• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

C. Pengertian Hukum Adat

2. Istilah Hukum Adat

Di kalangan masyarakat umum (orang-orang awam), istilah hukum adat jarang digunakan, yang banyak dipakai dalam pembicaraan ialah istilah ”adat” saja. Dengan menyebut kata “adat” maka yang dimaksud adalah“kebiasaan” yang pada umumnya harus berlaku dalam

21 Soleman B. Tanenko, 1987, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang, P.T Eresco, Bandung, hlm.5-6.

22Ibid, hlm. 6.

masyarakat yang bersangkutan. Misalnya dikatakan “Adat Jawa” maka yang dimaksud adalah kebiasaan berperilaku dalam masyarakat Jawa.

Begitu pula ketika kita berbicara “Adat Minangkabau”, “Adat Batak”,

“Adat Bugis” dan sebagainya. Jadi istilah Hukum Adat hanya merupakan teknis ilmiah, yang menunjukan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan23.

Istilah ”hukum adat” berasal dari kata-kata Arab ”huk’m” dan

“adah”. Huk’m (jamaknya: Ahkam) artinya “suruhan” atau “ketentuan”.

Misalnya di dalam Hukum Islam ada lima macam suruhan (perintah) yang disebut Al- Ahkam Wa Al- Khamsah “hukum yang lima”, yaitu fardhu (wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (dianjurkan), makruh (celaan), jaiz atau mubah (dibolehkan).24.

Adah atau adat artinya “kebiasaan”, yaitu perilaku masyarakat yang sealu terjadi. Jadi “hukum adat” adalah “hukum kebiasaan”25. Istilah hukum adat juga merupakan terjemahan dari istilah dalam Bahasa Belanda: Adatrecht. Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah Adatrecht itu. Istilah Adatrecht kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis-yuridis26.

23Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 8.

24Ibid, hlm. 8.

25Ibid, hlm. 8.

26Bashar Muhammad, op.cit, hlm. 1.

3. Pengertian Hukum Adat menurut Sarjana Hukum Barat a) Bellefroid J.H.P.

Dalam bukunya “Inleiding tot de rechtswetenschap in Nederland” memberi pengertian hukum adat adalah sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak di Undang-Undangkan penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum27. b) Vollenhoven C.V

Hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum adat) dan di lain pihak tidak terkodifikasi (maka dikatakan adat)28. Dalam hal ini orang seharusnya tidak hanya berteori tetapi harus dilihat di dalam kenyataanya. Jika hakim menemukan aturan-aturan adat, perilaku atau perbuatan yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang mengatakan bahwa aturan-aturan itu harus dipertahankan oleh para kepala adat dan para petugas hukum yang lain, maka aturan-aturan adat itu bersifat hukum29.

27Soerojo Wignjodipoero, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, cetakan ke-enam, PT Gunung Agung, Jakarta, hlm. 14.

28Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 13. 29Ibid, hlm. 13.

c) Ter Haar Bzn

Hukum adat adalah hukum yang lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, ataupun dalam hal bertentangan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian, tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, tetapi senapas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima dan diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya30.

d) Holleman F.D.

Holleman yang juga pernah lama tinggal di Indonesia, tentang hukum adat sependapat dengan Van Vollenhoven dan mengatakan bahwa hukum itu tidak tergantung pada keputusan “ norma-norma hukum adalah norma-norma hidup yang disertai dengan sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakat. Tidak merupakan masalah apakah terhadap norma-norma itu telah pernah ada atau tidak adanya keputusan petugas hukum31.

30Soerojo Wignjodipoero, op.cit, hlm. 15.

31Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 15.

e) Logemann J.H.A.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat yang disampaikan Ter Haar,”hukum adat tidak mutlak sebagai hukum keputusan, norma-norma yang hidup itu adalah norma-norma kehidupan bersama, yang merupakan aturan-aturan perilaku yang harus diikuti semua warga dalam pergaulan hidup bersama, jika ternyata bahwa ada sesuatu norma yang berlaku, maka norma itu tentu mempunyai sanksi, ialah berupa sanksi apapun dari yang sangat ringan sampai yang sangat berat. Orang dapat menganggap bahwa semua norma yang ada sanksi itu semuanya adalah norma hukum. Ia tidak sependapat bahwa adat itu baru merupakan hukum adat, apabila dimasukan ke dalam keputusan hakim32.

