• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN DALAM TRADISI KEAGAMAAN Masyarakat Pesisir Tangerang Utara Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERUBAHAN DALAM TRADISI KEAGAMAAN Masyarakat Pesisir Tangerang Utara Banten"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

YAYASAN OMAH AKSORO INDONESIA

PERUBAHAN

DALAM TRADISI KEAGAMAAN Masyarakat Pesisir Tangerang Utara Banten

(Studi Kasus Praktik Zikiran Sultan di Kampung Selatip Desa Lontar Kecamatan Kemiri Kabupaten

Tangerang)

(2)

dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima juta rupiah).

PERUBAHAN DALAM TRADISI KEAGAMAAN Masyarakat Pesisir Tangerang Utara Banten

(Studi Kasus Praktik Zikiran Sultan di Kampung Selatip Desa Lontar Kecamatan Kemiri Kabupaten Tangerang)

ISBN: 978-602-51516-3-7 Penulis

Ahmad Syaikhu Desain Sampul Mujiburrohman Setting, Layout Mujiburrohman Cetakan ke-1 Februari 2018 Diterbikan oleh:

Yayasan OMAH AKSORO Indonesia Jl. Taman Amir Hamzah No. 5 Pegangsaan, Menteng, Jakarta Selatan. 10320

E-mail: omahaksoro@gmail.com Website: www.omahaksoro.com INDONESIA

Copyright © 2018 YAYASAN OMAH AKSORO INDONESIA

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit

Hak cipta dlindungi undang-undang All right reserved

(3)

iii

KATA PENGANTAR

الله الرحمن الرحيم مسب

Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, karena berkat segala kekuasaan dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan buku ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad Saw, serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Buku ini dapat selesai tentu tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti mengucapkan rasa terima kasih yang sebesan besarnya kepada Bapak Dr. Mastuki HS, Direktut Pascasarjana STAINU Jakarta, beserta jajarannya, Bapak Dr. Adib Misbachul Islam, M.Hum, dan Dr. Muh. Ulinnuha Husnan, Lc, MA yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing, mengarahkan, memberikan informasi dan motivasi penulis, sehingga dapat menyelesaikan buku ini dengan baik. Dan tak lupa kepada Bapak D1. Nasrullah Jasam, Lc, MA dan Dr. Ulil

(4)

iv

Absa1; Hadrawi, M Hum serta Bapak Hamdani, Ph. D yang telah meluangkan waktu megoreksi dan memberikan kritik pemikirannya sehingga buku ini menjadi layak sebagai kajian ilmiah. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh civitas akademi Pcasarjana STAINU Jakarta yang telah membimbing, memberikan ilmu péngetahuan, dan membantu penulis dalam menjalani perkuliahan dan juga penyelesaian buku ini. Para Sahabat kelas Pascasarjana STAlNU Jakarta program Beasiswa Guru Madrasah yang sangat saya banggakan.

Kepada Para Narasumber, Masyarakat Kampung Selatip:

Uwak Rani, Uwak Sugri, Mang Haji Kaslim, Mang Haji .Hamzah, Ustaz Zakaria, dan lain-lain, Yadi Ahyadi Sejarawan Lokal Banten yang telah memberikan sumbangsih pemikiran dan naskah sejarah Banten, dan juga Supiyatna Sejarawan Lokal Balaraja.

Untuk kedua orang tua kami, Bapak Kastalani dan Ibu Jaenab, Mertua kami Ibu Supenah, Bapak Juhri tercinta yang terns membcrikan doa dan kasih sayangnya yang tak terhingga. Untuk istriku tercinta Julaeha, S.Hum, yang terus memberikan semangat dan keikhlasan pada pencliti untuk fokus menyelesaikan studi. Kedua Anakku tercinta yang lucu dan menggemaskan Hanifa Ulul Azmi dan Hannan Ulul Rosyad.

Semua pihak yang belum bisa disebutkan satu persatu, karena dukungan moral dan doa, sehingga peneliti dapat menyelesaikan buku ini.

Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh atas kesempumaan. Untuk itu, kritik dan saran sangat diharapkan sebagai penyempumaan. Akhir kata, penulis berharap buku ini memberikan manfaat, bagi siapa saja yang membaca dan berkeinginan untuk mangeksplorasinya lebih lanjut.

Jakarta, November 2017 Ahmad Syaikhu

(5)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tinjauan Pustaka ... 5

C. Kerangka Teori ... 9

D. Metode Penelitian ... 15

E. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II : TRADISI ZIKIRAN DI MASYARAKAT NUSANTARA ... 23

A. Pengertian Zikir ... 23

B. Praktek Zikir di masyarakat Nusantara ... 26

1. Praktek Zikiran dalam Masalah Ibadah ... 26

(6)

vi

2. Praktek Zikiran dalam Masalah Sosial ... 29

C. Amalan Zikiran ... 37

1. Amalan Kusus ... 38

2. Amalan Umum ... 44

BAB III : TRADISI ZIKIRAN SULTAN DI MASYARAKAT SELATIP ... 49

A. Kondisi Geografis Masyarakat Kampung Selatip ... 49

1. Asal-usul Kampung Selatip ... 52

2. Kondisi Lingkungan Kampung Selatip ... 53

3. Tutur Cerita di Sekitar Kampung Selatip ... 55

B. Zikiran Sultan di kampung Selatip ... 58

1. Keberadaan Tradisi Zikiran Sultan ... 58

2. Asal-usul Tradisi Zikiran Sultan ... 60

3. Jalur Ulama ... 62

a. Jalur Syech Nawawi Tanara ... 62

b. Jalur Ki Umar Rencalang ... 64

4. Jalur Kesultanan Banten ... 66

a. Sultan Maulana Hasanudin ... 69

b. Sultan Abul Mafakhir ... 70

5. Jaringan Tarekat di Banten ... 75

C. Ritual Tradisi Zikiran Sultan ... 77

1. Zikiran Sultan di Kampung Selatip ... 77

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 80

3. Teks Zikiran Sultan ... 83

D. Makna Filosofis Tradisi Zikiran Sultan ... 87

BAB IV : FENOMENA PERUBAHAN TRADISI ZIKIRAN SULTAN BANTEN ... 93

A. Bentuk Perubahan Tradisi Zikiran Sultan ... 94

1. Bacaan Zikiran ... 94

2. Ritual Pelaksanaan Zikiran ... 99

3. Jumlah Anggota dan Tingkat Popularitas ... 100

B. Latar Belakang Perubahan Tradisi Zikiran Sultan ... 101

1. Latar Belakang Ekonomi ... 104

(7)

vii

2. Latar Belakang Poliik ... 105

3. Latar Belakang Pendidikan ... 106

4. Latar Belakang Keamanan ... 107

5. Latar Belakang Kebudayaan Lainnya ... 108

C. Kebertahanan Tradisi Zikiran Sultan di Masyarakat Selatip ... 108

1. Wasiat Ulama ... 109

2. Waktu Yang Sakral ... 110

3. Legitimasi Tradisi ... 111

4. Semangat Keagamaan ... 112

BAB V : Penutup ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran/ Rekomendasi ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 123

BIOGRAFI PENULIS ... 131

(8)

viii

(9)

ix

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1: Kepadatan Jumlah Penduduk Desa Lontar ... 51

Tabel 2: Sumber Daya Manusia ... 51

Tabel 3: Jumlah Penduduk Berpendidikan Terakhir Desa Lontar Meliputi Kampung Selotip ... 52

Tabel 4: Keberadaan Tradisi Zikiran Sultan di Banten ... 60

Tabel 5: Tokoh/ Lembaga Tradisi Zikiran Sultan ... 61

Tabel 6 : Teks Zikiran Sultan ... 83

Tabel 7: Kutipan teks atau pupuh dari Sadjarah Banten ... 90

Tabel 8: Perubahan Bacaan Zikiran ... 97

Gambar 1: Pelaksanaan tradisi zikiran sultan di Masjid Kp. Selatip setelah usai sholat taraweh ... 78

Gambar 2: Bersalaman setelah usai sholat tarawih dan dilanjutkan sambil melantunkan zikiran sultan di salah satu mushola kp. Selatip ... 79

