• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENTANG EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM HUKUM NASIONAL PADA MASYARAKAT ADAT KALUPPINI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TENTANG EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM HUKUM NASIONAL PADA MASYARAKAT ADAT KALUPPINI"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

KAJIAN ANTROPOLOGI HUKUM

TENTANG EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM HUKUM NASIONAL PADA MASYARAKAT ADAT KALUPPINI

KABUPATEN ENREKANG

OLEH:

SOFYAN HARYONO NIM B 111 13 133

DEPARTEMEN HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

HALAMAN JUDUL

KAJIAN ANTROPOLOGI HUKUM

TENTANG EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM HUKUM NASIONAL PADA MASYARAKAT ADAT KALUPPINI

KABUPATEN ENREKANG

OLEH:

SOFYAN HARYONO B111 13 133

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada Departemen Hukum Masyarakat dan Pembangunan

Program Studi Ilmu Hukum

DEPARTEMEN HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

SOFYAN HARYONO (B111 13 133), “Kajian Antropologi Hukum tentang Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum Nasional pada Masyarakat Adat Kaluppini Kabupaten Enrekang”

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan eksistensi dari komunitas masyarakat hukum adat Kaluppini terhadap keberadaan hukum nasional sebagai hukum utama yang berlaku di Negara Indonesia. Bagaimana kontribusi hukum adat dalam mengatur kehidupan komunitas masyarakat adat Kaluppini dan mekanisme penyelesaian sengketa oleh lembaga adat terhadap konflik yang terjadi.Penelitian ini langsung dilaksanakan di wilayah adat Kaluppini tepatnya di Desa Kaluppini.Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian empiris, dan pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, serta penyajian data secara kualitatif yang dijabarkan dengan analisis deskriptif.

Masyarakat adat Kaluppini sarat akan budaya sehingga masyarakat dan kebudayaan yang ada tersebut sebagai suatau kekayaan dan kearifan lokal mesti dirawat, dilindungi dan dilestarikan. Sehingga dalam kehidupan modern seperti saat ini kebudayaan sebagai jiwa bangsa senantiasa menjadi cerminan dan karakter masyarakat adat Kaluppini dalam berkehidupan sosial.

Wilayah dari komunitas adat Kaluppini terdiri dari lima desa yaitu:

desa Kaluppini, Rosoan, Tobalu, Lembang dan desa Tokkonan. Dalam kehidupan masyarakat adat Kaluppini ada perpaduan antara pemerintah desa dengan pemangku adat sebagai pengambil keputusan tertinggi.

Masyarakat adat Kaluppini mempunyai empat pemangku adat tertinggi yang di kenal dengan istilah Tau’ A’pa’ yaitu, Tomakaka, Ada’, Khali, dan Imam yang mempunyai derajat dan kedudukan yang sama dengan tugas dan fungsi yang berbeda.

Kata Kunci: Antropologi Hukum, Eksistensi Hukum Adat, Kebudayaan sebagai Kearifan Lokal, Jiwa Bangsa

(7)

A B S T R A C T

SOFYAN HARYONO (B111 13 133),” the study anthropology of law about the existence of costomary law in the national law on indigenous peoples Kaluppini, Enrekang regency”.

This study aims to determine the development and existence of community customary law Kaluppini to the existence of national law as the main law appalicable in Indonesian Country. How the contribution of customary law in regulating the social life of the indigenous peoples Kaluppini and mechanisms of conflict resolution by traditional institutions that occurred in the community. This research is directly implemented in the territory of the customs Kaluppini precisely in the village Kaluppini. The research method used is the method of interview, with the presentation of the data area qualitatively described by descriptive analysis.

Indigenous peoples Kaluppini Full of culture so that society and culture as a wealth and local wisdom must be cared for, protect, and preserve. So in modern life as it is today, culture as the soul of a nation always be a reflection and the character of the indigenous peoples Kaluppini social interaction.

The territory of the indigenous community Kaluppini consists of five, villages such as: village Kaluppini, Rosoan, Lembang, Tobalu and Tokkonan. In the life of indigenous stakeholders in the know with the term know Tau A’pa’, Tomakaka, Ada’, Khali, and Imam and the priest who has a degree and the same position with different tasks and functions.

Keywods: Anthropology of Law, Existence of Costomary Law, Culture as Local Wisdom, Soul of a Nation

(8)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakathuh

Alhamdulillahi robbil’alamin puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan berkah rahmat dan hidayaNya yang tak satupun manusia mampu menghitungNya, maka hanya dengan rasa syukur yang kemudian mampu dilakukan. Salawat serta salam senantiasa terucap pada baginda nabi SAW, semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa tercurah kepadanya, para sahabat keluarga dan sampai pada kita semua yang masih taat terhadap ajaran yang di bawahnya sehingga penulis dalam hal ini mampu menyelesaikan studi strata satu Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dengan judul”Kajian Antropologi Hukum tentang Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum Nasional pada Masyarakat Adat Kaluppini Kabupaten Enrekang”.

Dalam hal ini, penulis mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas ketidaksempurnaan hasil karya tulis yang telah dibuat.Penulis menyadari banyak kekurangan dalam hal penyajian hasil penelitian dan kadang sistematika penulisan yang belum sempurnah disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengalamn yang dimiliki oleh penulis, maka dari itu penulis kemudian mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun guna perkembangan dan perbaikan wawasan intelektual pribadi penulis.

(9)

Proses penulisan karya ilmiah sejatinya membutuhkan persiapan dan kesungguhan dalam penyusunannya, olehnya itu ucapan terima kasih banyak kepada ke-dua orang tua penulis (Alm ayah) Sigeri dan Susianti dan segenap keluarga besar yang telah menjadi motifasi dan dorongan utama dari nasehatnya yang suci. Penulis juga banyak mendapatkan motifasi dan atau bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu kami tak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. selaku Rektor Universitas Hasanuddin beserta segenap jajaran struktural Universitas Hasanuddin.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H,. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H,.M.H. selaku Wakil Dekan I, Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H.,M.H. selaku Wakil Dekan II dan Bapak Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

3. Kepada Bapak Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H. selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Hasbir P. S.H.,M.H. selaku Pembimbing II terima kasih atas segenap waktu dan ilmu yang diberikan sehingga proses penulisan skripsi ini bisa terlaksana dengan baik.

4. Para tim penguji dalam ujian Skripsi, Ibu Dr. Wiwie Heryani, S.H.,M.H., Ibu Dr. Andi Tenri Famauri, S.H.,M.H., dan Ibu Dr.

(10)

Rahmawati, S.H.,M.H., terima kasih atas semua saran dan kritikannya dalam penyusunan dan penulisan skripsi kami.

5. Ucapan terima kasih juga yang tak terlupa kepada Ibu Amalia S.H., M.H., selaku Penasehat Akademik penulis, sampai pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan studi ini dengan baik.

6. Serta semua Civitas Akademika Fakultas Hukum yang telah membantu dan memberi kemudahan dalam pengurusan akademik penulis sampai pada terselesaikannya skripsi tersebut.

7. Terima kasih juga kepada Bapak Abdul Halim selaku Imam dari Komunitas Adat Kaluppini yang telah menjadi fasilitator untuk mendapatkan hasil wawancara dalam penelitian penulis sehigga data dan informasi yang dibutuhkan penulis bisa tercapai.

8. Ucapan terima kasih istimewa kepada Ibu Rasmina Hasyim Amd.

Kep, Kepada senior-senior dari HPMM Kom. Unhas yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan, Kakanda Abu Bakar Ibrasa S.E, Kakanda Rahiman S.H, Kakanda Basri S.Pt, Kakanda Murjiono S.T, Kakanda Arif cS.T, dan segenap kakanda senior dari HPMM Kom. Unhas yang tak bisa penulis sampaikan satu per satu.

