• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUBUNGAN PANDANGAN

D. Perbedaan Modern dan

Saat ini kita sudah memasuki epos sosial baru yaitu postmodern (Dunn, 1991). Ada banyak cara untuk mengkarakterisasikan perbedaan-perbedaan antara dunia modern dan postmodern (postmo). Sebagai suatu ilustrasi,

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 52 salah satunya adalah perbedaanya dari sudut pandang.

Pertama, apakah ada kemungkinan menemukan suatu solusi

rasional (rasionalitas merupakan konsep yang secara dekat diasosiasikan dengan modernitas) (Dahrendorf, 1979) terhadap solusi persoalan-persoalan masyarakat yang kontemporer dan cenderung unik dan beragam ini. Sebagian besar tokoh modernis kesulitan dan bahkan enggan membicarakan transisi historis dari modernitas ke postmo.

Kedua, postmo tidak dapat dipisahkan dari domain kultural

ketika harus menguraikan bahwa produk postmo cenderung menggantikan produk modern. Ketiga, yang langsung berhubungan dengan pembahasan postmo adalah kemunculan teori sosial postmo dan perbedaannya dengan teori modern. Secara umum, teori sosial modern cenderung menjadi absolut, rasional, dan menerima posibilitas penemuan kebenaran. Sebaliknya teori sosial postmo cenderung menjadi relatifistik dan terbuka kemungkinan irrasionalitas.

Mulanya, Rosenau mendefinisikan teori postmo secara gamblang dalam istilah yang berlawanan. Postmodiartikan sebagai kritik kepada teoretisi modern atas kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Hal itu disebabkan oleh peristiwa yang mengerikan selama abad ke dua puluh,

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 53 di antaranya terjadinya perang dunia II dengan bom nuklir, terjadinya kesenjangan yang sangat dalam antara kapitalis dan buruh, makin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan dan makin suburnya dehumanisasi. Postmo menanyakan bagaimana seorang dapat percaya bahwa modernitas dapat membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Oleh karena itu, postmo cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan sebagai modernitas.

Kedua, teoretisi postmo cenderung menolak apa yang biasa dikenal dengan pandangan dunia (world view), totalitas dan sebagainya. Pada umumnya teoretis postmo menolak teoretis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Postmo lebih konsen untuk mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat spesifik, sehingga masing-masing teoretisi menghasilkan narasi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh beberapa teoretisi postmo menciptakan narasi masing-masing.

Ketiga, pemikir postmodern juga tidak apatis terhadap pandangan pramodern seperti “emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos,

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 54 sentiment keagamaan, dan pengalaman mistik”. Oleh karena itu, postmo dapat memasuki wilayah kajian yang unik, spesifik, dan pluralistik.

Keempat, teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, “budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas”, maka, kajian sebagian besar pemikir postmo cenderung mengembangkan lebih dari itu. Dengan demikian fenomena yang terjadi di luar realitas seperti yang marak saat ini–sebagai hiperealitas dan simulacra dapat dikaji dari teori postmo.

Kelima, banyak postmo menolak gaya wacana akademis modern yang teliti dan bernalar. Tujuan utama postmo adalah mengejutkan dan mengagetkan pembaca untuk membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif yang beragam. Hal ini juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.

Dengan demikian, postmo bukannya memfokuskan pada inti masyarakat modern. Akan tetapi teoretisi postmo justru mengkhususkan perhatian mereka pada bagian yang termarginalkan, yaitu “Perihal apa yang telah diambil begitu saja, apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidak-rasionalan, ketidaksignifikasian,

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 55 penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidaksensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, dan ketidakikutan” (Rosenau, 1992:8 dalam Ritzer 2010:20).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, teoretisi postmo menawarkan intermediasi daripada determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), analitis daripada sintesis, dan kompleksitas daripada simplifikasi. Dengan begitu modernisme dan posmo memiliki sudut pandang dan bidang kajian yang berbeda.

