• Tidak ada hasil yang ditemukan

KPHP UNIT VII HULU RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHP MODEL UNIT VII HULU KABUPATEN SAROLANGUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KPHP UNIT VII HULU RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHP MODEL UNIT VII HULU KABUPATEN SAROLANGUN"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN

KABUPATEN SAROLANGUN

KPHP UNIT VII – HULU

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

KPHP MODEL UNIT VII – HULU

KABUPATEN SAROLANGUN

(2)
(3)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Hutan di dalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit VII - Hulu Sarolangun yang berada di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi telah mengalami banyak persoalan yang terkait dengan pengelolaannya. Kebakaran Hutan, perambahan hutan, dan pembalakan liar masih terus menjadi tantangan hingga saat ini. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi memerlukan model dan strategi pengelolaan yang tepat dan efektif.

Dibentuknya Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit VII -Hulu Sarolangun merupakan aksi nyata di dalam upaya mempercepat penyelesaian masalah hutan dan konflik yang ada di dalamnya. Hadirnya lembaga ini dalam kerangka memastikan adanya pengelolaan hutan di tingkat tapak/lapangan. Pembagian peran antara institusi pengurusan hutan (Dinas Perkebunan dan Kehutanan) dan institusi pengelolaan hutan (KPH) diharapkan dapat memperkuat efektifitas dan efisiensi kegiatan di bidang kehutanan. Dengan cara ini, arah menuju pengelolaan hutan yang lestari (sustainable forest management) lebih jelas dan mudah di ukur.

Salah satu bagian awal dari penyiapan pengelolaan kawasan hutan adalah penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan baik jangka panjang (10 tahun) maupun jangka pendek (tahunan). Penyusunan pengelolaan jangka panjang diperlukan untuk menjadi acuan rencana kerja di tingkat tapak dalam bentuk unit-unit pengelolaan hutan (KPH) yang akan mengelola hutan secara terintegrasi melalui kaidah-kaidah pengelolaan hutan yang dapat menjamin keberlangsungan fungsinya sebagaimana yang dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan SK Menhut No. SK. 714/MenhutII/2011, KPHP Unit VII -Hulu Sarolangun seluas + 121.102 ha. Areal yang berhutan masih mencapai 60%. Tanaman budidaya yang mencakup pertanian campuran, kebun karet masyarakat sudah mencapai lebih dari 10 % dari luas total. Kedepan tekanan dan gangguan terhadap kawasan hutan KPHP Model Unit VII - Hulu Sarolangun Sarolangun akan semakin tinggi sejalan dengan semakin luas dan banyaknya aktivitas illegal di dalam kawasan areal KPHP Unit VII - Hulu Sarolangun.

KPHP Model Unit VII - Hulu Sarolangun memiliki ragam bentuk pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Dalam pemanfaatan hutan, saat ini ada dua perusahaan pemegang ijin usaha pemanfaatan kawasan hutan (IUPHHK-HT) dan satu ijin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), kedepan ada beberapa perusahaan atau lembaga yang mengajukan proses perijinan.

Wilayah KPHP Model Unit VII - Hulu Sarolangun secara ekologis ke depan diproyeksikan akan mengalami tekanan ke arah deforestasi dan degradasi karena aktivitas illegal seperti perambahan hutan dan pembalakan liar. Eksistensi kawasan ini juga akan mengalami tekanan kerusakan yang dapat diakibatkan oleh konversi lahan menjadi lokasi pemukiman dan pertambangan. Untuk itu penanganan masalah ini secara terpadu dan komprhensif sangatlah diperlukan.

(4)

Secara ekonomi, adanya akses yang mudah dan banyaknya kegiatan usaha yang berkembang di sekiar KPHP Model Unit VII - Hulu Sarolangun akan memberikan multiplier effect yang cukup positif.

Ada 52 desa yang terletak di sekitar kawasan hutan KPHP Model Unit VII - Hulu Sarolangun. Secara sosial budaya, masyarakat di desa-desa ini umumnya masih memegang teguh nilai-nilai adat. Ketergantungan dan tingkat kepentingan terhadap kawasan hutan masih tinggi. Ke depan, tekanan terhadap penguasaan terhadap lahan yang berada di dalam kawasan oleh masyarakat akan terus terjadi sejalan dengan perluasan ijin konsesi oleh perusahaan. Dengan demikian akan ada peningkatan potensi terjadinya konflik sosial. Terhadap pengusahaan lahan di dalam kawasan KPHP Model Unit VII - Hulu Sarolangun perlu diarahkan pada model Hutan Adat, Hutan Tanaman, Hutan Desa. Perluasan kesempatan dan akses masyarakat lokal dalam pemanfaatan kawasan hutan yang ada disekitarnya akan mampu meminimalkan konflik sosial yang mungkin terjadi. Kondisi ini juga pada masa depan akan turut menjamin pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Berdasarkan arah, tujuan dan sasaran pembangunan provinsi dan kabupaten serta memperhatikan kondisi, potensi dan permasalahan di dalamnya maka Rencana pengelolaan KPHP Model Unit VII - Hulu Sarolangun yang utama adalah optimalisasi akses semua pihak termasuk masyarakat sekitar kawasan KPHP model Unit VII - Hulu Sarolangun sebagai salah satu jalan bagi resolusi konflik sumberdaya hutan demi tercapainya pengelolaan berkelanjutan. Visinya adalah “ Hutan Lestari KPHP Mandiri ”. Sedangkan misi yang akan dijalankan adalah Mendukung peningkatan kontribusi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan terhadap kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah, Menjamin kelestarian fungsi ekologis hutan sekaligus sebagai zona lindung dan penyangga wilayah bawah Kabupaten Sarolangun, Membangun kelembagaan pengelolaan kawasan hutan berbasis bisnis yang kokoh dan kuat, Meningkatkan peluang partisipasi para pihak terutama masyarakat setempat dalam mengakses sumber daya hutan dalam berbagai skema pengelolaan, Mempertahankan nilai-nilai adat sebagai warisan dalam upaya mempertahankan dan melestarikan hutan, Menjadikan kawasan KPHP sebagai salah satu sentra research (penelitian) ekosistem hutan tropis di Provinsi Jambi.

(5)

KATA PENGANTAR

Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Unit VII-Hulu selanjutnya disebut KPHP Model Unit VII-Hulu, adalah suatu kesatuan manajemen terkecil dari kawasan Hutan Produksi Sarolangun yang dikelola berdasarkan azas kelestarian dan azas perusahaan, agar kegiatankegiatan pengusahaan hutan dapat terselenggara secara berkelanjutan.

Untuk mencapai tingkat hasil seperti yang diharapkan maka dalam kawasan hutan produksi ini perlu disusun suatu Rencana Pengelolaan.Rencana Pengelolaan Hutan ini merupakan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka panjang selama 10 tahun yang berisikan kerangka umum untukpen gelolaan hutan yang bersifat utuh dan menyeluruh, memuat seluruh aspek kegiatan dalam lingkungan termasuk keadaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar KPHP Model Unit VII-Hulu. Hal ini diharapkan akan menjadi panduan makro bagi pelaksanaan kegiatan pengelolaan kawasan hutan di dalam wilayah KPHP Model Unit VII-Hulu. Selain itu, dokumen ini juga menjadi arahan umum bagi semua pelaku ijin usaha yang ada dan beroperasi di dalam kawasan KPHP Model Unit VII-Hulu. Karena Rencana Pengelolaan ini merupakan integrasi dari semua kondisi, potensi, status, kegiatan dan permasalahan yang ada di dalam semua wilayah KPHP Model Unit VII-Hulu.

Selain itu penyusunan, penilaian dan pengesahan telah mengikuti alur peraturan perundangan yang berlaku. Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan ini diucapkan terima kasih, semoga Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHP Model Unit VII-Hulu ini mampu diterjemahkan dengan mudah dan dapat dioperasionalkan pada tingkat tapak/lapangan.

Sarolangun, November 2013 Kepala KPHP Model Unit VII-Hulu

Misriadi, SP. M.Sc

(6)

DAFTAR ISI

Teks Hal

Lembar Pengesahan

Ringkasan eksekutif ... i

Kata pengantar... iii

Daftar isi ... iv

Daftar Tabel ... ... viii

Daftar Lampiran... ix

Daftar Gambar ... x

BAB I. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Maksud dan Tujuan ... 2

1.3 Sasaran ... ... 3

1.4 Ruang Lingkup ... 3

1.5 Batasan Pengertian ... 4

BAB II Deskripsi Kawasan ... 9

2.1 Risalah Wilayah ... 9 2.1.1 Letak ... ... 9 2.1.2 Luas ... ... 9 2.1.3 Aksesibilitas ... 10 2.1.4 Batas ... ... 11 2.1.5 Topografi ... 12

2.1.6 Geologi dan Jenis Tanah ... 13

(7)

