• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Pengakuan dan Perlindungan Eksistensi Masyarakat

1. Sejarah Masyarakat Massenrempulu

Secara historis kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan mempunyai leluhur yang sama, yaitu proto Sulawesi Selatan (Austronesia) yang salah satunya datang dari daratan Sulawesi melalui Pantai Barat.

Mereka berlayar dan masuk melalui Sungai Saddang hingga Enrekang, kemudian ada yang bertahan di sekitar Gunung Bambapuang kemudian ada yang melanjutkan perjalanan darat mendaki perbukitan sampai di Tana Toraja91. Mereka yang tinggal kemudian berpencar ke semua wilayah yang ada di Enrekang dan kemudian membentuk masyarakat yang menghasilkan kebudayaan. Bukti-bukti sejarah yang terdapat di beberapa tempat prasejarah yang tersebar di daerah Enrekang, Buttu Banua, Buttu Batu, dan kaki Gunung Bambapuang mendukung adanya kehidupan purba yang mengeksploitasi batu sebagai alat dan bagian dari ritual92.

Tentang sejarah masyarakat Massenrempulu Kabupaten Enrekang ada beberapa pendapat yang kini menjadi pengetahuan masyarakat, yang pertama adalah pendapat para pakar sejarah seperti yang telah

91Tim Peneliti Kamuka, 2017, Adat Menjaga Syariat, Syariat Merawat Adat Belajar dari Warisan Kemendirian Kaluppini, Bogor hlm. 4.

92Ibid, hlm. 4.

disebutkan di atas yaitu berasal dari Austronesia yang melakukan perjalanan sampai di Massenrempulu, yang kedua adalah cerita mitos yang berasal dari para orang-orang tua yaitu menganggap orang pertama yang ada di daerah Massenrempulu yaitu To Manurung berada di daerah Gunung Bambapuang, mitosnya karena keberadaan To Manurung di anggap tidak masuk akal yaitu turun langsung dari langit.

Kata To diambil dari kata dasar Tau yang berarti orang, sedangkan Manurung diambil dari Ma dan Turung yang berarti turun (dari atas).

Dengan demikian sejumlah pakar beranggapan istilah To Manurung bermakna orang yang turun dari kayangan. Seperti dilansir oleh Pananrangi dalam bukunya, namun sebaliknya di dalam lontara, tidak disebutkan To Manurung Ri Tamalate sebagai seseorang yang turun dari langit. Disebut sebagai To Manurung oleh karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, dan siapa ayah dan ibunya. Dalam bahasa lontara dinyatakan nanikanamo To Manurung ka taena niassengngi kabattuanna, maka disebutlah To Manurung karena tidak diketahui dari mana asal kedatangannya.

Atas dasar kepercayaan sebagai turunan langit itu pulalah terbangun suatu sistem pelapisan sosial di masyarakat. Kedatangan To Manurung dihajatkan guna mengakhiri konflik berkepanjangan yang terjadi di dalam kerajaan yang memungkinkan terjadinya peperangan, kehadiran To Manurung sebagai suata rekayasa dan mitos politik penyelesaian

konflik sekaligus membangun suatu dinasti, dengan pimpinan kekuasaan yang diciptakan dengan cara luar biasa dan cerdik.

Di zaman Sawerigading daerah Massenrempulu bernaung di bawah kerajaan Luwu. Riwayat Sawerigading dengan istrinya We’cudai terkenal dikalangan rakyat, bahkan sejarah tersebut digubah sedemikian rupa, sehingga sebagian besar peristiwa-peristiwa yang diceritakan seolah-olah terjadi di lereng sebelah barat Pegunungan Latimojong.

Selain itu gelar yang dipandang dan disandang para penguasa daerah Enrekang sama dengan gelar di kerajaan Luwu yakni Madika, misalnya Madika Buabunta, Madika Ponrang. Disini gelar Arung Lili di dalam kerajaan Enrekang juga bergelar madika, misalnya Madika Ranga, Madika Papi. Selanjutnya di masa kekuasaan kemaharajaan Gowa, Raja-raja Lima Massenrempulu Enrekang ikut pula mengakui kerajaan Gowa sebagai pelindungnya93.

