and carbon storage. To estimate the value of timber assetss this study applied two valuation methods: the net price and El Serafy user cost methods. The valuation of benefit of forest for carbon sequestration in this study using the damage cost approach, that’s the estimation of the global damage from climate change averted by reducing. The study showed that accounting for net accumulation of timber and carbon stock in forested land was approximately 20,24% of contribution from forestry sector to GRDP during 2003-2010 period. By including the value of timber and carbon depreciation, forestry sector’s share was corrected about 2,87% lower than conventional account.

(4)

Sektor kehutanan memiliki peran yang penting bagi perekonomian Kabupaten Blora yang dapat dilihat dari relatif tingginya pangsa (share) sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu rata-rata 14,18%. Selama periode tahun 2002-2010. Sumbangan sektor kehutanan tersebut didasarkan pada ukuran konvensional yang hanya mencatat nilai produk kotor (gross product value) tanpa memasukkan dimensi pengaruh pemanfaatan sumberdaya alam terhadap keberlanjutan sistem sumberdaya (resource system) dan aliran manfaat (resource unit) sumberdaya tersebut. Penentuan kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan nasional/regional yang selama ini digunakan mempunyai kelemahan, yakni bahwa dalam nilai produk yang dihitung masih mengandung depresiasi persediaan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan.

Kelemahan penghitungan kontribusi sektor kehutanan dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) oleh karenanya perlu dikoreksi. Tindakan koreksi yang dimaksudkan adalah setiap pengurangan persediaan sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan harus diperlakukan sebagai pengurang bagi pendapatan nasional/regional. Sebaliknya, setiap penambahannya sebagai angka yang harus dipertambahkan pada angka pendapatan nasional/regional konvensional (Daly 1989). Dengan demikian diperlukan suatu pendekatan untuk mengkoreksi sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora yang mencerminkan kontribusi yang sesungguhnya dari sektor kehutanan. Pendekatan yang dilakukan untuk mengkoreksi adalah dengan melakukan integrasi perhitungan PDRB dengan memasukkan perubahan nilai stok tegakan dan kemampuan menyimpan karbon.

Tujuan utama penelitian ini adalah: (1) Menyusun neraca tegakan dan karbon yang merupakan ikhtisar persediaan volume kayu hutan dan karbon beserta perubahannya dalam suatu periode waktu tertentu, (2) Mengestimasi nilai moneter dari sediaan volume tegakan dan karbon, dan nilai penyusutan/depresiasi sumberdaya hutan sebagai salah satu bentuk kapital alami dan (3) Mengintegrasikan nilai depresiasi tegakan dan karbon tersimpan di hutan ke dalam perhitungan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora

(5)

rata nilai depresiasi tegakan dengan menggunakan metode net price selama periode penelitian adalah Rp 83.430.957.489,01/tahun atau sebesar 19,58% dari kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB. Perubahan sediaan karbon di hutan selama periode waktu analisis adalah 158.163,63 tC atau rata-rata sebesar 19.770,45 tC/tahun. Dengan menggunakan harga karbon sebesar $15/tC, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar konstant pada nilai Rp 9.200/USD, nilai perubahan stok karbon tersimpan di dalam hutan sebesar Rp 21.826.580.940,00 atau rata-rata Rp 2.728.322.100/tahun Rata-rata perubahan nilai stok karbon tersebut setara dengan 0,66% sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora. Perhitungan nilai depresiasi tegakan dengan menggunakan metode user costpada tingkat diskonto sebesar 10%, dan unit rent tahun 2010 adalah Rp 902.774.646.982,66 yang terinci Rp 376.527.284,46 untuk tegakan yang belum mencapai umur rotasi dan Rp 902.398.257.284,46 untuk tegakan sesudah mencapai umur rotasi.Hasil ini lebih besar apabila dibandingkan dengan perhitungan depresiasi tegakan menggunakan metode net price.

Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora berdasarkan harga berlaku selama periode waktu 2003-2010 terkoreksi sebesar 2,87% lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Blora yang selama ini dilaporkan apabila nilai deplesi stok tegakan dan nilai degradasi hutan dalam menyimpan karbon dimasukkan ke dalam perhitungannya. Dengan mengacu kepada hasil-hasil sebagaimana diuraikan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi di Kabupaten Blora selama periode waktu 2003-2010 berada pada jalur pemanfaatan yang tidak berkelanjutan (unsustainable path of forest utilization).

(6)

Forestry plays an important role in the economy of Blora Regency, shown in the relatively high share of the sector in the Gross Regional Domestic Product (Produk Domestik Regional Bruto/ PDRB). During 2002-2010 period, the average share of the sector amounts to 14.18%. The contribution is based on the conventional and standart account that measure only gross product value without considering the impact of natural resource uses on the sustainability of the resource system and the resource unit.

Such a calculation should be adjusted accordingly; the decline of both the stocks of the natural resources and the quality of the environment has to be considered as a subtracting factor to the domestic/ national income. Either way, the improvement of the resources should be topped up to the calculation (Daly 1989). In that view, an approach to adjusting the contribution of the forest sector to PDRB of Blora Regency is needed to see the real contribution of the sector.In this research, the adjustment is done by integrating the changes in the value of the forest stocks and their ability to sequest carbon from the atmosphere.

This research aims to: 1) establish the timber and carbon accounting that is the recap of timber and carbon stocks over a period of time, 2) estimate the monetary values of the standing timber and carbon stocks, and the depreciation of forest resources as a natural capital, and 3) integrate the depreciation of standing timber and carbon stocks into the calculation of the contribution of forest sector to PDRB of Blora Regency.

This research both adopts and implements forest resources accounting which is part of the framework of System of Integrate Environmental and Economic Account (SEEA) for integrating the changes in forest and carbon stocks into regional incomes. The timber asset valuation uses two methods, i.e. Net price method (Repetto’s method) and User cost method (El Serafy User Cost Method). The valuation of the carbon stocks refers to the research of Toll (2003), which uses damage costs as an estimation of the damage caused by climate change.

(7)

The corrected contribution of forestry sector to PDRB of Blora Distict between 2003 and 2010 was 2.87% lower than the reported PDRB taking the depletion of forest and carbon stocks into consideration. Such, the use of forest resource for economic development in Blora District between 2003 and 2010 encouraged the depletion of the resource. This means that unsustainable path of forest utilization occured in Blora Regency.

(8)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

SLAMET RIYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Tanggal Ujian: 15 Januari 2013 Tanggal Lulus: Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ir.Sahat MH Simanjuntak, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

(12)
(13)

menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul : Integrasi Neraca Tegakan dan Karbon ke Dalam Perhitungan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Kehutanan Kabupaten Blora. Pengambilan data penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan dari bulan Mei sampai dengan September 2012. Data utama dikumpulkan dari Seksi Perencanaan Hutan (SPH) Rembang, Salatiga dan Madiun Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan Perum Perhutani Unit I dan Unit II, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yang kawasan pemangkuan hutannya secara administratif berada di Kabupaten Blora (KPH Randublatung, Cepu, Blora, Mantingan, Kebonharjo dan Ngawi).

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir.Akhmad Fauzi, M.Sc dan Bapak Ir. Sahat MH Simanjuntak MSc selaku pembimbing, atas segala arahan dan bimbingan semenjak proses awal mengkontruksikan permasalahan, perumusan kerangka teori, pendekatan metode dan analisis sampai pada proses akhir yaitu mensintesiskan hasil-hasil temuan penting sehingga karya tulis ilmiah ini dapat tersusun. Terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Meti Ekayani S.Hut MSc sebagai penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri MS selaku

yang konstruktif pada saat ujian tesis, yang kesemuanya menjadikan bahan untuk melakukan perbaikan dari aspek tata aturan penulisan maupun substansi dalam tesis ini.

Karya tulis ini tidak akan pernah terwujud tanpa dukungan ketersediaan data empiris yang telah dikumpulkan maupun dipublikasikan sejumlah instansi, oleh karenanya penulis menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Pimpinan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Unit II Jawa Timur beserta seluruh staf yang telah mengijinkan pelaksanaan penelitian di unit perencanaan (Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan dan Seksi Perencanaan Hutan) dan unit pengelolaan hutan (Kesatuan Pemangkuan Hutan)

Harapan penulis, semoga hasil penelitian ini akan membawa kemanfaatan bagi pengembangan penelitian dan aplikasi Neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Indonesia dan dapat memberikan persfektif baru bagi pengambil keputusan dalam perencanaan pembangunan menuju jalur pembangunan berkelanjutan (sustainable path of development).

