• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Deskripsi Kawasan

2.7 Isu Strategis, Kendala, dan Permasalahan

Sebagian lahan pada HP Batang Asai dan HP Sungai Kutur serta HL Hulu Landai bukit Pale telah berubah menjadi lokasi pemukiman masyarakat dan kebun. Pada tahun 2005, berdasarkan hasil inventarisasi kawasan HP Batang Asai dan HP Sungai Kutur oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun diperoleh hasil 25 % kawasan hutan telah berubah fungsi menjadi pemukiman, perkebunan karet dan sawit, fasilitas umum dan persawahan.

Pokok permasalahan kawasan di KPHP Unit VII-Hulu di Kabupaten Sarolangun adalah kebutuhan lahan yang disebabkan kurangnya lahan garapan dan kebutuhan kayu untuk kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga mengakibatkan mendorong terjadinya praktek illegal logging dan perambahan hutan di hampir seluruh kawasan hutan terutama yang sangat berdekatan dengan perkampungan penduduk dan kebun garapan masyarakat.

Disamping itu perambahan dan perladangan oleh masyarakat, lebih didorong oleh motif ekonomi dan penguasaan atas sumber daya lahan. Korelasi permasalahaannya adalah kemiskinan masyarakat sekitar kawasan

hutan. Hal ini berhubungan dengan persoalan akses yang terbatas, terutama dalam hal memperoleh sumber penghasilan. Disamping itu masih terdapat persoalan lain seperti ketersediaan air, tata batas kawasan dan konflik horizontal pemanfaatan kawasan.

Salah satu ketertinggalan fungsi produktifitas masyarakat mengakses potensi sumber daya hutan adalah teknologi kehutanan yang masih tertinggal dibanding sektor lain serta pelaksanaan pembangunan kehutanan yang bersifat konvensional merupakan kendala dalam pengelolaan hutan.

Isu strategis dan kendala serta permaslahan yang ada di KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun dikelompokkan ke dalam beberapa aspek, yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek kelembagaan.

2.7.1. Aspek Ekologi

a. Belum tersedianya rencana pengelolaan yang mantap.

b. Belum adanya data/informasi secara detail mengenai kawasan hutan, yang meliputi potensi hutan (kayu, non kayu, jasa lingkungan dan wisata alam), kondisi dan permasalahan sosekbud masyarakat sekitar hutan.

c. Banyak kawasan hutan yang kondisinya kritis berupa (lahan terbuka, semak belukar dan hutan sekunder dengan potensi rendah, sebagai akibat perambahan, peladangan, dan penyerobotan kawasan hutan).

d. Adanya permasalahan tenurial di dalam kawasan, misalnya adanya perkebunan kelapa sawit yang disinyalir berada di dalam kawasan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun dan adanya pemukiman masyarakat di dalam kawasan. Permasalahan ini menjadi salah satu isu penting dalam pengelolaan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun, karena kemantapan kawasan merupakan syarat bagi terjaminnya pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

e. Terjadnya gangguan keamanan hutan dalam bentuk perambahan, ilegal logging, penguasaan lahan, perladangan dan lainnya.

2.7.2 Aspek Ekonomi

Aspek ekonomi merupakan salah satu aspek yang penting untuk diperhitungkan dalam pembangunan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun. Kesejahteraan masayarakat sekitar hutan secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi keamanan hutan. Kemiskinan dapat menjadi pendorong kegiatan illegal di dalam kawasan hutan. Selain itu, kebutuhan akan lahan untuk pembangunan non kehutanan yang semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan hidup juga dapat mengancam keberadaan hutan. Permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun meliputi :

a. Akses pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam guna memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi jasa hutan belum dikembangkan secara optimal.

b. Belum dikembangkannya jenis-jenis tanaman yg bernilai ekonomis tinggi untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraannya dan mendorong kemandirian pengelolaan KPH.

c. Belum dikembangkannya akses pasar hasil hutan, khususnya HHBK.

d. Rendahnya insentif dan bantuan modal dari pemerintah dan sektor swata untuk mengembangkan usaha di bidang kehutanan.

e. Masih terbatasnya infrastruktur di wilayah KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun untuk mendukung berkembangnya kegiatan ekonomi.

