• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TOKOH-TOKOH POSTMODERN

A. JACQUES DERRIDA

1. Biografi Singkat Jacques Derrida

Coker, John C (2003) menjelaskan Jacques Derrida adalah seorang filosof Prancis sebagai tokoh penting post-strukturalis dan Postmodernis. Ia lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis sampai akhir hayatnya. Ia kuliah sambil di École Normale Supérieure di Paris Prancis dalam rangka melaksanakan tugas militernya bersama Hegel dan Jean Hyppolite. Dia menghabiskan waktu satu tahun di Harvard untuk menyelesaikan kesarjanaannya, dari tahun 1956-1957.

Dari tahun 1960-1964, Derrida mengajar di Sorbonne dan sejak tahun 1965 Derrida mengajar sejarah filsafat di Ecole Normale Superieure.Setiap tahun Derrida mengajar sebagai dosen tamu di Yale University, Amerika serikat. Pada masa muda, Derrida pernah menjadi anggota Partai komunis Prancis.Sejak tahun 1974 Derrida ikut aktif

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 80 dalam kegiatan-kegiatan himpunan dosen filsafat yang memperjuangkan agar filsafat dapa diajarkan mulai sekolah menengah. Kelompok ini merupakan kelompok penelitian pengajaran filsafat yang didirikan dalam rangka rencana pembaharuan pendidikan peranan filsafat pada sekolah menengah mulai dipersoalkan.Pada tahun 1962, Derrida memenangkan hadiah Prix Cavilles atas karya perdananya, dengan menerbtkan terjemahan karangan Husserl yakniAsal-Usul Ilmu Ukur.

Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap deskriminatif. Ia dipaksa mundur sedikitnya dari dua sekolah, yaitu ketika ia masih anak-anak. Pemaksaan itu semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida tidak suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya, tetapi pengalaman kehidupannya tampak berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dalam pemikirannya kemudian.

Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 81 Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas, dan Freud. Derrida mengakui bahwa gagasan-gagasannya terinspirasi dari para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'.

Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf penting kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya utama (Of

Grammatology, Writing and Differance, dan Speech and Phenomena). Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang

berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut Derrida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat.

Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lainnya (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard,

Spectres of Marx, The Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat, dari

memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa di bidang kritik sastra, dan kajian

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 82 budaya, yakni ketika metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man.

Dekonstruksi sering menjadi subjek kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar Doctor Honoris Causa di Cambridge pada 1992, banyak protes bermunculan dari kalangan filsuf “analitis.” Sejak itu, Derrida juga mengadakan banyak dialog dengan filsuf-filsuf seperti John Searle, salah satu filsuf yang sering mengritiknya.

Bagaimanapun, dari banyaknya antipati tersebut, tampak bahwa dekon-struksi memang telah menantang filsafat tradisional melalui berbagai cara penting. Derrida dianggap sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Istilah-istilah falsafinya yang terpenting adalah

différance dan dekonstruksi.

2. Pemikiran-pemikiran Jacques Derrida

1) Derrida memulai pemikirannya dari bahasa. Ia mendekonstruksi pandangan Noam Chomsky tentang strukturalis bahasa ke pandangan tindak tutur bahasa yang dipelopori oleh Austin. Menurut Derrida struktur bahasa itu bersifat kaku dalam membentuk makna. Derrida keluar dari strukturalis ke post strukturalis dengan kerangka pemikiran bahwa teks adalah tanda,

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 83 sedangkan tandabukan sarana untuk menghadirkan makna tetapi tanda sama nilainya dengan kehadiran makna, maka makna hakikatnya adalah teks itu sendiri. Dengan demikian, Derrida menolak pandangan strukturalis yang menyatakan bahwa makna hanya ditentukan oleh kaidah/sistem yang berada di luar subjek. Menurutnya makna ditentukan oleh teks itu sendiri (konteks) dan subjek (pembaca).

2) Pemikiran Derrida tentang Dekonstruksi dan Defferance adalah pembong-karan makna. Pembongkaran makna itu menampakkan aneka ragam aturan yang sebelumnya tersembunyi untuk menentukan teks. Derrida menyebutnya dengan istilah dekonstruksi. Satu hal yangdapat ditampakkan melalui proses pembongkaran makna yang mendapat perhatian khusus dalam filsafat Derrida adalah “yang tak dipikirkan” dan “yang tak terpikir”. Metode dekonstruksi Jacques Derrida tentang “yang tak dipikirkan” dan “yang tak terpikir” inilah yang kemudian membuat Derrida melakukan kritik terhadap pemikiran para penganut metafisika. “Yang tak dipikirkan” maksudnya adalah “yang mustahil dipikirkan”, menurut Derrida, hal itu merupakan hal yang belum dapat dipikirkan oleh para penganut metafisika

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 84 (mungkin teks-teks tersebut dianggap suci, jadi tidak ada yang berani untuk menyentuhnya), sedangkan “yang tak terpikir”, maksudnya adalah hal-hal yang bisa dipikirkan kembali dari pemikiran filosofis penganut metafisika. Dengan demikian, penafsiran yang dianggap mustahil atau tabu karena dianggap suci bagi kaum metafisika atau agamawan, menjadi sesuatu yang wajar untuk ditafsirkan.