2.1.8 Sejarah Wilayah KPHP ... 15

2.1.9 Pembagian Blok Wilayah KPHP ... 16

2.2 Potensi Sumberdaya Hutan... ... 18

2.2.1 Penutupan lahan ... ... 18

2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat ... 20

2.3.1 Kondisi sosial Ekonomi... 20

2.3.1 Kondisi Sosial Budaya…... 22

2.4 Ijin Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan... 23

2.4.1 Ijin Pemanfaatan Hutan ... 23

2.4.2 Ijin Penggunaan Kawasan Hutan ... 24

2.5 Kondisi KPHP dalam Tata Ruang dan Pembangunan Daerah 25 2.5.1 Perspektif Tata Ruang ... 25

2.5.2 Perspektif Pembangunan Daerah ... 27

2.6 Pembangunan Kehutanan di Wilayah KPHP... 28

2.7 Isu Strategis, Kendala, dan Permasalahan... 29

2.7.1 Aspek Ekologi………... 30

2.7.2 Aspek Ekonomi……….…………... 31

2.7.3 Aspek Sosial Budaya……..………... 31

2.7.4 Aspek Kelembagaan………... 32

BAB III Visi dan Misi ... 34

3.1 Visi Pengelolaan KPHP Model Unit VII - Hulu ... 34

3.2 Misi Pengelolaan KPHP Model Unit VII - Hulu... 37

3.3 Capaian Tujuan yang diharapkan………. 38

BAB IV Analisis dan Proyeksi ... 40

(8)

4.1.1 Pembangunan Kehutanan………. …….. 40

4.1.2 Potensi ………... 40

4.1.3 Kondisi Sosial, ekonomi dan budaya………... 41

4.1.4 Dasar Pembagian KPHP Limau Unit VII - Hulu... 42

4.1.5 Manfaat ……... .. 43

4.2 Proyeksi Kondisi Wilayah………. 44

4.2.1 Proyeksi rencana kelola KPHP... 44

1. Kelola Kawasan ... 44

2. Kelola Produksi ... 46

3. Kelola Kelembagaan... 48

BAB V Rencana Kegiatan ... 49

5.1 Inventarisasi dan Penataan Hutan Berkala ... 49

5.2 Pemanfaatan Hutan pada Wilayah tertentu ... 55

5.3 Pemberdayaan Masyarakat ... 60

5.4 Pembinaan dan pemantauan Areal yang telah ada Ijin ... 64

5.5 Penyelenggaraan Rehabilitasi di Areal di Luar Ijin ... 65

5.6 Pembinaan dan Pemantauan Rehabilitasi pada Areal yang Berijin... 66

5.7 Perlindungan dan Konservasi Alam... 67

5.8 Koordinasi dan Sinkronisasi Antar Pemilik Ijin... 69

5.9 Koordinasi dan Sinkronisasi dengan Stakeholder terkait... 70

5.10 Penyediaan dan peningkatan Kapasitas Sumberdaya ... 70

5.11 Pendanaan ... . 71

5.12 Sarana dan prasarana ... . 73

(9)

5.14 Rasionalisasi Wilayah Kelola... 74

5.15 Review Rencana Pengelolaan... 76

5.16 Pengembangan Investasi ... 76

Tabel Rencana Kegiatan Pengelolaan Hutan ... 77

BAB VI Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian... 84

6.1 Pembinaan ... ... 84

6.2 Pengawasan... ... 84

6.3 Pengendalian... 85

BAB VII Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan... 86

8.1 Pemantauan ... ... 86

8.2 Evaluasi ... ... 86

8.3 Pelaporan ... ... 87

BAB VIII Penutup... 88

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Luas Kawasan Hutan di KPHP Unit VII-Hulu……… ... 10

Tabel 2.2. Jumlah Desa di KPHP Model Unit VII……… 12

Tabel 2.3. Jenis Tanah di Wilayah KPHP Unit VII-Hulu………. 14

Tabel 2.4. Curah Hujan di Wilayah KPHP Unit VII-Hulu……… 14

Tabel 2.5. Luas Tata Hutan Berdasarkan Fungsi Pemanfaatan Kawasan KPHP Unit VII-Hulu………... 17

Tabel 2.6 Luas Tutupan Lahan di KPHP Unit VII-Hulu………... 18

Tabel 2.7 Jumlah Penduduk di KPHP Unit VII-Hulu… ………... 21

Tabel 2.8. Sebaran Kawasan Hutan di Kabupaten Sarolangun……… 26

Tabel 5.1. Tata Waktu Inventarisasi Berkala dan Penataan hutan di KPHP Unit VII-Hulu……….. 50

Tabel 5.2. Hutan Adat di KPHP Unit VII-Hulu………. 55

Tabel 5.3. Luas Tata Hutan berdasarkan Fungsi Pemanfaatan Kawasan di KPHP Unit VII-Hulu………. 53

Tabel 5.4. Tata Waktu Kegiatan Pemanfaatan Kawasan Hutan di KPHP Unit VII-Hulu………. 56

Tabel 5.5. Tata Waktu Pemberdayaan masyarakat Kawasan Hutan di KPHP Unit VII-Hulu………. 63

Tabel 5.6. Tata Waktu Pemantauan Pada Areal KPHP yang ada Ijin ….……… 64

Tabel 5.7 Tata Waktu Rehabilitasi Lahan…..……… 66

Tabel 5.8. Tata Waktu Pembinaan dan Pemantauan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan pada Areal yang ada ijin……….……… 67

Tabel 5.9. Tata Waktu Perlindungan dan Konservasi Alam….……… 69

Tabel 5.10 Tata Waktu Koordinasi dan Sinkronisasi………. 70

Tabel 5.11 Tata Waktu Penyedian dan Peningkatan Kapasitas SDM...………… 71

Tabel 5.12 Tata Waktu Kegiatan Penyediaan Dana.……… 72

Tabel 5.13 Tata Waktu Kegiatan Pengembangan Data Base.……… 74

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Pemanfaatan KPHP Limau Unit VII - Hulu ………. Lampiran 2. Peta Arahan KPHP Unit VII-Hulu ……….…………. Lampiran 3. Peta Hutan Adat KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun……. ... …… Lampiran 4. Peta Kemiringan Lereng di Wilayah KPHP Unit VII-Hulu………….. Lampiran 5. Peta Penggunaan Lahan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun………… Lampiran 6. Peta Tata Hutan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun….………. .. …… Lampiran 7. Peta Kerja Wilayah KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun……….. Lampiran 8. Peta Wilayah KPHP Limau Unit VII - Hulu ……….. Lampiran 9. Peta Kelompok Hutan KPHP Unit VII-Hulu ………..…...…………. Lampiran 10. Peta Aksesibilitas Wilayah KPHP Limau Unit VII - Hulu ………….. Lampiran 11. Peta Curah Hujan Wilayah KPHP Limau Unit VII – Hulu.………… Lampiran 12. Peta Geologi Wilayah KPHP Limau Unit VII - Hulu …………..…… Lampiran 13. Peta Lahan Kritis Wilayah KPHP Limau Unit VII - Hulu ……..……. Lampiran 14. Peta Potensi Wilayah KPHP Limau Unit VII - Hulu ……… Lampiran 15. Peta Penutupan Lahan Wilayah KPHP Limau Unit VII - Hulu ……. Lampiran 16. Peta Pemanfaatan Wilayah tertentu KPHP Limau Unit VII – Hulu.. Lampiran 17. Peta Indikatif Kawasan Hutan Batang Asai……... ……. Lampiran 18. Peta Indikatif Kawasan Hutan Limun………..………….. Lampiran 19. Peta Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan KPHP.…………..…………. Lampiran 20. Peta IUPHHK - HTI Kawasan Hutan KPHP………..…………... Lampiran 21. Matrik Rencana KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun……… Lampiran 22. Hutan Desa di Wilayah KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun……… Lampiran 23. Hutan Desa di Wilayah KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun………

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK. 77/Menhut-II/2010 tanggal 10 Februari 2010 tetang penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Provinsi Jambi meliputi area dengan luas ± 1.458.934 ha terdiri dari HL dengan luas ± 175.483 HP dengan luas ± 981.530 ha, HPT dengan luas ±301.922.

Dari Keputusan Menhut tersebut, di Kabupaten Sarolangun terdapat dua KPH yaitu KPHP Unit VII dan KPHP Unit VIII. Selanjutnya KPHP (Unit VII) telah ditetapkan sebagai KPHP Model sesuai SK Menhut Nomor SK. 714/Menhut-II/2011 tanggal 19 Desember 2011 dengan luas ± 121.102 ha, terdiri dari Hutan Lindung 54.793 ha, Hutan Produksi Tetap 22.502 ha dan Hutan Produksi 43.807 ha. Secara administratif, KPHP Unit VII-Hulu terletak di Kabupaten Sarolangun. Kawasannya terdiri dari beberapa kelompok hutan produksi yaitu HP Batang Asai, HP Sungai Kutur dan HL Hulu Landai Bukit Pale.

Kondisi kawasan hutan KPHP Unit VII-Hulu menghadapi banyak persoalan. Di tingkat lapangan terjadi perambahan baik untuk pemukiman maupun usaha perkebunan masyarakat. Adanya tumpang tindih antara ijin usaha perkebunan dan kawasan KPHP Unit VII-Hulu belum terselesaikan. Berakhirnya ijin atau dicabutnya beberapa konsesi pemanfaatan hasil hutan kayu satu dekade yang lalu telah mengakibatkan kian tingginya tekanan terhadap kerusakan hutan di areal KPHP Unit VII-Hulu. Ketiadaan pengelola kawasan hutan di tingkat tapak telah membuat kawasan hutan semakin “open access”.

Menilik tantangan yang dihadapi maka pada tingkat lapangan diperlukan perencanaan pengelolaan hutan yang baik. Perencanaan pengelolaan KPHP memerlukan kuantifikasi dan formulasi strategi dan program kerja, struktur organisasi dan aspek finansial untuk menyiapkan kondisi pemungkin pelaksanaan

(14)

agar dapat dimonitor, dilaporkan dan diverifikasi dalam suatu basis unit-unit kelestarian yang permanen.