Sementara itu hubungan antara strukturalis, post strukturalis, dan postmo adalah (a) hubungan antara strukturalis dan post strukturalis terletak pada pandangannya terhadap sistem bahasa dan keberadaan subjek. Strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu stabil, teratur, makna ditentukan oleh aturan, makna berada di luar subjek, dan bersifat universal; sedangkan Post-strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu tidak stabil, makna ditentukan oleh konteks dan penggunanya (subjek), makna bersifat khusus/bermacam-macam makna. Dengan demikian pandangan Modernisme cenderung bersifat strukturalis,

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 56 sedangkan Postmo cenderung bersifat poststrukturalis. Perbedaan antara Modernisme dengan Postmodern dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.2: Perbedaan Modernisme dan Postmodernisme

Modern Postmodern

1. Mengutamakan rasionalitas dengan logika yang sama (tunggal)berdasarkan wacana akademis modern yang teliti dan bernalar; dan menafikkan emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekeras-an, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentiment keagamaan, dan penga-laman mistik.

1. Menggunakan rasionalitas

logika dan alasan argumentatif yang beragamdan tidak menafikkan terhadap

pandangan pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentiment keagamaan, dan pengalaman mistik.

2. Memfokuskan pada inti

masyarakat modern untuk menciptakan kesatuan/unity makna yang bersifat universal

dan final, sehingga

mengabaikan yang

kecil-kecil/marginal.

2. Lebih memfokuskan pada

bagian yang termarginalkan, dan yang telah diabaikan, seperti daerah-daerah resistensi, kealpaan,

ketidakrasionalan, ketidaksig-nifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidaksensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi,penundaan, dan ketidakikutan untuk

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 57 beragam karena makna bersifat relatif.

3. Modern cenderung

meletakkan batas-batas antardisiplin akademis, seperti batas antara budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas, sehingga potensi kreativitas dan inovasi terabaikan.

3. Postmo cenderung

mengembang-kan lebih dari, sehingga potensi kreativitas dan inovasi memiliki peluang yang besar untuk berkembang.

4. Mengedepankan pembuatan

sintesis terhadap realitas.

4. Mengedepankan analisis

terhadap berbagai fenomena dalam realitas.

5. Pola pikir Modern bersifat

simplifikasi teori untuk menghasilkan generalisasi teori besar (grand narative)

5. Pola pikir Postmo lebih bersifat

kompleksitas teori untuk mendapatkan

paralogi/pluralitas teori yang kasuistis

6. Cenderung ke arah

dehumanisasi karena bersifat determinasi ke pandangan dunia (word view).

6. Cenderung ke arah humanisasi karena bersifat intermediasi ke pandangan yang beragam.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 58 BAB III

POSTMODERN SEBAGAI KERANGKA BERPIKIR KAJIAN SOSIOLOGIS

Mengenai Postmo, Eagleton (1996), mengungkapkan dalam The Illusions of Postmodernism bahwa dibedakan antara Postmodern dan postmodernitas. Akan tetapi, dia sendiri lebih senang menggunakan istilah Posmodern, sebab istilah ini dapat mencakup keduanya. Postmodernitas biasanya dimengerti sebagai gaya berpikir yang curiga terhadap pengertian klasik tentang kebenaran-rasionalitas-identitas-objektivitas, curiga terhadap ide kemajuan universal atau emansipasi, curiga akan satu kerangka kerja,

grand narrative atau dasar-dasar terdalam dalam penjelasan.

Berlawanan dengan norma-norma pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia sebagai yang kontigen, tidak berdasar, tidak seragam, tidak stabil, tidak dapat ditentukan, seperangkat kebudayaan yang plural atau penafsiran yang melahirkan skeptisisme terhadap objektivitas kebenaran, sejarah dan norma-norma, kodrat yang terberikan serta koherensi identitas. Sementara itu,Postmodern dimengerti sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan zaman ini ke dalam suatu seni yang diwarnai

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 59 oleh seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya ‘tinggi’ dan budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian (Eagleton, 1996:vii-viii).

Lebih lanjut, Anderson (1998) menjelaskan bahwa Postmodern (Postmo) adalah paham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Postmo bukanlah paham tunggal sebuah teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti Postmo sebagai kelanjutan dari modernisme. Meskipun demikian, kelanjutan itu menjadi sangat beragam.

Bagi Lyotard dan Geldner, Postmo adalah pemutusan secara total dari modernisme. Pernyataan ini mengisyaratkan adanya antitesa antara prinsip teori Modernisme yang bersifat unity, universal, dan menolak hal-hal yang di luar rasio. Sebaliknya Postmo lebih menekankan pada paralogi/keberagaman logika dan mengakomodasi hal-hal yang di luar rasio dalam memaknai suatu fenomena kontemporer, di antaranya ilusi, intuisi, mistis, dan sebagainya. Perhatikan contoh di bawah ini:

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 60 Tadi siang berbincang-bicang dengan salah satu rekan peneliti dari Papua. Beliau menceritakan kondisi mantan mahasiswa yang sudah lama membantu mengambil data penelitiannya di Papua. Saat ini, mantan mahasiswa itu dalam kondisi lumpuh.