Gambar 3: Uwak Sarkim dan uwak Kanda sedang memandu zikiran sultan di salah satu mushola kp. Selatip ... 79

(10)

x

Gambar 4: Uwak Sugri sedang membacakan lantunan

zikiran sultan di salah satu mushola kp. Selatip ... 80 Gambar 5 : Pelaksanaan zikiran sultan di masjid

premanyang dipimpin oleh Ustadz Zakaria ... 80 Gambar 6: Teks Zikiran Sultan hasil tulisan tangan Uwak

Sugri ... 86 Gambar 7: Teks zikiran sultan hasil tulisan tangan oleh

Ustaz Zakaria ... 87

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan arus informasi dan teknologi serta transportasi yang semakin pesat, tanpa diimbangi sumber daya manusia yang optimal, ditambah lagi perilaku masyarakat yang berlebihan tanpa mengindahkan nilai dan norma yang sakral yang telah lama diajarkan, mau tak mau akan menjadi ancaman bagi tradisi Islam atau kearifan lokal pada suatu masyarakat yang kini mengalami pergeseran dan semakin langka. Kebiasaan-kebiasaan atau istilah- istilah orang tua dulu dan kesalehan-kesalehan sosial lainnya, seperti bila menjelang Ramadhan tiba atau Lebaran masyarakat saling bersilaturahmi mengirim makanan ke sanak saudara, anak-anak membersihkan diri atau mandi beramai-ramai di sungai, berziarah ke kuburan orang tua yang sudah meninggal, bahkan beramai-ramai membuat petasan bambu, memainkan bedug, atau ngederes atau memikranan selepas tarawih, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya, sudah

(12)

2

hampir jarang ditemui di tengah masyarakat sekarang, atau mungkin masih bisa dijumpai namun mengalami pergeseran nilai. Maka di tengah derasnya arus globalisasi itu, mempertahankan ajaran-ajaran yang telah lama diwariskan oleh nenek moyang dan ulama-ulama terdahulu semakin perlu dilestarikan.

Ajaran para ulama terdahulu yang di dalamnya mengandung tentang kewajiban-kewajiban dasar Islam, seperti cinta kasih, kesederhanaan, dan kepercayaan kepada Allah, cinta kasih kepada Nabi Muhammad, para tokoh atau wali yang dianggap dilingkupi berbagai karomahnya, sangat dipuji di se-antero Nusantara. Oleh sebab itu, salah satu keberhasilan dalam proses Islamisasi di Nusantara di antaranya disebabkan oleh kemampuan kaum sufi menyajikan Islam dalam membentuk yang menekankan kontinyuitas Islam dengan kepercayaan dan praktik tradisional yang lama daripada perubahan. Padahal sebelumnya agama Hindu dan Budha telah bercokol sangat lama dan telah meninggalkan akar-akar budaya yang begitu kuat.1

Adalah Banten, menurut penelitian Martin van Bruinessen, pada abad yang lalu terkenal dengan umat Islamnya yang lebih sadar diri dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa. Hal itu dipertegasnya dengan penjelasan Snouck Hurgonje, bahwa penduduk Banten lebih taat dibandingkan dengan orang Jawa lainnya dalam melaksanakan berbagai kewajiban keagamaan, seperti berpuasa selama bulan Ramadhan dan membayar zakat, selain itu berbagai kekhasan perilaku keagamaan di Banten berawal dari masa setelah berakhirnya Kesultanan Banten.2

Tangerang yang dikenal kota metropolitan adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Banten, yang dekat dengan Ibukota Jakarta, merupakan masyarakat yang dikategorikan maju baik di bidang

1 Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I, (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 17.

2 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Yogyakarta:

Gading Publishing, 2012, h. 311-312.

(13)

3 infrastruktur pembangunan maupun pemberdayaan bahkan di bidang pendidikan. Kemajuan itu ditandai berkembangnya kategori desa berkembang dan desa maju oleh program kementerian desa saat ini.