Dengan adanya rencana pengelolaan jangka panjang yang mantap maka akan memudahkan penyusunan rencana pengelolaan jangka pendek yang lebih terukur. Memperhatikan kondisi kawasan hutan KPHP Unit VII-Hulu, perlu segera disusun dokumen perencanaan yang mampu mencerminkan kondisi saat ini dan gambaran kawasan hutannya dalam dasa warsa kedepan. Rencana pengelolaan jangka panjang 10 (sepuluh) tahun bersifat komprehensif dan indikatif yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan jangka pendek dan rencana-rencana teknis yang lebih operasional di tingkat lapangan.

Dalam kerangka inilah dokumen Rencana Pengelolaan KPH Model Unit VII – Hulu disusun sebagai acuan rencana kerja di tingkat tapak dalam bentuk unit-unit pengelolaan hutan yang akan mengelola hutan secara terintegrasi melalui kaidah-kaidah pengelolaan hutan yang dapat menjamin keberlangsungan fungsinya (Sustainable forest management) sebagimana yang dimandatkan dalam peraturan perundangan.

1.2. Maksud dan Tujuan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPH-JP) KPHP Unit VII-Hulu dimaksudkan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan pada Wilayah KPHP Unit VII-Hulu selama 10 (sepuluh) tahun dari 2014-2023.

Adapaun tujuan penyusunan dokumen RPH-JP KPHP Unit VII-Hulu adalah sebagai berikut :

1. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan hutan yang memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi yang berkelanjutan melalui pengelolaan kawasan dan seluruh potensinya secara komprehensif.

2. Mewujudkan suatu rencana pengelolaan hutan yang mempertimbangkan dan memperhatikan potensi dan kekhasan KPHP Unit VII-Hulu

(15)

3. Mewujudkan Pengelolaan hutan yang efektif dan efisien

4. Menjamin terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan yang optimal

5. untuk menjadi acuan bagi rencana pengelolaan jangka pendek dan rencana-rencana teknis pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan KPHP Unit VII-Hulu di tingkat tapak.

6. Menjadi acuan unutk melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

7. Memudahkan dalam pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

1.3 Sasaran

Tersusunnya rencana pengelolaan KPHP Model Unit VII-Hulu, yang mencakup kawasan hutan produksi seluas 121.102 ha yang terdiri dari kelompok HP Batang Asai, HP Sungai Kutur dan HL Hulu Landai Bukit Pale.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang meliputi aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya, yang datanya diperoleh dari data informasi hasil inventarisasi hutan dan penataan hutan serta sumber data lainnya, baik data primer ataupun data sekunder.

Unsur-unsur materi yang disusun mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.5/VII-WP3H/2012 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHP Unit VII-Hulu meliputi:

1. Pendahuluan;

2. Deskripsi kawasan yanbg didalamnya terdapat informasi risalah wilayah KPH, potensi wilayah KPH, data informasi sosial budaya, serta data informasi perijinan yang telah ada;

(16)

3. Visi dan Misi dalam Pengelolaan hutan;

4. Analisis dan proyeksi, yang memuat analisa data dan informasi yang saat ini tersedia baik primer maupun sekunder serta proyeksi kondisi wilayah KPH dimasa yang akan datang;

5. Rencana kegiatan, yang memuat rencana kegiatan strategis selama jangka waktu pengelolaan antara lain: inventarisasi berkala wilayah kelola serta penataan hutannya, pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu, pemberdayaan masyarakat, pembinaan dan pemantauan (controlling) pada areal KPH yang telah ada ijin pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan dan penyelenggaraan rehabilitasi pada areal di luar ijin;

6. Pembinaan dan pemantauan (controlling) pelaksanaan rehabilitasi dan reklamasi pada areal yang sudah ada ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutannya, penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam, penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang ijin, koordinasi dan sinergi dengan instansi dan stakeholder terkait, penyediaan dan peningkatan kapasitas SDM, penyediaan pendanaan, pengembangan data base, rasionalisasi wilayah kelola, review rencana pengelolaan dan pengembangan investasi;

7. Selain itu dalam dokumen ini juga memuat yang terkait dengan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian serta pemantauan evaluasi dan pelaporan.

1.5 Batasan Pengertian

1. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU 41 tahun 1999).

3. Tata Hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam pelaksanaannya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena kesejarahannya dan keadaan hutan. Tata hutan mencakup

(17)

kegiatan pengelompokan hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung di dalamnya, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Blok-blok dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Berdasarkan blok dan petak disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.

4. Areal tertentu adalah suatu areal tertentu, dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan/atau kawasan hutan konservasi dapat ditetapkan sebagai hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan adat, atau kawasan untuk tujuan khusus, sehingga keeradaannya tidak lepas dari prinsip pengelolaan hutan lestari.

5. Wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya sehingga pemerintah perlu menugaskan Kepala KPH untuk memanfaatkannya. 6. Inventarisasi hutan adalah rangkaian kegiatan pengumpulan data untuk

mengetahui keadaan dan potensi sumber daya hutan serta lingkungannya secara lengkap.

7. Blok adalah bagian wilayah KPHP Unit VII-Hulu yang dibuat relatif permanen untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan.

8. Petak adalah bagian dari blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit usaha pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakukan pengelolaan atau silvikultur yang sama.

9. Anak Petak adalah bagian dari petak yang bersifat temporer, yang oleh sebab tertentu memperoleh perlakuan silvikultur atau kegiatan pengelolaan yang khusus.

10. Pengurusan Hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan yaitu perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan (UU 41 tahun 1999)

(18)

11. Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan, kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan.

12. Pengelolaan hutan adalah kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan dan konservasi alam.

13. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

14. Penggunaan kawasan hutan merupakan penggunaan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan.

15. Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. 16. Reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali

lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.

17. Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

18. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi oleh pemisah topografi berupa punggung bukit atau gunung yang berfungsi menampung air yang berasal dari hujan dan sumber-sumber air lainnya, menyimpan serta mengalirkannya ke danau atau laut secara alami.

(19)

19. Unit pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, seperti KPHP Unit VII-Hulu . Unit pengelolaan hutan merupakan kesatuan pengeloalan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 20. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan hutan

sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.

21. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual organisasi KPH di tingkat tapak.

22. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi. KPHP merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi pokoknya merupakan hutan produksi.

23. KPHP Unit VII-Hulu merupakan suatu hamparan lahan hutan yang secara geografis terpusat (tidak terpencar-pencar) yang terdiri dari satu atau lebih tipe tegakan, mengandung atau akan ditanami tumbuhan pohon (vegetasi) berada dalam satu kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS), dan berbentuk kesatuan kepemilikan dan/atau kesatuan perencanaan pengelolaan hutan untuk keperluan menerapkan suatu preskripsi manajeman hutan dengan tujuan pengusahaan hutan lestari.

24. Para pihak adalah pengelola KPHP Unit VII-Hulu, perwakilan pemerintah yang berwenang, serta perwakilan masyarakat penerima manfaat dan dampak pengelolaan KPHP Unit VII-Hulu. Partisipasi parapihak dapat berupa penyampaian informasi sebagai bentuk penyampaian informasi paling rendah, sampai dengan keterlibatan parapihak pada setiap tahapan proses penyusunan rencana pengelolaan.

25. Tata batas dalam wilayah KPHP Unit VII-Hulu adalah melakukan penataan batas dalam wilayah kelola KPHP Unit VII-Hulu berdasarkan pembagian blok dan petak.

(20)

26. Pemberdayaan masyarakat setempat merupakan kewajiban Pemerintah, Provinsi Jambi, kabupaten/kota yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Kepala KPHP Unit VII-Hulu. Kewajiban pelaksanaan pemberdayaan meliputi pendampingan penyusunan rencana pengelolaan areal pemberdayaan masyarakat, serta penguatan kapasitas atau kelembagaan.

27. Rencana pengelolaan hutan adalah konfigurasi peta situasi, visi misi, tujuan dan sasaran yang dijabarkan ke dalam resep atau arah manajemen strategi yang terpadu yang menyangkut kelola kawasan, kelola pemanfaatan hutan, kelola pasar, kelola konservasi dan kelola rehabilitasi-restorasi dalam kerangka pencapaian fungsi ekonomi lingkungan dan sosial yang optimal.

28. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang adalah Rencana Pengelolaan hutan pada tingkat strategi berjangka waktu 10 tahun atau seluruh jangka benah pembangunan KPH

29. Rencana pengelolaan Jangka pendek adalah rencana pengelolaan hutan berjangka waktu satu tahun pada tingkat keiatan operasional berbasis petak dan/atau zona dan/atau blok.

30. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

31. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

32. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekositemnya.

33. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

34. Hasil Hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.

(21)

BAB II

DESKRIPSI KAWASAN 2.1. Risalah Wilayah

2.1.1 Letak

Merujuk pada Penetapan Wilayah KPH Provinsi Jambi oleh Menteri Kehutanan melalui SK. Menhut Nomor SK. 77/Menhut-II/2010 tanggal 10 Februari 2010 terdapat 17 KPH di wilayah Provinsi Jambi meliputi area dengan luas ± 1.458.934 ha terdiri dari HL dengan luas ± 175.483 HP dengan luas ± 981.530 ha, HPT dengan luas ±301.922. Salah satu KPH tersebut adalah KPHP Model Unit VII-Hulu yang secara geografis terletak 102°46'12" sampai dengan 103°15’36" Bujur Timur dan 02°45’00" sampai dengan 03°16'48" Lintang Selatan.

