• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TRADISI ZIKIRAN SULTAN DI

B. Zikiran Sultan di kampung Selatip

3. Jalur Ulama

a. Jalur Syech Nawawi Tanara

Menurut Haji Kaslim, tokoh masyarakat dan pengurus masjid di kampung Selatip ini mengatakan bahwa Zikiran tersebut berasal dan diciptakan langsung dari Syech Nawawi Tanara.20 Bila dirunut dari silsilahnya yang masih keturunan Sultan Hasanudin Banten, bisa masuk akal karena adat kebiasaan keturunan orang Jawa atau santri Nusantara biasanya sering mengagungkan leluhur atau gurunya atau sekedar ngalap barokah entah itu dengan penyebutan dan pemujaan nama melalui tawasulan/hadaratan, wawacan syech atau manaqiban dan lain sebagainya. Namun bila tradisi ini benar adanya dari Syech Nawawi Tanara besar kemungkinan tradisi itu juga disebar dan banyak dikenal di kalangan para jama’ah haji. 21 Sehingga kemungkinan juga sampai saat ini akan menjadi familiar dan diamalkan oleh masyarakat seperti laiknya Zikiran pada umumnya.

Padahal yang terjadi faktanya di lapangan hanya terbatas bahkan tidak mengenalnya dan ada sebagian kecil saja yang mempertahankan dan mau mengamalkannya.

Selanjutnya, pada jalur Syech Nawawi Tanara ini. Menurut adat kebiasaan umumnya di Jawa termasuk Banten, masyarakat nusantara pada umumnya begitu kental dengan tradisi pemujaan terhadap nenek moyang leluhurnya atau orang/guru yang sangat berjasa. Adalah Syech Nawawi Tanara yang secara sanadnya masih tersambung dengan Sultan Hasanuddin Banten, sehingga akhirnya konon, Syech Nawawi Tanara mempunyai murid yang bernama Kyai

20 Wawacanara dengan Haji Kaslim, Tangerang, 20 Juli 2017.

21 Wawancara dengan Supiyatna, Tangerang, 20 September 2017.

63 Marzuki asal Tanara yang juga murid dari mursyid tarekat Syeh Abdul Karim Tanara, yang konon Kyai Marzuki sedang bersiap dan menunggu perintah untuk berperang fi sabilillah melawan penjajah Belanda. Menurut Sartono Kartodijo dalam bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888 bahwa di Lontar Pasilian (Distrik Balaraja saat itu) telah terjadi dua kali pengumpulan dana untuk pemberontak petani Banten di Cilegon.22 Dari jalur Kyai Marzuki inilah bisa dimungkinkan tradisi Zikiran tersebut disebar luaskan di masyarakat sekitar pada waktu itu. Kyai Marzuki adalah dikenal sebagai salah satu pengamal Tarekat Qadiriyah.23

Akan tetapi, berdasarkan wawancara penulis dengan pengamal tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Ustad Suhada yang bertempat tinggal di Cakung Gunung Kaler bahwa Zikiran atau wiridan sehabis tarawih itu tidak begitu populer di tarekat ini, biasanya tarekat Satariah-lah yang ada semacam ini.24 Dari keterangan Ustad Suhada ini kemudian menjadi kemungkinan kecil apabila guru sufi atau anggota tarekat qodiriah atau TQN penyebar atau pengamal aktif dari Zikiran sultan itu. Lagi pula Syech Nawawi Tanara bukanlah ulama yang dikenal sebagai penganut atau bahkan mursyid tarekat itu.

Karena tarekat Qodirayah atau TQN termasuk tarekat yang belakangan berkembang di Banten hingga akhirnya menjadi populer ketimbang tarekat lainnya. 25 Dalam kasus tradisi Zikiran Sultan Banten ini. Berdasarkan pengakuan beberapa anggota tarekat Qodiriyah atau Naqsabandiyah di sekitar Tangerang Utara, seperti Ustad Umar Syarifudin Cakung, Ustad Suhada Cakung Gunung Kaler, Ustad Imadudin Kresek dan lain-lain mengakui tidak pernah mengamalkannya bahkan baru mengetahui jenis tradisi Zikiran tersebut. Bahkan, ketika penulis mewawancarai kepada Mufti Ali, salah satu dosen UIN di Serang Banten, mengakui belum pernah