Bogor, Januari 2013

(14)

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Konsep dan Indikator Pembangunan Berkelanjutan 6 2.2 Pengukuran Kesejahteraan Nasional yang Sesungguhnya 7 2.3 Perhitungan Pendapatan dan Sistem Akuntansi Nasional 9 2.4 Pengertian Deplesi, Degradasi dan Depresiasi Kapital Alami 10

2.5 Akuntansi Sumberdaya Alam dan Lingkungan 11

2.6 Green AccountingSebagai Penyesuaian

Ukuran Agregat Makroekonomi 12

2.7 Penelitian Sebelumnya 13

2.8 Posisi Terhadap Penelitian Sebelumnya 15

3 KERANGKA PEMIKIRAN 16

4 METODE PENELITIAN 19

4.1 Lokasi dan Waktu 19

4.2 Jenis, Sumber dan Teknik Pengambilan Data 19

4.3 Metode Analisis 20

4.3.1 Neraca/Akun Luas,Volume Tegakan dan Karbon 21

4.3.2 Neraca/Akun Moneter 24

4.3.3 Integrasi Neraca Moneter ke dalam Perhitungan PDRB 27

4.4.4 Analisis Sensitivitas 27

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 28

5.1 Gambaran Potensi Sumberdaya Hutan 28

5.2 Neraca Luas dan Volume Tegakan 30

5.2.1 Neraca Luas Kawasan Hutan 31

5.2.2 Neraca Volume Tegakan 32

5.3 Neraca Sediaan Karbon Tersimpan di Hutan 39

5.4 Neraca Moneter Tegakan dan Karbon Tersimpan di Hutan 41

5.4.1 Neraca Moneter Tegakan 41

5.4.2 Neraca Moneter Karbon Tersimpan di Hutan 49 5.5 Integrasi Neraca Moneter Tegakan dan Karbon ke

(15)

RIWAYAT HIDUP 99

DAFTAR TABEL

1.1 Sumbangan Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora

Menurut Harga Berlaku 2

1.2 Sumbangan Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora

Menurut Harga Konstan Tahun 2000 3

4.1 Matriks Tujuan Penelitian, Jenis dan Sumber Data 20 4.2 Kerapatan Kayu (wood density) Penyusun Tegakan Hutan 24 4.3 Daur/Rotasi Tegakan Hutan di Kabupaten Blora 26 5.1 Luas Hutan Negara di Kabupaten Blora Menurut Fungsi

di Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) 28 5.2 Sebaran Luas Hutan Rakyat dan Hutan Negara di Kabupaten Blora 29 5.3 Pertumbuhan Sektor Kehutanan Dalam Pembentukan PDRB Blora 30 5.4 Luasan Hutan Menurut Fungsi pada Tahun 2003 dan 2010 32 5.5 Stok Awal Volume Tegakan di Kabupaten Blora 32 5.6 Sediaan Akhir Volume Tegakan di Kabupaten Blora 33 5.7 Perbandingan antara Volume Stok Awal (2003)

dan Stok Akhir (2010) 33

5.8 Estimasi Pertumbuhan (Growth) Menurut Jenis Tegakan 34 5.9 Rekapitulasi Komponen Neraca Sebagai Pengurang

Sediaan Volume Tegakan 36

5.10 Neraca Volume Tegakan Akumulatif Tahun 2003-2010 37 5.11 Neraca Volume Tegakan Akumulatif Tahun 2003-2010

Menurut Jenis Tegakan 38

5.12 Ringkasan Neraca Tahunan Sediaan Volume 38

5.13 Neraca Akumulatif Karbon Tersimpan di Dalam Hutan

Menurut Jenis Tegakan di Kabupaten Blora Tahun 2003-2010 40 5.14 Ringkasan Tahunan Neraca Sediaan Karbon di Dalam Hutan 40 5.15 Unit RentTegakan Jati, Mahoni, Sonokeling dan Rimba Campur 41

5.16 Neraca Tahunan Moneter Tegakan Hutan 44

5.17 Nilai Moneter Tegakan pada Awal dan Akhir Periode, Revaluasi

dan Nilai Deplesi Tegakan 45

5.18 Perbandingan Nilai Moneter Tegakan pada Stok Awal

dan Stok Akhir Berdasar Unit Rent Konstan Tahun 2003 46 5.19 Perbandingan Nilai Depresiasi Tegakan Belum Mencapai

(16)

5.23 Kontribusi Sektor Kehutanan ”Tanpa” dan ”Dengan”

Memasukkan Nilai Penyimpanan Karbon 51

5.24 Perbandingan Pangsa Sektor Kehutanan ”Tanpa” dan ”Dengan”

Nilai Manfaat Karbon pada Tingkat Harga Karbon yang Berbeda 53 5.25 PDRB Konvensional, Depresisasi Tegakan & Karbon dan PDRB

Hijau Sektor Kehutanan Kabupaten Blora Tahun 2003-2010 54 5.26 Perbandingan Pangsa Sektor Kehutanan Terhadap PDRB

Kabupaten Blora 54

5.27 Besarnya Depresiasi Sumberdaya Hutan dan Prosentasenya Terhadap PDRB Sektor Kehutanan Kabupaten Blora Tahun 2003-2010 56

DAFTAR GAMBAR

3.1 Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian 18

5.2 Perbandingan Sediaan Volume Tegakan dan Nilai Moneternya

pada Stok Akhir 45

DAFTAR LAMPIRAN

1 Volume Tegakan Berdasarkan Hasil Inventarisasi (Risalah) Hutan

Tahun 2003 dan 2010 62

2 Kerusakan/Kehilangan Tegakan Akibat Bencana Alam dan

Kebakaran Hutan 68

3 Pengurangan Volume Tegakan Akibat Kegiatan Perekonomian 69 4 Neraca Tahunan Sediaan Volume Berdasarkan Jenis Tegakan 71

5 Neraca Tahunan Sediaan Volume Tegakan 75

6 Neraca Tahunan Sediaan Karbon Berdasarkan Jenis Tegakan 77

7 Neraca Moneter Tahunan Sediaan Volume Tegakan 81

8 Neraca Moneter Tahunan Sediaan Karbon 85

(17)

karena setiap aktivitas ekonomi pastilah bersentuhan dengan salah satu atau bahkan keduanya sekaligus. Sayangnya, dalam perkembangannya kajian ekonomi mengabaikan sumberdaya alam, terebih setelah pesimisme Malthus dan kajian yang dilakukan Club of Rome melalui karya yang berjudul The Limit to Growth tidak kunjung terbukti. Ekonomi neoklasik merasa telah mampu mengatasi kelangkaan sumberdaya alam dengan kemajuan teknologi (Stiglitz 1974; Agnani et al 2005 diacu dalam Soedomo 2010).Namun demikian sistem ekonomi tidak akan pernah mampu keluar dari ekosistem. Aturan yang mengatur dinamika ekosistem, di mana di dalamnya aktivitas manusia berlangsung, pada akhirnya merupakan fungsi dari hukum biologi, bukan fungsi dari sistem ekonomi yang diciptakan manusia ( Gowdy dan Mc Daniel 1995; Smith 1996 diacu dalam Soedomo 2010).

Pengabaian peranan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut tercermin dalam ukuran-ukuran yang menjadi indikator kinerja perekonomian atau kesejahteraan suatu bangsa yang tidak memasukkan faktor sumberdaya alam dan lingkungan di dalamnya. Gross Domestic Product (GDP) dan Gross National Product (GNP) merupakan ukuran standar yang banyak dipergunakan. Ukuran kinerja perekonomian dan kesejahteraan suatu bangsa dengan menggunakan GNP dan GDP ini telah mendapatkan kritik tajam dari ahli-ahli ekonomi, karena beberapa kelemahan mendasar keduanya untuk merefleksikan kesejahteraan yang sesungguhnya (true well being) dari suatu bangsa. Salah satu ahli ekonomi yang memberikan kritik tersebut adalah Hueting pada tahun 1980 melalui bukunya yang berjudul New Scarcity and Economic Growth, di mana dalam buku tersebut Hueting menyatakan bahwa Gross National Product (GNP)sebagai alat indikator untuk mengukur kesejahteraan suatu bangsa (national well being) sangat menyesatkan (totally misleading), karena GNP sama sekali tidak menyertakan faktor-faktor krusial yang memberikan kontribusi terhadap GNP dan GDP, khususnya kualitas jasa lingkungan yang disumbangkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi dan Anna 2004).

(18)

Salah satu indikator yang dianggap lebih mampu memberikan gambaran tingkat kesejahteraan yang sebenarnya dan relatif lebih mampu memberikan gambaran keberlanjutan pembangunan adalah yang dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto Hijau (PDBH) pada tingkat nasional dan Pendapatan Domestik Regional Bruto Hijau (PDRBH) pada tingkat regional. Indikator ini dianggap lebih mampu menggambarkan keberlanjutan pembangunan suatu wilayah karena telah memasukkan unsur nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan dalam pendekatan perhitungannya.

