• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata (BW) memuat asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme serta daya mengikatnya

perjanjian. Pengaturan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata (BW) tersebut tidak berdiri sendiri. Asas-asas dalam pasal tersebut di atas berada dalam satu sistem yang padu dan integrative dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Terikat dengan daya mengikatnya perjanjian berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak yang membuatnya (Pacta Sunt Servanda).136

Pada situasi tertentu daya berlakunya (strekking) dibatasi, antara lain dengan itikad baik. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik” yang dimaksud dengan itikad baik (te geode trouw; good faith) perundang- undangan tidak memberi defenisi yang tegas dan jelas. Dalam kamus bahasa Indonesia yang dimaksud dengan itikad baik adalah “kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan yang baik”.137 Dalam kamus

hukum Fockema Andreae dijelaskan bahwa “goeder trouw” adalah “maksud semangat yang menjiwai para peserta dalam suatu perbuatan hukum atau yang tersangkut dalam suatu hubungan hukum”.138 Soetojo

Prawijo Hamidjojo memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau “secara jujur”.139

Ketentuan yang termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata

136

Munir Fuady, Hukum Kontrak, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal 80 137

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahas Indonesia, Edisi 11, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal 369.

138

Fockema Andrea, Kamus Hukum, (Jakarta : Bima Persada, 2001), hal 286. 139

Soetojo Prawirjo Hamidjojo, Pengertian Itikad Baik “Goer Trouw”, (Jakarta : Mitra Keadilan, 2000), hal 26.

(BW) menetapkan bahwa perjanjian apapun bentuk dan namanya harus dilaksanakan dengan itikad baik (contracts bonafide). Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian itikad baik dalam hukum mempunyai arti yang lebih luas daripada pengertian sehari- hari. Artinya itikad baik harus dilaksanakan menurut kepatutan dan kepantasan. Beberapa ahli hukum lain memberikan pengertian redeliykheid enbillijkheif dengan istilah kewajaran dan keadilan atau “kepatutan dan keadilan”.140

Daya berlaku itikad baik (goeder trouw, good faith) meliputi seluruh proses perjanjian atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”. Dengan demikian itikad baik meliputi tiga fase perjalanan perjanjian yaitu Pertama, Pra perjanjian, kedua, Persiapan Perjanjian, ketiga, Pelaksanaan Perjanjian. Pasal 1338 KUH Perdata (BW) tersebut di atas, pada umumnya selalu dihubungkan dengan Pasal 1339 KUH Perdata (BW) yakni “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalam perjanjian, melainkan juga segala sesuatu yang memuat sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atas undang-undang”.

Itikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yang nisbi dan mutlak, pada itikad yang nyata dari subjek. Pada itikad baik yang objektif atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan dibuat ukuran objektif untuk menilai keadaan sesuai perbuatan hukumnya (penilaian tidak memihak

140 ibid

menurut norma-norma yang objektif).141

Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi 2 (dua) macam yaitu :142

1. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulainya hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang tidak beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab yang dan menanggung resiko. Itikad baik semacam ini dapat disimak dalam dari ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata (BW) dan Pasal 1963 KUH Perdata (BW) dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik alas barang melalui daluarsa. Itikad baik ini bersifat subjektif dan statis.

2. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata (BW) adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukum. Titik berat itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.

Berpedoman dari pendapat Wirjono Prodjodikoro ini maka pengertian itikad baik menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata (BW) hendaknya dibedakan dengan pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 dan Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata (BW). Pengertian itikad baik menurut Pasal 1338 KUH Perdata (BW) diberikan batasan dalam arti yang objektif- dinamis, sedangkan pengertian itikad baik menurut 1963 dan 1977 ayat (1) KUH Perdata (BW) diberikan batasan arti subjektif statis.

Pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 KUH Perdata (BW) adalah kemauan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, dimana ia mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan

141

Berdasarkan hasil wawancara dengan Agustinus, Hakim Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 28 Juni 2013

142

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proposionalitas dalam Perjanjian Komersial), (Yogyakarta : Lambang Mediatama, 2008), hal.84

hak milik atas barang tersebut telah dipenuhi. Itikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan itikad baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis melainkan bersifat statis.143