22 Sartono Kartodijo, Pemberontakan Petani Banten 1888,(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984),

23 Wawancara dengan Supiyatna, Tangerang, 20 September 2017.

24 Wawancara dengan Ustad Suhada, 27 September 2017.

25 Martin van Brueinessen, Kitab Kuning dan Tarekat

64

mendengar tradisi ini dan dari teks mendengar lantunan Zikiran itupun bukanlah termasuk peninggalan atau karangan Syech Nawawi Tanara.26

b. Jalur Ki Umar Rencalang

Masyarakat Selatip Kebanyakan beranggapan bahwa tradisi Zikiran sultan ini berasal dari Tanara, hal ini sangat beralasan karena memang Tanara sudah jauh dikenal sejak masa ekspansi kesultanan Sultan Abul Mafakhir dengan disebut Tanahara dimana di Tanahara terjadi penyerangan antara pasukan Cirebon, Mataram dengan pasukan Banten yang disebut dengan pagarage.27 Berarti jauh sebelum atau ketika masa Kesultanan Abul Mafakhir, Tanara sudah mulai dihuni sejalan dengan perkembangan Islamisasi di Banten, dan kemudian masyarakat Selatip menganggap bahwa tradisi Zikiran itu dibawa atau diajarkan oleh Ki Umar Rencalang, dan Rencalang itu pun termasuk atau tidak jauh dari Tanara, padahal dari Ki Umar Rencalang masa kurun hidup jauh sekali dan pula informasi keberadaan Zikiran itu terputus pada anak bungsunya, Haji Sobur.

Hal ini pun sangat dimaklumi karena untuk salah satu alasan pembenaran suatu kaidah hukum atau tradisi atau fatwa diperlukan legitimasi/pengakuan dari ulama yang ahli di bidangnya atau ulama yang begitu kharismatik, kebetulan pada saat itu Ki Umar adalah sosok yang menjadi salah bagian dari itu, sehingga upaya untuk melestarikan atau mungkin pembenaran dari seorang ulama sangat dibutuhkan walaupun ulama atau kyai tersebut bisa jadi tidak mengamalkannya.

Dalam kisah perjalanan Ki Umar Rencalang (1883-1964) yang lahir di Kampung Rancalang, Tirtayasa, Serang Ki Umar adalah salah satu penganut tarekat yang terkenal di Banten yakni tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Dikisahkan Ki Umar pernah mendirikan

26 Wawancara dengan Mufti Ali, 30 September 2017.

27 Titik Pudjiastutik, Menelusuri Jejak Kesultan Banten, (Jakarta: Wedatama widya sastra, 2015),

65 pesantren, tempat untuk mengajarkan kemampuan ilmu agama dan ajaran tarekat-tarekatnya kepada para muridnya yang berasal dari berbagai daerah di Banten. Namun pengajaran yang sering ia ajarkan kepada muridnya adalah pelajaran tauhid dan wirid-wirid tarekat.

Pengajaran tentang sifat-sifat Tuhan (dikenal dengan sifat dua puluh), pembacaan kitab Barzanji, Burdahan dan Shalawat adalah di antara ajaran-ajaran Ki Umar Rencalang yang sampai sekarang masih dari terngiang dan popular di kalangan bekas murid-murinya.28

Ki Umar Rencalang, 1883-1964 lahir di kampung Rancalang, Tirtayasa, Serang dari seorang ayah bernama Haji Kanu. Nama lahirnya adalah Umar. Rancalang adalah nama julukan yang disematkan oleh masyarakat dan para ulama bantaen baginya karena ia berasal dari kampung Rancalang. Masa kecilnya ia habiskan di kampung halamanya. Seperti laiknya anak-anak kecil seusianya, masa kecilnya ia habiskan utuk belajar mengaji al Quran dan belajar tata cara shalat dan wudhu di bawah bimbingan seorang kyai kampungnya. Namun hobinya yang paling menonjol adalah mengail ikan dari sungai sungai kecil yang kebetulan dekat dari kampung halamanya.29

Ketika beranjak masa remaja, ia belajar dasar-dasar tata bahasa Arab, Fikih dan Tajwid di bawah bimbingan seorang ulama yang amat populer saat itu, KH. Nawawi Mandaya. Remaja umar Rancalang dikenal sebagai seorang santri yang sangat patuh dan hormat kepada perkataan gurunya.

Bila ditelusuri perjalanan kisahnya yang aktif mengajar Barzanji, Burdahan, dan Shalawatan dan juga berdasarkan penuturan Uwak Rani bisa dibenarkan bahwa tradisi Zikiran Sultan ini berasal dari Ki Umar Rencalang. Namun, hal ini terputus keterangannya juga periodisasinya ketika penulis telusuri di kediaman atau pemakaman Ki Umar dan bertemu serta wawancara langsung dengan anak

28 Mufti Ali, Biografi Ulama Banten, (Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, tt), h. 208-209.

29 Mufti Ali, Biografi Ulama Banten, h. 208.

66

bungsunya, Haji Sobur, yang mengakui bahwa tidak pernah mengetahui adanya Zikiran tersebut dan baru tahu sekarang ada semacam Zikiran itu, akan tetapi Haji Sobur menceritakan bahwa Ki Umar memang rajin mengajarkan Barzanji, Burdahan, dan Shalawatan dan tak ketinggalan pula menceritakan kehebatan karomah berikut peninggalan warisan ‘Kobak’ yaitu kolam air penadah hujan bila musim kemarau tiba, yang pernah ia buat di kampung-kampung yang pernah ia singgahi dari Sawah Luhur-Serang sampai Mauk-Tangerang.30