• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Teori Postmodern Terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perspektif Teori Postmodern Terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 2

PERSPEKTIF TEORI POSTMODERN

TERHADAP PROBLEMA SOSIAL POLITIK

KONTEMPORER

Penulis : Umi Salamah Pengantar:

1. Prof. Dr. Wahyudi Winaryo, M.Si 2. Prof. Dr. Wahyudi Siswanto, M.Pd Ilustrasi Gambar dan Sampul :

Wibisono

Diterbitkan oleh : Penerbit KAFNUN

Anggota IKAPI No. ………... Alamat : ……… ………. ………. Cetakan Pertama, November 2015 Ukuran : 15 x 21 cm

Jumlah : xvii + 175 halaman

ISBN : ……….

Ketentuan Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2002 tentang Perubahan Undang-Undang Nomer 12 Tahun 1997

(3)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 3 Moto:

Bukan ilmu pengetahuan yang membuat kerusakan dan kemiskinan, tetapi ketidakseimbangan akal budi dalam menerapkannya.

Untuk mencapai perdamaian dan

kemakmuran akal budi harus seimbang.

Jangan mendidik dengan akal saja, nanti hanya bisa akal-akalan, bekali juga budi pekerti yang sesuai agar menjadi pribadi arif, pencerah peradaban.

Kuwariskan buku ini kepada:

Generasiku, mahasiswaku, dan pembaca yang mencintai ilmu dan kebenaran.

(4)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 4 SEKAPUR SIRIH

Promotor

Puji syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahakasih, yang telah memberikan spirit bagi diterbitkannya buku yang berjudul: Perspektif Teori Posmodern terhadap Problema Sosial-Politik Kontemporer. Perasaan bangga dan bahagia tercurahkan kepada Ibu Umi, yang dalam kesibukan penulisan penelitian disertasi, masih mampu menuangkan hasrat akademiknya ke dalam karya tulisan ilmiah ini. Meskipun harus diakui masih terdapat beberapa kelemahan dalam penjelasan epistemologis, namun karya ini tetap saja mempunyai makna akademik yang signifikan. Lebih baik pernah menuliskan gagasannya ke dalam karya tulisan meski belum sempurna, daripada tidak pernah berbuat sama sekali. Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, no one perfect,

termasuk di dalamnya karya buku ini.

Buku yang bergenre posmo ini merupakan hasil dekonstruksi dan rekonstruksi Sang Penulis terhadap beberapa perspektif posmodern yang dikontekstualisasikan dengan realita di Indonesia. Meskipun buku ini tidak mewakili seluruh gagasan posmodern, namun karya ilmiah

(5)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 5 ini patut menjadi dukungan bacaan bagi siapa saja yang bermaksud mendalami pemikiran-pemikiran posmodernism, khususnya yang ditautkan dengan dinamika persoalan sosial politik kontemporer di Indonesia.

Mempelajari, mengkaji, mendalami, dan merenungi teori posmodern adalah sesuaatu yang menggairahkana. Kita akan terbuai mimpi, terbawa obsesi, dan terdorong untuk bersikap dan/atau berperilaku yang praksis-emansipatoris sebagaimana digagas oleh Karl Marx ataupun kaum Marxian umumnya. Namun lacur apa yang mau dikata, arena kehidupan modern seperti yang kita alami bersama ini, telah menggurita habis-habis-an sisi humanitas kita. Seolah tiada lagi lubang sekecil apapun untuk kita bisa keluar dari jebakan modernitas si biang persoalan kehidupan itu. Sang Powerless tidak pernah bisa menjadi aktor bagi dirinya. Mereka tersubordinasi, terkooptasi, tereksploitasi, terhegemoni, terkomodifikasi, teralienasi, dan terjajah oleh

Sang Strong Power, yang bisa mengejawantah dalam wujud

kapitalisme dengan segala derivasinya yang embeded pada

market, global impersonal system, demokrasi, serta tata

sistem kehidupan lainnya.

Memperhatikan nasib Sang Powerless yang terpuruk sebagaimana digambarkan di atas, teori posmodern

(6)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 6 bermaksud membangkitkan kembali visi-misi pencerahan yang semula diembankan amanahnya pada peran fungsional ilmu pengetahuan. Teori-teori posmo bergandengan tangan untuk menagih ikrar suci ilmu pengetahuan yang dulunya hendak menjadi bagian dari cara manusia dalam memecahkan persoalan nyata kehidupannya. Teori-teori posmo ingin membawa kembali agar rasio benar-benar dapat membebaskan manusia, bukan malah menghamba pada ‘kekuasaan’ yang senantiasa menghisap darah Sang Powerless. Teori-teori posmo bertekad mendorong setiap subyek menjadi otonom, independen atas dirinya sendiri, serta atas keyakinan dan perspektif sendiri. Teori-teori posmo menggugah kesadaran humanis terdalam setiap subyek agar menggunakannya secara optimal sehingga tidak menjadi sosok lemah yang selalu dipaksa, terpaksa, dan dibuat terbiasa oleh hasrat penjajang Sang impersonal

systems yang tidak manusiawi itu.

Dalam keyakinan posmodern, setiap ilmu pengetahuan mengemban misi yang mulia, dan tidak sekedar selebar perspektif grand narative sebagaimana kita jumpai dalam naskah-naskah agama, filsafat, serta teori-teori besar di abad modern ini. Eksemplar yang terpapar dalam narasi besar tersebut telah terkontaminasi oleh vested

(7)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 7

interest Sang Penyampai yang absurd. Banalitas ilmu

pengetahuan tersebut telah menjadi materi inti gugatan teori-teori posmodern. Teori-teori posmo menolak keras industrialisasi ilmu pengetahuan yang sejauh ini telah mencampakkan sisi humanitas Sang Pewaris Sah Pemimpin di muka bumi, manusia.

Semoga buku ini, mampu menjadi salah satu pilar visi-misi teori posmodern.

Malang, Nopember 2015

Promotor,

Prof. Dr. Wahyudi Winarjo, M.Si Email: wahwahyudi@yahoo.com

(8)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 8

Pengantar Buku Perspektif Teori Postmodern

terhadap Problema Sosial-Politik Kontemporer

Guru Besar Universitas Negeri Malang

Saat manusia berada dalam kungkungan alam, pemikirannya sangat sederhana. Kebiasaan dan peralatan yang mereka gunakan pun hanya untuk mempertahankan diri agar biasa hidup dari alam. Begitu mereka bisa mengelola alam, kebiasaan mengelola benda-benda yang mereka hasilkan menjadi tidak sederhana lagi. Pola pikir mereka dalam mengelola alam menjadi semakin teratur dan lebih bijak. Keselarasan dengan alam pun dijaga dengan baik, hingga tiba masa revolusi industri.