9. Kepada teman-teman ASAS 2013 FH-UH dan segenap pengurus HPMM Kom. Unhas 2015-2016 dan segenap teman-teman angkatan 2013, Mufakiruddin cS.T(ars), Mardayanti cS.E, Arham cS.Pt, Akbar cS.Pt dan lain-lain yang tak bisa saya sebut satu per satu beserta para generasi pelanjut HPMM Kom. Unhas.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... x

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 11

A. Pengertian Antropologi Hukum... 11

B. Konsep-Konsep Hukum Masyarakat Sederhana... 13

1. Menurut B. Malinowski ... 13

2. Menurut Leopold Pospisil... 14

3. Menurut P.J Bohannan ... 15

(12)

C. Pengertian Hukum Adat ... 16

1. Adat dan Hukum Adat ... 16

2. Istilah Hukum Adat ... 16

3. Hukum Adat Menurut Para Sarjana Hukum Barat ... 18

4. Hukum Adat Menurut Para Sarjana Hukum Indonesia ... 20

D. Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan ... 23

1. Peraturan Hindia Belanda ... 23

2. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia ... 24

E. Dampak Peraturan Perundang-Undangan TerhadapKeberadaan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia ... 28

F. Tipe dan Karakteristik Masyarakat ... 33

G. Bentuk Masyarakat Hukum Adat ... 37

H. Karakteristik Masyarakat Hukum Adat ... 40

1. Sifat Masyarakat Hukum adat ... 40

2. Corak Khas Masyarakat Hukum Adat ... 42

I. Hukum Pidana Adat di Indonesia ... 45

1. Pengertian Hukum Pidana Adat... 45

2. Terjadinya Delik Adat ... 48

3. Sifat Hukum Pidana Adat ... 49

4. Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia dalam Konteks Pembaharuan Hukum Pidana Nasional ... 50

J. Eksistensi Hukum Adat ... 53

1. Hukum Adat bagi Masyarakat ... 53

(13)

2. Syarat Eksistensial Persekutuan Hukum Adat ... 55

3. Hukum Adat sebagai Sistem Pengendalian Sosial ... 56

K. Hukum Adat di Era Modern ... 56

1. Hukum Adat dan Kesadaran Hukum... 56

2. Masyarakat Madya... 57

3. Masyarakat Modern ... 58

4. Hukum Adat dalam Pembangunan ... 60

L. Manfaat Mempelajari Hukum Adat ... 60

1. Mengetahui Hukum Adat yang Merupakan Bentuk Budaya Bangsa Indonesia ... 60

2. Mengetahui Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional ... 62

BAB III. METODE PENELITIAN... 63

A. Lokasi Penelitian ... 63

B. Jenis dan Sumber Data ... 63

C. Teknik Pengumpulan Data ... 64

D. Analisis Data ... 65

BAB 1V. PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS ... 66

A. Pengakuan dan Perlindungan Eksistensi Masyarakat AdatKaluppini Kabupaten Enrekang dalam Sistem Hukum Nasional ... 66

1. Sejarah Masyarakat Massenrempulu... 66

2. Perkembangan Masyarakat Adat Kaluppini ... 71

(14)

3. Masyarakat Adat Kaluppini dan Syariat Islam... 72

4. Wilayah Struktur dan Fungsi Masyarakat Adat Kaluppini ... 74

5. Harta dan Kekayaan Masyarakat Hukum Adat Kaluppini ... 85

6. Masyarakat Adat Kaluppini Yang Modern ... 89

7. Masyarakat Adat Kaluppini dalam Hukum Nasional ... 94

B. Dampak Peraturan Hukum Nasional terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Kaluppini Kabupaten enrekang ... 96

1. Masyarakat Hukum Adat dan eksploitasi alam oleh pemerintah ... 97

2. Pengobatan Tradisional dan Pengobatan Modern... 99

3. Tanah Ongko dan Undang-Undang Perpajakan ... 102

C. Penyelesaian Masalah Hukum yang Terjadi pada Masyarakat Adat Kaluppini ... 103

BAB V. PENUTUP... 109

A. Kesimpulan... 109

B. Saran ... 111 LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak manusia diturunkan Tuhan di muka bumi, maka ia kemudian memulai hidupnya dengan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Sejak manusia berkeluarga mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka. Kebiasaan dan perilaku itulah kemudian lahir ”kebiasaan pribadi” dan apabila kebiasaan pribadi tersebut diikuti oleh orang lain yang selanjutnya diikuti oleh semua masyarakat yang ada dalam suatu wilayah maka lambat laun akan menjadi sebuah adat dari masyarakat tersebut dan kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat”1.

Hukum adat merupakan sistem hukum tertua yang berlaku di dalam suatu komunitas masyarakat adat, sehingga seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero pernah mengatakan bahwa ”Ibi Societas, Ibi Ius (dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum)”2, hukum akan selalu hadir dan mengikuti perkembangan kehidupan sosial masyarakatnya dan bukan sebaliknya masyarakat yang mengikuti perkembangan hukum.

1Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, cetakan ke-dua, Mandar Maju, Bandung, hlm. 1.

2Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna, 2012, Antropologi Hukum, cetakan pertama, Pustaka Setia, Bandung. Hlm. 33.

(16)

Selain dari proses di atas, sangat realistis jika kemudian kita mengamati kondisi masyarakat hukum Indonesia dengan tipe majemuk dan plural, dimana Indonesia adalah Negara dengan wilayah yang sangat luas dan memiliki jumlah penduduk yang banyak namun yang paling menarik adalah kondisi masyarakat yang majemuk dengan kebiasaan- kebiasaan yang jelas berbeda antara wilayah yang ada, dalam melaksanakan sistem kehidupan sosialnya.

Menurut penulis setelah membaca beberapa buku yang berkaitan dengan pembahasan, menarik kesimpulan bahwa Indonesia hadir sebagai Negara dengan konsep Negara hukum yang mengakui dan mengadopsi beberapa sistem hukum yang ada atau biasa dikenal dengan istilah Mix Law, mulai dari sistem Hukum Islam, sistem Hukum Anglo Saxon, sistem Hukum Eropa Kontinental, dan sistem Hukum Adat yang merupakan sistem hukum asli yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sekalipun pasca kemerdekaan bangsa Indonesia lebih mengarah pada penerapan sistem Hukum Eropa Kontinental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Meskipun kebiasaan bukan lagi sumber hukum yang penting dalam masyarakat modern, tetapi bagaimana pun kebiasaan masih sering dijadikan sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan masalah baik dalam konteks litigasi maupun non-litigasi, apalagi di dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dengan mengatur bahwa ”Hakim sebagai

(17)

penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”3.

Dalam penjelasan otentik pasal tersebut dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis serta berada dimasa pergolakan dan peralihan, maka hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Untuk itu, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat4.

Adat, dan hukum adat sebagai bentuk dari budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia (local of wisdom), semestinya dipertahankan dan dilestarikan oleh para generasi bangsa, selain sebagai jati diri bangsa yang menjadi landasan dan prinsip dalam menjaga eksistensi bangsa Indonesia dari pengaruh-pengaruh budaya bangsa lain yang bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia di era modern saat ini.

Dalam perundang-undangan nomenklatur hukum adat tidak asing lagi, seperti tercantum dalam A.B (algemene Bepaligen Van Wetgeving) Pasal 11 yang menggunakan istilah ”Godsdienstige Wetten, Volksinstelling En Engenbruiken”5. Dalam pasal 18B ayat (2) dan Pasal

3Achmad Ali, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan ke-tiga, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 91.

4Ibid, hlm. 91.

5A.Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat Dahulu, Kini,dan Akan Datang, cetakan pertama, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 75.

(18)

28I ayat (3) UUD 1945 tidak diatur secara spesifik tentang hukum adat, melainkan hanya peraturan tentang eksistensi masyarakat hukum adat:

1. Pasal 18B ayat (2) menyatakan:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

2. Pasal 28I ayat (3) menyatakan:

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Selain itu lahirlah juga UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang- Undang Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA, sebagai undang- undang yang secara tegas tidak hanya mengatur eksistensi masyarakat adat tetapi juga hukum adat, dan yang terbaru adalah keluarnya Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Keberadaan masyarakat adat dengan konsep hukum adatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sedikit banyak mengalami kontradiksi dengan sistem hukum nasional. Sebagai salah-satu contoh di wilayah Sumbawa Barat terdapat suatu adat yang dikenal dengan adat pasola tradisi perang dengan tombak sambil berkuda tanpa peraturan yang berlangsung sekali setahun yaitu pada bulan Februari sampai Maret.