Berdasarkan sumber lisan tentang asal mula nama Enrekang, singkat cerita nama daerah ini awalnya diberi nama Endekki oleh warga, namun lama kelamaan nama ini berubah menjadi Endekkan yang artinya menaiki atau tempat naik, pada akhirnya nama Endekkan berubah menjadi Enrekang menyesuaikan dengan lafal bahasa Bugis penduduk Sidenreng Rappang dan oleh para Raja-Raja Bugis diberi istilah Massenrempulu94

93Bua Pala/ST. Rahmatia, 2003, Jejak Perjuangan Para Raja Tandung Mataranna Massenrempulu Kabupaten Enrekang, hlm. 15.

94Tim Peneliti Kamuka, Op.cipt, hlm. 3.

Bumi Massenrempulu terhampar sepanjang Gunung Latimojong dan Bambapuang yang dikelilingi puncak-puncak pegunungan serta aliran Sungai Saddang dan Sungai Mata Allo. Di dalam kehidupan masyarakatnya, terdapat kepercayaan berdasarkan legenda bahwa bumi Massenrempulu adalah tana yang sakral atau keramat yang dalam Bahasa Bugisnya ”Tana Ri Galla” serta “Tana Ri Abbusungi”95. Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa Kabupaten Enrekang atau Massenrempulu memiliki letak yang sangat strategis karena terletak di antara tiga suku besar yang secara resmi diakui di Indonesia, yaitu Suku Toraja, Suku Bugis dan Suku Mandar sedangkan Kabupaten Enrekang sendiri masuk dalam kelompok Suku Bugis96.

Posisi strategis Kabupaten Enrekang ini memungkinkan beberapa kesimpulan, yang pertama bahwa kebudayaan yang ada di Bumi Massenrempulu adalah perpaduan dari ke-tiga suku besar ini, dan kesimpulan ke-dua adalah adanya kebudayaan tersendiri yang terdapat di Wilayah Kabupaten Enrekang yang menjadi ciri khas dan sekaligus membedakannya dengan ke-tiga suku besar tersebut.

Letak Kabupaten Enrekang yang strategis ini menyebabkan kondisi masyarakatnya juga majemuk, dilihat dari segi bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang tersebar di tiga wilayah besar di Kabupaten Enrekang yaitu: wilayah Duri (berbatasan Toraja), wilayah Enrekang dan

95Bua Pala/ST. Rahmatia, Op.cit, hlm. 12. 96Ibid, hlm. 13.

wilayah Maiwa (berbatasan Sidrap dan Pinrang) yang masing-masing mempunyai bahasa dengan perbedaan yang sangat mencolok.

Dengan berdasar pada hasil-hasil sejarah yang ada maka sangat wajar kiranya untuk menjadikan kabupaten Enrekang sebagai daerah penelitian dalam berbagai disiplin bidang ilmu pengetahuan, khusunya penulis dalam hal ini mengkaji tentang kondisi masyarakat adat yang masih tetap eksis di era modern ini. Menurut hasil wawancara penulis dengan ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Massenrempulu, Paundanan Embong Bulan (AMAN Massenrempulu) bahwa Kabupaten Enrekang sangat kaya akan kebudayaan, hasil wawancara yang secara spesifik diarahkan untuk membahas tentang masyarakat adat (adat istiadat) yang merupakan salah satu bagian dari kebudayaan ummat manusia97.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Massenrempulu (AMAN) yang aktif dalam mengawal masyarakat adat di Kabupaten Enrekang untuk mendapatkan pengakuan secara resmi dari pemerintah, mengatakan bahwa sejauh ini mereka telah mengawal 37 komunitas masyarakat adat yang tersebar diseluruh wilayah Kabupaten Enrekang untuk selanjutnya diverifikasi apakah layak atau tidak diusulkan untuk mendapat pengakuan dari pemerintah sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang

97Paundanan Embong Bulan, 2017, Ketua Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara Massenrempulu.

Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat salah-satunya adalah komunitas masyarakat Adat Kaluppini.

Dokumen terkait