Munculnya revolusi industri membuat manusia berpikir efektif dan efisien. Kecepatan menjadi obsesi. Kendaraan berlomba adu cepat, produksi, pengiriman, dan penjualan barang harus serba cepat, bekerja pun dituntut harus cepat.

Revolusi industri berpengaruh pada cara pandang manusia di berbagai sisi kehidupan: ilmu pengetahuan, mata pencarian, teknologi, seni kerajinan, arsitektur, bahkan sistem pemerintahan. Rasionalitas menjadi tumpuan.

(9)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 9 Kapitalisme dan industrialisme tidak bisa

dihindarkan. Semuanya diukur dengan uang, semuanya menjadi lahan industri. Kelas sosial antara pemilik modal dan buruh semakin nyata terbelah.Tidak hanya melirik milik tetangga, mereka juga ekspansi ke negara tetangga. Hingga menyuburkan niat dan hasrat untuk menjajah. Hal inilah yang memunculkan pemikiran modern.

Dalam alam pikiran modern, semua yang bersifat tradisional, pelan, harmonis, emosional, irasional,

ditinggalkan. Mereka beralih pada hal-hal yang bersifat praktis dan pragmatis. Baik disadari maupun tidak, kebudayaan lama mulai ditinggalkan dan berubah bentuk. Penghancuran dan kehancuran nilai-nilai budaya luhur, situs kebudayaan, kearifan lokal, adat istiadat, norma, kebiasaan, pola kebiasan, benda budaya, seni, kerajinan, arsitektur, tatanan bermasyarakat, tatanan keluarga, terjadi pada semua negara. Hal inilah yang menimbulkan keprihatinan tokoh-tokoh pascamodernisme.

Munculnya penikiran pascamodernisme ini cukup beragam. Bahkan, ada pemikiran dalam pascamodernisme yang sulit dipertemukan, misalnya Lyotard dan Geldner, berpendapat bahwa pascamodernisme merupakan

(10)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 10 dan Baudrillard menyatakan bahwa pemikiran ini

merupakan bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya mengarah ke teori yang sulit diseragamkan. David Graffin berpendapat bahwa pascamodernisme adalah hubungan beberapa aspek dari moderinisme. Sementara itu, bagi Giddens, pascamodernisme adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Habermas berpendapat bahwa pemikiran ini merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.

Sudah ada beberapa buku yang ditulis tentang pascamodernisme baik dalam bahasa asing maupun dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, pemikiran pascamodernisme yang lumayan perlu perenungan ini sering sulit dipahami karena disampaikan dengan bahasa yang tidak lugas dan contoh yang tidak akrab dengan pembacanya di Indonesia.

Di tengah keingintahuan orang tentang pasca-modernisme, buku Umi Salamah ini juga menyajikan pascamodernisme mulai dari pengertian, sejarah; tokoh tokoh pascamodernisme beserta pemikiran mereka; hubungan pascamodernisme dengan strukturalisme dan poststrukturalisme; postmodern sebagai kerangka berpikir kajian sosiologis. Yang membedakan dengan buku lain adalah cara penyajiannya. Buku ini dikemas dengan bahasa

(11)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 11 yang mengalir dan mudah untuk dipahami. Buku ini

semakin menarik karena menggunakan contoh-contoh yang digunakan untuk menjelaskan konsep pemikiran dengan contoh konkret berupa puisi dan peristiwa nyata yang bisa kita pahami dalam keseharian kita. Saya banyak belajar dari buku ini karena peristiwa yang selama ini remang-remang ternyata bisa dijelaskan dengan gamblang dalam buku ini. Buku ini menyajikan pemikiran pascamodernisme dengan rasa Indonesia.

Prof. Dr. Wahyudi Siswanto, M.Pd Email: wahyudisiswantofsum@gmail,com

(12)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 12

PENGANTAR DARI PENULIS

Fenomena masalah sosial yang terjadi di zaman kontemporer saat ini sangat unik dan beragam.Teori modernis yang mengandalkan rasio tidak akan mampu memecahkan masalah sosial yang sangat unik, seperti makin maraknya dunia pencitraan dalam media masa, makin pesatnya teknologi dalam menampilkan film dunia fantasi, ilusi, dan intuisi, dan hubungan sek dengan produktivitas karya. Teori modernis yang bersifat universal juga tidak mampu menjelaskan berbagai fenomena sosial yang sangat beragam, di antaranya perbedaan persepsi terhadap peristiwa sosial, perbedaan sudut pandang konteks historis dan sosial, serta berbagai temuan rekayasa teknologi. Sehubungan dengan itu, prinsip homologi (kesatuan ontologis) dalam teori modernisme harus didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme) yang menjadi substansi teori Postmo dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan oleh ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro status-quo.

Dalam disiplin sosiologi terdapat nama Norman Denzin dengan kajian film dan Pierre Bourdieu dengan

(13)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 13 nama Jean Francois Lyotard dengan konsep paralogi, disensus dan delegitimasi, Jacques Derrida dengan dekonstruksi, Michel Foucault dengan kajian tentang arkeologi pengetahuan, genealogi sejarah seksualitas dan teknologi kekuasaan, serta Jean Baudrillard dengan kajian budaya tentang dunia simulasi, hiperrealitas, simulacra dan dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realitas kebudayaan dewasa ini (Featherstone, 1988:196).

Kesemarakan dan kegairahan kepada tema postmodernisme ini bukanlah tanpa alasan. Sebagai sebuah pemikiran, postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigma modernisme yang dipandang gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan menyebabkan munculnya berbagai patologi modernitas (Rosenau, 1992:10).

Alhamdulillah, akhirnya buku kecil tentang

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema

Sosial-Politik Kontemporer, ini dapat diwujudkan. Ucapan terima

kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Wahyudi Winarjo, M.Si, pembimbing matakuliah pendalaman Teori Disertasi yang dengan sabar dan runtut memberikan arahan penulisan ini. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan, kesejahteraan,

(14)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 14 dan kebahagiaan kepada Beliau dan keluarga. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepaad Prof. Dr. H. Wahyudi Siswanto, M.Pd yang telah ikhlas membaca dan memberikan pengantar buku ini, semoga Allah juga selalu memberikan rahmat dan ridla-Nya kepada Beliau dan keluarga.