(19)

Dimana kepercayaan masyarakat adat tersebut semakin banyak darah yang tumpah, luka atau meninggal dimaksudkan bahwa di wilayahnya akan panen raya dan berkeyakinan bahwa orang yang tidak jahat tidak akan terluka dan sebaliknya. Hal ini jika menurut hukum nasional merupakan perbuatan kriminal yang dapat di pidana, tetapi polisi dan penegak hukum lainnya di daerah tersebut tidak mau menggunakan kewenangannya untuk menindak hukum adat yang bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) tersebut dan adat tersebut tetap eksis di masyarakat.

Adatrecht dalam bahasa Belanda, kerap diterjemahkan sebagai makna dari hukum adat itu sendiri. Orang yang pertama kali menggunakan istilah adatrecht adalah Snouck Hurgronje yang kemudian menjadikan adat itu sebagai adat yang harusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat. Selanjutnya adatrecht dikutip dan dipakai oleh Van Vollenhoven sebagai istilah yuridis untuk pertama kalinya, dalam perundang-undangan, istilah adatrecht itu baru muncul pada tahun 1920.

Lama sebelum dipakai dalam perundang-undangan, istilah adatrecht sering dipakai dalam literatur tentang hukum adat. Hingga saat ini kita tidak lagi menemukan buku mengenai hukum asli (tradisional) di Indonesia yang memakai istilah selain dari istilah adatrecht untuk menyatakan hukum adat itu6.

6A.Suriyaman Mustari Pide dan Sri Susyanti Nur, 2008, Dasar- Dasar Hukum Adat, cetakan ke-satu, Pelita Pustaka. Hlm. 1.

(20)

Van Vollenhoven, memisahkan antara adat dengan hukum adat yang mempunyai makna berbeda dalam penafsirannya, dimana adat diartikan sebagai kebiasaan turun-temurun yang secara sukarela dilaksanakan oleh masyarakat adat tanpa adanya akibat hukum.

Sedangkan hukum adat adalah kebiasaan turun temurun yang ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat adat dan mempunyai akibat hukum7.

Kabupaten Enrekang (Massenrempulu) yang terkenal dengan istilah Tana Ri Galla Tana Ri Abbusungi atau tanah yang diagungkan dan tanah yang dikeramatkan, oleh para leluhur telah menanamkan nilai-nilai kesucian yang sampai saat ini masih banyak daerah di wilayah tersebut yang memegang teguh prinsip dan nilai yang ada tersebut karena dianggap mampu menjaga keseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang ada di Massenrempulu.

Hal yang sangat menarik ketika kita berbicara dan membahas tentang Kabupaten Enrekang yang lebih di kenal dengan istilah Massenrempulu, menariknya disebabkan karena wilayah ini terletak di antara tiga suku besar yang ada di Indonesia yaitu Suku Toraja, Suku Mandar dan Suku Bugis, dimana oleh para pegiat Suku Massenrempulu dari Kabupaten Enrekang juga sedang dalam proses berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari Negara akan keberadaan dari Suku Massenrempulu.

7Moh.Koesnoe, 1979. Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, cetakan ke-satu, airlangga Universty Press, hlm 3-4.

(21)

Terletak di kaki Gunung Latimojong, Provinsi Sulawesi Selatan, tinggal sebuah komunitas masyarakat adat Kaluppini yang masih memegang teguh adat istiadat tradisi warisan nenek moyang secara turun-temurun. Wilayah adat Kaluppini meliputi lima Desa yakni Tokkonan, Rosoan, Tobalu, Lembang, dan Kaluppini. Masyarakat Kaluppini yang bermukim di dalam komunitas maupun yang berada di luar kawasan komunitas, memiliki kedaulatan tertinggi dan kebijakan umum yang ditentukan oleh para wakil masyarakat dan diawasi oleh masyarakat.

Struktur pemerintahan yang teratur, dimana ada empat orang pemangku tertinggi yakni Tomakaka, Ada', Khali dan Imam. Mereka adalah struktur utama dalam lembaga adat. Selain itu terdapat sembilan orang lainnya yang menduduki jabatan di parlemen. Mereka bertugas memilih dan membantu ke-empat pemangku tertinggi. Orang-orang tersebut dipilih berdasarkan garis keturunan. Kendati demikian, seluruh masyarakat Kaluppini tetap berpeluang dipilih untuk menempati struktur utama asalkan berperilaku terpuji serta amanah. Semantara itu aparat keamanan tidak pernah menangani kasus hukum Masyarakat Kaluppini.

Pasalnya semua persoalan yang terjadi di Kaluppini diselesaikan secara kekeluargaan ataupun secara hukum adat, bahwa ada polisi dan linmas yang secara temporal mendatangi Kaluppini. Tetapi mereka datang untuk membantu di bidang pertanian8.

8Suhardin, 2017, Kepala Desa Masyarakat Adat Kaluppini, Hasil Wawancara.

(22)

Salah satu ritual adat di Kaluppini yang terkenal adalah ritual Adat Pangewaran. Ritual ini dilaksanakan setiap delapan tahun sekali. Ritual Pangewaran dilatarbelakangi sebuah kisah dimana masa itu bumi pertiwi Kaluppini mencapai puncak kesejahteraan. Sejauh mata memandang akan terlihat area persawahan, padi menguning siap untuk dipanen, ladang dipenuhi tanaman-tanaman yang tumbuh subur, ternak sapi, kambing dan kerbau berkembang dengan baik. Penghidupan yang begitu menjanjikan dan membahagiakan. Ritual Pangewaran merupakan wujud rasa syukur kepada alam semesta atas limpahan karunia khususnya pada masa panen dalam rentang waktu delapan tahun. Dalam ritual ini, bulu ayam yang sudah dimantrai, dilemparkan dari atas pohon untuk diperebutkan warga. Konon, bulu ayam tersebut bisa membawa keberkahan bagi warga yang memilikinya9.

Ritual lainnya adalah pengambilan air suci dari Mata Wai. Di hari- hari biasa, mata wai yang kering, tetapi dalam ritual pengambilan air suci, Mata Wai akan mengeluarkan air yang melimpah setelah dibacakan doa- doa tertentu. Dalam rangkaian ritual Pangewaran juga diadakan ritual di Erong, sebuah situs makam kuno yang konon merupakan makam ibu dari sembilan bersaudara yang di kenal dengan istilah To Manurung10.

Kaluppini sebagai masyarakat adat hingga kini belum mendapat pengakuan secara hukum dari pemerintah, padahal ini penting untuk

9 Abul Halim, 2017, Imam Masyarakat Adat Kaluppini (Salah-satu Pemangku Adat Tertinggi dalam Masyarakat Adat Kaluppini.

10Ibid.

(23)

melindungi hak-hak mereka sebagai komunitas adat. Pengakuan negara terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat sudah terdapat di dalam konstitusi Indonesia yaitu Pasal 18B dan Pasal 28I UUD Tahun 1945. Sayangnya, pengakuannya belum mencakup seluruh masyarakat adat. Kondisi tersebut telah mendorong sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Sulawesi Community Foundation (SCF) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk memperjuangkan Rancangan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Enrekang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengakuan dan perlindungan eksistensi Masyarakat Adat Kaluppini Kabupaten Enrekang dalam Sistem Hukum Nasional?

2. Bagaimana dampak peraturan-peraturan Hukum Nasional terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Kaluppini Kabupaten Enrekang?

3. Bagaimana penyelesaian masalah hukum yang terjadi pada Masyarakat Adat Kaluppini?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan tentang pengakuan dan perlindungan eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Kaluppini Kabupaten Enrekang.