Perhitungan indikator pembagunan berkelanjutan dengan menggunakan PDRB hijau bagi daerah menjadi sangat penting untuk dilakukan terutama untuk wilayah propinsi atau kabupaten/kota yang memiliki corak perekonomian yang sangat dipengaruhi atau memiliki ketergantungan yang tinggi dengan sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan. Dengan adanya indikator tersebut diharapkan mampu menjadi panduan bagi pemerintah dan masyarakat di daerah tersebut untuk mengetahui apakah pembangunan ekonomi yang selama ini dijalankan berada pada jalur pembangunan yang berkelanjutan (sustainable path of development) atau tidak. Indikator pembangunan yang dimaksud adalah PDRB Hijau yang dalam perhitungannya memasukkan, stok, perubahan stok, deplesi dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Kabupaten Blora Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu kabupaten yang perekonomiannya sangat tergantung pada sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan yang dicirikan dengan relatif tingginya sumbangan (share) nilai sektor kehutanan terhadap PDRB. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1.1, rata-rata selama jangka waktu 6 tahun, yaitu dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2010, sektor kehutanan menyumbang 13,84% menurut harga berlaku. Tabel 1.1 Sumbangan Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora

Menurut Harga Berlaku

Tahun Kontribusi Sektor Kehutanan (Rp juta)

PDRB (Rp juta)

ShareSektor Kehutanan Kehutanan

Terhadap PDRB 2004 326.661 2.253.838 14,49% 2005 370.277 2.555.232 14,49% 2006 408.698 2.873.718 14,22% 2007 426.642 3.145.489 13,56% 2008 506.631 3.636.798 13,93% 2009 531.464 3.993.823,81 13,31% 2010 574.235 4.472.315,20 12,84%

Rerata 13,84%

Sumber: Blora Dalam Angka Tahun 2010, data diolah

(19)

mengherankan karena 50% wilayah Kabupaten Blora merupakan kawasan hutan baik hutan negara maupun hutan rakyat.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa faktor resources endowment khususnya sumberdaya hutan telah berperan penting dalam membentuk pola perekonomian kabupaten Blora dalam waktu yang cukup panjang dan diperkirakan masih akan bertahan untuk waktu mendatang, sampai terdapat kekuatan besar yang dapat merubah struktur ekonomi yang ada sejauh ini.

Tabel 1.2 Sumbangan Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora Menurut Harga Konstan Tahun 2004

Tahun Kontribusi Sektor Kehutanan (Rp juta)

PDRB (Rp juta)

Share Sektor Kehutanan Kehutanan Terhadap PDRB 2004 255.740 1.659.635 15,41%

2005 265.890 1.731.376 15,36% 2006 273.415 1.803.169 15,16% 2007 262.644 1.871.131 14,04% 2008 278.147 1.979.627 14,05% 2009 284.241 2.078.031,30 13,68% 2010 292.562 2.182.808,64 13,40%

Rerata 14,44%

Sumber: Blora Dalam Angka Tahun 2010,data diolah

Berdasarkan uraian yang dipaparkan sebelumnya bahwa PDRB yang selama ini dihitung dan dipublikasikan sebagaimana dalam Tabel 1.1 dan Tabel 1.2 merupakan PDRB konvensional yang hanya mencatat aktifitas perekonomian tanpa memasukkan dimensi pemanfaatan sumberdaya alam termasuk belum memasukkan stok, perubahan stok, nilai deplesi dan degradasi sumberdaya hutan dalam menghasilkan besaran yang dicantumkan dalam angka kontribusi sektor kehutanan terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Blora tersebut, sehingga tidak dapat diketahui apakah pemanfaatan sumberdaya hutan dalam perekonomian Kabupaten Blora menunjukkan kecenderungan berkelanjutan atau tidak.Dengan demikian diperlukan suatu perhitungan untuk mengkoreksi sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora yang mencerminkan kontribusi yang sesungguhnya dari sektor kehutanan. Pendekatan yang dilakukan untuk mengkoreksi tersebut adalah dengan analisis neraca sumberdaya hutan sehingga dapat dihitung stok, perubahan stok, nilai deplesi dan degradasi sumberdaya hutan.

1.2 Rumusan Masalah

(20)

(growth rate) pada sumberdaya alam terbarukan (renewable), dalam perhitungan pendapatan nasional yang konvensional selama ini dianggap produksi (Repetto 1989).

Dampak kegiatan ekonomi terhadap kualitas lingkungan seperti polusi, peningkatan kapasitas alami dalam menguraikan polusi dan limbah juga tidak muncul dalam perhitungan konvensional tersebut. Untuk kepentingan evaluasi pembangunan ekonomi nasional dan regional yang berdasarkan prinsip kelestarian (sustainable economic development, SED), hasil perhitungan pendapatan nasional dan regional berdasarkan cara konvensional tersebut di muka karenanya dianggap perlu dikoreksi, yakni bahwa setiap pengurangan persediaan sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan harus diperlakukan sebagai pengurang bagi pendapatan nasional/regional. Sebaliknya, setiap penambahannya (apresiasi) dianggap sebagai angka yang harus dipertambahkan pada angka pendapatan nasional konvensional (Daly 1986).

Koreksi terhadap perhitungan pendapatan nasional dan regional sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan. Gilbert (1990) mendiskripsikan akuntansi sumberdaya alam sebagai suatu metodologi untuk menyajikan informasi mengenai lingkungan, sumberdaya dan ekonomi. Dalam perhitungan pendapatan nasional maupun regional perlakuan terhadap hutan dinilai bias karena yang dimasukkan adalah pendapatan yang dihasilkan dari sejumlah kayu yang dipanen, sebagai konsekuensinya deplesi atau perubahan stok sumberdaya hutan tidak terlihat dalam PDB atau PDRB. Aspek penting yang lain adalah akuntansi pendapatan nasional/regional yang standar tidak dapat membedakan antara fungsi produktif dan fungsi sumberdaya hutan yang lain yaitu dalam menjalankan fungsi pengaturan ekosistem seperti fungsi perlindungan tanah, pengaturan hidrologi, dan sebagai media rosot (sink) dan asimilasi alami dari emisi.

Penggunaan kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan dapat digunakan sebagai pengujian apakah pemanfaatan sumberdaya hutan di Kabupaten Blora yang kontribusi relatif tinggi terhadap pembentukan pendapatan daerah memenuhi kaidah pemanfaatan yang lestari atau tidak. Terdapat sejumah indikator dengan menggunakan kerangka kerja integrasi deplesi dan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan seperti Adjusted Net Savingatau Genuine Saving, dan Eco Domestik Product.Penelitian ini memfokuskan pada integrasi akuntansi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan dengan Pendapatan Regional Bruto Kabupaten Blora. Pengintegrasian tersebut akan menghasilkan perhitungan PDRB yang diesuaikan sebagai indikator untuk menguji apakah pembangunan ekonomi Kabupaten Blora berada pada jalur berkelanjutan (sustainable path) atau sebaliknya.

Berdasarkan paparan di atas, maka pertanyaan penelitian (research question) dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dampak pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi terhadap perubahan stok tegakan dan karbon?

(21)

3. Dengan menggunakan kerangka kerja keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pulih sesuai dengan “Daly’s Operational Rule” apakah pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi Kabupaten Blora berada pada jalur berkelanjutan (sustainable path)?

1.3 Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menyusun dan menganalisis neraca tegakan hutan dan sediaan karbon untuk mengkoreksi sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora. Tujuan khusus dari penelitian adalah:

1. Menyusun neraca tegakan dan karbon yang merupakan ikhtisar persediaan volume kayu hutan dan karbon beserta perubahannya dalam suatu periode waktu tertentu

2. Mengestimasi nilai moneter dari sediaan volume tegakan dan karbon, dan nilai penysusutan/depresiasi sumberdaya hutan sebagai salah satu bentuk kapital alami

3. Mengestimasi konstribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora yang berkelanjutan dengan memasukkan nilai deplesi tegakan dan degradasi kemampuan hutan dalam menyimpan karbon

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan kemanfaatan sebagai berikut:

1. Memberikan informasi mengenai besarnya nilai deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan sebagai dampak pembangunan ekonomi di Kabupaten Blora

2. Memperkenalkan metode-metode yang dapat digunakan untuk menghitung nilai deplesi sumberdaya hutan dan nilai ekonomi sumberdaya hutan dalam menjalankan salah satu fungsi ekologisnya yaitu sebagai media rosot (sink) dan penyimpanan (storage) emisi karbon

3. Memperkaya ranah penelitian mengenai aplikasi konsep neraca sumberdaya alam dan lingkungan untuk dapat diperbandingkan dengan metode dan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

4. Memberikan informasi kepada pengambil kebijakan pembangunan dan para pemangku kepentingan dalam upaya peninjauan dan perumusan model pembangunan ekonomi yang tidak bias terhadap sumberdaya alam dan lingkungan

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup yang tercakup dalam penelitian ini dibatasi pada:

(22)

2. Aset atau aktiva hutan yang dilakukan penilaian terbatas pada aset hutan dalam bentuk tegakan (standing timber) dan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon yang dikonversi ke dalam bentuk biomassa pohon

3. Biomassa pohon yang diperhitungkan sebagai media rosot karbon dibatasi pada bagian batang (stem), sedangkan kandungan karbon pada bagian biomassa pohon di cabang, akar dan daun tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Indikator Pembangunan Keberlanjutan

Konsep keberlanjutan pada dasarnya berimplikasi kepada suatu karakteristik sistem, program atau sumberdaya yang akan tetap ada sepanjang waktu. Konsep ini pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam konteks strategi konservasi dunia yang digagas olehInternational for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Konsep keberlanjutan selanjutnya menjadi mengemuka setelah pada tahun 1987, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan Bruntland Commisision melalui laporannya yang berjudul Our Common Future, di mana dalam dokumen laporan tersebut menekankan peran kunci keberlanjutan pertanian sebagai basis dari pembangunan berkelanjutan (Singh dan Shishodia 2007).