Dalam buku kecil ini, dibahas Perspektif Posmo dalam kajian Sosial-Politik saat ini dengan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dipahami. Sebutan istilah postmodern (posmo) dalam buku ini menyiratkan adanya perkembangan pasca teori modern. Gagasan ini menggambarkan sesuatu yang paling akhir dan yang paling baru. Hal ini disebabkan oleh pergeseran teori yang dianggap ada masalah dengan modernitas. Inilah yang ingin ditunjukkan dan dijelaskan oleh pakar postmo.

Meskipun demikian, dalam teori sosiologi, teori modern dan teori klasik masih tetap penting dalam disiplin ini. Akan tetapi postmo makin besar pengaruhnya atas teori sosiologi, karena teori posmo paling dekat dengan kemanusiaan dan dapat menjawab berbagai fenomena keunikan dan keragaman di bidang sains, budaya, ilmu pengetahuan dan tekologi saat ini. Diharapkan oleh teoretisi

(15)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 15 sosiologi, teori posmo akan menjadi teori yang paling terbuka terhadap kajian masalah sosial kontemporer saat ini. Untuk mengetahui teori posmo lebih lanjut, dalam buku kecil ini akan dibahas enam halyang berkaitan dengan ihwal posmo. Yang pertama dibahas sejarah postmo, kedua dibahas huhungan pandangan strukturalis, poststrukturalis, dan posmo, ketiga dibahas postmo sebagai kerangka berpikir kajian sosiologis, keempat tokoh-tokoh postmo dan pemikirannya, kelima dibahas kekuatan teori Postmo, dan keenam dibahas epilog penulis sebagai penutup buku ini.

Semoga buku kecil yang disampaikan dengan bahasa yang lantur dan sederhana ini dapat menambah pemahaman terhadap teori Postmo, khususnya dalam ilmu sosial dan politik. Ibarat tidak ada gading yag tak retak, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari para pembaca yang bijak untuk perbaikan tulisan ini.

Malang, November 2015 Penulis,

Umi Salamah

(16)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 16 DAFTAR ISI

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... PENGANTAR PROMOTOR ... PENGANTAR GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI MALANG ... PENGANTAR PENULIS ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... ii iii vii xi xv xvii xvii BAB I SEJARAH POSTMODERN ... 1

BAB II HUBUNGAN PANDANGAN

STRUKTURALIS,

POSTSTRUKTURALIS, DAN POSTMODERN …... A. Strukturalisme ………..… B. Post – Strukturalisme ………... C. Hubungan konseptual antara

Strukturalis dengan Post –

Strukturalis ………...…… D. Perbedaan Modern dan

Postmodern (Posmo) ……...… 14 14 20 28 33

BAB III POSTMODERN SEBAGAI

KERANGKA BERPIKIR

KAJIAN SOSIOLOGIS ... 40

BAB IV TOKOH-TOKOH POSTMODERN

DAN PEMIKIRANNYA ... A. JACQUES DERRIDA ………….. 1. Biografi Jacques Derrida ... 2. Pemikiran Jacques Derrida

tentang Postmodern ... 3. Skema Pemikiran Jacques

Derrida ... B. JEAN FRANCOIS LYOTARD ...

61 61 61 64 75 76

(17)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 17 1. Biografi Jean-François Lyotard.... 2. Pemikiran Jean-François Lyotard

tentang Postmodern ... 3. Skema Pemikiran Jean-François

Lyotard ...

C. MICHEL FOUCAULT …………

1. Biografi Michel Foucault ... 2. Pemikiran Michel Foucault

tentang Postmodern ... 3. Skema Pemikiran Michel

Foucault ... D. BAUDRILLARD ………..…... 1. Biografi Baudrillard ... 2. Pemikiran Baudrillard tentang

Postmodern ... 3. Skema Pemikiran ... E. PIERRE BOURDIEU .………….. 1. Biografi Bourdieu ... 2. Pemikiran Bourdieu tentang

Postmodern ... 3. Skema Pemikiran Baourdieu ... F. JACQUES MARIE ÉMILE

LACAN ………... 1. Biografi Jacques Marie Émile

Lacan ... 2. Pemikiran Jacques Marie Émile

Lacan tentang Postmodern ... 3. Skema Pemikiran Jacques Marie

Émile Lacan ... 76 77 88 89 89 90 98 99 99 101 116 118 118 120 132 134 134 137 150 BAB V KEKUATAN POSTMODERN ... 155 BAB VI EPILOG ... 160 REFERENSI ………...……... 169

(18)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 18 DAFTAR TABEL

TABEL 2.1 Perbedaan Strukturalis dengan

Poststrukturalis ... 33 TABEL 2.2 Perbedaan Modernisme dengan

Postmodernisme ... 38 TABEL 4.1 Pemikiran Modernism versus Pemikiran

Postmo Lyotard 87

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 4.1 Skema Pemaknaan Teks Dekonstruksi

Derrida ………... 75

GAMBAR 4.2 Skema Pemikiran Lyotard ………... 88 GAMBAR 4.3 Skema Pemikiran Foucault ………. 98 GAMBAR 4.4 Skema Pemikiran Baudrillard ... 116 GAMBAR 4.5 Skema Pemikiran Bourdieu ... 132 GAMBAR 4.6 Skema Pemikiran Lacan ... 150

(19)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 19

BAB I

SEJARAH POSTMODERN

Turner (2010) menjelaskan sejarah teori Postmodern berawal dari Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM yang merupakan tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah bermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel dan kepercayaan. Sejak saat itu manusia melakukan pemberontakan dari kungkungan kebudayaan mitologis dan mulai menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia.

Sejarah penaklukan alam yang berdasarkan pandangan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, “Kenalilah dirimu sendiri”. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia terdiri atas tiga tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain.

(20)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 20 Pandangan Plato tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang dianalogkan dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio), kedua, para prajurit (analog dengan kehendak), dan ketiga, para petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Santoso, 2009:43-44). Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.

Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kebekuan pemi-kiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan. Semangat pembebasan yang dibawa Renaisansyaitu keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Santoso, 2009:11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai

(21)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 21 tempat persemaian benih pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.

Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan mensintesiskan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa “Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu”. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, “Cogito ergo sum

artinya “Aku berpikir maka aku ada”. Dengan diktum ini, rasio diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern.

Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, yaitu Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia, yakni Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi

(22)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 22 (kategori) dan Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Sugiharto, 2007). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.

Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya masuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang mengantar manusia pada realitas baru (Turner, 2003). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembang-nya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi, televisi, koran, iklan, film, internet, dan berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi, dan pluralisme.

Meskipun demikian, dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan kekurangan-kekurangannya, yakni penuh kontradiksi ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Sejak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Heryanto, 1994:80),

(23)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 23 modernisme bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi, sehingga tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya.

Unsur-unsur utama modernisme adalah rasio, ilmu, dan antropo-morphisme, yang justru menyebabkan reduksi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Akan tetapi, di sisi lain modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi, yakni dehumanisasi, alienasi, deskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, dan konsumerisme. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmo terhadap modernisme. Dengan demikian, Posmo lahir sebagai bentuk jawaban terhadap kekurangan-kekurangan teori modern.

Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmo dalam banyak bidang kehidupan, yakni seni,

(24)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 24 sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme. Adapun lahirnya beragam bentuk realitas baru, seperti seni bumi, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmo.

Dalam dunia filsafat, Posmo mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Melalui bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The

Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984),

Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Benyamin, 1989 dan Lyotard, 2009). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi.

(25)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 25 Oleh karena itu, prinsip kesatuan ontologis harus didelegitimasi dengan prinsip paralogi.

Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Turner, 2003:161). Persis permainan catur, di mana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, menurut Sontag seorang kritikus seni, merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru, yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain (Sugiharto, 2007:234).

Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modern-isme adalah rasio, ego, ide absolut, totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand Narrative (narasi besar) telah kehilangan legitimasi (Turner, 2003:158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut lebih bersifat mistifikasi, ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.Dari arah yang berbeda dengan fokus filsafat bahasa Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi

(26)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 26 modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi.

Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Coker, 2003). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh, dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas, seperti kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay,

hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai

diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.

Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi

(27)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 27 antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan, dan sebaliknya tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan.

Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Sugiharto, 2002). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio tidak universal, karena seperti disuarakan Baudelaire, seorang penyair Perancis, ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni, ironi. Oleh karena itu, Foucault

(28)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 28 sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tidak jamak, misalnya penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini, Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.

Posmo secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Sementara itu modernisme itu diartikan oleh Lyotard (Berstens, 1996) sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan, ketika Aufklarung (masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek besar ini.

Sebagai gerakan pemikiran, Posmo ‘berhasil’ menawarkan opini, melon-tarkan apresiasi dan memberikan kritik yang tajam terhadap wacana modernitas dan kapitalisme (global) mutakhir. Di tengah kemapanan dan pesona yang ditawarkan oleh proyek modernisasi dengan rasionalitasnya, postmo justru ditampilkan dengan sejumlah evaluasi kritis dan tajam terhadap impian-impian masyarakat modern. Kritik tersebut, tidak saja mengagetkan dunia publik intelektualitas Barat yang sejak beberapa abad

(29)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 29 terbuaikan oleh modernisme yang membius melalui ciptaan sains dan teknologinya.

Istilah Posmo diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam A Study

of History tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan

menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur. Pada akhirnya istilah Posmo menjadi lebih populer ketika digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus.

Dengan demikian ada banyak ragam dan terminologi serta makna dalam istilah Posmo tergantung pada wilayah pendekatan yang berbeda sebagai berikut:

(1) “Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan” (Daniel Bell dalam Beyond

Modernism; Beyond Self) dan (2) “Logika kultural yang

(30)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 30 umumnya” (Frederic Jameson dalam “New Left Review

tahun 1984)

Pada perkembangan selanjutnya, istilah Posmo dilembagakan dalam konstelasi filsafat oleh Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on

Knowledge tahun 1984. Lyotard menjelaskan bahwa akibat

pengaruh teknologi informasi, maka prinsip kesatuan ontologis yang selama ini mendasari ide dasar filsafat modern sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer (Anderson, 1998).

Sehubungan dengan itu, prinsip homologi (kesatuan ontologis) harus didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme) dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan oleh ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro status-quo. Dengan meminjam terminologi Ibrahim Ali Fauzi bahwa Posmo adalah sebuah gerakan global renaissans atas renaissans yang diartikan sebagai ketidakpercayaan atas segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Kapitalisme, Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme, Komunisme, Sosialisme dan lainnya (dalam Sugiharto. 2002)

(31)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 31 Cukup banyak peristiwa yang bisa dikumpulkan akibat ide narasi besar (meta-narasi) yang menandai kegagalan dari modernisme seperti kekejaman pasukan Nazi pada perang dunia kedua yang menandai kegagalan nasionalisme. Pemberontakan kaum buruh terhadap partai komunis yang terjadi di Berlin (1953), Budapest (1956) dan Polandia (1980) yang menunjukkan betapa komunisme sebagai ideologi totaliter mengandung banyak kotradiksi, yaitu bahwa pekerja memberontak terhadap partai yang memperjuangkan nasib mereka sendiri. Dan banyak kejadian lainnya seperti aneksasi liberalisme dan neo-kapitalisme Amerika Serikat terhadap Irak.

Dalam konteks ini tidak berlebihan apabila janji modernitas, yang dibangun oleh rasionalitas, untuk mencapai emansipasi manusia dari kemiskinan, kebodohan, prasangka dan tidak adanya rasa aman dianggap gagal dan tidak masuk akal. Modernisme disamping menciptakan kemajuan teknologi juga menciptakan totalitarianisme, pembunuhan yang lebih massif (genosida) dan aneksasi kolonialisme yang membabi buta. Dengan demikian, Lyotard menolak segala macam bentuk metanarasi, yang ada bukan kebenaran universal tetapi kebenaran-plural yaitu kebenaran majemuk dan lokal (mini-narasi).

(32)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 32

BAB II

HUBUNGAN TEORI STRUKTURALIS, POST

STRUKTURALIS, DAN POSTMODERN

A. Strukturalisme

Bahasan dalam topik ini berkaitan dengan kemunculan pemikiran setelah adanya teori sosial modern yang diawali oleh strukturalisme hingga post-strukturalisme yang akhirnya dikenal sebagai teori Postmodern (Posmo).Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki makna ketika dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya bukan terletak pada individu. Pemahaman strukturtalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada sistem relasi struktur yang mendasarinya (Barker, 2004:17)

Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural.

