• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Prosedur Jual Beli Tanah Warisan Menurut Hukum Tanah

1. Jual Beli Tanah Warisan Menurut Hukum Adat

Dasar berlakunya hukum adat di bidang keagrarian adalah Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, tanah dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional yang berdasarkan atas persatuan bangsa, peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang “.73

Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar (macro cosmos), dan kecil

(micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi semua unsur bumi,

air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.74

Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu

73

Abdurrahman, Beberapa Aspek tentang Hukum Agraria, (Bandung: Alumni ,1980), hal 65

74

Herman Soesangobeng, Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan Permasalahannya di Indonesia,( Yogyakarta : Pusdiklat Mahkamah Agung, 2003), hal 12- 14

adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi itu pulalah, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.75

Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi di atas, berarti sesungguhnya hak atas tanah menurut hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal) dan hak individu.76

Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi dalam hukum adat. Dari hak ulayat, karena proses individualisasi dapat lahir hak- hak perorangan (hak individual). Istilah hak ulayat disebut oleh Van Vollen Hoven sebagai beschikkingrecht, oleh Soepomo disebut Hak Pertuan, Teer Haar mengistilahkannya sebagai Hak Pertuanan, dan masyarakat Minang menyebutnya dengan kosa kata ulayat.77

Menurut Purnadi Purbacaraka, “hak ulayat adalah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara

75

Opcit, John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, hal 278 76

Ibid 77

bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh”78

Menurut Boedi Harsono, “hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum adat tersebut”. Dapat dikatakan bahwa hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah lingkungan wilayahnya di bawah kepemimpinan kepala adat

.

79

Subyek hak ulayat adalah Masyarakat Hukum Adat, yang di dalamnya ada anggota masyarakat hukum adat dan ada pula ketua dan para tertua adat. Para anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama memiliki hak yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut.

.

Ter Haar mengatakan bahwa:

“anggota masyarakat hukum adat dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan dari tanah itu, tentu seizin ketua adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari hak ulayat sebagai hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi hak ulayat.”80

Kewenangan untuk mempergunakan oleh para anggota masyarakat hukum adat itulah yang disebut dalam hak ulayat sebagai ‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, hak ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam arti, orang

78

Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1983), hal.25-26

79

Boedi Harsono, Hukum Agraria, 1999, Opcit hal.215 80

asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat terbatas.

Herman Soesangobeng menandaskan bahwa81

“ulayat sebenarnya hanya menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.”

:

Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak atas tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan penguasaan nyata, utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai pemegang hak. Pertumbuhan hak atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan berdasarkan hak wenang pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada tanahnya. Kemudian setelah pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan tanda-tanda larangan maka lahirlah hak terdahulu. Hak terdahulu dimiliki oleh pihak yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Setelah membuka hutan dan lahannya diolah serta digarap maka lahir hak menikmati. Baru setelah hak menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara terus menerus maka ia berubah menjadi hak pakai. Akhirnya, setelah penguasaan dan pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi pewarisan kepada generasi berikutnya, maka hak pakai pun berubah menjadi

81

hak milik. Proses lahirnya hak atas tanah ini dalam perkembangannya, para sarjana kemudian menyederhanakan jenis hak-hak perorangan atas tanah dalam Hukum Adat menjadi hak milik dan hak pakai.82

Hak Penguasaan Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas:83

a. Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat, yang kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata dari para anggota masyarakat hukum adat atas bagian dari tanah ulayat dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat;

b. Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat, yang berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri;

c. Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat), yang terdiri atas:

1) Hak Milik, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh secara turun temurun.

2) Hak Pakai, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh dengan mengolah bagian dari wilayah adat.

Perkembangan menyebabkan adanya perubahan proses individualisasi hak ulayat yang kesemuanya itu beraspek perdata. Maka dari itu, apabila ada bagian dari hak ulayat yang mengalami proses individualisasi menyebabkan hak ulayat tersebut tidak berpengaruh lagi. Berdasarkan PMNA/KaBPN Nomor 5 Tahun 1999 pasal 4 menyebutkan bahwa :84

(1) Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :

82

S.Hendratiningsih, A.Burdiartha dan Andi Hernandi, Masyarakat dan Tanah Adat di Bali, (Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Desember, 2008), hal.8

83

Opcit, Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, hal 59

84

a. Oleh warga masyarakatnya hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.

b. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.