Menurut penjelasan Beliau, kejadian lumpuh itu bermula ketika Kepala Suku mengingatkan agar tidak mengambil data penelitian di daerah mereka. Jika itu dilanggar, dia tidak akan pernah bisa berjalan. Lumpuhnya si mantan mahasiswasebagai pengambil data penelitian ini tidak dapat diditeksi secara medis, sehingga tidak bisa disembuhkan secara medis.

Menurut Kepala Suku, mantan mahasiswanya itu akan sembuh jika Sang Kepala Suku berenan memaafkan dan mengambil kutukannya. Kejadian seperti ini tidak akan pernah bisa dijelaskan dengan teori Modern dengan analisis rasional dan metanarasinya. Akan tetapi Postmo dengan memasukkan unsur di luar rasio dapat menjelaskan fenomena ini.

Sementara itu, bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, Postmo adalah bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Pernyataan Derrida, Foucault dan Baudrillard tersebut mengindikasikan bahwa,bahwa Postmo memang tidak memiliki tujuan sama sekali untuk menyeragamkan teori dengan sudut pandang rasional sebagaimana yang dilakukan oleh kaum modernis. Akan tetapi Postmo sangat menghargai

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 61 pluralitas logika atau paralogi, sehingga akan diperoleh makna yang sangat banyak dan beragam. Hal ini sesuai dengan hakikat jiwa manusia tidak ada yang sama. Perhatikan contoh di bawah ini. Derrida dengan metode dekonstruksinya menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan. Tidak ada ungakapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang bermakana tertentu dan pasti. Dengan menggunakan metode dekonstruksi dalam membaca teks diharapkan pembaca dapat melihat fakta-fakta lain dalam teks karya sastra, sehingga tidak ada kemutlakan dalam memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan yang absolut serta menemukan hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan. Caranya dengan dua prinsip, yaitu (1) melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) dan (2) membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan (Culler, 1983:86-87).

Perhatikan contoh sebagai berikut:

Cara pembacaan dengan dekonstruksi dapat digunakan terhadap novel-novel pada umumnya. Disini penulis mengambil contoh cara pembacaan dengan dekonstruksi pada novel Siti Nurbaya.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 62 Pada umumnya pembaca beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis pemuda yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang serba jahat dan tokoh hitam. Melalui cara dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik.

Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit. Hanya karena kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya, dia putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat.

Setelah ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan untuk masuk serdadu kompeni. Pada akhirnya, ketika di daerah Sumatra Barat, yang merupakan tanah kelahirannya terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apapun alasannya hal itu berarti ia memerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak membela kepentingan penjajah.

Dilihat dari dekonstruksi Jaus, yaitu yang mempertimbangkan aspek historis yang berwujud “sejarah” tanggapan pembaca dari masa ke masa, perbuatan Samsul Bahri dewasa ini, sesuai dengan konteks sosial yang ada, justru dapat ditanggapai sebagai perbuatan menghianati bangsa. Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata hanya didorong oleh motivasi yang bersifat pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan, bahkan bukan pahlawan cinta sekalipun.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 63 Datuk Maringgih, di pihak lain, walau dia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat, bandot tua yang doyan perempuan namun hal ini pun yang menganggapnya baik, misalnya ia justru dipandang sebagai pahlawan cinta seperti dalam nyanyian kelompok bimbo justru dapat dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdimensi baik. Dialah yang menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakan terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu dilakukan terutama juga karena motivasi pribadi: dia yang paling banyak kena pajak. Apapun motivasinya, ia menjadi tokoh pemberontak. Artinya, dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyahkan penjajah dari bumi Indonesia. Dengan demikian, justru dialah yang “berhak” disebut pahlawan dan bukannya Samsul Bahri.