(33)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 33 Strukturalisme lebih memusatkan perthatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur linguistik ke struktur sosial. Saussure yang merupakan tokoh strukturalisme, memberikan pembedaan antara langue dan

parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa

formal, sistem elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan adanya

parole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara

pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri(Ritzer dan Goodman, 2004:604)

Strukturalisme muncul di tahun 1960-an berbasis karya Saussure yang diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa. Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa objek budaya itu seperti literatur, seni dan arsitektur, harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar di tempat berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar

(34)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 34 karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia (Haryanto, 2010).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

strukturalisme melihat makna sebagai hasil struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa warna merah kendaraan harus berhenti, kuning harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan realitas sosial.

Contoh Pemaknaan Strukturalis

Pemaknaan berdasarkan strukturalis digunakan untuk mendapatkan satu penafsiran yang universal. Oleh karena itu, pemaknaan dimulai dengan pembacaan secara heruistik (berdasarkan kaidah bahasa yang lengkap dan benar) kemudian ditafsirkan secara

(35)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 35

hermeneutis (berdasarkan konteks sejarah yang melatarbelakangi diciptakannya puisi). Perhatikan puisi berikut ini yang akan dimaknai berdasarkan perspektif strukturalis.

Aku Memberi Kesaksian Karya W.S. Rendra

Aku memberi kesaksian

bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai Filsafat mati

dan penghayatan kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi.

Kepatuhan diutamakan, kesangsian dianggap durhaka.

Dan pertanyaan-pertanyaan dianggap pembangkangan. Pembodohan bangsa akan terjadi

karena nalar dicurigai dan diawasi

Puisi di atas jika dimanai berdasaran pandangan strukturalis, dapat dibaca secara heuristik dengan kaidah bahasa baku, seperti berikut ini:

Aku memberi (kan) kesaksian

bahwa di dalam (negara yang dikuasai oleh) peradaban pejabat dan pegawai,

Filsafat (di)mati(kan)

dan penghayatan (terhadap)kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi(dari negara). Kepatuhan (menjadi) diutamakan (dan kebebasan berpikir dikekang),

kesangsian dianggap durhaka (kepada pemerintah). Dan pertanyaan-pertanyaan (kritis) dianggap pembangkangan (kepada pemerintah). Pembodohan bangsa akan terjadi(di negara yang dikuasai oleh

peradaban pejabat dan pegawai seperti itu)

(36)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 36

Berdasarkan pembacaan heuristik, maka pemaknaan puisi di atas menjadi:

Aku memberikan kesaksian, bahwa di dalam negara yang dikuasai oleh peradaban pejabat dan pegawai, filsafat dimatikan, dan penghayatan terhadap kenyataan dikekang, diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi dari negara. Kepatuhan menjadi diutamakan, kebebasan berpikir danberpendapat menjadi dmenjadi pengekangan. Artinya semua lapisan masyaraat hanya boleh menjalankan peerjaan sesuai dengan aturan pemeritah dan lembaganya tida boleh bertanya apalagi berpendapat. Kesangsian dianggap durhaka kepada pemerintah, dan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap pemerintah dianggap pembangkangan kepada pemerintah. Pembangkangan berarti harus menerima konsekuensi hukuman. Hukuman yang diberikan sangat tergantung pada penguasa bukan hukum yang berlaku. Dengan demikian, pembodohan bangsa akan terjadi di negara yang dikuasai oleh peradaban pejabat dan pegawai seperti ini, karena nalar dicurigai dan diawasi oleh aparatus negara.

Setelah dilakukan pembacaan secara heruistik kemudian ditafsirkan secara hermeneutis. Pemaknaan secara hermeneutis disesuaikan dengan sudut pandang tertentu, pengetahuan, pengalaman, historis, dan konteks penulisan. Pembacaan secara hermeneutis pada teks di atas, dapat ditafsirkan sebagai berikut: apakah yang melatarbelakangi W.S. Rendra menulis puisi “Aku Memberi Kesaksian Mastodon-mastodon” di atas terjadi pada tahun 1973? Bagaimanakah peradaban pejabat dan pegawai (birokrat) pada saat itu? Apakah di negeri ini sedang dalam titik kritis, menuju kematian filsafat pada saat itu? Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat membantu memahami latar

(37)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 37

belakang puisi ini diciptakan untuk memperoleh pemahaman makna puisi secara hermeneutis.

Berdasarkan historisnya, peradaban birokrat pada masa itu, eselonisasi, strukturisasi, hierarki, dan doktrinasi dikemas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan istilah formal lainnya, mengindikasikan bahwa kebudayaan/peradaban birokrat bersifat kaku, instruksi top-bottom, loyalitas dinomorsatukan dan struktur adalah segala-galanya. Seorang Pejabat Eselon II, misalnya, memiliki beberapa bawahan Eselon III, Eselon IV dan Pelaksana. Institusi birokrasi yang dikuasai oleh pejabat umumnya menganut sistem semi militer, maka apa yang dikatakan Pejabat Eselon II harus dilaksanakan oleh Pejabat dan Pelaksana di bawahnya. Tidak boleh ada yang mengkritik apalagi mencela. Bahkan masyarakat sering menyaksikan tingkah laku para Pejabat yang menyebalkan dan merepotkan anak buahnya. Akan tetapi, karena ketakutan memberikan kritik dan saran, akhirnya mereka hanya bisa kasak kusuk sesama pelaksana atau pejabat selevel tanpa berani mengritik pejabat dengan level di atasnya. Gagasan kreatif terbelenggu oleh aturan kepatuhan, sehingga tidak ada kreativitas dan inovasi dalam layanan publik.

Menurut W.S. Rendra, semua kebobrokan itu bermula ketika birokrat berhenti menghidupkan filsafat. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang bermakna orang yang mencintai kebijaksanaan.Filsafat menekankan pada cara berpikir kritis; menimbang-nimbang segala sesuatu dari benar atau salah, melihat segala permasalahan dari perspektif yang lebih luas, meninggalkan taklid (tunduk buta) terhadap sebuah doktrin, baik dari ideologi maupun agama.