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan dalam beragam cara yang berbeda yang menyebabkan pembahasan mengenai masalah yang penting ini kadangkala menjadi sesuatu yang membingungkan. Terdapat sejumlah keragaman mengenai pengertian dalam konsep pembangunan berkelanjutan atau topik-topik yang berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan tersebut. Pengertian yang paling sering dikutip untuk mendefinisikan arti pembangunan berkelanjutan adalah definisi yang diberikan oleh Komisi Brundtland yaitu pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”.Permasalahan yang timbul dari definisi pembangunan berkelanjutan tersebut adalah hanya memberikan sedikit kemanfaatan dalam tataran praktis.

(23)

capital) dan kapital insani (human capital). Dalam kasus kapital alami, keberlanjutan mensyaratkan adanya sejumlah nilai ambang batas (treshold) di mana kehidupan di bumi menjadi tetap layak dan oleh karenanya menjadi berbahaya apabila memusatkan perhatian hanya pada satu ukuran agregat tunggal dari kekayaan (wealth).

Pezzy (1989) menarik perbedaan antara pengertian keberlanjutan lemah (weak) dan keberlanjutan kuat (strong). Berdasarkan pengertian keberlanjutan kuat, suatu perekonomian akan berada pada jalur keberlanjutan hanya apabila stok kapital per kapita dari kapital buatan, kapital alami dan kapital insani kesemuanya tidak mengalami mengalami penurunan sepanjang waktu. Definisi menurut keberlajutan lemah hanya mensyaratkan bahwa agregat stok kapital (penjumlahan dari nilai ketiga jenis kapital) tidak mengalami penurunan. Lebih lanjut Pearce dan Barbier (2000) menjelaskan bahwa weak sustainibity secara implisit tidak membedakan antara natural kapital dan made capital sehingga meskipun natural capital mengalami deplesi,selama masih bisa disubstitusi oleh man made capital dan human capital yang sama nilainya maka stok agregat masih berada tingkat yang tidak menurun. Sebaliknya dalam kasus strong sustainibility baik human capital dan man made capital tidak dapat mengganti natural capital yang menyangkut fungsi layanan ekologis yang diberikan oleh sumberdaya alam tersebut.

Fauzi (2004) menyatakan bahwa dalam prakteknya pengukuran keberlanjutan lemah lebih sering digunakan karena syarat yang paling minimum untuk menguji pembangunan berkelanjutan suatu negara. Dua pengukuran keberlanjutan lemah yang sering digunakan adalah metode produk nasional hijau yang dikembangkan oleh Hartwick dan metode genuine saving yang dikembangkan oleh Pearce dan Atkinson.

2.2 Kesejahteraan Nasional Yang Sesungguhnya

Perkembangan yang pesat di bidang ilmu ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan selama dua dasa warsa terakhir, termasuk didalamnya penilaian teknik valuasi ekonomi sumberdaya, cukup memberikan dampak yang berarti bagi pengukuran tingkat kesejahteraan suatu bangsa. Pada masa itu juga perhatian terhadap lingkungan, khususnya dampak terhadap perubahan kuantitas dan kualitas lingkungan akibat pembangunan ekonomi juga semakin menguat. Pada awalnya, perhatian hanya terbatas pada preservasi spesies yang terancam punah dan pemeliharaan estitika lingkungan, selanjutnya mengarah ke yang lebih radikal, dengan pemikiran yang mulai sangat berkembang yaitu bahwa keseluruhan proses pembangunan akan sangat tergantung pada bagaimana sumberdaya alam dan lingkungan tersebut dimanfaatkan (Fauzi dan Anna 2003).

(24)

dinegara berkembang dalam hal pencarian air bersih atau bahan bakar yang merupakan kegiatan rumah tangga tidak diperhitungkan dalam perhitungan national account, sementara proyek-proyek besar seperti rehabilitasi sungai tercemar atau reboisasi dimasukan dalam perhitungan GDP, sehingga peningkatan aktifitas restorasi ini justru malah meningkatkan GDP bukan sebaliknya (Fauzi dan Anna 2003).

Upaya untuk mengkoreksi national account ini kemudian lebih berkembang menjadi pencarian terhadap the true GDP atau Green GDP yang kemudian juga diasosiasikan dengan Resource Accounting (Lobo 2001 diacu dalam Prudham SW, et.al 1993). Resource Accounting secara sederhana diartikan sebagai sistim akunting terhadap stok dan perubahan stok sumberdaya alam baik dalam pengukuran fisik maupun moneter. Resource Accounting pada dasarnya ditujukan untuk menyediakan informasi terhadap kondisi sumberdaya alam dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Secara makro Resource Accounting juga ditujukan untuk menyediakan pengukuran income dan kesejahteraan yang lebih baik dalam rangka mengevaluasi apakah negara-negara, khususnya negara yang kaya tetap berjalan dalam koridor sustainable consumption pathatau tidak (Fauzi dan Anna 2003).

Untuk menjawab masalah di atas, bagian statistika PBB menawarkan jalan keluar dengan cara pengitegrasian aspek lingkungan kedalam perhitungan konvensional GNP. Namun demikian, pengintegrasian aspek lingkungan ini tidak disarankan langsung ke dalam core perhitungan national account, melainkan sebagai komplemen dari SNA (System of National Account). Mengingat sifatnya yang tidak menjadi bagian utuh namun berupa komplemen inilah kemudian sistim ini dikenal juga dengan istilah Satellite Account. Struktur dasar dari Satellite Account ini tidak banyak jauh berbeda dengan SNA, hanya penambahan aspek lingkungan sehingga perhitungan GNP kemudian disesuikan dengan pengeluaran untuk lingkungan dan degradasi/deplesi sehingga menghasilkan perhitungan yang disebut sebagai EDP (Environmentally Adjusted Domestic Product). Satellite account memfokuskan pada dua aspek yakni pengukuran deplesi dari sumberdaya alam yang langka dan yang kedua mengukur biaya degradasi lingkungan dan pencegahannya.

Dalam perjalanannya, resource accounting kemudian menjadi “partner” yang tidak terpisahkan dalam pengukuran keberlanjutan (sustainability) dari proses pembangunan. Theys (1990) bahkan melihat resource accounting (atau diistilahkan dengan patrimony account) bersama-sama dengan national account dan satellite account dapat digunakan untuk menentukan skenario alternatif keberlanjutan pembangunan dengan kriteria evaluasi yang berbeda.

(25)

gambaran yang sebenarnya dari kondisi kinerja ekonomi keseluruhan (Hartwick 1990; Hung 1993; Maler 1991; Repetto et al.1989).

Oleh karena sumber daya alam merupakan natural kapital yang menjadi bagian dari proses produksi untuk menghasilkan output (GDP), maka patut kiranya pengambil kebijakan dan pengguna sumberdaya memperhatikan penurunan dari pelayanan barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam. Salah satu cara untuk menjembatani keterbatasan tersebut dilakukan dengan pengukuran deplesi dan degradasi sumber daya alam agar kita dapat menghitung the truth national well being/real GDP/Green GDP/PDB (Produk Domestik Bruto Hijau) seperti yang disarankan oleh Lobo (2001) dan ahli-ahli lainnya.

2.3 Sistem Akuntansi Nasional (System of National Accounting=SNA) dan Pendapatan Nasional

Sistem akuntansi nasional (System of National Accunting) merupakan kerangka kerja statistik dan basis data untuk meringkas dan menganalisis kegiatan perekonomian dan kekayaan dari sistem perekonomian suatu negara. Tujuan utama dari akuntansi nasional adalah untuk menyajikan informasi yang berguna dalam analisis ekonomi dan perumusan kebijakan makroekonomi.

