• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUBUNGAN PANDANGAN

B. Post – Strukturalisme

Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tidak teratur

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 39 dan tidak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya. Dia juga melihat bahwa lembaga sosial tidak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tidak mampu memaksa orang/pembacanya. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tidak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoretisi strukturalis justru memaksa. Lebih lanjut, menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya) (Ritzer dan Goodman, 2004:607-608)

Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sekaligus menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Singkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata,

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 40 kalimat atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antarteks. (Barker, 2004:20)

Foucault adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori post-strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx), atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara hidup dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul dan dapat mendefinisikan kehidupan modern (Suharnadji, 2009:373)

Salah satu karya Foucoult adalah Archeology of

Knowledge yang merupakan tujuan dari studinya mencari

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 41 mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu, Foucoult juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan sebuah wacana bisa berlangsung. Konsep kunci dari Foucoult adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada, sementara geneologi lebih mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses tentang jaringan-jaringan wacana (Suhrnadji, 2009:377--378).

Pemahaman kekuasaan, menurut Foucoult bertolak belakang dengan pemahaman Karl Marx yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyarakat kelas atas, dominasi dan monopoli kaum borjuis menentukan kehidupan seluruh masyarakat. Juga berbeda dengan gagasan Hobbes yang mengartikan kekuasaan hanya menjadi milik lembaga yang disebut negaradan negara memiliki kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan masyarakat tetapi kekuasaan menyangkut relasi antara subjek dan peran dari lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat. Sumbangan kekuatan dari

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 42 setiap subjek dan lembaga-lembaga yang menjalankan peran sebaik-baiknya, itulah yang menunjukan arti kekuasaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post-strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu tidak stabil dan tidak universal. Makna ditentukan oleh konteks sosial budaya dan penggunanya (subjek), makna bersifat khusus, sehingga memungkinkan terciptanya bermacam-macam makna.Terdapat hubungan timbal balik antara kekuasaan, bahasa, dan ilmu pengetahuan. Dengan bahasa orang dapat mengembangan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, orang dapat menggunakan wacana pembangunan untuk melanggengkan kekuasaan. Sebaliknya dengan kekuasaan bahasa dan ilmu pengetahuan dapat berkembang.

Contoh Pemaknaan Post-strukturalis

Aku Memberi Kesaksian Karya W.S. Rendra Aku memberi kesaksian

bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai Filsafat mati

dan penghayatan kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi.

Kepatuhan diutamakan, kesangsian dianggap durhaka.

Dan pertanyaan-pertanyaan dianggap pembangkangan.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 43 Pembodohan bangsa akan terjadi

karena nalar dicurigai dan diawasi

Pemaknaan post-strukturalis memiliki keragaman penafsiran. Setiap subjek sangat dimungkinkan memiliki hasil penafsiran yang berbeda. Perbedaan itu bisa disebabkan oleh pengetahuan, pengalaman, pendekatan, dan sudut pandang, kontradiktif, paradoks, dan ironi-ironinya yang digunakan oleh pembaca dalam memaknai.

Membaca kembali puisi W.S. Rendra di atas, jika dimaknai berdasarkan sudur pandang Michel Foucault (salah seorang tokoh Post Strukturalis), maka puisi di atas tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan penggunaan bahasa dalam praktek budaya secara umum dilihat sebagai sesuatu yang bersifat dialogis, yakni dalam dialog dan konflik potensial dalampenggunaan bahasa tesebut. Dalam pengertian ini maka wacana tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Wacana adalah alat untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaannya. Kekuasaan terlaksana melalui wacana dan wacana selalu berakar pada kekuasaan.

Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis wacana untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap kekuasaan dan pengetahuan memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Ia mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan tempat berbagai kekuasaan dunia sekaligus adanya hubungan penting tentang berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Dalam karyanya tentang A Critique of Our Historical Era (dalam Wahyudi,

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 44 2006), Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subjektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi. Lebih lanjut, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru.

Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu wacana, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu). Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu mensupport kekuasaan.

Menurut pemikirannya, bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai bentuk powerakan terjadi kegagalan. Untuk melipatgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, ketika kekuasaan tersebut akan digugat.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 45 Berdasarkan pandangan Foucault di atas, maka wacana “Aku Memberi Kesaksian” merupakan strategi kekuasaan Orde Baru pada masa itu untuk melanggenggkan kekuasaan. Dengan menciptakan wacana neraga pejabat dan mematikan filsafat, maka para birokrasi dimanfaatkan sebagai stake holder-stake holder kekuasaan yang patuh, tunduk, takut, dan harus melakukan semua perintah atasan tanpa perlawanan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, sebelum memasuki jajaran birokrasi, diadakan pelatihan Kesamaptaan (bina fisik dan LKD) sebagai pengetahuan, wawasan, dan dotrin yang harus dilakukan oleh para birokrat sebagai stake holder untuk melanggenggkan kekuasaan. Dalam pelatihan kesemaptaan itu, birokrat ditempa dan didoktrin arti pentingnya korsa (kekompakan/penyeragaman) dan loyalitas. Bagaimana mematuhi perintah dengan cepat dan tepat, bagaimana menunjukan sikap hormat di depan atasan dan bagaimana merasakan penderitaan secara kolektif adalah menusehar-hari dalam Diklat Kesamaptaan.

Hasilnya adalah birokrat-birokrat yang patuh, tunduk dan enggan untuk berinovasi. Hal itu disebabkan oleh tudingan bahwa inovasi, kreativitas, pertanyaan-pertanyaan terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai pembangkangan. Lebih tragis lagi bahwa jawaban atas tudingan pembangkangan adalah ancaman mutasi ke daerah terpencil atau dipindahkan ke bagian lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya dan sanksi sosial berupa bullying (pelecehan). Dengan demikian wacana pembangunan yang diterapkan oleh Orde Baru dalam membentuk Negara pejabat dan mematikan filsafat dapat digunakan untuk melanggenggakan kekuasaan status quo tanpa

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer 46 perlawanan, serta berhasil membangun budaya subjection (bentuk penyerahan para birokrat pada epada penguasa Orde Baru).

Pemaknaan itu akan berbeda jika dimaknai dari sudut pandang Derrida. Menurut Derrida, pemahaman teks wacana di atas tidak bersifat final tetapi bersifat perspektivis. Derrida dengan dekonstruksinya tidak hanya menggambarkan teks, melainkan juga mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terpikirkan justru bisa tampil menjadi dominan dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Menurut Derrida, tidak ada bagian teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Apabila tidak ada yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa

dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan demikian

dimungkinkan dalam kurun waktu yang berbeda atau oleh pembaca yang berbeda ditemukan makna yang berbeda pula, misalnya makna kekuasaan bagi seorang eksekutif akan berbeda jika ditafsirkan oleh rakyat biasa. Makna Negara pejabat bagi eksekutif akan berbeda dengan birokrat pelaksana, apalagi bagi rakyat biasa.

C. Hubungan Konseptual antara Strukturalis dan

Dokumen terkait