2. Menjelaskan dampak dari peraturan-peraturan Hukum Nasional terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Kaluppini, Kabupaten Enrekang.

(24)

3. Menjelaskan penyelesaian masalah hukum dalam konteks masyarakat Adat Kaluppini, Kabupaten Enrekang.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan dan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penulisan dan penelitian ini diharapkan mampu mengangkat kembali keberadaan adat dan masyarakat hukum adat yang ada di wilayah Kabupaten Enrekang dalam konteks nasional, yang secara khusus diharapkan mampu memberikan sumbangsi bagi perkembangan hukum di Indonesia, khususnya pengetahuan tentang eksistensi hukum adat terhadap hukum nasional dalam kehidupan masyarakat Adat Desa Kaluppini Kabupaten Enrekang, provinsi Sulawesi Selatan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penulisan dan penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi perkembangan dunia penelitian dan pendidikan yang secara khusus mengkaji tentang adat dan masyarakat hukum adat, memberikan informansi kepada khalayak, khususnya instansi kepolisian bahwa masyarakat hukum adat Kaluppini, Kabupaten Enrekang menangani delik adat yang terjadi dalam masyarakat secara hukum adat, serta adanya penelitian ini dan informasi ini diharapkan instansi kepolisian dapat lebih bijak menghargai serta menghormati hukum adat yang ada dan berlaku pada masyarakat hukum Adat Kaluppini,

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Antropologi

Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu anthropos yang artinya manusia atau orang, dan logos, yaitu ilmu. Dengan demikian antropologi dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mengkaji perihal manusia sebagai mahluk biologis sekaligus mahluk sosial11.

Mempelajari manusia merupakan persoalan kompleks karena pada diri manusia terdapat dua hal yang mendasar, yaitu manusia sebagai mahluk jasmani dan rohani atau manusia sebagai hewan dan manusia sebagai mahluk yang berfikir. Sebagai mahluk jasmani manusia memiliki perbedaan fisik, misalnya warna kulit, model rambut, hidung dan sebagainya. Adapun aspek rohani, pada diri manusia terdapat unsur nilai, budaya, keyakinan, agama, bahasa dan lain sebagainya12. Manusia adalah hewan berfikir, artinya manusia sebagai bagian dari jenis hewan,memiliki kesamaan dengan hewan, seperti kera, kerbau, kambing dan lain sebagainya. Hewan memiliki nafsu yang sama dalam hal mengambil sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, menghindarkan diri dari sesuatu yang membahayakan dirinya. Adapun manusia sebagai mahluk yang berfikir memilik tata cara baik buruk, yang manfaat dan yang mudharat dan tidak hanya mengandalkan insting dan nafsu. Penilaian

11 Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna, 2012. Antropologi Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 13.

12 Ibid, hlm. 13.

(26)

terhadap baik buruk bervariasi bergantung pada kebiasaan, kebudayaan, dan juga bergantung pada nilai keyakinan terhadap agama yang dianut.

Serta keilmuan yang dimiliki oleh seseorang13.

Antropologi meneliti manusia pada setiap waktu dan setiap dimensi kemanusiaannya. Secara tradisional kajian antropologi terpisah dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan dan perbedaan budaya antar manusia tetapi manusia dan kemanusiaan menjadi sorotan utama antropologi yang bersifat holistik. Manusia memiliki banyak dimensi yang dapat ditelusuri oleh antropologi, sehingga antropologi meneliti manusia sebagai mahluk biologis, menelusuri perkembangan evolusinya, meneliti variasi spesies dan prilakunya14. Antropologi erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat.

Kebudayaan adalah pedoman menyeluruh yang konprehensif dan mendasar bagi kehidupan dalam mempertahankan kehidupannya.

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan tingkah lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian norma, kaidah, moralitas sosial, petunjuk, rencana, dan strategi yang terdiri atas model-model kognitif yang dimiliki manusia dan menjadi alat utama menghadapi lingkungannya15.

13 Ibid, hlm. 13-14.

14 Ibid, hlm. 15.

15 Ibid, hlm. 16.

(27)

Secara umum ada dua bidang spesialisasi dalam antropologi yaitu antropologi fisik dan antropologi budaya. Antropologi fisik tertarik pada segi fisik manusia atau organisme biologis dan evolusi manusia, termasuk mempelajari gen-gen yang menentukan struktur tubuh manusia.

Antropologi mempelajari manusia sejak ada di bumi hingga sampai saat ini misalnya dari penelitian fosil-fosil manusia tiap zaman. Sedangkan antropologi budaya berhubungan dengan etnologi. Ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia baik tingkah laku individu maupun kelompok.

Perilaku merupakan hasil proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya16.

B. Konsep dan Karakteristik Antropologi Hukum 1. Menurut B. Malinowski

Sarjana antropologi hukum bernama Branislaw Malinowski pernah melakukan penelitian terhadap masyarakat Trobrian di Kepulauan Salomon Papua Nugini mengemukakan bahwa untuk membedakan antara aturan hukum dengan aturan masyarakat yang lain ialah dilihat dari mekanisme kekuatan mengikatnya, berikut ciri-ciri aturan hukum17:

a. Dikatakan aturan hukum apabila aturan itu dirasakan dan dianggap menimbulkan kewajiban di satu pihak.

16 Ibid, hlm. 20-21.

17Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Antropologi Hukum, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm, 47-48.

(28)

b. Aturan hukum itu mempunyai sanksi negatif atau sanksi positif berdasarkan kejiwaan dan adanya mekanisme kekuatan yang mengikat.

c. Kekuatan mengikat itu bertambah kuat dengan adanya upacara dan proses transaksi, karena dengan diadakannya upacaraberarti umum mengetahui dan terbuka menyampaikan pendapatnya.

Pada masyarakat sederhana hukum bukan semata-mata terdiri dari hukum pidana, dengan sanksi-sanksi negatif, sebagaimana pendapat sebagaian sarjana, sehingga membicarakan hukum pada masyarakat sederhana hanya terdapat pada masalah kejahatan dan hukum saja, dalam hal ini dianggap menyeluruh.

2. Menurut Leopold Pospisil

Mula-mula para sarjana antropologi atau sosiologi pada mulanya menganggap bahwa masyarakat sederhana tidak mengenal hukum karena mereka berpangkal tolak pada pemikiran bahwa ketaatan terhadap nilai-nilai dasar atau ketertiban umum dalam masyarakat sederhana dipertahankan oleh kekuatan mengikat dari adat istiadatnya, sebagaimana dikemukakan oleh Hartland, bahwa manusia sederhana itu kehidupannya diliputi oleh adat istiadat yang mengikat secara tradisional, sehingga ketaatan kepada adat berlangsung sebagai bagian dari proses kehidupannya18.

18Ibid. hlm,71-72.

(29)

Timbul usaha-usaha untuk merumuskan apakah hukum itu adalah sebagai reaksi terhadap pendapat bahwa adat mempunyai peranan penting sebagai sarana penelitian etnografis. Tetapi karena konsep hukum bukan berdasarkan pada hasil perbadingan dari berbagai masyarakat sederhana, melainkan dilihat dari kacamata Hukum Barat, maka timbullah pendapat bahwa pada masyarakat sederhana tidak di kenal adanya hukum19.

3. Menurut P.J Bohannan

Dalam uraiannya tentang “Law and Legal Institution” bahwa ilmu hukumyang ada di Inggris dipengaruhi oleh pendapat Austin, menekankan pengertian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Selanjutnya dikatakan bahwa hukum itu merupakan salah-satu alat yang digunakan manusia untuk mendamaikan perilaku kegiatannya atas dasar kehendak yang telah di akui.

Jadi perbedaan adat kebiasaan dan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Bohannan, bahwa dalam adat istiadat itu merupakan seperangkat aturan, dengan rumusannya yang jelas, dimana hubungan antara manusia harus memenuhi syarat yang ditatati oleh masyarakat. Itu adalah adat kebiasaan, sedangkan yang dikatakan hukum adalah bahwa aturan tersebut dapat di tafsirkan oleh suatu lembaga20.