Sistem Akuntansi Nasional yang pertama kali diperkenalkan dan dipergunakan merupakan rintisan karya dari Kuznet pada tahun 1946 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1953. SNA kemudian diperbaharui pada tahun 1968 dan sekali lagi dilakukan pembaharuan pada tahun 1993 dan pembaharuan terakhir dilakukan pada tahun 1998. SNA tahun 1993 dipublikasikan secara bersama antara PBB, Bank Dunia, Dana Moneter Internasiona/IMF,Organisasi Kerjasama Ekonomi Negara-Negara Maju/OECD dan Uni Eropa /European Community. SNA tahun 1993 ini kemudian diadopsi di sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Rusia, China dan Amerika Serikat, yang mampu menyediakan kerangka kerja konseptual untuk semua data makroekonomi yang digunakan untuk tujuan analisis dan rumusan kebijakan. SNA tahun 1993 mengintegrasikan pendapatan nasional, pengeluaran, akun produksi, tabel input-output, akun aliran finansial dan neraca pembayaran nasional disamping itu juga memperkenalkan akun penyerta (satellite account) agar dapat mencakup bidang-bidang atau sektor seperti pariwisata, kesehatan dan lingkungan. Pentingnya akuntansi nasional ini dapat dilihat dari pandangan Robert Repetto yang menyoroti peranan Sistem Akuntasi Nasional sebagaimana dalam kutipan berikut ini:

(26)

manusia dan energi telah ditanamkan untuk memahami bagaimana ekonomi dapat dikelola secara lebih baik. Dampak politik dan ekonomi melampui dari apa yang diperkirakan atau diharapkan sebelumnya (Repetto 1992 diacu dalam Grafton NQR et al 2004)

Akun pendapatan nasional agregat yang paling banyak dipergunakan adalah Gross Dometic Bruto/GDP (Produk Domestik Bruto=PDB). GDP mengukur nilai total berdasarkan harga pasar dari aktivitas produktif di dalam suatu perekonomian selama satu tahun. Ukuran agregat lain adalah Net Domestic Product/NDP (Produk Domestik Neto=PDN). NDP diperoleh dengan mengurangkan depresiasi atau penyusutan stok modal/kapital dari GDP. (Nilai depresiasi dalam hal ini dinotasikan dengan Dt). Oleh karenanya GDP,NDP dan D dalam periode tdapat dihubungkan dalam sebuah persamaan sebagai berikut:

t t

t GDP D

NDP   (1)

Di mana NDPt adalah Net Domestic Product, GDPt adalah Gross Domestic

Brutodan Dt adalah depriasi kapital.

2.4 Pengertian Deplesi, Degradasi dan Depresiasi Kapital Alami

Istilah deplesi, degradasi dan depresiasi seringkali merupakan tiga istilah yang dapat dipertukarkan pengertiannya dan merujuk kepada satu pengertian.Namun demikian dalam studi-studi mengenai akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan ketiganya memiliki arti yang berbeda.Deplesi diartikan sebagai tingkat/laju pengurangan stok dari sumber daya alam tidak dapat diperbarukan (non-renewable resources) dalam hal ini terjadi jumlah penurunan stok sumber daya alam yang jauh di atas laju penurunan stok seharusnya, atau terjadi laju eksploitasi yang lebih tinggi dari yang seharusnya, bila dikaitkan dengan laju eksploitasi optimal yang dihitung dalam analisis dinamik pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan (yang memperhatikan aspek kesejahteraan generasiyang akan datang dengan tidak mengurangi kesejahteraan generasi sekarang). (Fauzi dan Anna 2004).

Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarukan, dalam hal ini sumber daya alam dapat diperbarukan berkurang kemampuan alaminya untuk beregenerasi sesuai kapasitas produksinya. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alami maupun karena faktor pengaruh dari aktivitas manusia. Namun demikian, pada sumber daya alam secara umum kebanyakan degradasi terjadi karena ulah manusia, baik berupa aktivitas produksi; penangkapan/eksploitasi, maupun karena aktivitas non-produksi seperti pencemaran akibat limbah domestik maupun industri (Fauzi dan Anna 2004).

(27)

kepada indeks harga konsumen yang berlaku untuk setiap komoditi sumber daya alam (Fauzi dan Anna 2004).

2.5 Akuntansi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan muncul dari adanya kebutuhan untuk memahami secaralebih baik mengenai hubungan antara sistem manusia, sosial dan ekonomi serta patrimoni alami. Hubungan tersebut terdiri dari penyediaan berbagai jasa lingkungan untuk manusia dalam bentuk: (1) barang/jasa konsumtif yang pada umumnya merupakan sumberdaya yang dipasarkan (sumberdaya biologis dan sumberdaya tidak pulih),(2) jasa asimilasi yang umumnya dicirikan dengan ketiadaan pasar atau pasar yang tidak lengkap,(3) sumberdaya kualitas lingkungan, di mana beberapa di antaranya sangat penting bagi kehidupan manusia tetapi hanya sedikit yang memiliki kejelasan hak kepemilikan dan pasar.

Kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam memiliki dua tujuan dalam menyusun struktur guna penyediaan informasi mengenai penggunaan sumberdaya alam. Tujuan pertama adalah untuk mengkoreksi kelemahan SNA yang merupakan versi kerangka kerja yang disusun oleh PBB pada tahun 1968 dan sampai sekarang masih tetap digunakan, terutama pada perolehan pendapatan (income) yang berasal dari konsumsi sumberdaya alam dan jasa lingkungan lain yang tidak berkelanjutan. Tujuan yang kedua adalah semata-mata untuk menyediakan informasi dan tidak ditujukan sebagai komponen dari akuntansi ekonomi makro yang diperluas

Sejak dikeluarkan SNA pada tahun 1968, perhatian diarahkan menuju evaluasi indikator ekonomi makro, khususnya GDP dan GNP. Inti dari perdebatan terletak pada kecukupan ukuran tersebut (GDP dan GNP) sebagai indikator kemakmuran ekonomi (economic well being). Salah satu kelemahan mendasar terkait dengan kegagalan indikator agregat untuk mencerminkan kontribusi input lingkungan terhadap output ekonomi dan kegagalan untuk merefleksikan implikasi terhadap kesejahteraan generasi mendatang karena penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas perekonomian. Mayoritas upaya yang dilakukan untuk merevisi perlakuan deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan dalam akun ekonomi makro dicurahkan terhadap pendekatan akun satelit yang mana di dalamnya penciptaan pendapatan dan konsumsi kapital di mana aset alami yang bersangkutan harus dibedakan secara eksplisit.

Kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan dirancang untuk memonitor pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia. Secara umum kerangka kerja tersebut mencakup serangkaian pengujian dari tiga fungsi utama lingkungan alami yang terkait dengan populasi manusia, yaitu:

a) Penyediaan barang konsumsi, umunya sumberdaya alam yang dipasarkan sebagai input pada produksi ekonomi

b) Kemampuan asimilasi alami atau penguraian limbah

(28)

Kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam umumnya mencatat stock dan flow dari sumberdaya dan laju pemanenan. Untuk sumberdaya biologis, ektraksi yang melebihi laju penggantian alami diklasifikasikan sebagai deplesi. Dalam struktur akuntansi yang memusatkan pada integrasi akun sumberdaya dengan SNA, nilai deplesi tersebut dapat diestimasi dengan menggunakan sejumlah metode dan koreksi terhadap akun pendapatan dapat dilakukan (sebagai contoh, Peskin 1989).Untuk sumberdaya alam tidak pulih, semua bentuk ektraksi atau pengambilan merupakan deplesi (meskipun cadangan ekonomis dapat meningkat melalui penambahan atau penemuan dan penyesuaian harga).

2.6 Green AccountingSebagai Penyesuaian Ukuran Agregat Makroekonomi Produk Domestik Bruto (PDB) Hijau atau yang sering juga disebut dengan Green NDP atau Eco Domestic Product merupakan agregasi makroekonomi yang disesuaikan (adjusted macroeconomic aggregate) yang paling popular di bawah kerangka kerja akuntansi hijau (green accounting). PDB hijau sebenarnya merupakan PDB konvensional yang dikurangi dengan semua bentuk depresiasi kapital (kapital buatan, kapital alami dan kapital insani). Dengan menggunakan standar kerangka kerja SEEA (System of Environmental and Economic) yang dikembangkan oleh PBB, Eco Domestic Product didefinisikan sebagai PDB dikurangi dengan depresiasi kapital (depresiasi dari aset tetap) dan biaya lingkungan (Alisjahbana dan Yusuf 2004). Sebagaimana halnya PDB konvensional dan pertumbuhannya yang menjadi sangat populer sebagai indikator untuk mengukur kinerja makroekonomi, PDB hijau juga merupakan indikator yang populer sebagai ukuran agregat makroekonomi hijau. PDB hijau telah dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan. Vincent dan Castaneda (1997) menyatakan bahwa PDB hijau dapat memprediksi dampak dari deplesi sumberdaya alam terhadap kemungkinan konsumsi jangka panjang di suatu negara dengan melihat apakah kecenderungan nilai PDB hijau mengalami kenaikan atau penurunan.

(29)

perekonomian dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah baik menurut sektor maupun secara total.Namun sesungguhnya tidak demikian karena sumberdaya alam yang hilang karena ekploitasi (deplesi) dan penurunan kualitas lingkungan (degradasi) akibat kegiatan perekonomian itu sendiri belum diperhitungkan sebagai nilai kerugian yang harus dibayar.

2.7 Penelitian Sebelumnya

Foy (1991) melakukan studi mengenai nilai deplesi sumberdaya minyak sebagai komponen Produk Domestik Regional Bruto negara bagian Lousiana, Amerika Serikat selama periode waktu tahun 1963-1987. Kajian Foy berupaya untuk membandingkan secara kuantitatif pengaruh penggunaan metode pengurangan rente total yang dikembangkan oleh Repetto et.al (1989) dan metode penerimaan berkelanjutan atau metode biaya penggunaan (user cost method) yang diajukan oleh El Serafy (1989). Hasil studi Foy menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto negara bagian Lousiana, Amerika Serikat berkurang sebesar 3,3 % dengan metode pengurangan rente total dan berkurang sebesar 13,8% dan 8,7% dengan menggunakan metode El Seraffy pada tingkat diskonto 5% dan 10%. Hasil studi ini berkebalikan dengan dugaan secara intuisi yang menyatakan bahwa dengan metode El Serafi pengurangannya akan lebih rendah dibandingkan dengan metode Repetto.Foy berargumen bahwa adanya hasil yang berlawanan tersebut disebabkan oleh 2 faktor, yaitu: (i) dengan metode pengurangan rente total akan memberikan hasil yang besar yang dihasilkan dari penilaian terhadap penambahan cadangan ekonomis, (ii) metode pengurangan rente total melibatkan perhitungan selama daur hidup (life cycle) dari sumberdaya yang bersangkutan, sedangkan pada metode El Serafy hanya melibatkan perhitungan penerimaan bersih dalam tahun berjalan, yaitu penerimaan total dikurangi dengan nilai faktor input (termasuk penggantian untuk konsumsi kapital)

Repetto et. al (1989) membahas pertanyaan bagaimana deplesi sumberdaya alam dapat mempengaruhi perkiraan pendapatan nasional Indonesia. Metode yang dipergunakan oleh Reppetto et al (1989) meliputi penyusunan akun stock dan flow sumberdaya alam sepanjang waktu yang secara khusus disusun akun untuk sumberdaya hutan (kayu), minyak dan sumberdaya tanah. Studi Repeto et al (1989) mengukur besaran agregat untuk penyesuaian perekonomian Indonesia dari tahun 1971 sampai dengan 1984. Hasil studi menunjukkan bahwa GDP perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata sebesar 7% per tahun selama periode 1971 sampai 1984, dengan memperhitungkan deplesi sumberdaya alam, koreksi pertumbuhan GDP adalah sebesar 4%.

(30)

marjinal sosial (marginal social damage) yang dikembangkan oleh Atkinson dan Gundimeda (2006).Penilaian hasil hutan bukan kayu dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah nilai royalti yang dibebankan kepada pemanfaat dan pendekatan kedua dengan opportunity cost atau biaya imbangan yang diperlukan mengumpulkan hasil hutan bukan kayu tersebut.Hasil studi menunjukkan bahwa akumulasi neto dari deplesi sumberdaya hutan adalah sebesar -1,05% dari GDP untuk kayu dan -0,31% dari GDP untuk karbon.Sedangkan untuk kayu bakar dan hasil hutan bukan kayu tidak dimasukkan ke dalam perhitungan terhadap GDP, namun ditunjukkan besarnya nilai ekonomi yang disumbangkan oleh keduanya terhadap pendapatan rumah tangga masyarakat.

Goio et al (2007) melaporkan hasil studinya mengenai integrasi nilai sumberdaya hutan ke dalam perhitungan pendapatan regional untuk propinsi Trento, Italia. Dalam studinya Goio, et al, mengestimasi nilai manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar, yaitu: nilai bentang lahan (nilai rekreasi alami), nilai penambatan karbon dan nilai perlindungan hidrogeologis. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan memasukkan semua nilai manfaat dari hutan, kontribusi sektor kehutanan meningkat dari semula 25 juta euro per Ha (hanya memasukkan nilai manfaat kayu yang dipanen) menjadi sebesar 136 juta euro per Ha.

Hasan dan Ngwenya (2006) mengembangkan studi untuk mengintegrasikan kerangka kerja akuntansi sumberdaya hutan yang bertujuan untuk memberikan koreksi terhadap ukuran kesejahteraan dan kinerja ekonomi konvensional yang diturunkan dari System of National Account (SNA), yaitu Gross Saving di negara Swaziland. Dalam studinya Hasan dan Ngwenya memasukkan perubahan nilai aset tegakan (kayu) dan nilai manfaat penyimpanan karbon di kawasan hutan untuk menghasilkan indikator yang disebut net saving atau geunine savingKapitalisasi nilai aset tegakan dinilai dengan tiga pendekatan yaitu : Change in Value (CAV) Method, Net Price Method (NP) dan El Seraffy User Cost Method (ESUC).Sedangkan untuk perubahan penyimpanan karbon diestimasi dengan pendekatan model dinamik densitas penyimpanan karbon yang dikembangkan oleh Hassan (2000). Nilai satuan karbon yang dipergunakan diperoleh dari hasil studi yang dilakukan oleh orang lain, sehubungan dengan Swaziland belum memiliki estimasi untuk nilai karbon yang tersimpan di dalam hutan. Berdasarkan pendekatan tersebut, temuan-temuan penting yang dihasilkan dari studi tersebut adalah: (a) rata-rata akumulasi neto dari stok tegakan meningkatan rata-rata net saving Swaziland sebesar 56% (b) penyimpanan karbon menyumbangkan rata-rata tambahan terhadap net saving sebesar 36%, selama periode waktu dari tahun 1988 sampai dengan 1999.

(31)

hutan dihitung dengan menggunakan metode unit rent atau net price methodyang mencakup tiga jenis komoditas yaitu jati, mahoni dan kayu bakar. Sedangkan nilai degradasi lingkungan yang dimasukkan ke dalam perhitungan PDRB ramah lingkungan mencakup nilai penggunaan tidak langsung dan nilai non guna dari sumber daya hutan. Nilai guna tidak langsung mencakup: konservasi tanah dan air, penyerapankarbon, pencegahan banjir, transportasi air dan keanekaragaman hayati. Untuk nilai non guna mencakup nilai pilihan dan nilai keberadaan. Nilai penggunaan tidak langsung dan nilai non guna didasarkan pada nilai ekonomi yang dihasilkan oleh studi yang lain (benefit transfer). Hasil studi menunjukkan bahwa depresiasi sumberdaya hutan di Kabupaten Blora sangat tinggi yang mencapai 30% dari nilai sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora.

2.8. Posisi Penelitian terhadap Penelitian Sebelumnya

Penelitian ini pada dasarnya mengikuti model yang dikembangkan oleh Gundimeda et. al(2007) dan Hasan dan Ngwenya (2006) yang meneliti mengenai penilaian manfaat hutan yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan nasional di di India dan Swaziland serta penelitian yang dilakukan oleh Suparmoko (2008) dalam mengembangkan indikator produk domestik regional bruto ramah lingkungan untuk sektor kehutanan di Kabupaten Blora. Beberapa hal yang membedakan dengan kedua penelitian tersebut adalah:

1. Suparmoko (2008) menilai deplesi sumberdaya hutan dengan menggunakan metode net price atau unit rent, di mana nilai deplesi tegakan dihitung dengan mengalikan kuantitas kayu yang dipanen dengan unit rent-nya.Dengan menggunakan metode ini maka semua bentuk pemanenan akan dihitung sebagai deplesi, sehingga metode ini kurang tepat diaplikasikan untuk sumberdaya biologis seperti hutan yang memiliki pertumbuhan alamiah (natural rate of growth). Metode net price akan sesuai apabila sumberdaya hutan yang dinilai kapitalisasi asetnya merupakan hutan yang sudah memasuki umur daurnya atau mature forest, di mana untuk hutan yang demikian pertumbuhan alaminya dianggap mendekati atau sama dengan nol.Untuk mengatasi kelemahan tersebut dalam penelitian ini nilai deplesi dihitung sebagai selisih antara stok awal dengan stok akhir dikalikan dengan unit rent. Selisih antara stok awal dengan stok akhir tegakan mencerminkan akumulasi neto tegakan selama satu periode dan nilai moneternya merupakan nilai depresiasi atau apresiasi sumberdaya hutan yang bersangkutan. Valuasi aset tegakan selain dinilai dengan menggunakan metode Net Price, juga akan dihitung dengan menggunakan metode user-cost yang dikembangkan oleh El-Seraffy sehingga dikenal dengan El-Seraffy User-Cost (USUC) Method. 2. Hasan dan dan Ngwenya (2006) mengintegasikan nilai deplesi tegakan

(32)

deplesi tegakan hutan dan nilai penyimpanan karbon dengan ukuran agregat makroekonomi di tingkat kabupaten yaitu Produk Domestik Regional Bruto sehingga dihasilkan ukuran Eco Regional Gross Domestik ProductKabupaten Blora.

