• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUBUNGAN PANDANGAN

A. Strukturalisme

Bahasan dalam topik ini berkaitan dengan kemunculan pemikiran setelah adanya teori sosial modern yang diawali oleh strukturalisme hingga post-strukturalisme yang akhirnya dikenal sebagai teori Postmodern (Posmo).Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki makna ketika dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya bukan terletak pada individu. Pemahaman strukturtalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada sistem relasi struktur yang mendasarinya (Barker, 2004:17)

Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 33 Strukturalisme lebih memusatkan perthatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur linguistik ke struktur sosial. Saussure yang merupakan tokoh strukturalisme, memberikan pembedaan antara langue dan

parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa

formal, sistem elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan adanya

parole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara

pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri(Ritzer dan Goodman, 2004:604)

Strukturalisme muncul di tahun 1960-an berbasis karya Saussure yang diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa. Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa objek budaya itu seperti literatur, seni dan arsitektur, harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar di tempat berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 34 karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia (Haryanto, 2010).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strukturalisme melihat makna sebagai hasil struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa warna merah kendaraan harus berhenti, kuning harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan realitas sosial.

Contoh Pemaknaan Strukturalis

Pemaknaan berdasarkan strukturalis digunakan untuk mendapatkan satu penafsiran yang universal. Oleh karena itu, pemaknaan dimulai dengan pembacaan secara heruistik (berdasarkan kaidah bahasa yang lengkap dan benar) kemudian ditafsirkan secara

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 35 hermeneutis (berdasarkan konteks sejarah yang melatarbelakangi diciptakannya puisi). Perhatikan puisi berikut ini yang akan dimaknai berdasarkan perspektif strukturalis.

Aku Memberi Kesaksian Karya W.S. Rendra Aku memberi kesaksian

bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai Filsafat mati

dan penghayatan kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi.

Kepatuhan diutamakan, kesangsian dianggap durhaka.

Dan pertanyaan-pertanyaan dianggap pembangkangan. Pembodohan bangsa akan terjadi

karena nalar dicurigai dan diawasi

Puisi di atas jika dimanai berdasaran pandangan strukturalis, dapat dibaca secara heuristik dengan kaidah bahasa baku, seperti berikut ini:

Aku memberi (kan) kesaksian

bahwa di dalam (negara yang dikuasai oleh) peradaban pejabat dan pegawai,

Filsafat (di)mati(kan)

dan penghayatan (terhadap)kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi(dari negara). Kepatuhan (menjadi) diutamakan (dan kebebasan berpikir dikekang),

kesangsian dianggap durhaka (kepada pemerintah). Dan pertanyaan-pertanyaan (kritis) dianggap pembangkangan (kepada pemerintah). Pembodohan bangsa akan terjadi(di negara yang dikuasai oleh

peradaban pejabat dan pegawai seperti itu)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 36 Berdasarkan pembacaan heuristik, maka pemaknaan puisi di atas menjadi:

Aku memberikan kesaksian, bahwa di dalam negara yang dikuasai oleh peradaban pejabat dan pegawai, filsafat dimatikan, dan penghayatan terhadap kenyataan dikekang, diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi dari negara. Kepatuhan menjadi diutamakan, kebebasan berpikir danberpendapat menjadi dmenjadi pengekangan. Artinya semua lapisan masyaraat hanya boleh menjalankan peerjaan sesuai dengan aturan pemeritah dan lembaganya tida boleh bertanya apalagi berpendapat. Kesangsian dianggap durhaka kepada pemerintah, dan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap pemerintah dianggap pembangkangan kepada pemerintah. Pembangkangan berarti harus menerima konsekuensi hukuman. Hukuman yang diberikan sangat tergantung pada penguasa bukan hukum yang berlaku. Dengan demikian, pembodohan bangsa akan terjadi di negara yang dikuasai oleh peradaban pejabat dan pegawai seperti ini, karena nalar dicurigai dan diawasi oleh aparatus negara.