4. Pengertian Hukum Adat menurut Sarjana Hukum Indonesia a) Soepomo

Pengertian hukum adat menurut Soepomo antara lain:

1. Hukum Non-Statutair

Hukum adat adalah non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam.

Hukum adat itupun melingkupi hukum yang mendasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum

32Ibid. hlm. 15.

dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu adat yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri33.

2. Hukum adat tidak tertulis

Hukum adat meliputi peraturan legislatif yang tidak tertulis (unstatutory law), yang hidup dalam hukum kenegaraan (konvensi), keputusan-keputusan hakim (judge made law), hukum kebiasaan (customary law), termasuk pula tentunya aturan-aturan pedesaan dan aturan-aturan keagamaan34.

b) Soekanto

Menurut Soekanto bahwa hukum adat adalah:

1. Dilihat dari mata seorang ahli hukum yang memegang teguh undang-undang “memang hukum keseluruhannya di Indonesia tidak teratur, tidak sempurna, tidak tegas akan tetapi apabila mereka sungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya mengenai hukum adat, tidak hanya dengan pikiran (rechtsbegrip, rechtsverstand) tetapi dengan penuh perasaan (rechtsgevoel) pula, mereka melihat sumber yang mengagumkan, adat istiadat dahulu dan sekarang, adat istiadat

33Ibid. hlm. 17.

34Ibid. hlm. 18.

yang hidup, adat istiadat yang dapat berkembang, adat istiadat yang berirama35.

2. Jika kita menyelidiki adat istiadat ini terdapat peraturan-peraturan yang bersanksi, kaidah-kaidah yang apabila dilanggar ada akibatnya dan mereka yang melanggar dapat dituntut dan kemudian dihukum. Kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi (ongecodifiseerd) dan bersifat paksaan (dwang), mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg), kompleks ini disebut hukum adat (adatrecht)36.

c) Hazairin

Beliau adalah guru besar Universitas Indonesia (UI) yang mengajar Hukum Adat dengan membandingkan Hukum Adat dengan Hukum Islam, beliau berpendapat bahwa adat adalah renapan kesusilaan dalam masyarakat, bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu37.

d) Soerjono Soekanto

Hukum Adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein-sollen). Berbeda dengan kebiasaan belaka, kebiasaan yang

35Ibid. hlm. 18-19.

36Ibid, hlm. 19.

37Ibid, hlm. 19.

merupakan hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama38.

Dari pengertian Hukum Adat yang telah disampaikan oleh beberapa pakar di bidang Hukum Adat, penulis dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Hukum Adat adalah seperangkat nilai, norma, kebiasaan yang turun-temurun, dan aturan yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut yang meskipun keberadaannya tidak tertulis dan tidak dikodifikasi dalam satu Undang-Undang, tetapi keberadaanya nyata dan diakui oleh masyarakat sebagai satu hukum yang taati dan memiliki wibawah untuk mengatur masyarakat dalam berperilaku, baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial.

D. Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Peraturan Hindia Belanda

Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda adalah:

a. Pasal 131 ayat (2) sub b IS (Indische Staatsregeling).

Menurut ketentuan Pasal 131 ayat (2) IS sub b ini disebutkan bahwa bagi golongan hukum (recht groep) Indonesia asli dan golongan timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat ordonansi (suatu peraturan yang dibuat oleh badan legislatif

38C. Dewi Wulansari, 2012, hukum adat Indonesia suatu pengantar, refika aditama, Bandung, hlm. 6.

pusat/gubernur jenderal bersama-sama dengan Volksraad), dapat menentukan bagi mereka:

1) Hukum Eropa

2) Hukum Eropa yang telah diubah (gewijzgd Eropees Recht) 3) Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeen

schappelijk recht)

4) Hukum baru (nieuw recht) yaitu hukum yang merupakan syntese antara hukum adat dan hukum Eropa.

b. Pasal 134 ayat (2) IS

Menurut ketentuan Pasal 134 (2) IS disebutkan bahwa dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang muslim, dan hukum adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh hakim agama, kecuali jika ordonansi telah menetapkan lain39.