Ahmad Maulana dan Halimah, dalam novel Siti Nurbaya itu, hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun, jika dipahami betul pesan-pesan penting yang ingin disampaikan lewat novel itu, akan terlihat kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Dengan perbincangannya dengan Nurbaya, Ahmad Maulana inilah yang mengungkapkan kejelekan-kejelekan perkawinan poligami yang sebenarnya lebih baik menyengsarakan wanita dan anak-anaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya, banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut.

Inila contoh pembacaan sastra dengan dekonstruksi. Pemahaman dan keyakinan yang telah dikonvensional selama ini diruntuhkan dengan teori ini, dimana posisi dan kondisi yang telah dikonvensionalkan itu berubah menjadi bertolak belakang.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 64 Lebih lanjut bagi David Graffin (Ritzer, 2004), Postmo adalah koreksi beberapa aspek dari modernisme. Lalu bagi Giddens, Postmo adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Dikatakan sadar diri dan lebih bijak karena tidak ada pemaksaan terhadap kesatuan logika, tetapi mengakomogasi pluralitas logika atau

paralogi.

Bagian ini merupakan pengantar bagi pembaca untuk masuk ke dalam diskusi yang lebih detail dan mendalam seputar teori sosial Postmo. Bagian ini sekaligus juga merupakan sketsa yang sangat selektif tentang teori sosial postmodern yang dimaksudkan untuk memperkenalkan pembaca pada gagasan-gagasan atau pemikir-pemikir lain seperti: Sontag, Venturi, Jencks, Nietzsche, Rorty, Freud, Saussure, dan Levi-Strauss. Dalam pembahasan ini, diasumsikan bahwa pembaca sudah cukup mengenal pemikiran para teoretikus sosial yang memainkan peranan penting, baik positif maupun negatif dalam pembentukan teori sosial postmodern seperti Marx, Durkheim dan Weber.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 65 Secara garis besar pemikiran Marx, Durkheim, dan Weber serta kontribusinya terhadap lahirnya teori Postmodern sebagai berikut:

A. KARL MARX (1818-1883)

Ia lahir di Trier, Jerman tahun 1818. Tahun 1841 tamat dari perguruan tinggi. Ia mengawali karirernya sebagai editor surat kabar di Jerman. Pandanganya amat kritis terhadap penindasan yang hadir bersama sistem kapitalisme yang mewarnai peradaban Eropa Barat.

Pemkiran-Pemikiran Marx

Ada dua teori yang berkontribusi terhadap lahirnya teori postmo dari Marx, yaitu teori tentang Fakta Sosial dan teori tentang Solidaritas Sosial.

1. Teori Pertentangan Kelas

Pertama kali, Marx mendefinisikan kelas-kelas sosial melaluiteori hubungan produksi. Marx mengategorikan tiga stratifikasi sosial dalam hubungan produksi, yaitu borjuis, borjuis kecil, dan proletar. Kaum borjuis adalah kelompok pemilik modal, sedangkan para ‘borjuis kecil’ terdiri atas para tukang/pengrajin, pedagang, notaris, pengacara dan seluruh birokrat. Adapun kaum proletar adalah mereka yang menjual tenaga dalam bekerja.

Yang terpenting bagi Marx bukanlah membuat deskripsi tentang stratifikasi sosial tetapi dinamika sebuah masyarakat yang menurut pendapatnya bergerak dalam satu konflik sentral yaitu perjuangan kelas, antara kelas borjuis dengan kelas proletar. Kaum borjuis yang didorong oleh persaingan dan haus akan keuntungan yang

sebanyak-banyaknya bergerak semaksimal mungkinuntuk

mengeksploitasi kaum proletar. Sementara itu, kaum proletar yang disebabkan oleh kemelaratan dan pengangguran yang bersifat endemik

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 66 hanya memiliki satu-satunya jalan keluar yaitu pemberontakan sporadis atau melakukan revolusi. Pergulatan antar kelas inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat maka pemberontakan haruslah bertransformasi dalam bentuk revolusi. Pergulatan antarkelas inilah yang berkontribusi terhadap lahirnya teori Postmodern.

2. Teori Perjuangan Kelas (sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas)

“Historis Matrealisme” bergerak pada wilayah yang oleh marx disebut the mode of economic productionsebagaimana terdapat dalam pemikiran “Marx tua”. Pemikiran Marx terbagi menjadi dua: Marx muda dan Marx tua. Marx muda, berfikiran filosofis (yang kemudian banyak melahirkan teori kritis).Pemikiran Marx muda banyak terdapat dalam karyanya berjudul The Poverty of philosophy. Sementara itu, Marx tua, adalah Marx yang berfikiran ekonomi diterministik dan kemudian menjadi ideologi. Keberpihakan Marx pada kaum tertindas bersifat diterministik. Inilah yang menjadi embrio lahirnya teori Postmodern.