19 Ibid. Hlm. 77.

20 Ibid. hlm. 77-80.

(30)

C. Pengertian Hukum Adat 1. Adat dan Hukum Adat

Dari konstatasi Bos A.M yang telah dipaparkan terdahulu kita melihat pada dasarnya bahwa hukum adat hanyalah merupakan sebagian dari adat-istiadat masyarakat. Adat-istiadat dengan demikian mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu, dalam penelaan hukum adat, kita harus mampu membedakan antara adat- istiadat (non-hukum) disatu sisi dengan hukum adat disisi lain karena memiliki kaitan yang sangat erat21.

Menurut Van Vollenhoven untuk membedakan adat dan hukum adat, dapat digunakan kriteria akibat hukum atau adat yang ada sanksinya yang disebut hukum adat sedangkan kebiasaan yang tidak mempunyai akibat hukum hanya disebut dengan istilah adat saja.

contoh larangan adat di Batak bagi orang-orang yang disunat untuk menampakan diri di muka umum selama tujuh hari pertama sesudahnya22.

2. Istilah Hukum Adat

Di kalangan masyarakat umum (orang-orang awam), istilah hukum adat jarang digunakan, yang banyak dipakai dalam pembicaraan ialah istilah ”adat” saja. Dengan menyebut kata “adat” maka yang dimaksud adalah“kebiasaan” yang pada umumnya harus berlaku dalam

21 Soleman B. Tanenko, 1987, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang, P.T Eresco, Bandung, hlm.5-6.

22Ibid, hlm. 6.

(31)

masyarakat yang bersangkutan. Misalnya dikatakan “Adat Jawa” maka yang dimaksud adalah kebiasaan berperilaku dalam masyarakat Jawa.

Begitu pula ketika kita berbicara “Adat Minangkabau”, “Adat Batak”,

“Adat Bugis” dan sebagainya. Jadi istilah Hukum Adat hanya merupakan teknis ilmiah, yang menunjukan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan23.

Istilah ”hukum adat” berasal dari kata-kata Arab ”huk’m” dan

“adah”. Huk’m (jamaknya: Ahkam) artinya “suruhan” atau “ketentuan”.

Misalnya di dalam Hukum Islam ada lima macam suruhan (perintah) yang disebut Al- Ahkam Wa Al- Khamsah “hukum yang lima”, yaitu fardhu (wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (dianjurkan), makruh (celaan), jaiz atau mubah (dibolehkan).24.

Adah atau adat artinya “kebiasaan”, yaitu perilaku masyarakat yang sealu terjadi. Jadi “hukum adat” adalah “hukum kebiasaan”25. Istilah hukum adat juga merupakan terjemahan dari istilah dalam Bahasa Belanda: Adatrecht. Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah Adatrecht itu. Istilah Adatrecht kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis- yuridis26.

23Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 8.

24Ibid, hlm. 8.

25Ibid, hlm. 8.

26Bashar Muhammad, op.cit, hlm. 1.

(32)

3. Pengertian Hukum Adat menurut Sarjana Hukum Barat a) Bellefroid J.H.P.

Dalam bukunya “Inleiding tot de rechtswetenschap in Nederland” memberi pengertian hukum adat adalah sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak di Undang-Undangkan penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum27. b) Vollenhoven C.V

Hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum adat) dan di lain pihak tidak terkodifikasi (maka dikatakan adat)28. Dalam hal ini orang seharusnya tidak hanya berteori tetapi harus dilihat di dalam kenyataanya. Jika hakim menemukan aturan-aturan adat, perilaku atau perbuatan yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang mengatakan bahwa aturan-aturan itu harus dipertahankan oleh para kepala adat dan para petugas hukum yang lain, maka aturan- aturan adat itu bersifat hukum29.

27Soerojo Wignjodipoero, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, cetakan ke-enam, PT Gunung Agung, Jakarta, hlm. 14.

28Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 13. 29Ibid, hlm. 13.

(33)

c) Ter Haar Bzn

Hukum adat adalah hukum yang lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, ataupun dalam hal bertentangan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian, tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, tetapi senapas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima dan diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya30.

d) Holleman F.D.

Holleman yang juga pernah lama tinggal di Indonesia, tentang hukum adat sependapat dengan Van Vollenhoven dan mengatakan bahwa hukum itu tidak tergantung pada keputusan “ norma-norma hukum adalah norma-norma hidup yang disertai dengan sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakat. Tidak merupakan masalah apakah terhadap norma-norma itu telah pernah ada atau tidak adanya keputusan petugas hukum31.

30Soerojo Wignjodipoero, op.cit, hlm. 15.

31Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 15.

(34)

e) Logemann J.H.A.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat yang disampaikan Ter Haar,”hukum adat tidak mutlak sebagai hukum keputusan, norma-norma yang hidup itu adalah norma-norma kehidupan bersama, yang merupakan aturan-aturan perilaku yang harus diikuti semua warga dalam pergaulan hidup bersama, jika ternyata bahwa ada sesuatu norma yang berlaku, maka norma itu tentu mempunyai sanksi, ialah berupa sanksi apapun dari yang sangat ringan sampai yang sangat berat. Orang dapat menganggap bahwa semua norma yang ada sanksi itu semuanya adalah norma hukum. Ia tidak sependapat bahwa adat itu baru merupakan hukum adat, apabila dimasukan ke dalam keputusan hakim32.

4. Pengertian Hukum Adat menurut Sarjana Hukum Indonesia a) Soepomo

Pengertian hukum adat menurut Soepomo antara lain:

1. Hukum Non-Statutair

Hukum adat adalah non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam.

Hukum adat itupun melingkupi hukum yang mendasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum

32Ibid. hlm. 15.

(35)

dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu adat yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri33.

2. Hukum adat tidak tertulis

Hukum adat meliputi peraturan legislatif yang tidak tertulis (unstatutory law), yang hidup dalam hukum kenegaraan (konvensi), keputusan-keputusan hakim (judge made law), hukum kebiasaan (customary law), termasuk pula tentunya aturan-aturan pedesaan dan aturan-aturan keagamaan34.

b) Soekanto

Menurut Soekanto bahwa hukum adat adalah:

1. Dilihat dari mata seorang ahli hukum yang memegang teguh undang-undang “memang hukum keseluruhannya di Indonesia tidak teratur, tidak sempurna, tidak tegas akan tetapi apabila mereka sungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya mengenai hukum adat, tidak hanya dengan pikiran (rechtsbegrip, rechtsverstand) tetapi dengan penuh perasaan (rechtsgevoel) pula, mereka melihat sumber yang mengagumkan, adat istiadat dahulu dan sekarang, adat istiadat

33Ibid. hlm. 17.

34Ibid. hlm. 18.

(36)

yang hidup, adat istiadat yang dapat berkembang, adat istiadat yang berirama35.

2. Jika kita menyelidiki adat istiadat ini terdapat peraturan- peraturan yang bersanksi, kaidah-kaidah yang apabila dilanggar ada akibatnya dan mereka yang melanggar dapat dituntut dan kemudian dihukum. Kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi (ongecodifiseerd) dan bersifat paksaan (dwang), mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg), kompleks ini disebut hukum adat (adatrecht)36.

c) Hazairin

Beliau adalah guru besar Universitas Indonesia (UI) yang mengajar Hukum Adat dengan membandingkan Hukum Adat dengan Hukum Islam, beliau berpendapat bahwa adat adalah renapan kesusilaan dalam masyarakat, bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu37.

d) Soerjono Soekanto

Hukum Adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein- sollen). Berbeda dengan kebiasaan belaka, kebiasaan yang

35Ibid. hlm. 18-19.

36Ibid, hlm. 19.

37Ibid, hlm. 19.

(37)

merupakan hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang- ulang dalam bentuk yang sama38.