Secara administrasi pemerintahan, wilayah KPHP VII terletak di 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Pelawan, Kecamatan Limun, Kecamatan Cermin Nan Gedang, dan Kecamatan Batang Asai. Batas-batas wilayah KPHP Unit VII-Hulu Unit VII Hulu adalah sebagi berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan APL dan HP Batang Asai (Kabupaten Merangin)

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumsel

- Sebelah Barat berbatasan dengan HL. Hulu Landai Bukit Pale (Kabupaten Merangin)

- Sebelah Timur berbatasan dengan APL

2.1.2. Luas

KPHP Unit VII-Hulu Unit VII di Kabupaten Sarolangun telah ditetapkan sebagai KPHP Model sesuai SK Menhut Nomor SK. 714/Menhut-II/2011 tanggal 19 Desember 2011 dengan luas ± 121.102 ha, terdiri dari :

(22)

- Hutan Produksi Tetap 22.502 ha - Hutan Produksi 43.807 ha

Tabel 2.1 Luas Kawasan Hutan di KPHP Model Unit VII-Hulu (SK Menhut Nomor SK. 714/Menhut-II/2011)

No Fungsi Hutan Luas

1 Hutan Lindung 54.793 ha

2 Hutan Produksi Tetap 22.502 ha

3 Hutan Produksi 43.807 ha

Jumlah 121.102 ha

Sumber : Disbunhut Kab. Sarolangun tahun 2013

Dari Tabel 2.1 di atas ada dua fungsi hutan yaitu hutan produksi dan hutan lindung, namun secara luasan didominasi oleh hutan produksi sehingga KPHnya berupa KPHP.

2.1.3 Aksesibilitas

Akses menuju KPHP ini dapat ditempuh melalui jalan darat dari ibukota kabupaten yaitu Sarolangun. Jarak terdekat dengan ibukota kabupaten adalah wilayah Pelawan dan Limun yang dapat ditempuh selama 20 menit sedangkan yang terjauh adalah wilayah Batang Asai dan hulu limun yang memerlukan perjalanan 5 jam.

Akses menuju desa-desa yang terdekat dengan kawasan KPHP Model Unit VII-Hulu umumnya jalan darat yang berupa jalan aspal dan jalan tanah. Pada beberapa tempat seperti di kawasan HP. Limun dan Batang asai (bukit raya), terdapat jalan aspal yang membelah kawasan hutan.

Infrastruktur yang terdapat di KPHP Model Unit VII-Hulu adalah adanya jalan yang mendukung kegiatan pengelolaan hutan. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa jalan menuju lokasi desa di sekitar KPHP Model Unit

(23)

VII-Hulu sebagian sudah jalan aspal dan sebagian lagi masih berupa jalan tanah, sehingga akses menuju lokasi harus dilalui dengan menggunakan kendaraan roda empat double gardan.

Transportasi memegang peranan penting dalam menunjang mobilitas masyarakat serta barang dan jasa yang keluar maupan masuk. Komunikasi dan penerangan saling mengkait dalam mendukung arus informasi di dalam dan keluar wilayah. Selain sarana transportasi sebagai aksesibilitas, perlu juga sarana komunikasi dan penerangan.

Namun sarana komunikasi dan penerangan sangat terbatas. Ketersediaan sarana transportasi, sarana komunikasi dan penerangan yang terbatas ini menyebabkan masyarakat merasa terisolasi untuk melakukan berbagai macam kegiatan, apalagi menyangkut transaksi dagang diantara desa-desa yang bertetangga. Untuk itu, sarana transportasi antar desa dan sarana penerangan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah sehingga mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh kebutuhan hidup lainnya serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dengan menjual hasil panennya ke desa-desa lain, kota kecamatan bahkan kota kabupaten.

2.1.4 Batas

Dilihat dari sejarahnya, kawasan HP. Batang Asai merupakan kawasan Register peninggalan jaman Belanda dan pernah dilaksanakan penataan batas. Adapun untuk wilayah HP. Batang Asai I dan HP. Bukit Pale Hulu Landai telah dilaksanakan penataan batas pada tahun 1998 sepanjang 75 km oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Jambi.

Kawasan KPHP Model Unit VII-Hulu juga berbatasan dengan cukup banyak desa-desa. Beberapa diantaranya merupakan desa transmigrasi (Trans Sungai Dingin). Bahkan beberapa pusat desa diantaranya berada dalam kawasan.

(24)

Tercatat ada 52 desa yang terpengaruh dengan keberadaan KPHP Model Unit VII-Hulu seperti pada tabel 2.2..

Sumber : BPS Kabupaten Sarolangun

Wilayah KPHP Model Unit VII-Hulu Sarolangun juga berbatasan dengan Kabupaten Merangin lebih tepatnya berbatasan dengan KPHP Lubuk Pekak Merangin. Selain itu KPHP Unit VII-Hulu berbatasan langsung dengan Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan.

2.1.5 Topografi

Dilihat dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 50.000, wilayah KPHP termasuk lahan kering dengan topografi bergelombang ringan sampai berat, dengan ketinggian 68 – 553 mdpl.

Berdasarkan Peta Kelas Lereng Provinsi Jambi dan berdasarkan pengamatan secara umum kawasan hutan KPHP Unit VII-Hulu mempunyai medan datar sampai dengan bergelombang dengan persentase kelerengan yang bervariasi yang terdiri dari 80 % areal bertopografi datar (0 - 8 %), 10 % Zz No Kecamatan Ibukota

Jumlah Desa/Kelurahan

2007 2010

Buah Buah

1. Batang Asai Pekan Gedang 20 20 2. Limun Pulau Pandan 13 13

4. Pelawan Pelawan 11 11 10 Cermin Nan Gedang Cermin Nan Gedang 8 8 Jumlah 52 52

(25)

bertopografi landai (8 – 15 %) dan 10 % areal bertopografi agak curam (15 – 25 %). Kawasan KPHP Limau (Unit VII) mempunyai ketinggian diantara 50 – 300 dari permukaan laut.

2.1.6 Geologi dan Jenis Tanah

Jenis tanah di wilayah Kabupaten Sarolangun cukup beragam di berbagai tempat. Rincian dari jenis-jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Sarolangun adalah sebagai berikut: podsolik, seluas 73,8 persen yang mayoritas terdapat dalam wilayah Kecamatan Mandiangin dan Limun, sedangkan sebagian lagi terdapat dalam Kecamatan Sarolangun, Batin VIII, Pauh, Air Hitam, Pelawan, Singkut dan Batang Asai. Latosol, seluas 20 persen terdapat dalam wilayah Kecamatan Batang Asai dan Sarolangun. Organosol, seluas 4,2 persen berada dalam wilayah Kecamatan Pauh dan sebagaian kecil di Kecamatan Pelawan, Singkut. humic gley, seluas 2,0 persen terdapat di wilayah Kecamatan Sarolangun, Pauh dan Pelawan, Singkut.

Jenis tanah pada wilayah KPHP Unit VII-Hulu Unit VII-hulu secara umum termasuk kategori jenis tanah Podsolik, komplek podsolik latosol dan komplek andosol dan latosol.

(26)

Tabel .2.3. Jenis tanah di Kabupaten Sarolangun berdasarkan luasan

Sumber : Badan Pertanahan Kabupaten Sarolangun Tahun 2013

2.1.7 Iklim dan DAS

Dari sisi iklim, KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun termasuk beriklim tropis. Keadaan iklim rata-rata dari tahun 2007 sampai 2012 berkisar antara 23oC dengan 32oC. Kelembaban udara rata-rata berkisar 78%. Dan curah hujan rata-rata 260mm.

Tabel 2.4. Curah Hujan Tahun 2010 di Kabupaten Sarolangun

Tahun Bulan

Curah Hujan (Mm) Banyaknya

Hari Hujan 2010 2010 Januari 305,6 16 Februari 349,1 17 Maret 253,1 10 April 188,8 8 No Kecamatan

Jenis Tanah (Ha)

PMK Latoso l Andos ol Aluvial Komp Ltsl + Litsl Jumlah 1. 2. 3 4 Pelawan Limun

Cermin Nan Gedang Batang Asai 29.945 6.560 -15.400 67.601 4.320 5.595 -10.155 -14.720 -5.420 16.033 16.785. -42.700 -50.300 111.900 -85.800

(27)

Mei 174,1 10 Juni 65,4 5 Juli 152,4 10 Agustus 195,9 11 September 143,3 6 Oktober 797,8 8 November 401,1 10 Desember 765,5 6

Sumber : BPS Sarolangun Dalam Angka Tahun 2011

Keadaan hidrologi umumnya berpengaruh secara langsung terhadap sumber daya lahan dan potensi yang dimiliki Kabupaten Sarolangun. Dimana wilayah Kabupaten Sarolangun itu sendiri terbagi dalam 4 DAS yaitu DAS Batang Tembesi, DAS Batang Asai, DAS Batang Limun, dan DAS Batang Air Hitam. Dampak dari di kelilinginya wilayah Kabupaten Sarolangun adalah jika musim hujan cenderung air yang mengalir pada DAS tersebut akan meluap hingga berpengaruh pada permukaan.