(38)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 38

Dengan demikian, menurut W.S. Rendra apabila dalam demokrasi dihidupkan budaya berfilsafat maka dalam kebudayaan birokrasi akan muncul birokrat-birokrat yang berjuang di jalan kebenaran, birokrat-birokrat yang selalu kreatif dan inovatif dalam melaksanakan layanan publik; bukan birokrat-birokrat yang membela atasannya, seperti anjing membela tuannya.

Konsekuensinya, menurut W.S. Rendra, institusi birokrasi harus berani menerima kritik dan konsekuensi apabila ada salah satu anggotanya melaporkan kebobrokan institusinya kepada pihak yang berwewenang, seperti institusi pengawasan (KPK dan Inspektorat Jenderal). Institusi birokrasi harus bersifat terbuka terhadap kritik, saran, dan inovasi, agar birokrasi dapat berkembang dalam melayani masyarakat dan membangun negara dengan penuh tanggung jawab. Untuk itu diperlukan revolusi birokrasi secara menyeluruh dan mengakar dengan menghidupkan filsafat.

Dengan menghidupkan kembali filsafat di institusi masing-masing, W.S. Rendra yakin bahwa birokrat-birokrat yang berfilsafatakan mengembalikan rusaknya peradaban yang cenderung dehumanisasi di negeri ini menjadi peradaban yang humanis dan berpihak pada kebenaran.

B. Post-Strukturalisme

Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tidak teratur

(39)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 39 dan tidak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya. Dia juga melihat bahwa lembaga sosial tidak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tidak mampu memaksa orang/pembacanya. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tidak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoretisi strukturalis justru memaksa. Lebih lanjut, menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya) (Ritzer dan Goodman, 2004:607-608)

Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sekaligus menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Singkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata,

(40)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 40 kalimat atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antarteks. (Barker, 2004:20)

Foucault adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori post-strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx), atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara hidup dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul dan dapat mendefinisikan kehidupan modern (Suharnadji, 2009:373)

Salah satu karya Foucoult adalah Archeology of

Knowledge yang merupakan tujuan dari studinya mencari

(41)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 41 mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu, Foucoult juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan sebuah wacana bisa berlangsung. Konsep kunci dari Foucoult adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada, sementara geneologi lebih mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses tentang jaringan-jaringan wacana (Suhrnadji, 2009:377--378).

Pemahaman kekuasaan, menurut Foucoult bertolak belakang dengan pemahaman Karl Marx yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyarakat kelas atas, dominasi dan monopoli kaum borjuis menentukan kehidupan seluruh masyarakat. Juga berbeda dengan gagasan Hobbes yang mengartikan kekuasaan hanya menjadi milik lembaga yang disebut negaradan negara memiliki kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan masyarakat tetapi kekuasaan menyangkut relasi antara subjek dan peran dari lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat. Sumbangan kekuatan dari

(42)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 42 setiap subjek dan lembaga-lembaga yang menjalankan peran sebaik-baiknya, itulah yang menunjukan arti kekuasaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post-strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu tidak stabil dan tidak universal. Makna ditentukan oleh konteks sosial budaya dan penggunanya (subjek), makna bersifat khusus, sehingga memungkinkan terciptanya bermacam-macam makna.Terdapat hubungan timbal balik antara kekuasaan, bahasa, dan ilmu pengetahuan. Dengan bahasa orang dapat mengembangan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, orang dapat menggunakan wacana pembangunan untuk melanggengkan kekuasaan. Sebaliknya dengan kekuasaan bahasa dan ilmu pengetahuan dapat berkembang.

Contoh Pemaknaan Post-strukturalis Aku Memberi Kesaksian

Karya W.S. Rendra

Aku memberi kesaksian

bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai Filsafat mati

dan penghayatan kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi.

Kepatuhan diutamakan, kesangsian dianggap durhaka.

Dan pertanyaan-pertanyaan dianggap pembangkangan.

(43)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 43

Pembodohan bangsa akan terjadi karena nalar dicurigai dan diawasi

Pemaknaan post-strukturalis memiliki keragaman penafsiran. Setiap subjek sangat dimungkinkan memiliki hasil penafsiran yang berbeda. Perbedaan itu bisa disebabkan oleh pengetahuan, pengalaman, pendekatan, dan sudut pandang, kontradiktif, paradoks, dan ironi-ironinya yang digunakan oleh pembaca dalam memaknai.

Membaca kembali puisi W.S. Rendra di atas, jika dimaknai berdasarkan sudur pandang Michel Foucault (salah seorang tokoh Post Strukturalis), maka puisi di atas tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan penggunaan bahasa dalam praktek budaya secara umum dilihat sebagai sesuatu yang bersifat dialogis, yakni dalam dialog dan konflik potensial dalampenggunaan bahasa tesebut. Dalam pengertian ini maka wacana tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Wacana adalah alat untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaannya. Kekuasaan terlaksana melalui wacana dan wacana selalu berakar pada kekuasaan.

Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis wacana untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap kekuasaan dan pengetahuan memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Ia mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan tempat berbagai kekuasaan dunia sekaligus adanya hubungan penting tentang berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Dalam karyanya tentang A Critique of Our Historical Era (dalam Wahyudi,

(44)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 44

2006), Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subjektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi. Lebih lanjut, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru.

Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu wacana, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu). Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu mensupport kekuasaan.

Menurut pemikirannya, bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai bentuk powerakan terjadi kegagalan. Untuk melipatgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, ketika kekuasaan tersebut akan digugat.

(45)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 45

Berdasarkan pandangan Foucault di atas, maka wacana “Aku Memberi Kesaksian” merupakan strategi kekuasaan Orde Baru pada masa itu untuk melanggenggkan kekuasaan. Dengan menciptakan wacana neraga pejabat dan mematikan filsafat, maka para birokrasi dimanfaatkan sebagai stake holder-stake holder kekuasaan yang patuh, tunduk, takut, dan harus melakukan semua perintah atasan tanpa perlawanan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, sebelum memasuki jajaran birokrasi, diadakan pelatihan Kesamaptaan (bina fisik dan LKD) sebagai pengetahuan, wawasan, dan dotrin yang harus dilakukan oleh para birokrat sebagai stake holder untuk melanggenggkan kekuasaan. Dalam pelatihan kesemaptaan itu, birokrat ditempa dan didoktrin arti pentingnya korsa (kekompakan/penyeragaman) dan loyalitas. Bagaimana mematuhi perintah dengan cepat dan tepat, bagaimana menunjukan sikap hormat di depan atasan dan bagaimana merasakan penderitaan secara kolektif adalah menusehar-hari dalam Diklat Kesamaptaan.