Dari pengertian Hukum Adat yang telah disampaikan oleh beberapa pakar di bidang Hukum Adat, penulis dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Hukum Adat adalah seperangkat nilai, norma, kebiasaan yang turun-temurun, dan aturan yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut yang meskipun keberadaannya tidak tertulis dan tidak dikodifikasi dalam satu Undang-Undang, tetapi keberadaanya nyata dan diakui oleh masyarakat sebagai satu hukum yang taati dan memiliki wibawah untuk mengatur masyarakat dalam berperilaku, baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial.

D. Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Peraturan Hindia Belanda

Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda adalah:

a. Pasal 131 ayat (2) sub b IS (Indische Staatsregeling).

Menurut ketentuan Pasal 131 ayat (2) IS sub b ini disebutkan bahwa bagi golongan hukum (recht groep) Indonesia asli dan golongan timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat ordonansi (suatu peraturan yang dibuat oleh badan legislatif

38C. Dewi Wulansari, 2012, hukum adat Indonesia suatu pengantar, refika aditama, Bandung, hlm. 6.

(38)

pusat/gubernur jenderal bersama-sama dengan Volksraad), dapat menentukan bagi mereka:

1) Hukum Eropa

2) Hukum Eropa yang telah diubah (gewijzgd Eropees Recht) 3) Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeen

schappelijk recht)

4) Hukum baru (nieuw recht) yaitu hukum yang merupakan syntese antara hukum adat dan hukum Eropa.

b. Pasal 134 ayat (2) IS

Menurut ketentuan Pasal 134 (2) IS disebutkan bahwa dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang muslim, dan hukum adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh hakim agama, kecuali jika ordonansi telah menetapkan lain39.

2. Peraturan Perundang-Undang Indonesia

Keberadaan hukum adat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia antara lain:

a) Hukum adat dalam UUD 1945

UUD 1945 tidak menyebut satu kata pun tentang hukum adat, namun kita mengacu pada pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang masih menetapkan bahwa segala bangsa dan Negara serta peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum

39Ibid. hlm. 100-101.

(39)

diadakan yang baru menurut UUD 1945 yang secara otomatis masih tetap berlaku Pasal 131 ayat (6) jo Pasal 131 ayat (2) sub b IS40.

b) Undang-undang No.19 tahun 1964 dan undang-undang No.14 tahun 1970 tentang dasar landasan hukum sah berlakunya hukum adat sekarang.

Penetapan undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (No.19 Tahun 1964) maka ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilaksapasanakan oleh sebuah mahkamah agung dan lain-lain badan kehakiman” telah dipenuhi penyelenggaraanya secara konstitusional menurut Pasal 3 UU No. 19 tahun 1964 dimaksud di atas beserta penjelasannya, oleh karenanya yang dipakai adalah hukum yang berdasarkan pancasila, yaitu hukum yang sifat-sifatnya berakar pada kepribadian bangsa41. Meskipun dalam Pasal 3 tersebut di atas tidak disebut hukum adat. Menurut Pasal 17 ayat (2) UU No.19 tahun 1964 dan sesuai dengan penjelasan dari Pasal 10-nya, dinyatakan adanya hukum yang tidak tertulis dan tertulis.

Adapun UU No. 14 tahun 1970 adalah landasan tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman. Pasal- pasalnya yang penting yang merupakan landasan hukum

40Ibid, hlm. 106.

41A.Suriyaman Mustari Pide. Op.cit. hlm. 83.

(40)

berlakunya hukum adat antara lain Pasal 23 ayat (1)”...segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar- dasar putusan itu, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”42.

Kemudian Pasal 27 ayat (1)”... Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”43. Penjelasan umum undang-undang No. 14 tahun 1970 bagian 7 sebagai berikut:

Penegasan bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi peradilan swapraja atau pengadilan adat yang dilakukan oleh buka peradilan Negara, ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya mengalihkan perkembangan dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis akan berjalan secara wajar44.

42Ibid. hlm. 84.

43Ibid. hlm. 84.

44Ibid. hlm. 84-85.

(41)

c) Peraturan Menteri dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Lahirnya Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 ini memberikan sumbangsi yang sangat besar terhadap pengakuan atas eksistensi dari satu masyarakat adat, adanya pedoman sebagai suatu legalitas yang berisi syarat-syarat dan mekanisme yang harus dipenuhi oleh suatu komunitas untuk dapat diakui secara resmi sebagai komunitas masyarakat adat. Adapun masyarakat hukum adat yang dimaksud dalam hal ini adalah warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidupnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan suatu wilayah secara turun-temurun.

Proses pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat terdiri dari beberapa tahapan mulai dari pembentukan panitia yang terdiri dari sekretaris daerah Kabupaten/Kota sebagai ketua, kepala SKPD yang membidangi masalah pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris, kepala bagian hukum sekretariat Kabupaten/Kota sebagai anggota serta camat dan SKPD terkait yang sesuia dengan karakteristik yang ada juga sebagai anggota yang kemudian di SK-kan oleh Bupati/Walikota.

(42)

adapun beberapa syarat dalam proses identifikasi masyarakat hukum adat terdiri dari:

1. Sejarah masyarakat hukum adat 2. Memiliki wilayah adat

3. Hukum adat

4. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat 5. Kelembagaan adat/sistem pemerintahan adat

Tahapan selanjutnya setelah panitia melakukan identifikasi atas persyaratan yang dimaksud dan memenuhi persyaratan maka akan dilakukan verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat yang selanjutnya akan mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai satu komunitas masyarakat hukum adat.

E. Dampak Penerapan Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia

Menurut Bappenas, dalam buku Biodiversity Action Plan for Indonesia, (1993), jumlah masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan di Indonesia adalah 12 juta jiwa. Sedangkan menurut Owen Lynch dan Kirk Talbott, dalam buku Balancing Acts: Community- Based Forest Management and National Law in Asia and the Pasifik, Washington: World Resource Institute,1995, jumlah masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan di Indonesia adalah antara 40- 60 juta jiwa. Meskipun tidak ada yang dapat memastikan berapa jumlah anggota/jiwa masyarakat hukum adat dari 40-60 juta masyarakat,

(43)

berdasarkan pendampingan di sejumlah tempat, menunjukkan bahwa hampir seluruh anggota masyarakat hukum adat hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Dengan banyaknya jumlah masyarakat hukum adat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, maka penerapan peraturan mengenai kehutanan, menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum adat. Data luas kawasan hutan menurut pemerintah adalah 120 juta Ha.

Jumlah luasan tersebut didapatkan melalui proses penunjukkan kawasan oleh pemerintah. Dengan demikian, Undang-Undang Kehutanan menjadikan kawasan hutan dengan luas 120 Ha tersebut sebagai objek pengaturan.

Selanjutnya menurut data yang dikumpulkan oleh HuMa (organisasi yang memusatkan perhatian kerjanya pada isu pembaharuan hukum pada bidang sumberdaya alam, perkumpulan untuk pembaharuan hukum berbasis masyarakat dan ekologis) di beberapa provinsi dan kabupaten, kawasan hutan yang ditunjuk tersebut, faktanya berada di atas hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Hal Ini sangat jelas bahwa wilayah ulayat masyarakat hukum adat bertumpang tindih dengan kawasan hutan yang ditunjuk oleh pemeritah. Tumpang tindih ini sesungguhnya tidak terjadi begitu saja, tetapi disadari dan didasari oleh klaim Negara sebagai pemegang kuasa atas seluruh kekayaan alam di Indonesia, termasuk hutan milik Negara. Hutan milik Negara yang juga digunakan oleh Undang-Undang Kehutanan dijadikan justifikasi untuk

(44)

menguasai seluruh kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak, termasuk di dalamnya ruang-ruang hidup masyarakat hukum adat. Huma menemukan fakta-fakta lapangan mengenai dampak-dampak penerapan Undang-Undang Kehutanan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak ulayatnya, diantaranya :

1. Putusnya hubungan masyarakat hukum adat dengan hutan Karena hutan masyarakat hukum adat telah beralih menjadi kawasan hutan negara, maka negara memiliki kewenangan untuk membuat aturan di atasnya. Termasuk aturan yang membatasi dan bahkan melarang orang untuk memasuki dan beraktivitas di dalam kawasan hutan. Begitu juga aturan yang membolehkannya memberikan hak kepada orang atau badan hukum tertentu untuk mengambil manfaat atas hasil hutan. Pembatasan, pelarangan atau bahkan pengusiran masyarakat hukum adat dari kawasan hutan berawal dari kewenangan ini. Di dalam kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam, pada zona dan blok tertentu dilarang untuk melakukan kegiatan apapun, sementara pada zona dan blok lain hanya diperbolehkan melakukan kegiatan tertentu saja. Pada kawasan yang telah dibebani izin atau hak, pemerintah memberikan hak kepada pemegang izin atau hak untuk melarang setiap orang yang memanfaatkan kawasan tersebut tanpa se-izin pemegang izin atau hak tersebut. Tidak bisa disangkal bahwa pelarangan atau pembatasan masyarakat hukum adat untuk masuk

(45)

ke dalam kawasan hutan telah memenggal relasi mereka dengan hutan. Dalam bentuk yang sederhana, pemenggalan ini telah menyebabkan masyarakat hukum adat kehilangan akses dalam mengelola hutan, seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun. Pelarangan yang sama juga dapat ditemui di Kampung Ponti Tapau, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.