Di dalam kawasan hutan KPHP Limau (Unit VII) terdapat sungai-sungai dan kanal-kanal yang hampir semuanya dapat digunakan sebagai transportasi bagi perusahan maupun masyarakat setempat.

2.1.8 Sejarah Wilayah KPHP

Kawasan hutan untuk KPHP Unit VII-Hulu Unit VII-Hulu merupakan Hutan Negara, berdasarkan fungsinya merupakan Hutan Produksi dan Hutan Lindung terdiri dari HP Batang Asai, HP Sungai Kutur, HPT Lubuk Pekak, HL Tinjau Unit VII-Hulu, dan HL Hulu Landai Bukit Pale.

Sejak awal dekade 1970-an, pemanfaatan kawasan hutan di Kabupaten Sarolangun telah dibagi-bagi dalam bentuk kelola manajemen HPH dengan orientasi pemanfaatan hasil hutan kayu. Namun dalam pelaksanaannya kinerja HPH sering mengabaikan aspek-aspek kelestarian sehingga kelestarian

(28)

produksinya tidak terjaga yang menyebabkan kawasan mengalami degradasi dan deforestrasi.

Wilayah KPHP Unit VII-Hulu Unit VII – Hulu setelah tidak dikelola oleh ex HPH PT. Nusaleace Tc, PT. Pulau Krakatau (PT. Inhutani V), dan PT. Bina Lestari hanya dilakukan tindakan pengamanan dan perlindungan hutan yang dilakukan oleh aparat kehutanan baik Provinsi maupun Kabupaten untuk menjaga kawasan hutan tersebut.

Didalam wilayah KPHP Unit VII-Hulu Unit VII – Hulu terdapat lokasi yang sedang diusulkan untuk review tata ruang seluas 3000 ha. Kondisinya sudah berupa pemukiman masyarakat, kebun karet dan sawit masyarakat Kecamatan Cermin Nan Gedang

Dalam kawasan KPHP Unit VII-Hulu Unit VII-Hulu tidak ada peruntukan kawasan untuk kegiatan-kegiatan non kehutanan baik perkebunan, transmigrasi maupun pencadangan lahan untuk kegiatan lainnya yang dikeluarkan oleh Bupati Sarolangun. Namun demikian, saat ini di kawasan KPHP Unit VII-Hulu telah ada rencana pemanfaatan kawasan untuk konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) bagi PT. Gading Karya Makmur dan PT. Hijau Arta Nusa yang prosesnya sudah pada tahap SP 2 dan SP 1.

2.1.9 Pembagian Blok

Berdasarkan pertimbangan berbagai kondisi yang ada maka tata hutan KPHP Model Unit VII - Hulu dilakukan dengan membagi kawasan dalam blok-blok seperti tersebut diatas. Sebaran luasan untuk masing-masing pemanfaatan kawasan hutan disajikan pada Tabel 6.1.

(29)

Tabel .2.5. Luas Tata Hutan berdasarkan Fungsi Pemanfaatan Kawasan

No. Blok Tata Hutan Luas (ha)

1 Hutan Lindung

1. HL Bukit Tinjau Limun

Blok Perlindungan Inti 38.582

Blok Perlindungan Berbasis Masyarakat 7.474 2. HL Bukit Hulu Landai Bukit Pale

Blok Perlindungan 6.226

Blok Perlindungan Berbasis Masyarakat 2.524 2 Hutan Produksi Terbatas

HPT. Bukit Lubuk Pekak

Blok Perlindungan 8.595

Blok Pemanfaatan Terbatas 13.249

Blok Pemberdayaan Masyarakat 953

3 Hutan Produksi 1. HP Batang Asai

Blok Pemanfaatan 11.506

Blok Pemanfaatan Terbatas 9.755

Blok Pemberdayaan Masyarakat 4.721

2. HP Sungai Kutur

Blok Pemanfaatan 12.253

Blok Pemanfaatan Terbatas 1.502

Blok Pemberdayaan Masyarakat 3.763

(30)

2.2 Potensi Sumberdaya Hutan 2.2.1 Penutupan Hutan

Berdasarkan hasil penafsiran penutupan lahan diperoleh hasil tutupan lahan di KPHP Model Unit VII – Hulu masih memiliki areal berhutan seluas 49.452,83 ha (43,82 %) dan non hutan seluas 63.727,64 ha (56,18 %). Lebih rinci tutupan lahan dapat dilihat seperti pada tabel 2.3.

Tabel 2.4. Luas dan Persentase Tutupan lahan di KPHP Model Unit VII-Hulu

No Penutupan Lahan Luas (Ha) Persentase

(%)

1 Hutan Primer 3575,80 2,86

2 Hutan Bekas Tebangan 92242,00 74

`3 Belukar Muda dan Semak 9605,10 7,76

4 Perkebunan/Perkebunan Campuran 2121,19 17

5 Tanah Terbuka 82,46 0,7

6 Pertanian Campuran 13583,44 11

7 Transmigrasi 47,10 0,04

Sumber : Citra landsat tahun 2009

Pada HP. Batang Asai, HP. Sungai Kutur dan HL Hulu Landai Bukit Pale, vegetasi yang dominan adalah hutan bekas tebangan (74 %). Lahan yang berupa pertanian campuran juga cukup tinggi di wilayah ini yaitu mencapai 11 %. Sementara tutupan lahan berupa hutan primer hanya 2,86 %. Selanjutnya tutupan lahan lainnya berupa kebun campuran, tanah terbuka dan semak belukar.

Dengan demikian diketahui bahwa hanya sebagian saja areal di dalam kawasan KPHP Model Unit VII-Hulu yang masih berhutan, itupun berupa hutan bekas tebangan. Sebagian besar diantaranya telah berubah menjadi areal pertanian, perkebunan dan pemukiman.

(31)

Keadaan hidrologi umumnya berpengaruh secara langsung terhadap sumber daya lahan dan potensi yang dimiliki Kabupaten Sarolangun. Dimana wilayah Kabupaten Sarolangun itu sendiri terbagi dalam 4 DAS yaitu DAS Batang Tembesi, DAS Batang Asai, DAS Batang Limun, dan DAS Batang Air Hitam. KPHP Model Unit VII-Hulu sendiri dialiri oleh DAS Batang Asai dan Das Batang Limun yang mana didalam kawasan hutan tersebut terdapat sungai-sungai dan kanal-kanal yang hampir semuanya dapat digunakan sebagai transportasi bagi perusahan maupun masyarakat setempat.

Potensi non kayu yang terdapat di Kesatuan Pengelolaan Hutan

Produksi Model Unit VII - Hulu di antaranya adalah Rotan, Karet , Madu, Damar, dan Cempedak. Karet banyak terdapat di area kawasan Hutan Produksi Model Unit VII - Hulu yang sudah dijadikan area perkebunan oleh masyarakat.

Potensi Jasa Lingkungan di sekitar wilayah KPHP Model Unit VII

-Hulu terdapat obyek wisata Goa Bukit Bulan yang terdapat di desa Bukit Bulan. Goa tersebut bisa menjadi jalan setapak untuk warga menuju ke kawasan wilayah KPHP Model Unit VII - Hulu. Potensi jasa lingkungan air sungai untuk wisata arung jeram, lubuk larangan, air terjun seluro di Batang Asai, sumber mata air pemandian dewa di Bukit Bulan yang dapat dikembangkan menjadi unit kelola usaha air minum dalam kemasan.

Jenis satwa yang terdapat di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan

Produksi Model Unit VII - Hulu meliputi Harimau Sumatra (Panthera tigris Sumatrea), Babi (Sus scrofa), Ular, Burung Murai (Copsychus Malabaricus) dan berbagai jenis satwa lainnya. Harimau Sumatra menjadi salah satu satwa langka yang dilindungi oleh pemerintah.

Sedangkan potensi jenis tanaman berupa kayu adalah : Bulian/ Ulin (Eusideroxylon zwagerii T.et.B), Ramin (Gonystylus bancanus), Jelutung (Dyera sp), Gaharu (Acquillaria sp), Meranti (Shorea spp.).Dari hasil inventarisasi, wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Unit VII -Hulu masih memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Berdasarkan

(32)

hasil perhitungan potensinya, keadaan pohon/kayu yang ada di kawasan Hutan Produksi Model Unit VII - Hulu cukup besar yaitu sebesar 29.834,309 m3. Dari hasil survei di lapangan, diketahui bahwa area Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Unit VII - Hulu didominasi oleh tingkat pohon muda (pancang dan tiang). Jumlah pohon dewasa semakin jarang dijumpai. Untuk tegakan hutan alam maupun tanaman sangat berpotensi untuk pengembangan skema REDD.

2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat 2.3.1. Kondisi Sosial Ekonomi

Kabupaten Sarolangun merupakan kabupaten pemekaran yang mempunyai sumber daya alam yang cukup besar seperti pertanian, perkebunan, kehutanan dan pertambangan dan lain sebagainya.

Masyarakat kabupaten Sarolangun masih memegang teguh adat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga dalam hal peranan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pada wilayah KPHP Unit VII-Hulu, yakni pada Kecamatan Limun terdapat juga kawasan hutan adat Bukit Bulan seluas 1.430 Ha yang tersebar di 5 desa yaitu desa Berkun, Mersip, Meribung, Napal Melintang dan Lubuk Bedorong.