Demikian pula halnya dengan pengertian itikad baik dalam Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata (BW), terkait dengan cara pihak ketiga memperoleh suatu benda (kepemilikan) yang disebabkan ketidaktahuan mengenai cacat kepemilikan tersebut, dapat dimaafkan, namun dengan syarat tertentu. Dalam kaitan dengan penerapan itikad baik menurut Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata (BW), sering diartikan pengertian itikad baik tersebut dengan “Tidak tahu dan tidak harus tahu”, maksudnya ketidaktahuan pihak ketiga mengenai cacat kepemilikan ini dapat dimaafkan menurut kepatutan dan kelayakan.144

Soetojo Prawirjo Hamidjojo memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau “secara jujur’ yang ketentuan ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata (BW) yang berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik adalah bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, atau mempergunakan kata-kata secara bebas pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal-hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri

143

Ibid hal.86. 144

Berdasarkan hasil wawancara dengan Agustinus, Hakim Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 28 Juni 2013

pribadi.145

Sebagaimana dipahami bahwa pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata (BW) tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata (BW) mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.146

Sehubungan dengan fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH perdata (BW), menurut beberapa sarjana antara lain P.L. Werry, Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tilem, terdapat tiga fungsi utama itikad baik, yaitu:147

1. Fungsi yang mengajarkan bahwa perjanjian harus ditafsirkan menurut itikad baik (itikad baik sebagai asas hukum umum), artinya perjanjian harus ditafsirkan secara patut dan wajar (fair).

2. Fungsi menambah atau melengkapi (aanvullende werking van de goede trouw), artinya itikad baik dapat menambah isi atau kata-kata perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam perjanjian. Menurut P.L. Werry hal ini terkait dengan pelaksanaan perjanjian sebagaimana putusan Hooge Raad tanggal 10 Februari 1921 dalam perkara persaingan antara pengurus firma yang bertentangan dengan itikad baik. Demikian pula dalam putusan Hoge Raad tanggal 13 Maret 1964 NJ 1964, 188, dalam perkara pelaksanaan perjanjian penanggungan (borgtocht) yang mewajibkan kreditor untuk memperhatikan itikad baik dalam

145

Soetojo Prawirjo Hamidjojo, Pengertian Itikad Baik “goer troow”, (Jakarta : Mitra Keadilan, 2000), hal. 26

146

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal. 98 147

Muhammad Ridwan Khairandy, Pelaksanaan Itikad Baik Dalam Suatu Kontrak Komersial, (Jakarta : Mitra Kencana Media, 2007), hal. 86

pelaksanaan perjanjian.

3. Fungsi membatasi atau meniadakan (heperkende en derogerende werking van de geode trouw), artinya fungsi ini hanya dapat diterapkan apabila terdapat alasan-alasan yang amat penting (allen in spreekende gevollen). Putusan Hoge Raad yang membatasi atau meniadakan daya kerja perjanjian dapat dicermati dalam kasus Stoorkv. N.V. Haarlemshe Katoen Maatshappij (sarong Arrest). HR 8 Januari 1926, NJ 1926, 203,

Mark is Mark Arrest, HR 2 Januari 1932 serta Saladin v. Hollandsce Bank Unie (HBU), Arrest, tanggal 16 Mei 1967. Hoge Raad dan NBW dalam menerapkan fungsi ini hanya terhadap kasus-kasus yang pelaksanaan menurut kata-kata perjanjian tersebut sungguh-sungguh tidak dapat diterima karena tidak adil. Rasio penerapan ini dapat dipahami karena merupakan penyimpangan (perkecualian) terhadap asas pacta suns servanda.

Itikad baik itu terlihat dari kejujuran para pihak dalam melaksanakan perjanjian yaitu dengan memberikan identitas yang benar dan melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Seperti dalam perjanjian jual beli tanah maka itikad baik dapat dilihat dari kebenaran akan identitas tanah, identitas para pihak, pelaksanaan tanggung jawabnya masing-masing dengan baik, tujuan dari perjanjian jual beli tanah tersebut tidak mengakibatkan ada pihak yang dirugikan dan dilakukan sesuai prosedur perjanjian jual beli yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan.148

Dalam simposium hukum perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) itikad baik hendaknya diartikan sebagai :149

1. Kejujuran pada waktu membuat perjanjian

2. Pada tahap pembuatan perjanjian, apabila perjanjian dibuat dihadapan

148

Berdasarkan hasil wawancara dengan Agustinus, Hakim Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 28 juni 20013

149

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Simposium Hukum Perdata Nasional (BPHN), Fakultas Hukum Universitas gajah Mada, Yogyakarta 21-23 Desember 1981

pejabat, para pihak dianggap beritikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya)

Sebagai kepatutan tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli.