• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TRADISI ZIKIRAN DI MASYARAKAT

A. Pengertian Zikir

Dalam Kamus Arab-Indonesia yang disusun oleh Mahmud Yunus disebutkan, kata Dzikr berasal dari dzakara-yadzkuru-dzikran,1 yang artinya menyebut dan mengingat. Ahli tafsir Quraish Shihab menjelaskan bahwa Kata zikr ini juga banyak ditemukan dalam al-Qur‟an tidak kurang dari 280 kali dan pada mulanya berarti mengucapkan dengan lidah/menyebut sesuatu dan berantonim lupa, kemudian berkembang menjadi mengingat, karena mengingat sesuatu seringkali mengantar lidah menyebutnya. Sehingga menyebut dengan

1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung / PT. Mahmud Yunus Waddzuryah, tt), h. 134.

24

lidah dapat mengantar hati untuk mengingat lebih banyak lagi apa yang disebut-sebut itu.2

Kata Zikir sebenarnya merupakan ungkapan dan pemendekan kalimat dzikrulah, ia merupakan amalan khas yang mesti ada dalam setiap tarekat.3 Yang dimaksud dengan Zikir dalam suatu tarekat adalah mengingat dan menyebut nama Allah, baik secara lisan maupun secara batin (jahr/sirri atau khafi). Di dalam tarekat, Zikir diyakini sebagai cara yang paling efektif dan efesien untuk membersihkan jiwa dari segala macam kotoron dan penyakit-penyakitnya, sehingga hampir semua tarekat mempergunakan metode ini. Bahkan dalam istilah tasawuf, setiap yang disebut tarekat, maka yang dimaksudkan adalah tarekat Zikir . Zikir bermanfaat ganda, di samping ia berfungsi sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk membersihkan jiwa, tetapi susah untuk rnengidentifikasirnya mana yang dahulu di antara keduanya.

Dalam memaknai zikir, Quraish Shihab memberikan penjelasan lebih lanjut antara kata menyebut, mengingat dan menghafal.

Kalau kata menyebut dikaitkan dengan sesuatu, maka apa yang disebut itu adalah namanya dan bila nama itu terucapkan maka pemilik nama itu diingat atau disebut sifat, perbuatan, atau peristiwa yang berkaitan dengannya. Dari sinilah kata dzikrullah berarti mencakup penyebutan nama Allah dan segala sifat dan perbuatan-Nya. Sedangkan kata mengingat adalah suatu nikmat yang sangat besar, sebagaimana lupa pun merupakan nikmat yang tidak kurang besarnya bila untuk melupakan kesalahan orang lain, atau kesedihan atas luputnya nikmat. Begitu juga dengan mengingat akan menjadi nikmat istimewa bila yang diingat adalah hal-hal perintah Allah. Pun demikian dengan menghafal, jika Zikir secara umum dikatakan dalam arti memelihara sesuatu maka bisa juga dapat disamakan dengan

2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, (Jakarta :Lentera Hati, 2008), h. 11.

3 Abdul Wahib Mu'thi, Tarekat: Sejarah Timbulnya, Macam-macama dan ajarannya dalam tasawuft, (Jakarta: Paramadina, tt), h. 154.

25 menghafal karena tekanannya pada lebih kepada upaya memperoleh pengetahuan dan menyimpannya dalam benak, sedangkan Zikir adalah menghadirkan kembali apa yang tadinya telah berada dalam benak. Atas dasar inilah, maka Zikir dapat terjadi dengan hati atau dengan lisan, baik karena sesuatu yang telah dilupakan maupun karena ingin memantapkannya dalam benak.4

Dalam pengertian makna Zikir yang luas maupun makna sempit, Quraish Shihab menjelaskan bahwa makna Zikir dalam pengertian sempit adalah Zikir yang dilakukan dengan lidah saja, Zikir dengan lidah saja ini adalah menyebut –nyebut nama Allah atau apa yang berkaitan dengan –Nya seperti mengucapkan Tasbih, Tahmid, Tahlil, Hauqalah, dan lain-lain. Atau bisa jadi Zikir dengan lidah disertai dengan kehadiran kalbu baik dengan atau tanpa unsur pemaksaaan dalam kehadiran hati, dan Zikir inilah peringkat yang tertinggi. Sedangkan Zikir dengan lidah saja adalah tingkat terendah namun masih memiliki berbagai manfaatnya.5

Adapun makna Zikir dalam arti luas adalah kesadaran tentang kehadiran Allah di mana dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk; kebersamaan dalam arti pengetahuan-Nya terhadap apa pun di alam raya ini serta bantuan dan pembelaan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang taat. Zikir semacam inilah, menurut Quraish, Zikir yang menjadi pendorong utama melaksanakan tuntunan-Nya.6

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Zikir artinya ingat.

Yang dimaksud ialah Zikir atau ingat kepada Allah. Para santri bila sudah masuk ajaran tasawuf, mereka diberi bimbingan Zikir . Zikir yang ada tuntunannya adalah bersumber dari Nabi Muhammad.

Zikir yang paling utama adalah Zikir yang dilakukan dalam hati.

Zikir , biasanya tahap pertama dapat dilakukan dengan bantuan alat

4 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 13.

5 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 14.

6 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 16.

26

tasbih dengan harapan tasbih itu selalu mengingatkan kita misalnya untuk membaca Subhanallah.

Terlepas dari tingkatan martabat Zikir , makna Zikir dalam pengertian sempit adalah Zikir yang terikat dengan waktu, bacaannya pun dibatasi dan ditentukan sesuai kebutuhan dan kondisi.

Sedangkan Zikir dalam artian luas dapat berarti Zikir yang tak memiliki ikatan waktu dan objek yang diingat pun sangat luas maknanya.

B. Praktek Zikiran di Masyarakat Nusantara

Praktek Zikir di Nusantara beragam sekali, Munawwir Abdul Fatah dalam bukunya Tradisi Orang-orang NU, mengklasifikasikan tradisi ini ke dalam dua bagian, pertama, masalah ibadah, dan kedua, masalah sosial. Termasuk di dalamnya Zikir dan wirid masuk dalam kategori masalah ibadah, sedangkan amalan Zikiran berupa tahlilan, manaqiban, dibaan, burdahan dan sejenisnya masuk dalam kategori masalah sosial. Namun dua klasifikasi tadi tidak terlepas dari landasannya dalam melaksanakan praktek tradisi-tradisi di Nusantara. Landasan itu berdasarkan keyakinan dan metode berpikir cara Ahlusunnah Waljamaah, mengikuti Sahabat Nabi, Ulama dan mayoritas, hukum-hukum cara bermazhab, pengambilan keputusan serta Thariqah Muktabarah.

1. Praktek Zikiran dalam Masalah Ibadah a. Wiridan

Wirid adalah suatu amalan yang harus dilaksanakan secara terus menerus (istiqamah) pada waktu-waktu tertentu dan dengan jumlah bilangan tertentu juga. seperti setiap selesai mengerjakan shalat lima waktu, atau waktu-waktu tertentu lainnya. Wirid ini biasanya berupa potongan-potongan ayat, atau shalawat atau nama-nama indah Tuhan (al-asma' al-husna). Perbedaannya dengan Zikir di

27 antaranya adalah; kalau Zikir diijazahkan oleh seorang mursyid atau syekh dalam prosesi khusus (bai'at, ta/qin, atau khirqah). Para ahli tarekat khususnya, dan para sufi pada umumnya, berkeyakinan babwa Zikir harus dibai'atkan. Karena kalau tidak dibai'atkan maka nilai ibadah amalannya tersebut hanya bernilai sebagai wirid biasa.7 Sedangkan wirid tidak harus diijazahkan oleh seorang mursyid dan tidak diberikan dalam prosesi khusus. Sedangkan dari segi tujuannya juga memiliki perbedaan diantara keduanya. Zikir dikerjakan hanya semata-mata ibadah (mendekatkan diri kepada Allah), sementara wirid dikerjakan untuk tujuan-tu]uan tertentu yang bersifat keduniaan. Seperti untuk kelancaran rizki (jalbul rizki), kewibawaan dan sebagainya.

Wiridan itu maksudnya membaca bacaan tertentu setelah shalat. Jika dikumpulkan, semuanya ada puluhan macam. Tapi, kalimat pokoknya hampir sama, tentu ada lafal Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar. Mukaddimah-nya bisa panjang, juga penutupnya. Hal itu berdasar pada pelajaran yang diterima dari kyai/guru dari santri yang bersangkutan.8

Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasaan Al-Quran Tentang Zikir dan Doa, menuliskan bahwa kata Wirid mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimat-kalimatnya. Salah satu di antaranya adalah Kehadiran pada sumber air, baik memasuki/bercelup dengan sumber air itu, maupun sekedar berada di sekitarnya. Begitu juga dengan kata Syari’ah, yang biasa digunakan untuk makna ketentuan-ketentuan agama, juga berarti sumber air sebagai isyarat bahwa agama adalah kebutuhan ruhani manusia tak ubahnya dengan air yang merupakan kebutuhan jasmaninya. Dari sini, kemudia kata wirid -khususnya oleh agamawan/pengamal tasawuf- digunakan untuk menunjuk amalan-amalan keagamaan, baik bacaan al-Quran atau doa-doa tertentu maupun aktivitas tertentu, seperti shalat sunnah

7 Wahib Mu'thi, Tarekat, h. 146.

8 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 64.

28

-malam atau siang- yang dilakukan seseorang secara ruitin pada waktu-waktu yang ditentukan.9

Quraish Shihab juga menambahkan dengan mengutip pendapat dari Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Sahl al-Husaini (w. 1900 M), ketika menulis Syarh tentang Wirid dan Ratib al –Haddad, bahwa apa yang dinamai Hizb, Wirid, dan Ratib, pada hakikatnya adalah kumpulan dari zikir, doa, dan kegiatan yang mengarah kepada Allah, yang disusun untuk mengingat, merenung, dan memohon perlindungan Allah dari aneka keburukan serta meraih aneka kebajikan. Ia adalah cara membuka pintu guna meraih ma‟rifat dan pengetahuan. Itu semua disertai dengan kebulatan hati dan tekad mengarah kepada Allah swt.10

Sebenarnya, menurut Quraish Shihab, bahwa kata wirid dalam pengertian ini tidak ditemukan dalam Al-Quran. Sementara para pakar menyatakan bahwa kata wirid dalam pengertian di atas baru popular setelah abad ke-2 H / 8 M, lebih-lebih setelah berkembangnya tasawuf dan tarekat-tarekatnya. Ketika itu, dikenal dua kategori wirid. Pertama, yang diamalkan secara terang-terangan, bahkan berjamaah, dan yang kedua, yang dilakukan sendiri-sendiri bahkan dirahasiakan. Sejak itu pula kata wirid telah diidentikkan dengan kata zikir, walau zikir pada hakikatnya dapat terjadi tanpa melakukannya secara rutin. Kendati istilah wirid dalam pengertian di atas tidak dikenal pada masa Nabi SAW., namun ini bukan berarti bahwa ia tidak memiliki dasar dari tuntunan agama. 11

Mengenai tata cara wiridan, orang-orang muslim Nusantara khususnya warga NU biasanya memilih dengan suara keras yang dituntun oleh seorang imam. Imam dapat mengajari santri yang belum hafal dan dilakukan setiap 5 hari kali atau lebih. Meskipun para kyai mengerti, jika masih ada yang mengerjakan shalat maka

9 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 159-160.

10 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 160.

11 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h, 160.

29 wiridan hendaknya tidak terlalu keras karena itu bisa mengganggu orang yang sedang shalat. Akan tetapi, sudah menjadi kebiasaan di pesantren ada yang terlambat, meski jumlahnya tidak seberapa. Dan, mengucapkannya dengan suara keras akan sangat bermanfaat untuk santri-santrinya.12

2. Praktek Zikiran dalam Masalah Sosial a. Tahlilan

Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat La Ilaha Illa Allah. Di masyarakat Nusantara sendiri berkembang pemahaman bahwa setiap pertemuan yang di dalamnya dibaca kalimat itu secara bersama-sama disebut Majlis Tahlil. Majlis Tahlil di masyarakat Indonesia sangat variatif, dapat diselenggarakan kapan dan di mana saja. Bisa pagi, siang, sore, atau malam. Bisa di masjid, mushola, rumah, atau lapangan.13 Tahlilan ini juga termasuk tradisi amalan warga NU, yaitu berkumpul untuk membaca ayat-ayat Al-Qur‟an, kalimat Zikir, berdoa dan bersedekah dengan harapan pahalanya dipersembahkan kepada orang yang sudah meninggal.14

Acara tahlilan biasanya diselenggarakan khusus tahlil, meski banyak juga acara tahlil ini ditempelkan pada acara inti yang lain.

Misalnya, setelah Dibaan disusul Tahlil, Yasinan lantas Tahlil, sebelum Midodareni ada Tahlil, acara Tasmiyah (memberi nama bayi) ada Tahlil, Khitanan ada Tahlil, rapat-rapat ada Tahlil, kumpul-kumpul ada Tahlil, pengajian ada Tahlil, sampai arisan pun ada Tahlil. Waktu yang digunakan untuk Tahlil biasanya 15-20 menit dan bisa diperpanjang dengan cara membaca kalimat Laa Ilaha Illa Allah... 100 kali, 200 kali, atau 700 kali. Atau diperpendek misalnya

12 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 65.

13 Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, (Yogyakarta:

Pustaka Pesantren, 2008), h. 276-277

14 Tim Penulis, Islam Ahlusunnah Wal Jamaah: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Pusat, 2016), h. 193.

30

hanya 3 kali, atau 21 kali. Semua ini disesuaikan kebutuhan dan waktu. Semua rangkaian kalimat yang ada dalam tahlil diambil dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Nabi. Munawwir Abdul Fattah menegaskan bahwa keliru pemahaman sebagian orang yang menganggap Tahlil buatan kiyai atau ulama. Jadi, yang menyusun jadi kalimat-kalimat baku Tahlil dulunya memang seorang ulama, tetapi kalimat demi kalimat yang disusunnya tak lepas dari anjuran Rasulullah.15

b. Pujian

Pujian adalah sanjungan untuk Allah. Pujian adalah istilah khas orang NU. Dalam prakteknya, pujian bisa jadi kalimat yang mengandung pujian; namun yang sering didengar adalah lantunan shalawat nabi dengan beragam nasyidnya. Kadang juga terdengar ungkapan ajaran/pesan moral para Wali Songo, meski dengan bahasa Jawa yang kental. Waktu pujian biasanya setelah adzan, sebelum shalat berjamaah. Hal ini ditempuh karena ingin memanfaatkan waktu, ketimbang hanya bercengkerama menanti datangnya imam jama'ah. Sebenarnya, waktu yang cuma sebentar ini adalah waktu istimewa, seperti disebut dalam hadits: Doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak.16

Para makmum (tua, muda, anak-anak) yang telah datang lebih dahulu dari imam dapat bersama-sama melantunkan pujian. Pujian ini akan nampak ramai bersaut-sautan saat shalat Subuh, Maghrib, dan Isya. Di perkampungan orang NU yang banyak mushala dan masjid, bagi orang yang belum terbiasa mungkin sedikit agak terganggu karena sekilas ada kesan adu kekuatan suara dan adu pengeras yang paling baik dan mahal. Tetapi sebenarnya mereka tulus. Mereka melakukan pujian hanyalah sekadar mengisi waktu,

15 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 277.

16 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 202.

31 berdoa, membaca shalawat atas nabi, ketimbang ngobrol sesuatu yang bisa mendatangkan dosa.17

c. Shalawat Nariyah/Badriyah

Membaca shalawat Nariyah adalah salah satu amalan yang disenangi di kalangan orang-orang NU, di samping amalan-amalan lain yang semacam itu. Ada shalawat Thibbil Qulub, ada shalawat Tunjina, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan hizib dan rawatib yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cinta kepada Rasulullah sekaligus ibadah.18

Salah satu hadits yang membuat masyarakat Nusantara rajin membaca shalawat ialah: seperti sabda Rasulullah yang populer:

Siapa membaca shalawat untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni, 10 dosanya, dan akan ditambah 10 derajat baginya. Maka biasanya bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya. Salah satu shalawat yang sangat populer ialah shalawat Badar. Hampir setiap warga NU; dari anak kecil sampai kakek dan nenek, dapat dipastikan bisa melantunkan shalawat Badar. Bahkan, saking populernya, orang bukan NU pun ikut hapal karena pagi, siang, malam, acara di mana dan kapan saja shalawat Badar selalu dilantunkan bersama-sama.19

Shalawat yang satu ini, shalawat Nariyah, sangat populer di kalangan masyarakat Nusantara khususnya warga NU. Khususnya bila menghadapi problem hidup yang sulit dipecahkan maka tidak jalan lain selain mengembalikan persolan yang pelik itu kepada Allah, dan shalawat Nariyah ini adalah salah satu jalan mengadu kepada-Nya. Dalam kitab Khozinatul Asror : 178-179, disebutkan;

Hadits riwayat lbnu Mundah dari ]abir, ia mengatakan: Rasululllah bersabda: Siapa yang membaca shalawat kepadaku sehari 100 kali (dalam

17 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 203.

18 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 296.

19 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 297.

32

riwayat lain): Siapa membaca shalawat kepadanya 100 kali Allah akan mengijabahi 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia.

Sampai kata-kata... juga, hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab al-Nuzhah.20

Salah satu shalawat yang mustajab ialah shalawat taf'ijiyah Qurthuhiyah yang disebut orang Maroko shalawat Nariyah karena jika mereka (umat Islam) mengharapkan apa yang dicita-citakan, atau ingin menolak yang tidak disukai, mereka akan berkumpul dalam satu majelis untuk membaca shalawat Nariyah ini sebanyak 4444 kali maka terapailah apa yang dikehendaki dengan cepat (bi idznillah). Shalawat ini juga oleh para ahli tahu rahasia ilahi diyakini sebagai kunci gunang yang memadai.

Sampai kata-kata… Imam Dainuri memberikan komentarnya: siapa membaca shalawat ini sehabi shalat fardhu 11 kali digunkan sebagai wiridan maka rezekinya tidak akan puttus, din samping mendapatkan pangkat/kedudukan dan tingkatan orang kaya.21

d. Tawassul

Tawassul artinya perantaraan. Diibaratkan oleh Munawir,

“Kalau kita tak sanggup menghadap langsung, kita perlu seorang perantara.

Sama halnya kalau kita tidak langsung bertemu presiden, kita lewat menteri.

Dan kita tidak dapat langsung ke Allah, mohon perantaraan para keaksih-Nya, para nabi, syuhada, dan orang-orang saleh.”22

Tradisi masyarakat Nusantara dalam hal tawassul sangat kental, terutama di kalangan bawah. Tidak lain karena mereka merasa golongan rendahan, orang awam, akar rumput. Jadi, jelas bila ada paham yang membolehkan tawassul, otomatis mereka setuju karena di Indonesia tidak ada nabi Allah, para pejuang Islam, para syuhada, yang ada shalhin, para wali Allah maka yang mereka

20 Muhammad Haqin Nazili, Khazinatul Asror, (Serang-Banten:

Maktabah Iqbal Haji Ibrahim, t.t), h. 178.

21 Haqin Nazili, Khazinatul Asror, h. 179.

22 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 316.

33 kunjungi tentu para wali Allah itu. Maka tidak mengherankan jika dijumpai makam-makam Wali Allah senantiasa penuh peziarah.

Mereka memohon kepada Allah dengan cara bertawasul kepada para wali Allah itu. Mereka tahu, takkan mungkin memohon kepada seorang wali atas semua hajat dan kepentingannya.23

e. Tadarus

Tadarus berasal dari bahasa Arab. Bahasa Jawa-nya nderes,.

Bahasa Indonesianya belajar atau mengulang-ngulang pelajaran.

Sekarang, tadarus digunakan sebagai istilah untuk mengaji/membaca Al-Qur‟an, sebidiran atau berkelompok, biasanya sesudah shalat tarawih. Masjid, mushola, dan tempat-tempat ;ain biasanya ditempati untuk tadarus. Yang bagian anak-anak kecil mengelompok sendiri, yang remaja putri sendiri, yang remaja putra sendiri, orang tua pun mengelompok sendiri. Di sini sebagai ajang belajar membca Al-Qur‟an.24

Banyak para orang tua menjadi semangat mempelajari Al-Qur‟an lantaran bermula terpaksa dan rasa malu. di Banten istilah tadarusan lebih dikenal dengan istilah memikranan, karena memikranan ini sering dilakukan ketika saat malam bulan puasa di mushola atau masjid dengan menggunakan alat pengeras suara.

f. Haul

Kata haul berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan haul berarti genap sat tahun. Peringatan ini berlaku bagi keluarga siapa saja, tidak terbatas pada orang-orang NU saja. Akan tetapi, bagi orang-orang NU, haul terasa lebih bernuansa agamis ketimbang orang Jawa yang menyelenggarakannya. Gema haul akan lebih terasa

23 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 317.

24 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 319.

34

dahsyat jika yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar, atau pendiri sebuah pesantren.25

Rangkaian acaranya dapat bervariasi; ada pengajian, Tahlil Akbar, Mujahadah, Musyawarah, dan Halaqah. Yang hadir sangat dipengaruhi besar kecilnya tingkat ketokohannya. Kalau tingkat nasional, tentu lebih banyak yang hadir ketimbang yang timgkat di bawahnya. Dengan kehadiran warga itulah para penyelenggara lazimnya memandang perlu diadakan pengajian sebagai majlis santapan ruhani. Boleh jadi mereka berbalik: yang terpenting adalah mendengarakan mauidzah hasanah di acara pengajian itu ketimbang ziarah ke makam yang bersangkutan.26

g. Manaqiban

Manaqib sebenarnya adalah biografi seseorang, tetapi biografi seorang sufi besar atau kekasih Allah (waliyullah) seperti Syekh Abdul Qadir al-Jilaniy, atau Syekh Bahauddin al-Naqsyabandiy diyakini oleh para pengikut tarekat memiliki kekuatan spiritual (barakah).27 Sehingga bacaan Manaqib seringkali dijadikan sebagai amalan, terutama untuk tujuan terkabulnya hajat-hajat tertentu. Dalam wawancaranya dengan Haji Jamaluddin, Khalifah Tarekat Qadiriyah di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: 7 September 1996. Wahib Mu‟thi menuliskan bahwa amalan manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilany bahkan bisa lebih populer dari pada Tarekat Qadiriyah sendiri.

Di Pulau Jawa misalnya, Tarekat Qadiriyah tidak banyak dianut oleh masyarakat Islam pada umumnya, bahkan secara organisasi tarekat ini tidak ada.28 Akan tetapi pengamal manaqib syekh Abdul Qadir sangat besar, bahkan organisasi pengamalnya pun juga sangat besar

25 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 270.

26 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 271.

27 Dudung Abdurrahman, Upacara Manaqiban pada penganut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dalam Jurnal Penelitian Agama. No.

11/September-Desernber 1992. (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1992), h. 49.

28 Wahib Mu'thi, Tarekat, h, 155.

35 di pulau ini. Khususnya di wilayah Jawa Timur dengan pusat kota Jember. Begitu juga halnya, masyarakat umum (kalangan santri maupun abangan), banyak yang mengamalkan manaqib ini, walaupun bukan pengikut tarekat.

Dalam buku Tradisi Orang-Orang NU, Munawir Abdul Fattah menulis bahwa Manaqiban termasuk kategori tradisi amalan sosial yang kira-kira disamakan pengertiannya dengan amalan Berzanji/Dibaan/Burdahan. Kalau melihat lirik syair maupun prosa yang terdapat di dalam kitab Barzanji, menurut Munawir Abdul Fatttah, seratus persen isinya memuat biografi, sejarah hidup, dan kehidupan Rasulullah. Demikian pula yang ada di dalam kitab Dibaan dan Burdah. Tiga kitab ini yang popular berlaku bagi orang NU dalam melakukan ritual mauludiyah atau menyambut kelahiran Rasulullah. Yang satunya khusus puji-pujian untuk Sulthanul Auliya, Syaikh Abdul Qadir Jailany. Akan tetapi, dalam praktiknya, al-Barzanji, ad-diba’I, Kasidah Burdah, dan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilany sering dibaca ketika ada hajat anak lahir, hajat menantu,

Dalam buku Tradisi Orang-Orang NU, Munawir Abdul Fattah menulis bahwa Manaqiban termasuk kategori tradisi amalan sosial yang kira-kira disamakan pengertiannya dengan amalan Berzanji/Dibaan/Burdahan. Kalau melihat lirik syair maupun prosa yang terdapat di dalam kitab Barzanji, menurut Munawir Abdul Fatttah, seratus persen isinya memuat biografi, sejarah hidup, dan kehidupan Rasulullah. Demikian pula yang ada di dalam kitab Dibaan dan Burdah. Tiga kitab ini yang popular berlaku bagi orang NU dalam melakukan ritual mauludiyah atau menyambut kelahiran Rasulullah. Yang satunya khusus puji-pujian untuk Sulthanul Auliya, Syaikh Abdul Qadir Jailany. Akan tetapi, dalam praktiknya, al-Barzanji, ad-diba’I, Kasidah Burdah, dan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilany sering dibaca ketika ada hajat anak lahir, hajat menantu,