Hasilnya adalah birokrat-birokrat yang patuh, tunduk dan enggan untuk berinovasi. Hal itu disebabkan oleh tudingan bahwa inovasi, kreativitas, pertanyaan-pertanyaan terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai pembangkangan. Lebih tragis lagi bahwa jawaban atas tudingan pembangkangan adalah ancaman mutasi ke daerah terpencil atau dipindahkan ke bagian lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya dan sanksi sosial berupa bullying (pelecehan). Dengan demikian wacana pembangunan yang diterapkan oleh Orde Baru dalam membentuk Negara pejabat dan mematikan filsafat dapat digunakan untuk melanggenggakan kekuasaan status quo tanpa

(46)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 46

perlawanan, serta berhasil membangun budaya subjection (bentuk penyerahan para birokrat pada epada penguasa Orde Baru).

Pemaknaan itu akan berbeda jika dimaknai dari sudut pandang Derrida. Menurut Derrida, pemahaman teks wacana di atas tidak bersifat final tetapi bersifat perspektivis. Derrida dengan dekonstruksinya tidak hanya menggambarkan teks, melainkan juga mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terpikirkan justru bisa tampil menjadi dominan dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Menurut Derrida, tidak ada bagian teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Apabila tidak ada yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada

tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan demikian

dimungkinkan dalam kurun waktu yang berbeda atau oleh pembaca yang berbeda ditemukan makna yang berbeda pula, misalnya makna kekuasaan bagi seorang eksekutif akan berbeda jika ditafsirkan oleh rakyat biasa. Makna Negara pejabat bagi eksekutif akan berbeda dengan birokrat pelaksana, apalagi bagi rakyat biasa.

C. Hubungan Konseptual antara Strukturalis dan Pos-strukturalis

Berdasarkan namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun bergerak keluar dan menciptakan model berpikir yang berbeda dari strukturalis. Apabila Strukturalisme dipengaruhi oleh ilmu bahasa yang

(47)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 47 diteorikan oleh Ferdinan de Saussure, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara stabil dan universal, maka pos-strukturalisme tidak melihat adanya kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida berupaya untuk melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Dia ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan.

Adapun Foucault mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan, artinya bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan secara sederhana dapat dilihat pada hubungan manusia dan kartu kredit sebagai berikut:

(48)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 48

Gambar 2.1: Hubungan Pengetahuan dan Kekuasaan

Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu kredit sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau jasa. Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit yang dikeluarkan oleh sistem perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu kredit harus memiliki persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang ada di kartu dimaknai bersama, baik oleh pembeli maupun penjual, bahwa penggunaannya hanya dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank akan mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa “tinggal gesek” dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar.

(49)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 49

Sementara itu, post-strukturalis melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak bermanfaat. Simbol kartu yang dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan masalah baru. Ada unsur ketidakstabilan, makna “kewajiban” membayar berbeda pemakna-annya oleh pemakai kartu, karena ketidakmampuannya untuk membayar atau karena ketidakdisiplinannya dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang kartu kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak sanggup membayar.

Bila dilihat dari sudut pandang pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan kartu kredit, tentu akan “menguasai” kartu tersebut, dalam arti dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa beban bunganya dalam sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya, berapa dendanya bila terlambat, berapa iuran anggotanya pertahun, dan setiap tanggal berapa dia harus membayar tagihan serta berapa yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang menurut pandangan Foucoult berkaitan dengan kekuasaan. Bila nasabah/pemegang kartu memiliki pengetahuan, maka dia akan berkuasa/menguasai kartu (kartu tersebut bermanfaat) namun bila tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung).

Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan banyak digunakan oleh dunia pertama/Negara-negara maju. Dengan pengetahuan, mereka menciptakan wacana pembangunan untuk melanggengkan kekuasaan terhadap dunia ketiga/Negara-negara berkembang. Di Indonesia, Soeharto dengan menggunakan wacana

(50)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 50

pembangunan dapat melanggengkan kekuasaan Orde Baru sampai 32 tahun.

Gambar 2.2: Hubungan Pengetahuan dan Kekuasaan (penggunaan wacana pembangunan untuk melanggengkan kekuasaan)

Berdasarkan uraian di atas, hubungan antara strukturalis dan post strukturalis terletak pada pandangannya terhadap sistem bahasa dan keberadaan subjek. Strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu stabil, teratur, makna ditentukan oleh aturan, berada di luar subjek, dan bersifat universal; sedangkan Post-strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu tidak stabil, makna ditentukan oleh konteks dan penggunanya (subjek), makna bersifat khusus/ bermacam-macam makna.

Perbedaan penafsiran antara strukturalis dan poststrukturalis dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

(51)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 51 Tabel 2.1: Perbedaan Strukturalis dan Poststrukturalis

Strukturalis Post Strukturalis

1. Dibangun dipengaruhi oleh ilmu bahasa yang diteorikan oleh F.de Saussure, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara stabil dan universal.

2. Makna ditentukan oleh aturan dan otoritas penulis.

3. Masyarakat pembaca terikat atau dipaksa oleh kaidah yang diciptakan oleh penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan dalam menciptakan makna.

4. Ilmuwan menemukan hukum umum yang mendasari bahasa.

1. Dibangun oleh teori Derrida bahwa bahasa hanya sekedar tulisan, maka makna bahasa itu tidak stabil dan tidak universal. Makna ditentukan oleh konteks sosial budaya dan penggunanya, maka makna bersifat khusus, dan bermacam-macam.

2. Makna teks lepas dari otoritas penulis. Otoritas makna terletak pada pembaca/pemberi makna.

3. Masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual bahasa, karena bahasa dianggap sekedar “tulisan”, sehingga sistem bahasa tidak mempunyai kekuatan memak-sa terhadap orang.

4. Ilmuwan tidak bisa menemukan hu-kum umum yang mendasari bahasa.

D. Perbedaan Modern dan Postmodern (Postmo)

Saat ini kita sudah memasuki epos sosial baru yaitu postmodern (Dunn, 1991). Ada banyak cara untuk mengkarakterisasikan perbedaan-perbedaan antara dunia modern dan postmodern (postmo). Sebagai suatu ilustrasi,

(52)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 52 salah satunya adalah perbedaanya dari sudut pandang.