Jadi proses individualisasi hak ulyat dibagi menjadi 2 yaitu :85

a. Apabila subyeknya adalah warga masyarakat setempat maka prosesnya dimulai dengan adanya penguasaan tanah oleh warga masyarakat setempat menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku dan memperoleh persetujuan pemegang haknya untuk dapat dipunyai dengan hak atas tanah tanpa adanya ganti rugi yang ahrus diberikan.

b. Apabila subyeknya adalah instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat maka prosesnya dimulai dengan adanya pelepasan hak oleh masyarakat hukum adat / oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum setempat dengan memberikan “recognitie” yaitu semacam ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak ulayat setelah melalui musyawarah. Kemudian setelah itu yang bersangkutan dapat diberikan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari negara.

Peralihan hak atas tanah merupakan suatu peristiwa dan/atau

85

perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lain. Peralihan tersebut meliputi jual beli, hibah, sewa menyewa, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan hukum lain yang bertujuan atau bermaksud memindahkan hak kepemilikan tanah, tetapi peralihan yang banyak terjadi dalam masyarakat adalah peralihan dalam bentuk transaksi jual beli.

Berdasarkan ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa objek dari perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dalam hal ini adalah jual beli tanah. Objek tanah dapat berupa tanah yang sudah bersertipikat dan tanah yang belum bersertipikat.

Sebelum jual beli dilakukan antara pemlilk tanah dan calon pembeli, tentunya sudah dicapai kata sepakat mengenai akan dilakukannya jual beli itu (dikenal sebagai asas konsensualisme), tanah mana yang akan dijual dan harganya, bilamana jual belinya akan dilakukan. Kata sepakat itu menimbulkan perjanjian, yang kiranya dapat disebut perjanjian akan (melakukan) jual beli.

Pada putusan Mahkamah Agung yang dibahas adalah hak perorangan atas tanah adat ( sebagai proses individualisasi hak ulayat) yaitu Hak Milik sebagai hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh secara turun temurun.

Pada tanah adat warisan setelah ada kesepakatan dan data para pihak telah lengkap dan memperlihatkan surat keterangan ahli waris yang diketahui lurah dan dikuatkan oleh camat maka dibuat kesepakatan jual beli

dihadapan kepala desa atau ketua adat secara rill, tunai dan kontan, agar jual beli tersebut terbukti menurut KUHPerdata dan Undang-Undang Pokok Agraria maka jual beli tersebut dibuat oleh notaris dalam bentuk akta proses verbal yaitu akta berita acara jual beli tanah adat dihadapan ketua adat yang dihadiri oleh saksi dari pihak penjual dan saksi dari pihak notaris.86

Selanjutnya, berdasarkan kata sepakat itu kemudian diikuti dengan pernyataan (ijab kabul) berupa penyerahan uang (harga) dan tanah oleh pembeli dan penjual dihadapan para saksi. Pada saat itu barulah bisa dikatakan jual beli itu terjadi secara sah dan masyarakat setempat menerimanya.

Berdasarkan sistem dan tata cara jual beli menurut hukum adat dan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat sahnya suatu perbuatan hukum jual beli tanah menurut hukum adat yaitu adanya objek dari jual beli berupa tanah dan uang/harga, adanya kata sepakat para pihak (penjual dan pembeli) dan adanya saksi-saksi yang menyaksikan perbuatan hukum jual beli. Pada umumnya saksi-saksi terdiri dari persekutuan/Kepala desa, pemilik tanah yang berbatasan dan para ahli waris dari pihak penjual serta orang lain yang sengaja diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum jual beli tersebut.

Dalam hukum adat tidak dikenal adanya pendaftaran tanah. Berkaitan dengan ini, Boedi Harsono mengatakan87

“Lembaga Pendaftaran tidak dikenal dalam hukum adat. Karena :

86

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Syahril Sofyan, Pejabat Pembuat Akta Tanah pada tanggal 18 september 2013.

87

semua memang tidak diperlukan untuk lingkungan pedesaan, yang lingkup teritorial maupun personalnya terbatas. Dalam lingkungan pedesaan, demikian itu para warganya saling mengenal dan mengetahui siapa mempunyai tanah, yang mana dan siapa melakukan perbuatan-perbuatan hukum mengenal tanah miliknya”. Hal yang sama juga dikatakan oleh AP. Parlindungan :88

“Pembuktian hak-hak atas tanah di Indonesia sangatlah kompleks sekali, karena tiada ada tradisi ataupun peraturan yang menyebutkan keharusan pendaftaran tanah tersebut. Banyak hak-hak atas tanah tidak mempunyai bukti tertulis atau hanya berdasarkan keadaan tertentu diakui sebagai hak-hak seseorang berdasarkan kepada hak- hak adat dan diakui oleh yang empunya sempadan tanah tersebut”.