2. Peraturan Perundang-Undang Indonesia

Keberadaan hukum adat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia antara lain:

a) Hukum adat dalam UUD 1945

UUD 1945 tidak menyebut satu kata pun tentang hukum adat, namun kita mengacu pada pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang masih menetapkan bahwa segala bangsa dan Negara serta peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum

39Ibid. hlm. 100-101.

diadakan yang baru menurut UUD 1945 yang secara otomatis masih tetap berlaku Pasal 131 ayat (6) jo Pasal 131 ayat (2) sub b IS40.

b) Undang-undang No.19 tahun 1964 dan undang-undang No.14 tahun 1970 tentang dasar landasan hukum sah berlakunya hukum adat sekarang.

Penetapan undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (No.19 Tahun 1964) maka ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilaksapasanakan oleh sebuah mahkamah agung dan lain-lain badan kehakiman” telah dipenuhi penyelenggaraanya secara konstitusional menurut Pasal 3 UU No. 19 tahun 1964 dimaksud di atas beserta penjelasannya, oleh karenanya yang dipakai adalah hukum yang berdasarkan pancasila, yaitu hukum yang sifat-sifatnya berakar pada kepribadian bangsa41. Meskipun dalam Pasal 3 tersebut di atas tidak disebut hukum adat. Menurut Pasal 17 ayat (2) UU No.19 tahun 1964 dan sesuai dengan penjelasan dari Pasal 10-nya, dinyatakan adanya hukum yang tidak tertulis dan tertulis.

Adapun UU No. 14 tahun 1970 adalah landasan tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman. Pasal-pasalnya yang penting yang merupakan landasan hukum

40Ibid, hlm. 106.

41A.Suriyaman Mustari Pide. Op.cit. hlm. 83.

berlakunya hukum adat antara lain Pasal 23 ayat (1)”...segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”42.

Kemudian Pasal 27 ayat (1)”... Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”43. Penjelasan umum undang-undang No. 14 tahun 1970 bagian 7 sebagai berikut:

Penegasan bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi peradilan swapraja atau pengadilan adat yang dilakukan oleh buka peradilan Negara, ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya mengalihkan perkembangan dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis akan berjalan secara wajar44.

42Ibid. hlm. 84.

43Ibid. hlm. 84.

44Ibid. hlm. 84-85.

c) Peraturan Menteri dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Lahirnya Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 ini memberikan sumbangsi yang sangat besar terhadap pengakuan atas eksistensi dari satu masyarakat adat, adanya pedoman sebagai suatu legalitas yang berisi syarat-syarat dan mekanisme yang harus dipenuhi oleh suatu komunitas untuk dapat diakui secara resmi sebagai komunitas masyarakat adat. Adapun masyarakat hukum adat yang dimaksud dalam hal ini adalah warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidupnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan suatu wilayah secara turun-temurun.

Proses pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat terdiri dari beberapa tahapan mulai dari pembentukan panitia yang terdiri dari sekretaris daerah Kabupaten/Kota sebagai ketua, kepala SKPD yang membidangi masalah pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris, kepala bagian hukum sekretariat Kabupaten/Kota sebagai anggota serta camat dan SKPD terkait yang sesuia dengan karakteristik yang ada juga sebagai anggota yang kemudian di SK-kan oleh Bupati/Walikota.

adapun beberapa syarat dalam proses identifikasi masyarakat hukum adat terdiri dari:

1. Sejarah masyarakat hukum adat 2. Memiliki wilayah adat

Dokumen terkait