3. Nilai manfaat hutan sebagai penyimpan karbon, Suparmoko (2008) menggunakan metode benefit transferyaitu menggunakan hasil penelitian yang sejenis yang dilakukan di lokasi lain. Dalam penelitian ini akan dilakukan penyusunan neraca sediaan karbon (carbon stock) di dalam kawasan hutan baik neraca fisik maupun neraca moneter dengan mengunakan metode yang dikembangkan oleh Hasan (2000). Untuk valuasi nilai karbon yang tersimpan di dalam hutan mengunakan nilai yang dikembangkan oleh Tol (2003) di mana manfaat karbon yang tersimpan di hutan dinilai dengan pengeluaran yang dapat dihindarkan (avoidded expenditure) sehubungan dengan emisi karbon di atmosfer yang dapat mempengaruhi perubahan iklim.

3. KERANGKA PEMIKIRAN

Peranan akunting sumberdaya alam di setiap sektor yang bergerak dalam pemanfaatan/pengusahaan sumberdaya alam seperti kehutanan adalah menyediakan data tentang tingkat depresiasi (pengurangan) maupun apresiasi (penambahan) stok neto sumberdaya tersebut sebagai akibat dari aktivitas perekonomian untuk mengasilkan sejumlah nilai pendapatan (income). Angka-angka depresiasi neto dalam skala nasional akan mengoreksi nilai pendapatan nasional (National Income) dan pada tingkat daerah (kabupaten/kota dan propinsi) dipergunakan untuk penyesuaian (adjustment) pendapatan regional (regional income). Produk Domestik Bruto (PDB dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang terkoreksi inilah kemudian disebutkan sebagai "Sustainable National/Regional Income”.

Nilai Produk Domestik Bruto atau Produk Domestik Regional Bruto yang dikatakan mencerminkan keberlanjutan pembangunan dihitung dengan mengurangkan Produk Domestik Bruto dengan deplesi sumber daya alam dan nilai kerusakan lingkungan. Nilai deplesi sumberdaya alam adalah nilai ekonomi dari penurunan stok (stock level) sumberdaya alam yang terbaharukan dan sumberdaya alam tak terbaharukan.Nilai degradasi lingkungan adalah nilai ekonomi penurunan/degradasi kualitas lingkungan (environmental degradation). Internalisasi nilai depelesi sumberdaya alam dan degrdasi lingkungan diperlukan karena ada beberapa hal yang belum tergambar dalam perhitungan PDB/PDRB konvensional. Berikut ini adalah beberapa hal yang belum tergambar dalam perhitungan PDB/PDRB konvensional :

a) PDB/PDRB konvensional belum menunjukkan hubungan yang seharusnya antara deplesi sumberdaya alam, penurunan mutu lingkungan hidup dengan kegiatan ekonomi.

(33)

lain-lain dibandingkan modal yang diberikan oleh alam (natural made kapital) seperti kerusakan hutan, penurunan mutu lingkungan, pencemaran air, dan lain-lain.

c) PDB/PDRBPDRB konvensional tidak merefleksikan barang dan jasa yang diberikan oleh sumber daya alam dan lingkungan hidup karena tidak tercatat di mekanisme pasar

Sumberdaya hutan memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian di samping mengahasilkan kayu dan hasil hutan lain yang memiliki harga pasar, hutan juga mengahasilkan jasa lingkungan seperti manfaat dari fungsi pengaturan air, penahan erosi dan sedimentasi, penyerapan dan penyimpanan karbon dan manfaat lain yang dikelompokan sebagai nilai bukan guna tidak langsung (indirect use value).Sumbangan sektor kehutanan terhadap penciptaan pendapatan daerah dihitung dari nilai hasil hutan yang diektraksi atau dipanen di mana produk tersebut memiliki harga pasar, sedangkan aliran manfaat yang tidak memiliki harga pasar tidak diperhitungkan. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa perhitungan PDRB yang demikian itu memiliki kelemahan untuk mengukur kontribusi sebenarnya dari sumberdaya hutan karena tidak diketahui apakah dengan nilai ouput yang disumbangkan tersebut terjadi pengurangan stok dan penurunan kualitas lingkungan atau tidak sehingga tidak dapat dipastikan mengenai keberlanjutannya.

(34)
[image:34.842.89.743.91.462.2]
(35)

produksi kayu terbesar, terutama kayu jati di Pulau Jawa. Dari sisi kontribusi terhadap PDRB Kabupaten, sebagaimana dipaparkan pada Bab I, pangsa sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora relatif besar, rata-rata sebesar 14%. Namun demikian di samping besarnya potensi dan kontribusi sumberdaya hutan, kabupaten Blora juga mengalami permasalahan degradasi sumberdaya hutan. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan September 2012.

4.2 Jenis, Sumber dan Teknik Pengambilan Data

Penelitian menggunakan data sekunder yang sudah dikumpulkan atau dipublikasikan oleh berbagai instansi yaitu Perum Perhutani, Dinas Kehutanan Kabupaten Blora, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah dan Badan Pusat Statistik. Data utama yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Hasil inventariasi menyeluruh berkala untuk penyusunan rencana pengelolaan tegakan pada awal jangka tahun 2003 dan hasil inventarisasi tegakan untuk evaluasi potensi tegakan tahun 2010,

2. Luas dan volume pemanenan menurut jenis kayu

3. Kerusakan dan kehilangan tegakan akibat gangguan keamanan, kebakaran hutan dan bencana alam

4. Harga jual dan biaya produksi kayu tebangan

5. Statistik Produk Domestik Bruto Kabupaten Blora menurut harga berlaku maupun harga konstan

(36)
[image:36.595.54.543.111.562.2]

Tabel 4.1 Matriks Tujuan Penelitian, Jenis dan Sumber Data

Tujuan Penelitian Jenis Data yang diperlukan Sumber data

1. Menyusun neraca tegakan dan karbon yang merupakan ikhtisar persediaan volume tegakan dan karbon beserta perubahannya

1. Luas dan Klasifikasi Hutan

2. Sediaan Tegakan Berdasarkan Hasil Inventarisasi Berkala

3. Luas Penanaman

4. Luas dan Volume pemanenan menurut jenis kayu

5. Pertumbuhan Tegakan

6. Perubahan Hutan untuk penggunaan lain 7. Kerusakan Tegakan Akibat Pencurian,

Kebakaran Dan Penggembalaan 8. Kerapatan Kayu Menurut Jenis Kayu

Dinas Kehutanan Kabupaten Blora Perum Perhutani

2. Mengestimasi Nilai moneter sediaan volume tegakan dan karbon beserta nilai depresiasi sumberdaya hutan sebagai salah satu bentuk kapital alami

1. Biaya Pembangunan Tegakan menurut Jenis Kayu

2. Biaya Ektraksi Menurut Jenis Kayu 3. Harga Jual Kayu

4. Biaya Sosial Akibat Emisi Karbon

Perum Perhutani

Benefit Transferuntuk Harga Karbon

3. Mengestimasi konstribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora yang berkelanjutan dengan memasukkan nilai deplesi tegakan dan degradasi kemampuan hutan dalam menyimpan karbon

1. Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDRB

2. PDRB Kabupaten Blora Menurut Harga Berlaku dan Harga Konstan

BPS Kabupaten Blora

4.3 Metode Analisis

Dua parameter yang mencirikan pemanfaatan sumberdaya alam, yakni persediaan (stock) dan arus (flow). Arus sumberdaya alam didefinisikan sebagai jumlah pengurangan atau penambahan terhadap persediaan di alam (lokasi tertentu) selama periode waktu tertentu, sedangkan persediaan (stock) sumberdaya alam adalah jumlah unit SDA yang tersedia di alam (lokasi tertentu) pada suatu saat waktu tertentu.