Dalam teori itu dijelaskan bahwa, gerak kehidupan manusia ada dua hal yang tidak bisa pisahkan, yaitu superstructures dan infrastructure. Superstructuresmeliputi politik, agama, pendidikan, pengetahuan, keluarga, dan sebagaianya, sedangkan infrastructure meliputi ekonomi. Ekonomi adalah elemen dasar atau fondasi yang menopang superstructures. Hubungan sosial yang melembagakan sifat ketergantungan dan mengontrol atau menguasai sumber ekonomi oleh Marx disebut the mode of economic production. Dengan demikian, the mode of economic production tidak lebih merupakan upaya Marx untuk

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 67 membalik teori idealis Hegel (Mind-Matter) menjadi matrialisme (Matter-Mind).

B. EMILE DURKHEIM (1858-1917) Pemikiran-Pemikiran Durkheim

Durkheim mengembangkan teori sosial yang melihat pada perilaku sosial manusia sebagai individu yang merupakan bagian dari suatu system sosial dan berorientasi kepada lingkungan si pelaku. Dalam melihat perilaku sosial manusia, Durkheim melihatnya sebagai fenomena sosial dengan memperlihatkan pada 2 asumsi dasar, yaitu: 1. Bersifat riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya

yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologi atau karakteristik individu lainnya.

2. Dapat dipelajari dengan metode empiric yang memungkinkan ilmu sejati tentang masyarakat yang harus dikembangkan.

Ada dua teori yang berkontribusi terhadap lahirnya teori postmo dari Durkheim, yaitu teori tentang Fakta Sosial dan teori tentang Solidaritas Sosial.

1. Teori Fakta Sosial

Menurut Durkheim, fenomena sosial terdiri atasfakta Sosial dan solidaritas sosial. Fakta sosial merupakan objek penyelidikan sosiologi yang membedakan dengan ilmu lainnya terutama psikologi dan filsafat. Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baik baku maupun tidak baku yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:(1) bersifat

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 68 (2) bersifat memaksa individu; dan (3) bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat.

Berdasarkan konsep fakta sosial tersebut, muncullah konsep tetang “Kesadaran kolektif”. Hal itu disebabkan oleh keberadaan manusia sebagai individu yang hidup dalam sebuah komunitas yang bernama Masyarakat, yang di dalamnya terdapat norma-norma, nilai-nilai, dan pegangan hidup yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh setiap individu sebagai proses adaptasi. Dari rasa kebersamaan untuk menjalani aturan yang sudah disepakati maka timbullah kesadaran kolektif pada sesama anggota masyarakat yang melampaui kesadaran-kesadaran individualnya. Kesadaran kolektif itu terdiri atas sejumlah kepercayaan, perasaan, norma dan tekad yang dibagi bersama. Ada 3 argumentasi untuk membuktikan adanya kesadaran kolektif, yaitu (a) adanya kejadian-kejadian ketika orang bertindak atas cara yang sebenarnya tidak sesuai dengan pikiran individual mereka; (b) kesadaran kolektif yang berlainan dari kesadaran individual yang tampak pada tingkah laku grup yang berlainan dengan tingkah laku individu; dan (c) gejala sosialdapat dilihat secara nyata dari individu-individu yang melakukannya berdasarkan kemauan individu dan kesadaran kolektif.

2. Teori Solidaritas Sosial

Durkheim mengelompokkan solidaritas sosial menjadi 2, yaitu (1) solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis yaitu anggota-anggota yang ada secara spontan mempunyai kecenderungan kepada suatu pola hidup bersama. Ini merupakan ciri khas masyarakat kuno. Adapun solidaritas organis, yaitu perbedaan-perbedaan yang timbul antar individu dalam hidup bermasyarakat, sehingga berkembang

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 69 prinsip saling membutuhkan dan ketergantungan. Ciri ini dapat ditemui pada masyarakat modern.Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan kedua solidaritas sosial ini, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

No Solidritas Mekanik Solidaritas Organik

1 Pembagian kerja rendah Pembagian kerja Tinggi

Dokumen terkait