2. Masyarakat di Desa Maholo, Watutau, Tamadue, Wuasa, Alitupu, Winowanga dan Wanga di Kecamatan Lore Utara, bahkan dilarang untuk memasuki kebun dan sawahnya. Kejadian lebih ironis di alami oleh Warga Nagari Simarasok. Sekitar tahun 80-an, penduduk Nagari ini diperintahkan oleh pegawai Dinas Kehutanan Propinsi untuk menanam pohon pinus. Karena menganggap bahwa lahan yang akan ditanami pinus tersebut termasuk ke dalam hak ulayat Nagari, penduduk pun dengan senang melakukannya. Lahan yang ditanam mencapai 100 Ha. Ternyata, setelah besar dan siap panen, penduduk dilarang mengambil kayu tersebut dengan alasan bahwa pohon pinus tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung. Larangan memasuki kawasan hutan bukan hanya menghilangkan akses untuk mengelola hutan tetapi juga menyebabkan punahnya situs-situs budaya. Situs-situs itu punah karena masyarakat hukum adat tidak bisa lagi merawatnya sejak dilarang memasuki kawasan hutan seperti yang terjadi di Kampung Banglo, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

(46)

Sementara di sejumlah desa di Kabupaten Donggala dan Poso, kepunahan situs-situs budaya ditandai dengan kenyataan- kenyataan berikut ini:

a). Hilangnya situs-situs megalitikum b). Rusaknya kuburan-kuburan tua

c). Punahnya tempat-tempat bersejarah antara lain kampung tua, kuburan leluhur, tempat-tempat ritual keagaaman, simbol-simbol ketahanan pangan.

Karena hutan merupakan bagian dari wilayah atau ruang hidup masyarakat hukum adat, pemisahannya dengan masyarakat hukum adat selalu menyebabkan perubahan atau pergeseran pada paham, nilai dan tatanan sosial. paham nilai dan tatanan sosial masyarakat lokal lahir dari hasil melakukan interaksi dengan alam, termasuk hutan. Logikanya, bila hutan dipisahkan dari mereka sama artinya meniadakan sumber lahirnya paham, nilai dan tatanan sosial tersebut. Mengambil hutan dari mereka identik dengan mengambil paham, nilai dan tatanan sosial mereka.

Kini masyarakat hukum adat di Melawi Kalimantan Barat berpotensi meninggalkan paham komunal mereka yang mengibaratkan rimba sebagai ibu yang mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan hidup bagi masyarakat. Bersamaan dengan hilangnya hutan dari kehidupan mereka, orientasi nilai juga turut berubah. Hutan tidak lagi dilihat sebagai manifestasi simbolik (misalnya hutan sebagai Ibu) melainkan komoditas.

Begitu juga dengan tanah yang menjadi wadah bertumbuhnya hutan.

(47)

Bila sebelumnya hutan rimba dipandang sebagai milik bersama yang memiliki fungsi religi dan ekologis, saat ini ia diperebutkan dan diklaim sebagai milik perorangan dengan pertimbangan keuntungan ekonomi semata. Bahkan tanah-tanah yang tidak berhutan lagi dijual kepada perusahaan kelapa sawit atau kepada perusahaan pertambangan.

Masyarakat dengan mudah melepaskan tanah-tanah tersebut walaupun perusahaan hanya menyampaikan janji-janji kesejahteraan. Semakin masyarakat ter-integrasi ke dalam budaya modern, semakin merosot pengetahuan ekologi mereka seperti yang terjadi di kawasan ekosistem Halimun yaitu kerusakan sosial dan biofisik.

F. Tipe dan Karakteristik Masyarakat

Salah-satu pokok pembahasan yang sangat penting dalam kajian antropologi hukum dan sosiologi hukum, yaitu tipe-tipe masyarakat serta pengaruhnya terhadap sifat khas hukum. Beberapa penulis telah mencoba mencoba menulis timbulnya hukum beserta fungsinya di dalam masyarakat, yang secara perspektif tergantung pada sifat masyarakat itu sendiri45. Para pakar dalam sosiologi dan antropologi hukum masing- masing memiliki pandangan tersendiri tentang model khusus masyarakat yang juga berpengaruh besar terhadap pandangan hubungan hukum dengan masyarakat. Berikut beberapa tipe masyarakat:

45 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Kajian Empiris Terhadap Hukum, cetakan ke-2, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 89.

(48)

1. Masyarakat anti-litigasi dan masyarakat litigatif

Artinya salah-satu perbedaan dari masyarakat dalam hukum adalah bagaimana cara menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakatnya, apakah melalu pengadilan atau tidak. Contoh masyarakat yang anti-litigasi adalah masyarakat jepang, masyarakat yang berkonflik lebih banyak memilh menyelesaikan masalahnya tanpa melalui pengadilan namun bukan berarti orang Jepang pelanggar hukum46.

Devis, kemudian memandang bahwa kapan dicoba untuk menyimpulkan bagaimana orang-orang jepang berhubungan dengan sistem hukum mereka, dan bagaimana sikap mereka berkenaan dengan respek dan ketaatan terhadap sistem itu, maka mengenai hal itu seseorang harus memulai dengan sadar pemikiran bahwa orang- orang Jepang lebih banyak yang menaati hukum daripada warga Negara dari terbanyak Negara-negara lain. Kondisi ini merupakan hasil dari konsep kewajiban yang mereka warisi dari Kong Fu Tsu47. Sebagian besar orang Jepang berusaha untuk tunduk pada hukum, tidak disebabkan oleh pertimbangan bahwa seorang warga Negara harus mematuhi hukum, tetapi disebabkan karena mereka mempercayai bahwa otoritas yang ada dalam masyarakat mengharapkan mereka untuk mengikuti aturan-aturan yang telah di umumkan dan disebarluaskan demi kemanfaatan mereka.

46Ibid, hlm. 93.

47Ibid, hlm. 93.

(49)

2. Masyarakat konsensus dan masyarakat konflik

Yaitu masyarakat pada dasarnya merupakan suatu perpaduan dan keseimbangan yang nyata, yang juga dijaga kesatuannya melalui suatu konsensus yang luas, di antara para individu dan kelompok- kelompok yang mendirikannya pada nilai-nilai sosial, ide-ide dan fungsinya. Dalam masyarakat konsensus umumnya dianut pendapat bahwa meski terdapat kehadiran kelas dan kelompok yang berbeda serta konflik-konflik kepentingan, namun suatu kesatuan dan keharmonisan tertentu tetap eksis di dalam masyarakat, dan yang menjadi dasar masyarakat adalah kerja sama, konsensus, commond good, perdamaian, dan keseimbangan48.

Dalam tipe masyarakat konsensus, warga dipersatukan oleh adanya kultur, kaidah, kepercayaan, dan harapan. Masyarakat konsensus merupakan masyarakat yang terpadu dalam keadaan stabil dan memfungsikan pengorganisasian sebagai pelaksana integrasi sosial.