Pada umumnya masyarakat sekitar hutan memanfaatkan hasil hutan non kayu dari wilayah KPHP VII juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat seperti halnya rotan, Damar, Jernang,, gaharu dan lain sebagainya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Sebagian besar penduduk di sekitar kawasan KPHP Model Unit VII-Hulu menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan perkebunan, dengan menanam sayuran, buah – buahan, karet atau kelapa sawit. Biasanya lahan perkebunan yang mereka punya adalah warisan turun temurun dari nenek moyang mereka yang terkadang lahan yang mereka klaim berada di dalam kawasan hutan, karena kebun mereka itu adalah warisan turun temurun dari

(33)

nenek moyang mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun. Disinilah peran pemerintah untuk mensosialisasikan batas kawasan hutan yang ada agar nantinya tidak menjadi konflik yang berkepanjangan.

Tabel 2.7. Jumlah Penduduk di wilayah KPHP Unit VII-Hulu Kecamatan District Luas Area Jumlah Penduduk Populatio n Kepadatan Density (1) (2) (3) (4) 1. Batang Asai 858 16 036 19 2. Limun 799 15 343 19 3. Cermin Nan Gedang 320 10 858 34 4. Pelawan 330 28 138 85 Jumlah 2.307 70.375 39,25 Sumber : BPS Kabupaten Sarolangun 2011

Selama ini proses transaksi jual beli yang terjadi antara masyarakat di daerah sekitar kawasan KPHP Model Unit VII-Hulu adalah adanya pedagang pengumpul yang datang ke desa untuk membeli hasil panen masyarakat setempat atau dijual pada pengumpul yang berada di desa itu sendiri. Umumnya hasil panen yang dipasarkan adalah tanaman perkebunan dan buahan, sebagian tanaman pangan, palawija dan sayuran. Jika petani menjual ke pedagang pengumpul yang datang ke desa maka penentuan harga jual sebagian besar ditentukan oleh pedagang, mengingat biaya pemasaran ditanggung pedagang. Namun masyarakat merasa senang karena ada pedagang pengumpul yang datang ke desa untuk membeli hasil panen, sekalipun dengan harga yang rendah. Masyarakat di daerah sekitar kawasan KPHP Model Unit VII-Hulu berpikir bahwa mereka tidak perlu untuk membawa hasil panen dari desa sampai ke pasar lagi karena ada yang mempermudah

(34)

transaksi jual beli, mengingat jarak ke pasar cukup jauh dan kendaraan yang digunakan haruslah kendaraan double gardan karena akses jalan yang masih berupa jalan tanah. Masyarakat akan ke pasar dengan hasil panen mereka, apabila ada kebutuhan lain yang harus dibelanjakan.

2.3.2. Kondisi Sosial Budaya

Sebagian besar pendapatan ekonomi penduduk yang berada di sekitar kawasan KPHP Model Unit VII-Hulu adalah mata pencaharian dari sektor pertanian berupa persawahan irigasi dan non irigasi, pertanian lahan kering dan perkebunan khususnya kebun karet. Sebagian lagi dari penduduk bekerja dibidang perdagangan dan pegawai negeri sipil.

Kecamatan dan Desa

Terdapat 4 (empat) wilayah Kecamatan dan 9 (sembilan) wilayah Desa yang berada didalam atau disekitar wilayah KPHP Model Limau, Kab. Sarolangun, masing – masing diantaranya adalah : Kec. Batang Asai, Kec. Limun dan Kec. Cermin Nan Gedang, sedangkan Desa-Desanya adalah (Desa Muara Pemuat, Desa Raden Anom, Desa Lubuk Bangkar, Desa Panca karya, Desa Lubuk Bedorong, Desa Napal Melintang, Desa Sikamis, Desa Teluk Rendah dan Desa Kampung Tujuh).

Kelembagaan

Kelembagaan yang ada pada tiap desa meliputi lembaga formal dan lembaga informal. Lembaga formal yang ada pada tiap desa adalah Kepala Desa berserta perangkatnya yang paling aktif dalam pengelolaan masyarakat desa, disamping itu ada juga Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tetapi belum aktif dalam pengelolaan desa karena berbagai keterbatasan terutama belum jelasnya pembagian peran dan tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas. Lembaga informasi yang cukup aktif adalah Lembaga Adat yang

(35)

diwakili oleh Ketua Adat pada setiap dusun, fungsi utamanya terutama menyangkut penyelesaian persengketaan/perselisihan antar warga sehari-hari serta menyangkut adat istiadat yang berkaitan dengan upacara adat. Di samping itu ada PKK dan Karang Taruna yang aktifitasnya timbul tenggelam serta organisasi olah raga dan kesenian.

2.4. Ijin Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan 2.4.1. Ijin Pemanfaatan Hutan

Di wilayah KPHP Unit VII-Hulu di Kabupaten Sarolangun terdapat areal Ex. HPH PT. Bina Lestari seluas 32.680 yang telah habis masa berlakunya pada Tahun 1999. Sampai dengan saat ini areal eks HPH tersebut belum ada pengelolanya. Namun demikian dari luas wilayah KPHP Unit VII-Hulu seluas 121.102 Ha telah dialokasikan atas permohonan ijin usaha pemanfaatan hutan berupa ijin HTI PT. Gading Karya Makmur dan PT. Hijau Antar Nusa seluas 32.680 Ha hingga saat ini telah SP-1 atau masih dalam proses di Kementerian Kehutanan.

Gambar 2.1. Gambar Peta Pemanfaatan KPHP Unit VII-Hulu Unita Vii - Hulu

(36)

Pada umumnya kawasan hutan yang tidak ada pengelolanya sangat rawan terhadap perambahan hutan dan tebangan liar serta kebakaran hutan karena masyarakat beranggapan bahwa hutan dimaksud seolah-olah tidak ada pemiliknya, sementara sosialiasasi dan pendekatan pemerintah baik pusat, propinsi dan kabupaten sangat minim dan lemah ditingkat pengawasan.

2.4.2. Ijin Penggunaan Kawasan Hutan/ Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Berdasarkan analisis spasial data di tingkat provinsi, pada wilayah KPHP Model Unit VII-Hulu terdapat penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan. Saat ini terdapat pertambangan yang arealnya masuk dalam kawasan KPHP Model Unit VII-Hulu, yaitu ijin pinjam pakai kawasan pada HL Hulu Landai Bukit Pale untuk usaha pertambangan emas (PT. Aneka Tambang)

(37)

2.5. Kondisi KPHP Dalam Tata Ruang dan Pembangunan Daerah 2.5.1. Perspektif Tata Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sarolangun ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2007 dengan masa berlaku 10 tahun (2004-2014). Secara struktural, tata ruang wilayah Kabupaten Sarolangun dibagi menjadi 3 (tiga) sub sistem yang disebut sebagai wilayah pengembangan, yaitu :

1. Sub Sistem I (Wilayah Pengembangan Sarolangun Bawah/Hilir)

Wilayah ini diarahkan bagi pengembangan perkebunan dan tanaman keras. Wilayah pengembangan berada di bagian timur kabupaten, meliputi ; Kecamatan Mandiangin, Air Hitam dan Pauh.

2. Sub Sistem II (Wilayah Pengembangan Sarolangun Tengah)

Wilayah ini diarahkan bagi pengembangan perdagangan dan jasa. Wilayah pengembangan berada di bagian tengah kabupaten, meliputi ; Kecamatan Sarolangun, Pelawan, Singkut dan Bathin VIII.

3. Sub Sistem III (Wilayah Pengembangan Sarolangun Atas/Hulu)

Wilayah ini diarahkan sebagai wilayah lindung serta pengembangan bagi pertanian tanaman pangan padi sawah. Wilayah pengembangan berada di bagian Barat kabupaten, meliputi ; Kecamatan Batang Asai, Cermin Nan Gedang dan Limun.

Berdasarkan Perda RTRW Kabupaten (Pasal 10), penataan ruang disusun menurut strategi pemanfaatan ruang wilayah yang meliputi :

1. Arahan pemanfaatan kawasan lindung. 2. Arahan pengembangan kawasan budidaya. 3. Arahan pengembangan budidaya perkebunan. 4. Arahan pengembangan budidaya kehutanan.

(38)

5. Arahan pengembangan sektor pariwisata. 6. Arahan pengembangan kawasan pemukiman. 7. Arahan pengembangan sistem kota-kota. 8. Arahan pengembangan prasarana wilayah. 9. Arahan pengembangan kawasan prioritas.

Sesuai RTRW Kabupaten Sarolangun, pola penggunaan lahan (present land use) dibagi menjadi 3, yaitu untuk hutan, perkebunan, pertanian dan pemukiman. Penggunaan lahan yang paling dominan adalah untuk kebun campuran yaitu 299.667 ha dengan komoditi utama berupa tanaman karet dan kelapa sawit.