3) Dekonstruksi juga tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian, serta pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah makna itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang dilakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks. Derrida mau melakukan desedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 85 dalam teks, maksudnya bahwa makna tidak bersifat tunggal melainkan plural.

4) Dekonstruksi Derrida tidak hanya menggambarkan teks, melainkan juga mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terpikirkan justru bisa tampil menjadi dominan dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Tidak ada bagian teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Apabila tidak ada yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan demikian dimungkinkan dalam kurun waktu yang berbeda atau oleh pembaca yang berbeda ditemukan makna yang berbeda pula, misalnya makna kekuasaan bagi seorang eksekutif akan berbeda jika ditafsirkan oleh rakyat biasa.

5) Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Konsep dekonstruksi dapat dipahami dengan konsep differance, jejak-jejak makna (trace), dan iterabilitas.Kata differance terdiri atas dua

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 86 kata yakni membedakan (to differ), dan menunda kepastian (to defer). Jadi kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan ditangguhkan kepastiannya, karena kebenaran harusditangguhkan dan dibedakan terus menerus, maka kebenaran mutlak itu pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida, yang bisa ditemukan dan diketahui adalah jejak-jejak dari kebenaran, dan bukan kebenaran mutlak. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace) di dalam pemikiran Derrida. Sementara iterabilitas adalah kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison pembaca dan penafsirnya.

3. Kelemahan

Kelemahan metode dekonstruksi adalah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos, sehingga era dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi, maksudnya tidak ada satu makna yang mengandung kebenaran mutlak. Kebebasan tanpa

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 87 batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna yang dapat mengurangi nilai dan objek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an makna dapat menimbulkan apatisme dan ketidakpercayaan terhadap makna. Dekonstruksi tidak menyediakan

shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan

pemaknaan, sehingga tidak ada upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghancuran makna karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna-makna-makna lama ada kemungkinan memberi nilai tambah bagi makna-makna baru.

4. Kelebihan

Kelebihan metode Dekonstruksi yaitu menolak kemapanan, menolak objektivitas tunggal dan menolak kestabilan makna sehingga membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Dekonstruksi membuat penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru, sehingga melahirkan makna-makna lain. Setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas, sehingga ruang makna terbuka luas. Tafsiran-tafsiran makna berkembang biak secara

terus-Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 88 menerus. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Pemikiran Derrida ini memberikan ekses yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu dan teknologi saat ini. Terbukanya pemaknaan terhadap teks mendorong para pembaca untuk menciptakan makna yang seluas-luasnya sesuai dengan konteks dan subjek pembaca, sehingga pemaknaan terhadap teks tidak lagi tunggal dan sakral tetapi beragam dan sangat kaya wawasan.

Perhatikan contoh di bawah ini:

Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur Kota Jakarta Dari kelas tinggi dan kelas rendah Telah diganyang

diharu-biru Mereka kecut Keder

Terhina dan tersipu-sipu

Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan Tapi jangan kau lewat putus asa Dan kaurelakan dirimu dibikin korban Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta Sekarang bangkitlah

Sanggul kembali rambutmu Karena setelah menyesal Datanglah kini giliranmu

Bukan untuk membela diri melulu Tapi untuk lancarkan serangan Karena

Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan Tapi jangan kaurela dibikin korban

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 89 Sarinah

Katakan kepada mereka

Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu Tentang perjuangan nusa bangsa

Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal Ia sebut kau inspirasi revolusi Sambil ia buka kutangmu Dan kau Dasima

Khabarkan pada rakyat

Bagaimana para pemimpin revolusi Secara bergiliran memelukmu

Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi Sambil celananya basah

Dan tubuhnya lemas Terkapai disampingmu Ototnya keburu tak berdaya Politisi dan pegawai tinggi Adalah caluk yang rapi

Kongres-kongres dan konferensi Tak pernah berjalan tanpa kalian Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’ Lantaran kelaparan yang menakutkan Kemiskinan yang mengekang Dan telah lama sia-sia cari kerja Ijazah sekolah tanpa guna Para kepala jawatan Akan membuka kesempatan Kalau kau membuka paha Sedang diluar pemerintahan Perusahaan-perusahaan macet Lapangan kerja tak ada Revolusi para pemimpin Adalah revolusi dewa-dewa Mereka berjuang untuk syurga Dan tidak untuk bumi

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 90 Revolusi dewa-dewa

Tak pernah menghasilkan Lebih banyak lapangan kerja Bagi rakyatnya

Kalian adalah sebagian kaum penganggur yang mereka ciptakan Namun

Sesalkan mana yang kau kausesalkan Tapi jangan kau lewat putus asa Dan kau rela dibikin korban Pelacur-pelacur kota Jakarta Berhentilah tersipu-sipu Ketika kubaca di koran

Bagaimana badut-badut mengganyang kalian Menuduh kalian sumber bencana negara Aku jadi murka