Sebaliknya dalam tipe masyarakat konflik, masyarakat dilihat terdiri dari individu-individu serta kelompok dengan kepentingan yang beraneka ragam dan saling berkonflik. Warga masyarakat lebih menonjol sebagai individu dimana masing-masing secara egois mengejar tujuan mereka. Hukum dibentuk dari nilai-nilai dan tindakan

48 Ibid, hlm. 107.

(50)

dari berbagai kelompok dengan penggunaan kekuatan ekonomi, sosial dan politik yang digunakan sebagai mekanisme paksaan49.

Masyarakat konflik menempatkan hukum sebagai cerminan lebih daripada sekedar kepentingan sempit dari kelompok-kelompok yang membutuhkan untuk kekuatan ekonomi, sosial dan politik. Pemikiran sosiologis dewasa ini cenderung untuk lebih memilih dan mendukung perspektif konflik dalam masyarakat50.

3. Masyarakat yang di dominasi hukum dan masyarakat yang di dominasi oleh Kultur

Sebagaimana yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo yaitu perbedaan antara masyarakat yang di dominasi hukum dan masyarakat yang di dominasi kultur terlihat di antara dua Negara yaitu Amerika Serikat dan Jepang, dimana masyarakat Amerika lebih di dominasi oleh hukum sedangakan Jepang lebih di dominasi kultur.

4. Masyarakat sederhana dan masyarakat kompleks

Sebagaimana yang di sampaikan oleh Emile Durkheim yang memandang basis masyarakat adalah perpaduan dan konsensus.

Menurutnya, masyarakat merupakan suatu fenomena moral serta tidak lebih daripada suatu lingkungan moral yang mengelilingi individu51.

Hubungan sosial dalam tipe masyarakat ini menuruti kepercayaan tentang hubungan yyang berdasarkan pertalian keturunan dan

49Ibid, hlm. 108.

50Ibid, hlm. 109.

51 Ibid, hlm. 114.

(51)

keluarga. Orang menganggap diri mereka sebagai anggota dari suatu keluarga besar dan secara relatif dependan satu sama lain dalam perjuangan mencari makan dan perjuangan demi kelangsungan hidup.

Mereka memikul secara bersama sesuatu yang terjadi di masa lalu dan berpandangan bahwa semua yang terjadi itu karena sudah takdirnya demikian.

Dengan masyarakat yang kompleks dan solidaritas organik, hukum menjadi lebih daripada sekadar pencerminan kekejaman yang didasarkan pada pelanggaran moralitas yang digunakan. Banyak segi dari hukum refresif dijumpai di dalam masyarakat kompleks. Tetapi pertumbuhan kuantitas dan spesialisasi hukum dikembangkan untuk menjamin lebih rumitnya hubungan sosial dan pranata-pranata yang membutuhkan individu-individu yang aktif dan memiliki keterampilan khusus, yang independen dari kepercayaan dan praktik yang bersandar pada kekolektivisan.

G. Bentuk Masyarakat Hukum Adat

Bentuk masyarakat adat dapat dilihat dari faktor-faktor yang membentuknya, beberapa faktor tersebut diantaranya adalah52:

a). Persekutuan Hukum Geneologis

Dasar pengikat utama anggota kelompok adat ini adalah persamaan dan keturunan. Artinya anggota-anggota kelompok ini terikat karena merasa berasal dari nenek moyang yang sama.

52Dewi Wulansari. Op.cit. 25.

(52)

Para sarjana ahli hukum adat kemudian membagi masyarakat ini ke dalam tiga golongan antara lain:

1) Masyarakat yang patrilineal

Pada masyarakat yang patrilineal ini susunan masyarakatnya ditarik menurut garis keturunan bapak(garis laki-laki). Yang termasuk ke dalam masyarakat patrilineal ini misalnya orang Batak, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian.

2) Masyarakat yang matrilineal

Pada masyarakat matrilineal ini susunan masyarakatnya ditarik menurut garis keturunan Ibu, yang termasuk ke dalam masyarakat matrilineal ini adalah kelompok masyarakat adat Minangkabau.

3) Masyarakat yang bilateral atau parental

Pada masyarakat ini susunan masyarakatnya ditarik dari keturunan orang tuanya yaitu bapak dan ibu bersama-sama sekaligus. Jadi hubungan kekerabatan antara pihak bapak dan pihak ibu berjalan seimbang atau sejajar. Masyarakat golongan ini menyebar di wilayah Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.

b). Persekutuan Hukum Teritorial

Mengenai persekutuan hukum teritorial yang dimaksud di atas, dasar pengikat utama anggota kelompoknya adalah daerah kelahiran dan menjalani kehidupan bersama di tempat yang sama.

(53)

Menurut van Dijk (1954) persekutuan hukum teritorial ini dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Persekutuan Desa (dorp)

Misalnya desa orang Jawa yang merupakan suatu tempat kediaman bersama didalam daerahnya sendiri termasuk beberapa pedukuhan yang terletak disekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa53.

2. Persekutuan daerah (streek)

Yang termasuk persekutuan daerah adalah seperti kesatuan masyarakat ”Nagari” di Minangkabau ”marga” di Sumatera Selatan di masa lampau yang merupakan suatu daerah kediaman bersama yang menguasai tanah hak ulayat bersama yang terdiri dari beberapa dusun atau kampung dengan satu pusat pemerintahan adat bersama54.

3. Perserikatan dari beberapa desa

Apabila diantara beberapa desa atau marga yang terletak berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerja sama untu mengatur kepentingan bersama, misalnya kepentingan dalam mengatur pemerintahan adat bersama, pertahanan bersama, kehidupan ekonomi, dan pertanian.

53Ibid, hlm. 28.

54Ibid, hlm. 28.

(54)

c). Persekutuan Hukum Geneologis-Teritotial

Persekutuan hukum ini para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman daerah tertentu tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian daerah dan atau kekerabatan.

H. Karakteristik Masyarakat Hukum Adat 1. Sifat Masyarakat Hukum Adat

Hukum adat di Indonesia memiliki sifat dan corak khas yang berbeda dengan hukum-hukum lainnya. Hukum adat bersifat fragmatisme-realisme yang artinya hukum adat mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religious sehingga hukum adat memenuhi suatu fungsi sosial/keadilan sosial55. Menurut F.D. Holleman dalam bukunya De Commune Trek In Het Indonesischeven, mengatakan ada empat sifat umum dari masyarakat adat yaitu:

a). Magis-Religius

Hukum adat bersifat magis-religius dapat diartikan bahwa hukum adat pada dasarnya berkaitan pada persoalan Magis dan Spritualisme (kepercayaan terhadap hal-hal gaib) yakni keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Dalam hal ini masyarakat harus berupaya mencegah terjadinya disharmonisasi, artinya masyarakat harus selalu membina

55A.Suriyaman Mustari Pide dan Sri Susyanti Nur, op.cit, hlm.11.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menangani permasalahan terkait rumah tidak layak huni yang dimiliki oleh kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pemerintah kota Bandung menjalankan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; 1) ada tujuh aspek yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan media pembelajaran keterampilan menyimak pada pembelajaran BIPA, 2)

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Dari hasil analisis data dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain tingkat ketepatan pengetahuan istilah siswa pada materi permainan bola besar sebagian besar

Metode Observasi ini digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan implementasi dan hambatan metode pembiasaan berbasis budaya sekolah untuk meningkatkan karakter

Berdasarkan nilai IDR gula kristal putih yang disajikan pada Tabel 4, terlihat bahwa Indonesia memiliki ketergantungan impor gula jenis gula kristal putih. Pada

Aktivitas air menunjukkan jumlah air di dalam pangan yang digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Mikroba mempunyai kebutuhan aktivitas air minimal yang

Hasil penelitian ini adalah terwujudnya perangkat lunak server pengisian ulang pulsa otomatis berbasiskan web yang dapat diaplikasikan sebagai server yang melayani pembelian