Tabel 2.8. Sebaran Kawasan Hutan Berdasarkan Fungsi di Kab. Sarolangun

Keterangan : CA: Cagar Alam ; HP : Hutan Produksi ; TN : Taman Nasional; HPT : Hutan Produksi Terbatas ; HL : Hutan Lindung Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Tahun 2010

Upaya pengelolaan KPHP Model Unit VII-Hulu tetap mengacu pada rencana tata ruang kabupaten dan provinsi. Karena KPHP Model Unit VII-Hulu

No Kecamatan Kawasan Hutan Jumlah

CA TN HL HP HPT 1 Sarolangun - - - 950 2.365 3.315 2 Pelawan Singkut - - - 6.735 - 6.735 3 Limun - - 21.065,00 37.345 - 58.410 4 Batang Asai - - 33.220,00 6.122 23.393,24 62.735,44 5 Pauh - - - 18.778 15.743,00 43.331,00 6 Mandiangin 73,74 8.810 - 29.921 47.856,63 77.851,37 Jumlah 73,74 8.810 54.285,20 99.851 89.357,87 252.377,81

(39)

berada di zona hulu Kabupaten Sarolangun dan kawasannya berstatus sebagai hutan produksi dan hutan lindung maka pola pemanfaatannya diarahkan sebagai kawasan perlindungan. Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sarolangun, sebagian kawasan di wilayah KPHP Model Unit VII-Hulu yang merupakan kawasan produksi maka pola pemanfaatan diarahkan untuk pemanfaatan kawasan dalam hal produksi baik kayu maupun non kayu.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi dan RTRW Kabupaten Sarolangun, rencana pola ruang di sekitar wilayah KPHP Model Unit VII-Hulu sebagian besar merupakan pertanian. Peruntukan pertanian ini mencakup kebun campuran, kebun karet, kebun swasta sejenis dan sawah irigasi teknis.

2.5.2. Perspektif Pembangunan Daerah

KPHP Model Unit VII-Hulu berperan penting bagi pembangunan daerah. Dalam sektor kehutanan KPHP Model Unit VII-Hulu diharapkan dapat menunjang pembangunan jangka panjang Jambi melalui peningkatan pemanfaatan sumber daya alam guna penyediaan sumberdaya pangan yang berkelanjutan.

Selain itu keberadaan KPHP Model Unit VII-Hulu juga diharapkan dapat mendukung pembangunan jangka menengah Jambi (2011-2016) sebagai bagian dari upaya (i) Membangun pertanian terutama pangan dan perkebunan berskala teknis dan ekonomis dengan infrastruktur yang cukup dan penerapan teknologi tepat guna dan (ii) Membangun industri pengolahan dan manufaktur yang berdaya saing global dengan menciptakan nilai tambah potensial yang proporsional dengan memperkokoh kemitraan hulu-hilir, serta industri kecil, menengah, dan besar.

Pada tahun 2007 kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB Kab. Sarolangun menjadi 39,08% lebih tinggi dibanding sektor pertambangan yang kontribusinya mencapai 34,06%. Dengan kontribusi

(40)

terbesar ini menjadikan sektor pertanian menjadi sektor utama penggerak perekonomian Kabupaten Sarolangun.

Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Sarolangun maka selama periode 2005-2025 diharapkan terjadi perubahan dan peningkatan secara siginifikan sehingga dapat terwujud hal-hal sebagai berikut :

 Terpeliharanya luasan lahan untuk kegiatan hutan produksi;

 Meningkatnya minat masyarakat untuk mengelola hasil-hasil hutan produksi dan untuk hasil hutan produksi yang berkembang sudah memiliki nilai tambah yang berarti;

 Sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan sudah dilaksanakan dan semakin tegasnya penegakan hukum terhadap penebangan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu;

 Semakin mudahnya mendapatkan benih kayu unggul melalui program pembibitan benih kayu unggul terutama waktu produksi yang relatif lebih singkat;

 Teknologi pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi semakin luas. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Sarolangun maka dalam jangka 5 tahun (2011-2016) sektor kehutanan diharapkan dapat mendukung pencapaian Misi Pengembangan Agropolitan. Misi ini dapat tercapai apabila didukung pula dengan terwujudnya kelestarian sumber daya hutan. Pencapaian ini dilakukan dengan revitalisasi pertanian melalui kegiatan rehabilitasi lahan kritis, pemantapan kawasan hutan, dan peningkatan upaya perlindungan hutan.

2.6. Pembangunan Kehutanan di Wilayah KPHP

Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pada wilayah KPHP Model Unit VII-Hulu baru sampai pada tahap persiapan atau prakondisi pembangunan

(41)

KPHP. Kegiatan pembangunan saat ini difokuskan pada penyusunan dokumen kebijakan, survey dan identifikasi potensi, kondisi fisik dan permasalahan. Kegiatan ini diharapkan dapat menggunakan anggaran APBD Kabupaten Sarolangun, APBD Provinsi Jambi melalui Dinas Kehutanan, dan APBN melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan.

Sarana dan prasarana KPHP Model Unit VII-Hulu difasilitasi oleh UPT Kementerian Kehutanan (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIII Pangkal Pinang). Juga didukung oleh Dinas Kehutanan Provinsi dan UPT-UPT Kementerian Kehutanan yang ada di Palembang sebagai upaya mendukung percepatan beroperasinya KPHP Model Unit VII-Hulu.

2.7. Isu Strategis, Kendala, dan Permasalahan

Sebagian lahan pada HP Batang Asai dan HP Sungai Kutur serta HL Hulu Landai bukit Pale telah berubah menjadi lokasi pemukiman masyarakat dan kebun. Pada tahun 2005, berdasarkan hasil inventarisasi kawasan HP Batang Asai dan HP Sungai Kutur oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun diperoleh hasil 25 % kawasan hutan telah berubah fungsi menjadi pemukiman, perkebunan karet dan sawit, fasilitas umum dan persawahan.

Pokok permasalahan kawasan di KPHP Unit VII-Hulu di Kabupaten Sarolangun adalah kebutuhan lahan yang disebabkan kurangnya lahan garapan dan kebutuhan kayu untuk kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga mengakibatkan mendorong terjadinya praktek illegal logging dan perambahan hutan di hampir seluruh kawasan hutan terutama yang sangat berdekatan dengan perkampungan penduduk dan kebun garapan masyarakat.

Disamping itu perambahan dan perladangan oleh masyarakat, lebih didorong oleh motif ekonomi dan penguasaan atas sumber daya lahan. Korelasi permasalahaannya adalah kemiskinan masyarakat sekitar kawasan

(42)

hutan. Hal ini berhubungan dengan persoalan akses yang terbatas, terutama dalam hal memperoleh sumber penghasilan. Disamping itu masih terdapat persoalan lain seperti ketersediaan air, tata batas kawasan dan konflik horizontal pemanfaatan kawasan.

Salah satu ketertinggalan fungsi produktifitas masyarakat mengakses potensi sumber daya hutan adalah teknologi kehutanan yang masih tertinggal dibanding sektor lain serta pelaksanaan pembangunan kehutanan yang bersifat konvensional merupakan kendala dalam pengelolaan hutan.

Isu strategis dan kendala serta permaslahan yang ada di KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun dikelompokkan ke dalam beberapa aspek, yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek kelembagaan.

2.7.1. Aspek Ekologi

a. Belum tersedianya rencana pengelolaan yang mantap.

b. Belum adanya data/informasi secara detail mengenai kawasan hutan, yang meliputi potensi hutan (kayu, non kayu, jasa lingkungan dan wisata alam), kondisi dan permasalahan sosekbud masyarakat sekitar hutan.

c. Banyak kawasan hutan yang kondisinya kritis berupa (lahan terbuka, semak belukar dan hutan sekunder dengan potensi rendah, sebagai akibat perambahan, peladangan, dan penyerobotan kawasan hutan).

d. Adanya permasalahan tenurial di dalam kawasan, misalnya adanya perkebunan kelapa sawit yang disinyalir berada di dalam kawasan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun dan adanya pemukiman masyarakat di dalam kawasan. Permasalahan ini menjadi salah satu isu penting dalam pengelolaan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun, karena kemantapan kawasan merupakan syarat bagi terjaminnya pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

e. Terjadnya gangguan keamanan hutan dalam bentuk perambahan, ilegal logging, penguasaan lahan, perladangan dan lainnya.

(43)

2.7.2 Aspek Ekonomi

Aspek ekonomi merupakan salah satu aspek yang penting untuk diperhitungkan dalam pembangunan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun. Kesejahteraan masayarakat sekitar hutan secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi keamanan hutan. Kemiskinan dapat menjadi pendorong kegiatan illegal di dalam kawasan hutan. Selain itu, kebutuhan akan lahan untuk pembangunan non kehutanan yang semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan hidup juga dapat mengancam keberadaan hutan. Permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun meliputi :

a. Akses pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam guna memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi jasa hutan belum dikembangkan secara optimal.

b. Belum dikembangkannya jenis-jenis tanaman yg bernilai ekonomis tinggi untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraannya dan mendorong kemandirian pengelolaan KPH.

c. Belum dikembangkannya akses pasar hasil hutan, khususnya HHBK.

d. Rendahnya insentif dan bantuan modal dari pemerintah dan sektor swata untuk mengembangkan usaha di bidang kehutanan.

e. Masih terbatasnya infrastruktur di wilayah KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun untuk mendukung berkembangnya kegiatan ekonomi.

2.7.3 Aspek Sosial Budaya

Keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat tapak sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Masyarakat di sekitar kawasan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun mempunyai keterikatan yang tinggi terhadap sumberdaya hutan didekatnya. Sejauh ini permasalahan yang dihadapi dalam aspek sosial budaya, diantaranya :

a. Masyarakat sekitar hutan sebagian besar belum mengetahui keberadaan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun di sekitar mereka.