Setelah dilakukan pembacaan secara heruistik kemudian ditafsirkan secara hermeneutis. Pemaknaan secara hermeneutis disesuaikan dengan sudut pandang tertentu, pengetahuan, pengalaman, historis, dan konteks penulisan. Pembacaan secara hermeneutis pada teks di atas, dapat ditafsirkan sebagai berikut: apakah yang melatarbelakangi W.S. Rendra menulis puisi “Aku Memberi Kesaksian Mastodon-mastodon” di atas terjadi pada tahun 1973? Bagaimanakah peradaban pejabat dan pegawai (birokrat) pada saat itu? Apakah di negeri ini sedang dalam titik kritis, menuju kematian filsafat pada saat itu? Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat membantu memahami latar

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 37 belakang puisi ini diciptakan untuk memperoleh pemahaman makna puisi secara hermeneutis.

Berdasarkan historisnya, peradaban birokrat pada masa itu, eselonisasi, strukturisasi, hierarki, dan doktrinasi dikemas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan istilah formal lainnya, mengindikasikan bahwa kebudayaan/peradaban birokrat bersifat kaku, instruksi top-bottom, loyalitas dinomorsatukan dan struktur adalah segala-galanya. Seorang Pejabat Eselon II, misalnya, memiliki beberapa bawahan Eselon III, Eselon IV dan Pelaksana. Institusi birokrasi yang dikuasai oleh pejabat umumnya menganut sistem semi militer, maka apa yang dikatakan Pejabat Eselon II harus dilaksanakan oleh Pejabat dan Pelaksana di bawahnya. Tidak boleh ada yang mengkritik apalagi mencela. Bahkan masyarakat sering menyaksikan tingkah laku para Pejabat yang menyebalkan dan merepotkan anak buahnya. Akan tetapi, karena ketakutan memberikan kritik dan saran, akhirnya mereka hanya bisa kasak kusuk sesama pelaksana atau pejabat selevel tanpa berani mengritik pejabat dengan level di atasnya. Gagasan kreatif terbelenggu oleh aturan kepatuhan, sehingga tidak ada kreativitas dan inovasi dalam layanan publik.

Menurut W.S. Rendra, semua kebobrokan itu bermula ketika birokrat berhenti menghidupkan filsafat. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang bermakna orang yang mencintai kebijaksanaan.Filsafat menekankan pada cara berpikir kritis; menimbang-nimbang segala sesuatu dari benar atau salah, melihat segala permasalahan dari perspektif yang lebih luas, meninggalkan taklid (tunduk buta) terhadap sebuah doktrin, baik dari ideologi maupun agama.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 38 Dengan demikian, menurut W.S. Rendra apabila dalam demokrasi dihidupkan budaya berfilsafat maka dalam kebudayaan birokrasi akan muncul birokrat-birokrat yang berjuang di jalan kebenaran, birokrat-birokrat yang selalu kreatif dan inovatif dalam melaksanakan layanan publik; bukan birokrat-birokrat yang membela atasannya, seperti anjing membela tuannya.

Konsekuensinya, menurut W.S. Rendra, institusi birokrasi harus berani menerima kritik dan konsekuensi apabila ada salah satu anggotanya melaporkan kebobrokan institusinya kepada pihak yang berwewenang, seperti institusi pengawasan (KPK dan Inspektorat Jenderal). Institusi birokrasi harus bersifat terbuka terhadap kritik, saran, dan inovasi, agar birokrasi dapat berkembang dalam melayani masyarakat dan membangun negara dengan penuh tanggung jawab. Untuk itu diperlukan revolusi birokrasi secara menyeluruh dan mengakar dengan menghidupkan filsafat.

Dengan menghidupkan kembali filsafat di institusi masing-masing, W.S. Rendra yakin bahwa birokrat-birokrat yang berfilsafatakan mengembalikan rusaknya peradaban yang cenderung dehumanisasi di negeri ini menjadi peradaban yang humanis dan berpihak pada kebenaran.

Dokumen terkait