Pertama, apakah ada kemungkinan menemukan suatu solusi

rasional (rasionalitas merupakan konsep yang secara dekat diasosiasikan dengan modernitas) (Dahrendorf, 1979) terhadap solusi persoalan-persoalan masyarakat yang kontemporer dan cenderung unik dan beragam ini. Sebagian besar tokoh modernis kesulitan dan bahkan enggan membicarakan transisi historis dari modernitas ke postmo.

Kedua, postmo tidak dapat dipisahkan dari domain kultural

ketika harus menguraikan bahwa produk postmo cenderung menggantikan produk modern. Ketiga, yang langsung berhubungan dengan pembahasan postmo adalah kemunculan teori sosial postmo dan perbedaannya dengan teori modern. Secara umum, teori sosial modern cenderung menjadi absolut, rasional, dan menerima posibilitas penemuan kebenaran. Sebaliknya teori sosial postmo cenderung menjadi relatifistik dan terbuka kemungkinan irrasionalitas.

Mulanya, Rosenau mendefinisikan teori postmo secara gamblang dalam istilah yang berlawanan. Postmodiartikan sebagai kritik kepada teoretisi modern atas kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Hal itu disebabkan oleh peristiwa yang mengerikan selama abad ke dua puluh,

(53)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 53 di antaranya terjadinya perang dunia II dengan bom nuklir, terjadinya kesenjangan yang sangat dalam antara kapitalis dan buruh, makin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan dan makin suburnya dehumanisasi. Postmo menanyakan bagaimana seorang dapat percaya bahwa modernitas dapat membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Oleh karena itu, postmo cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan sebagai modernitas.

Kedua, teoretisi postmo cenderung menolak apa yang biasa dikenal dengan pandangan dunia (world view), totalitas dan sebagainya. Pada umumnya teoretis postmo menolak teoretis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Postmo lebih konsen untuk mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat spesifik, sehingga masing-masing teoretisi menghasilkan narasi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh beberapa teoretisi postmo menciptakan narasi masing-masing.

Ketiga, pemikir postmodern juga tidak apatis terhadap pandangan pramodern seperti “emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos,

(54)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 54 sentiment keagamaan, dan pengalaman mistik”. Oleh karena itu, postmo dapat memasuki wilayah kajian yang unik, spesifik, dan pluralistik.

Keempat, teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, “budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas”, maka, kajian sebagian besar pemikir postmo cenderung mengembangkan lebih dari itu. Dengan demikian fenomena yang terjadi di luar realitas seperti yang marak saat ini–sebagai hiperealitas dan simulacra dapat dikaji dari teori postmo.

Kelima, banyak postmo menolak gaya wacana akademis modern yang teliti dan bernalar. Tujuan utama postmo adalah mengejutkan dan mengagetkan pembaca untuk membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif yang beragam. Hal ini juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.

Dengan demikian, postmo bukannya memfokuskan pada inti masyarakat modern. Akan tetapi teoretisi postmo justru mengkhususkan perhatian mereka pada bagian yang termarginalkan, yaitu “Perihal apa yang telah diambil begitu saja, apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidak-rasionalan, ketidaksignifikasian,

(55)

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 55 penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidaksensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, dan ketidakikutan” (Rosenau, 1992:8 dalam Ritzer 2010:20).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, teoretisi postmo menawarkan intermediasi daripada determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), analitis daripada sintesis, dan kompleksitas daripada simplifikasi. Dengan begitu modernisme dan posmo memiliki sudut pandang dan bidang kajian yang berbeda.

Sementara itu hubungan antara strukturalis, post strukturalis, dan postmo adalah (a) hubungan antara strukturalis dan post strukturalis terletak pada pandangannya terhadap sistem bahasa dan keberadaan subjek. Strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu stabil, teratur, makna ditentukan oleh aturan, makna berada di luar subjek, dan bersifat universal; sedangkan Post-strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu tidak stabil, makna ditentukan oleh konteks dan penggunanya (subjek), makna bersifat khusus/bermacam-macam makna. Dengan demikian pandangan Modernisme cenderung bersifat strukturalis,

Gambar

Gambar 2.1: Hubungan Pengetahuan dan Kekuasaan  Kenyataan  empiris  yang  terjadi  saat  ini,  dapat  diambil  contoh  penggunaan  kartu  kredit  sebagai  sarana  untuk  pembayaran  dan  pembelian  suatu  produk  barang  atau  jasa
Gambar 2.2: Hubungan Pengetahuan dan Kekuasaan (penggunaan  wacana pembangunan untuk melanggengkan kekuasaan)
Tabel 2.2: Perbedaan Modernisme dan Postmodernisme
Gambar 4.1 : Skema Pemaknaan Teks Dekonstruksi Derrida
+5

Referensi

Dokumen terkait

bahwa rata-rata hasil belajar siswa lebih besar atau sama dengan KKM. Dengan rata-rata hasil belajar akhir siswa lebih besar dari KKM, sehingga media pembelajaran

ligulae dan daun bendera daun tanaman padi tumbuh pada batang dalam susunan yang berselang saling terdapat satu daun pada tiap buku.. Helaian daun yang menempel pada buku

Kode-kode yang terdapat dalam teks sastra tersebut ditafsirkan oleh pembaca agar.. pembaca

Penelitian yang dilakukan meliputi tujuh tahapan, yaitu determinasi tumbuhan, penyiapan sampel, ekstraksi sampel, pembuatan permen jelly kulit buah naga super

Dalam pelaksanaannya, pembelajaran di MTs Negeri Brangsong telah berjalan secara baik. Hal ini dapat dilihat dari perencanaan pembelajaran yang baik yang ditandai

Melakukan analisis materi gizi pada pelajaran sains kelas I-V berdasarkan materi, aspek penyajian dan aspek bahasa dan mengetahui tingkat pengetahuan gizi

Kandungan tritium dalam bentuk FWT, baik dalam humus maupun dalam serasah sebanding dengan konsentrasi tritium dalam air di Jepang, yaitu 0,71 Bq/1 untuk air laut di daerah pantai

Bentuk reaktor alat pengolahan air limbah rumah tangga yang terbuat dari bahan fiberglas Medium biofilter yang digunakan untuk melekatkan mikroorganisme dapat menggunakan batu