Apabila S(t+1) adalah jumlah persediaan sumberdaya alam pada saat akhir periode (t) tertentu, A(t)adalah penambahan neto selama periode (t) terhadap stock, serta D(t)adalah pengurangan stok selama periode (t), maka hubungan antara arus dan persediaan tersebut oleh Repetto (1989) dinyatakan dalam suatu identitas sebagai:

) ( ) ( ) ( ) 1

(t St At Dt

S    (2)

(37)

4.3.1 Neraca/Akun Fisik Tegakan (Kayu) dan Karbon

a. Neraca Luas Hutan

Akun atau neraca luas hutan di Kabupaten Blora merefleksikan luas dan perubahan luas selama periode waktu tertentu karena pengaruh atau sebab aktivas ekonomi dan perubahan yang lain, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

Stok akhir =stok awal + Perubahan Luas Neto

t t

t SA NDA

SA( 1)   (3)

Perubahan Luas Neto= + Ekpansi alami dan aforestasi

- Perubahan Kawasan Hutan ke penggunaan lain - Pengurangan karena perladangan berpindah + Reklasifikasi

b. Neraca Volume Kayu (tegakan)

Neraca volume tegakan menggambarkan sediaan dan perubahan sediaan dalam hal volume tegakan yang disebabkanoleh pengaruh atau sebab kegiatan ekonomi, perubahan karena penyebab alami, perubahan neto karena reklasifikasi dan sebab-sebab lain. ) ( ) ( ) 1

(t Rt DRt

R   (4)

) 1 ( ) ( ) ( )

(tqtRtRt

DR (5)

Perubahan Volume Neto = + Perubahan karena aktivitas ekonomi + Perubahan karena penyebab alami + Perubahan karena reklasifikasi + Perubahan lain

Perubahan karena aktivitas ekonomi = + Pemanenan

- Perambahan hutan dan perladangan + Penanaman

+ Kehilangan karena penggembalaan Perubahan karena penyeab alami = + Pertumbuhan tegakan

- Regenerasi alami

Perubahan karena reklasifikasi = + Perubahan dari non-hutan menjadi hutan - Perubahan menjadi penggunaan lain Perubahan karena sebab lain = - Kematian pohon

- Kerusakan karena kebakaran - Kerusakan karena hama & penyakit

(38)

ini kemudian dilakukan perhitungan volume dengan menggunakan tabel tegakan. Rumus umum yang digunakan untuk menghitung volume tegakan adalah sebagai berikut:

Fk KBD Vst

Vol * *

Di mana:

Vol : Volume tegakan per Ha (m3/Ha)

Vst : Volume tegakan menurut tabel normal tegakan pada umur dan kelas kesuburan tanah (bonita tertentu). Volume yang digunakan adalah volume batang yaitu volume yang dapat diperdagangkan (merchantable volume) dari panngkal tonggak sampai ketinggian bebas cabang.

KBD : Kepadatan Bidang Dasar Tegakan, yaitu perbandingan antara luas bidang dasar aktual hasil pengukuran dengan luas bidang dasar menurut tabel normal tegakan

Fk : Faktor koreksi

Volume kayu yang dipanen menurut jenis diperoleh dari Laporan Produksi Tahunan dari tahun 2003 sampai dengan 2010. Data produksi ini mencakup luasan dan volume kayu yang dipanen atau ditebang menurut jenis tebangan yang ada di Perum Perhutani yaitu: (a) Tebang Habis Biasa, yaitu tebangan pada kawasan yang masuk ke dalam Kelas Hutan Produktif (tebangan A), (b) Tebang Habis pada kawasan Kelas Hutan Tidak Produktif/Tebangan B, (b) Tebang habis pada kawasan yang akan dihapuskan (dikonversi) atau Tebangan C, (d) Tebangan pada tegakan yang mengalami gangguan hama penyakit, atau tebangan dengan tujuan khusus/tebangan D dan (e) tebangan penjarangan atau tebangan E.

Data kehilangan pohon akibat pencurian diperoleh dari Laporan Bidang Hukum, Keamanan dan Agraria dari masing-masing KPH dari tahun 2003 sampai dengan 2010. Dalam laporan yang diterbitkan, data yang tersedia berupa kehilangan pohon (batang) akibat pencurian dan estimasi nilai kerugiannya. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan asumsi bahwa rata-rata volume per pohon yang hilang akibat pencurian dan perusakan tegakan adalah 0,30 m3/pohon. Data kehilangan volume tegakan akibat bencana alam juga identik dengan data kehilangan volume akibat pencurian dan perusakan hutan, dalam hal ini diasumsikan rata-rata volume per pohon adalah sebesar 0,25 m3/pohon

Data penggembalaan dan kebakaran di kawasan hutan diperoleh dari Laporan Bidang Hukum, Keamanan dan Agraria dari masing-masing KPH dari tahun 2003 sampai dengan 2010 .Dalam laporan yang diterbitkan, data yang tersedia berupa luasan kawasan hutan ((Ha) yang mengalami kerusakan dan estimasi nilai kerugiannya. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan asumsi bahwa rata-rata volume per Ha yang berkurang akibat penggembalaan adalah 3 m3/Ha dan 5 m3/Ha akibat kebakaran hutan.

(39)

memproyeksikan umur tegakan pada tahun 2010. Selisih volume aktual pada saat tegakan berumur sebagaimana pada tahun 2003 dengan volume pada saat tegakan diproyeksikan umurnya pada tahun 2010 merupakan pertumbuhan tegakan.

c. Neraca Sediaan Karbon

Dalam studi ini, penyimpanan karbon di dalam hutan diperlakukan sebagai sediaan variabel (variable stock). Mengikuti studi yang dilakukan oleh Hasan (2000), metode dinamik untuk menghitung densitas penyimpanan karbon adalah sebagai berikut:

Karbon tersimpan di dalam hutan (SC) diperlakukan sebagai variabel stok (stock variable)

  n j tj t CAR SC 1

dan

    n j j t t CAR S 1 , 1 1 (6)

       n j j t n j tj t

t S CAR CAR

SC 1 , 1 1 1 (7)

Kandungan karbon vegetasi pohon (Brown, S dan Lugo Ae, 1984): 0,5* berat biomassa

j

j BM

C 0,5* (8)

Biomassa batang dikonversi dari volume batang: Volume batang * kerapatan kayu (wood density)

j j

j V w

BM  * (9)

Di mana:

t

Sc : Stok karbon (tC) pada tahun atau periode t

1

t

Sc : Stok karbon (tC) pada tahun atau periode t-1

j

BM : Berat Biomassa Kering (ton) dari jenis pohon j

j

CAR : Kandungan karbon (tC) pada jenis tegakan j

j

C : Kandungan karbon (tC/pohon) untuk jenis j

j

V : Volume kayu (m3) untuk jenis j

j

w : Kerapatan kayu/wood density(gr/cm3) untuk jenis j

(40)

Tabel 4.2 Kerapatan Kayu (Wood Density) Beberapa Jenis Kayu Penyusun Tegakan Hutan di Kabupaten Blora

No Jenis Kayu Wood Density(gr/cm3)

1 Akasia 0,75

2 Gmelina 0,75

3 Jati 0,55

4 Johar 0,75

5 Mahoni 0,53

6 Mimbo 0,75

7 Mindi 0,75

8 Sonobrit 0,75

9 Sonokeling 0,75

Sumber: Brown S (1997)

4.3.2 Neraca/Akun Moneter

a. Neraca Moneter Tegakan

Untuk megestimasi nilai aset tegakan (kayu) dalam penelitian ini mengaplikasikan dua metode valuasi, yaitu: metode harga neto (Net Price ,NP) dan metode user costdari El Serafy (El Serafy User cost method=ESUC).

a1. Net Price Method

Metode harga neto yang diaplikasikan untuk sumberdaya biologis seperti halnya kehutanan dapat dituliskan sebagai :

( ) ()

() )

(t Pt MCt *Rt

AV   (10)

dengan mengasumsikan MC(t) dan P(t) tidak mengalami perubahan sepanjang waktu analisis, maka nilai aset tegakan pada saru periode ke depan atau nilai aset akhir dapat dituliskan sebagai:

( 1)

) 1

(t  P(t)MC(t) *Rt

AV (11)

() ( )

 

( 1)

Gambar

Gambar 3.1 Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 4.1 Matriks Tujuan Penelitian,  Jenis dan Sumber Data
Tabel 4.2 Kerapatan  Kayu (Wood Density) Beberapa Jenis Kayu Penyusun Tegakan
Tabel 5.3 memperlihatkan peranan Sektor Kehutanan terhadap PDRB
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyerbukan sendiri pada tetua 2 (HS 49-2), 6 (PT 33-2), 8 (PT 15-1), dan 9 (PT 14-1) mengakibatkan inbreeding depression pada karakter umur berbunga dan outbreeding depression

promosi Desain Komunikasi Visual adalah media yang sesuai sebagai perangkat. promosi dimana media ini berperan merancang dan mewujudkan ide

Hasil analisis dari ketiga kejadian gempa yang telah disimulasikan, dapat dinyatakan bahwa daerah Sofifi – Tidore Kepulauan merupakan daerah yang memiliki ancaman

Bagi pengambil kebijakan (policy maker) bidang pengelolaan pendidikan dasar, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap makna baru tentang pembinaan guru

dimaksudkan. Contoh biaya yang dapat diatribusikan secara langsung adalah : biaya persiapan tempat, biaya pengiriman awal dan biaya simpan dan bongkar muat, biaya

Panitera Pengadilan Tingkat Pertama mengirimkan berkas kasasi kepada Mahkamah Agung selambatlambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memori kasasi dan

Para ahli biologi awalnya mendeskripsikan protista adalah seluruh hewan-hewan eukarioyik bersel tunggal, akan tetapi perkembangan selanjutnya para ahli memasukkan alga ke

Permasalahan yang penting ditampilkan adalah pemantauan atau monitoring Sesar Kaligarang ini yang dapat menyebabkan pergeseran tanah di lingkungan sekitarnya. Penulis