2.7.3 Aspek Sosial Budaya

Keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat tapak sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Masyarakat di sekitar kawasan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun mempunyai keterikatan yang tinggi terhadap sumberdaya hutan didekatnya. Sejauh ini permasalahan yang dihadapi dalam aspek sosial budaya, diantaranya :

a. Masyarakat sekitar hutan sebagian besar belum mengetahui keberadaan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun di sekitar mereka.

b. Rendahnya pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap usaha-usaha konservasi, perlindungan dan pemeliharaan kawasan hutan. Selama ini masyarakat menganggap hutan hanyalah sebagai cadangan lahan baru untuk bertani dan berkebun, sumber kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar, pangan dan obat-obatan.

c. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lahan dikawasan hutan dan peningkatan nilai tambah hasil-hasil hutan, khususnya HHBK.

d. Belum diakuinya secara yuridis (formal) keberadaan masyarakat adat beserta nilai-niai kearifan lokalnya, yang seharusnya menjadi bagian dalam kegiatan pengelolaan kehutanan, termasuk belum dilibatkannya tokok-tokoh kunci dalam masyakat seperti tokoh agama dan tokoh adat.

2.7.4 Aspek Kelembagaan

Salah satu ketidakberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dikarenakan lemahnya kelembagaan pengelolaan di tingkat tapak. Permasalahan lemahnya kelembagaan yang dihadapi oleh KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun, tidak hanya berpusat pada organisasi KPHnya tetapi juga lemahnya kelembagaan di masyarakat sekitar kawasan. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi, diantaranya :

a. Belum adanya sarana dan prasarana lengkap yang mendukung beroperasinya kelembagaan KPH sampai tingkat lapangan, seperti halnya perlengkapan dan peralatan kerja dan sarana prasarana lainnya.

b. Kelembagaan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun berbentuk Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun, sehingga secara otomatis mempunyai tugas dan fungsi pengurusan hutan. Sedangkan berdasarkan PP no 6 tahun 2007, jo. PP 3 Tahun 2008 serta Permenhut no P.6/Menhut-II/2010, menegaskan bahwa KPH mempunyai tugas dan fungsi sebagai pengelola (pemangku) kawasan hutan. Konsekuensinya adalah arah kebijakan yang dijalankan dalam

lingkup pengurusan hutan, serta system penganggarannya belum mandiri karena bergantung pada bidang-bidang Dinas Kehutanan Kabupaten Unit VII-Hulu Sarolangun.

c. Struktur organisasi belum mencerminkan organisasi pengelolaan hutan sampai tingkat tapak. Karena dalam struktur organisasi tersebut belum ada bagian/ resort pengelolaan hutan dilapangan.

d. Jumlah personil KPH masih terbatas

e. Masih rendahnya kapasitas SDM yang ada dalam pengelolaan hutan. f. Belum terbangunnya sistem data dan informasi SDH kawasan.

g. Keterbatasan tata hubungan kerja, karena tata hubungan kerja sebagai UPTD harus dilakukan melalui dinas kehutanan terkait, sehingga kurang sesuai dengan tugas dan sifat pekerjaan KPH yang menuntut akselerasi kerja dan meningkatkan intensitas kerjasama dengan lembaga lain.

h. Rendahnya kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan sehingga berpengaruh terhadap perekrutan masyarakat sebagai tenaga lapangan dalam pengelolaan hutan di kawasan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun.

i. Belum kuatnya kelembagaan ekonomi masyarakat sekitar hutan dalam rangka menopang perekonomian masyarakat.

Merujuk kepada berbagai permasalahan yang telah diulas diatas maka yang menjadi isu strategis bagi KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun untuk segera ditindaklanjuti, antara lain :

a. Belum ada rencana pengelolaan hutan yang mantap

b. Adanya pengelolaan sebagian kawasan hutan di wilayah KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun yang tidak sesuai dengan fungsi hutan, yaitu untuk perkebunan kelapa sawit.

c. Masih banyaknya lahan kritis

d. Kondisi masyarakat di lingkar kawasan hutan yang masih miskin.

e. Persepsi masyarakat sekitar hutan yang memandang hutan hanya dari fungsi ekonomis, belum memahami fungsi ekologis dari hutan.

BAB. III

Dokumen terkait