(44)

b. Rendahnya pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap usaha-usaha konservasi, perlindungan dan pemeliharaan kawasan hutan. Selama ini masyarakat menganggap hutan hanyalah sebagai cadangan lahan baru untuk bertani dan berkebun, sumber kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar, pangan dan obat-obatan.

c. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lahan dikawasan hutan dan peningkatan nilai tambah hasil-hasil hutan, khususnya HHBK.

d. Belum diakuinya secara yuridis (formal) keberadaan masyarakat adat beserta nilai-niai kearifan lokalnya, yang seharusnya menjadi bagian dalam kegiatan pengelolaan kehutanan, termasuk belum dilibatkannya tokok-tokoh kunci dalam masyakat seperti tokoh agama dan tokoh adat.

2.7.4 Aspek Kelembagaan

Salah satu ketidakberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dikarenakan lemahnya kelembagaan pengelolaan di tingkat tapak. Permasalahan lemahnya kelembagaan yang dihadapi oleh KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun, tidak hanya berpusat pada organisasi KPHnya tetapi juga lemahnya kelembagaan di masyarakat sekitar kawasan. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi, diantaranya :

a. Belum adanya sarana dan prasarana lengkap yang mendukung beroperasinya kelembagaan KPH sampai tingkat lapangan, seperti halnya perlengkapan dan peralatan kerja dan sarana prasarana lainnya.

b. Kelembagaan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun berbentuk Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun, sehingga secara otomatis mempunyai tugas dan fungsi pengurusan hutan. Sedangkan berdasarkan PP no 6 tahun 2007, jo. PP 3 Tahun 2008 serta Permenhut no P.6/Menhut-II/2010, menegaskan bahwa KPH mempunyai tugas dan fungsi sebagai pengelola (pemangku) kawasan hutan. Konsekuensinya adalah arah kebijakan yang dijalankan dalam

(45)

lingkup pengurusan hutan, serta system penganggarannya belum mandiri karena bergantung pada bidang-bidang Dinas Kehutanan Kabupaten Unit VII-Hulu Sarolangun.

c. Struktur organisasi belum mencerminkan organisasi pengelolaan hutan sampai tingkat tapak. Karena dalam struktur organisasi tersebut belum ada bagian/ resort pengelolaan hutan dilapangan.

d. Jumlah personil KPH masih terbatas

e. Masih rendahnya kapasitas SDM yang ada dalam pengelolaan hutan. f. Belum terbangunnya sistem data dan informasi SDH kawasan.

g. Keterbatasan tata hubungan kerja, karena tata hubungan kerja sebagai UPTD harus dilakukan melalui dinas kehutanan terkait, sehingga kurang sesuai dengan tugas dan sifat pekerjaan KPH yang menuntut akselerasi kerja dan meningkatkan intensitas kerjasama dengan lembaga lain.

h. Rendahnya kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan sehingga berpengaruh terhadap perekrutan masyarakat sebagai tenaga lapangan dalam pengelolaan hutan di kawasan KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun.

i. Belum kuatnya kelembagaan ekonomi masyarakat sekitar hutan dalam rangka menopang perekonomian masyarakat.

Merujuk kepada berbagai permasalahan yang telah diulas diatas maka yang menjadi isu strategis bagi KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun untuk segera ditindaklanjuti, antara lain :

a. Belum ada rencana pengelolaan hutan yang mantap

b. Adanya pengelolaan sebagian kawasan hutan di wilayah KPHP Unit VII-Hulu Sarolangun yang tidak sesuai dengan fungsi hutan, yaitu untuk perkebunan kelapa sawit.

c. Masih banyaknya lahan kritis

d. Kondisi masyarakat di lingkar kawasan hutan yang masih miskin.

e. Persepsi masyarakat sekitar hutan yang memandang hutan hanya dari fungsi ekonomis, belum memahami fungsi ekologis dari hutan.

(46)

BAB. III VISI DAN MISI

Merujuk pada arah strategi dan kebijakan pengelolaan KPHP maka dapat diterjemahkan lebih lanjut dalam bentuk visi dan misi pengelolaan KPHP Model Limau Unit VII-Hulu . Visi merupakan cara pandang dalam pengelolaan KPHP Model Limau Unit VII-Hulu dalam mencapai tujuan yang mendekati idealnya. Pencapaian visi dilakukan dengan menjalankan misi yang telah disusun.

3.1. Visi Pengelolaan KPHP Model Limau Unit VII-Hulu

Visi pembangunan jangka panjang Jambi (2008-2025) adalah menjadikan Provinsi Jambi Unggul dan Terdepan di Luar Jawa pada tahun 2025. Visi pembangunan jangka menengah Jambi (2011-2016) adalah menjadikan Provinsi Jambi Sejahtera dan Terdepan Bersama Masyarakat Cerdas yang Berbudaya pada tahun 2013. Visi sektor kehutanan Provinsi Jambi (2011-2016) adalah menjadikan hutan di Provinsi Jambi sebagai penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat (Tabel 4.1).

Visi Pembangunan Provinsi Jambi Tahun 2005-2025 adalah : Jambi EMAS (Ekonomi Maju, Aman, Adil dan Sejahtera). Untuk mewujudkan visi pembangunan tersebut ditempuh melalui 6 (enam) misi pembangunan Provinsi Jambi sebagai berikut :

1. Meningkatkan Kualitas dan Ketersediaan Infrastruktur Pelayanan Umum. 2. Meningkatkan Kualitas Pendidikan, Kesehatan, Kehidupan Beragama dan

Berbudaya.

3. Meningkatkan Perekonomian Daerah dan Pendapatan Masyarakat berbasis Agribisnis dan Agroindustri.

4. Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Optimal dan Berwawasan Lingkungan.

(47)

5. Meningkatkan Tata Pemerintahan yang baik, Jaminan Kepastian dan Perlindungan Hukum serta Kesetaraan Gender.

Perwujudan visi dan misi Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Jambi dilaksanakan secara bertahap dengan skala prioritas tertentu yang akan menjadi agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Manengah (RPJM) Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Tahapan dan skala prioritas yang ditetapkan mencerminkan urgensi permasalahan pokok yang hendak diselesaikan tanpa mengabaikan permasalahan lainnya. Oleh karenanya, tekanan skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda-beda, namun semua urgensi saling terkait secara utuh dan bersifat berkesinambungan dari tahapan ke tahapan berikutnya dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan Jambi 2025 .

Prioritas pembangunan bidang sumberdaya alam (hutan) dan lingkungan hidup pada tahap ini adalah meningkatkan daya dukung lingkungan, guna percepatan pembangunan untuk menuju visi misi pembangunan Jambi 20 tahun. Peningkatan daya dukung lingkungan ini dilakukan melalui:

1. Perbaikan kepranataan, penataan ruang yang mampu mengarahkan pergerakan orang dan barang, antisipasi pertumbuhan wilayah, khususnya kawasan perkotaan, sinkronisasi rencana tata ruang wilayah Provinsi dengan kabupaten/kota, pengelolaan sumber daya alam (hutan) dan pelestarian fungsi lingkungan ke arah yang lebih baik.

2. Selain itu, perlu dilakukan peningkatan pendidikan lingkungan di sekolah, pengembangan sistem informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, penyusunan peraturan lingkungan yang memadai, serta berjalannya upaya penegakan hukum lingkungan.

Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Sarolangun Periode 2011 - 2016, adalah suatu kondisi yang akan dicapai Kabupaten Sarolangun lima tahun ke depan. Memperhatikan potensi, kondisi, permasalahan, tantangan dan peluang serta mempertimbangkan berbagai isu

Gambar

Tabel  2.1 Luas  Kawasan Hutan  di KPHP Model Unit  VII-Hulu (SK Menhut Nomor SK. 714/Menhut-II/2011)
Tabel .2.3. Jenis tanah di Kabupaten Sarolangun berdasarkan luasan
Tabel .2.5. Luas Tata Hutan berdasarkan Fungsi Pemanfaatan Kawasan
Tabel 2.4. Luas dan Persentase Tutupan lahan di KPHP Model Unit VII-Hulu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan Sistem Pengurusan Makmal yang meliputi tempahan dan inventori ini adalah penting sebagai satu cara untuk menjadikan pengurusan makmal sains sekolah menjadi lebih

1) Hasil perhitungan menunjukan jaket tidak dapat digunakan sebagai sistem pendingin karena luas area transfer panas reaktor lebih kecil dibandingkan luas area transfer panas

Perkembangan pendidikan Suku Talang Mamak di Desa Durian Cacar dari tahun ke tahunya mengalami perkembangan yang lebih baik, dapat dilihat dari jumlah sarana

Model kajian tindakan yang diperluaskan oleh Kemmis dan McTaggart (1988) digunakan untuk mengkaji keberkesanan teknik Teater Forum dalam mengembangkan aspek penaakulan

Hal ini disebabkan pada frekuensi tertentu material akustik cenderung bersifat resesif dimana rendahnya nilai koefisien absorpsi bunyi pada frekuensi tertentu dan juga

 Dari hasil analisa kebutuhan dan perancangan sistem kepada beberapa calon pengguna (mahasiswa) prototype pengembangan e-information yang dikembangkan dalam penelitian ini

Permen Kesehatan No.21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.. Kementrian Kesehatan Republik

Buku esai fotografi dipilih karena selain foto adalah media yang paling tepat untuk menunjukkan dengan jelas seperti apa wujud buah lerak dan pohonnya, dengan