Kalian adalah temanku Ini tak bisa dibiarkan Astaga

Mulut-mulut badut

Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan Saudari-saudariku

Membubarkan kalian

Tidak semudah membubarkan partai politik Mereka harus beri kalian kerja

Mereka harus pulihkan darjat kalian Mereka harus ikut memikul kesalahan Saudari-saudariku. Bersatulah Ambillah galah

Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya Araklah keliling kota

Sebagai panji yang telah mereka nodai Kinilah giliranmu menuntut

Katakanlah kepada mereka

Menganjurkan mengganyang pelacuran Tanpa menganjurkan

Mengawini para bekas pelacur Adalah omong kosong

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 91 Pelacur-pelacur kota Jakarta

Saudari-saudariku

Jangan melulur keder pada lelaki Dengan mudah

Kalian bisa telanjangi kaum palsu Naikkan tarifmu dua kali

Dan mereka akan klabakan Mogoklah satu bulan Dan mereka akan puyeng Lalu mereka akan berzina Dengan isteri saudaranya.

Pandangan W.S. Rendra dalam konteks wacana di atas sangat bertolak belakang dari pandangan pakem masyarakat terhadap pelacur. Apabila masyarakat pada umumnya memandang pelacur sebagai wanita yang memiliki moralitas rendah ‘bejat’, sebagai penggoda para laki-laki sekaligus sebagai aib, baik bagi keluarga maupun bagi masyarakat, maka W.S. Rendra memandang dari sudut pandang humanis terhadap sesama manusia dan menafikkan kemunafikan masyarakat kelompok lain yang memandang dirinya lebih terhormat (para politisi, pejabat dan birokrat) serta menempatkan para pelacur pada kelas “sampah” di masyarakat.

Rendra melihat sebaliknya, dari kacamata humanis, dia

memandang pelacur sebagai korban kebiadaban dan

ketidakmanusiawian para birorat dan politisi. Menurut Rendra, pekerjaan pelajur merupakan korban keserakahan para penguasa yang menjadikan mereka kelaparan dan sulit mendapatkan pekerjaan. Itu sebabnya, Rendra menyebut mereka sebagai teman sesame rakyat yang menjadi korban kebiadaban, keserakahan, dan kemunafikan para birokrat.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 92 Sementara itu, di pihak para politisi dan birokrat, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, para birokrat sangat membutuhkan kehadiran para pelacur /sebagai inspirasi revolusi, kekuatan perjuangan pembangunan/, namun di sisi lain, untuk menunjukkan kehormatannya di masyarakat, dia berteriak pelacur sebagai sampah masyarakat. Itu sebabnya, Rendra menyebut mereka sebagai /Politisi dan pegawai tinggi adalah caluk yang rapi. Kongres-kongres dan konferensi tak pernah berjalan tanpa kalian/.

Derrida mengatakan, pembaca bebas memaknai teks ketika sudah menjadi milik masyarakat pembaca. Perbedaan dan pemekaran makna tersebut menurut Derrida dapat dilakukan dengan cara (1) melacak unsur makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi dan (2) membalikkan atau mengubah makna yang sudah dikonvensionalkan. Dengan demikian, puisi di atas juga dapat ditafsirkan menjadi berbagai macam makna, misalnya paradoks dari sudut pandang si pelacur, pejabat, politisi, masyarakat awam, ustadz, pendidik, sosiolog, psikolog, dan sebagainya. Masing-masing sudut pandang akan menghasilkan penafsiran yang berbeda dari masing-masing persepsi pembaca, sehingga satu teks wacana puisi dia atas dapat menghasilkan jutaan penafsiran makna oleh subjek pembaca yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Dari berbagai penafsiran tersebut semua mengandung kebenaran dan tidak ada satu penafsiran pun yang dinilai paling benar.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 93 Pemikiran Derrida dapat digambarkan melalui skema/bagan sebagai berikut:

Gambar 4.1 : Skema Pemaknaan Teks Dekonstruksi Derrida

Berdasarkan skema di atas dapat dijelaskan bahwa iterabilitas teks (kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus-menerus di dalam konteks yang berbeda-beda) menurut Derrida didasarkan pada 3 hal yaitu (1) Oposisi Binner (makna yang berlawanan); (2) Difference (makna yang belum terpikirkan); (3) Defferance (makna

ITERABILITAS TEKS

PROSES PEMAKNAAN DEKONSTRUKSI 1. OPOSISI BINNER 2. DIFFERENCE 3. DIFFERANCE KONTEKS PENGETAHUAN PENGALAMAN HASIL DEKONSTRUKSI

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 94 yang tidak terpikirkan). Untuk memperoleh makna tersebut penafsir dipengaruhi oleh (1) konteks (sejarah dan tempat teks itu ditafsirkan); (2) pengalaman penafsir; (3) pengetahuan penafsir. Artinya banyaknya pengalaman dan dalamnya pengetahuan penafsir akan berpengaruh terhadap hasil dekonstruksi makna. Dengan demikian akan diperoleh jenis makna yang berbeda antara penafsir yang satu dengan penafsir yang lain dalam konteks yang berbeda. Inilah yang disebut Derrida sebagai trace (jejak-jejak makna).

Dokumen terkait