Bahkan, di wilayah pesisir utara dan barat yang jauh dari pusat pemerintahan pun tak terlepas dari arah kebijakan perkembangan pembangunan, hal ini ditandai dengan adanya maraknya program- program yang terkait pembangunan desa dan sebagainya. Di tengah- tengah maraknya kemajuan pembangunan di berbagai sektor itu, peneliti masih menjumpai salah satu tradisi yang masih bertahan di suatu masyarakat Pesisir Banten Utara, tepatnya di Kampung Selatip Desa Lontar Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, yakni tradisi Zikiran sultan3 yakni amalan berupa doa, puji-pujian kepada Allah, kepada Nabi Muhammad, kepada para auliya dan kepada tokoh Sultan Banten, yang dikerjakan selepas tarawih, selepas shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi yang hanya dilakukan di tiga momen ini, dalam pelaksanaannya akan semakin meriah dan menarik jika diiringi dengan permainan bedug dan langgam yang khas.

Masyarakat Kampung Selatip, konon jika merunut sejarahnya, diperkirakan telah menjadi suatu komunitas penduduk tetap pada awal permulaan berdirinya Kesultanan Banten, sama dengan daerah Banten Utara lainnya seperti: Kresek, Gunung Kaler, Tirtayasa, Pontang, Tanara, Kronjo dan Mauk. Kampung Selatip di Tangerang Utara Banten, secara letak geografis jauh dari pusat Kesultanan Banten, dengan kekhasan tradisi Zikiran Sultan -nya itu menandakan bahwa begitu memuja salah satu tokoh Sultan Banten di sela Zikiran tersebut.

Kebanyakan masyarakat setempat menyebutnya dengan Zikiran Sultan, ada juga wiridan ba’da tarawih. Disebut Zikiran sultan karena nama Sultan Banten disebut di dalamnya, dengan penyebutan khas Sabakinking, pemujaan yang tak lain adalah terhadap keagungan Sultan Maulana Hasanuddin.

3 Wawancara dengan Mang Piyan, Tangerang, 02 Februari 2017.

(14)

4

Tradisi Zikiran sultan yang ada di tengah masyarakat ini masih bertahan namun tertatih-tatih. Pasalnya, ketika peneliti telusuri kepada tokoh masyarakat yang sering memandu tradisi ini tidak mampu melafalkan sepenuhnya bahkan tidak hafal sama sekali, maklum tradisi ini hanya dipraktekan setahun tiga kali. Namun, oleh banyak tokoh sepuh mengaku hafal dan lancar jika sudah saatnya tiba. Kebanyakan warga setempat pun dalam tradisi tersebut hanya mengikuti yang ada dan jarang dipelajari secara khusus apalagi untuk sekedar ditulis bacaannya. Kemungkinan bila generasi tua sudah tiada, tradisi Zikiran sultan ini akan hilang sama sekali. Banyak desa- desa di Banten, khususnya di kabupaten Tangerang yang tidak ragu akan keunggulan dan kejayaan Kesultanan Banten Sultan Hasanuddin, baik dipuji dalam hati maupun secara lisan, baik untuk kepentingan taqarub, keselamatan, rasa syukur seperti membaca manakibnya, menziarahi makamnya, maupun dijadikan sebagai ajang kesaktian atau ngelmu, seperti yang ada dalam debus Banten.

Akan tetapi, di beberapa kampung atau desa hampir jarang ramai ditemui tradisi Zikiran seperti ini, kecuali hanya dijumpai di kampung Selatip. Sepanjang sepengetahuan penulis nyaris tradisi ini hanya ditemukan di kampung itu.

Begitu banyak jejak-jejak pribumisasi Islam di Nusantara ini, dan di antara jejak jejak usaha pribumisasi Islam oleh para ulama, dai atau sufi di bagian Banten Utara, Kabupaten Tangerang salah satunya ditunjukkan dengan masih adanya tradisi Zikiran Sultan di tengah masyarakat pesisir yang terbilang jauh dari pusat Kesultanan Banten, dengan penyebutan nama sultan Banten sabakingking dalam tradisi tersebut, juga dalam praktek Zikiran itu diiringi dengan lagu atau langgam khas serta permainan bedug, yang dilakukan secara berjama’ah di masjid atau mushola. Selain itu juga kapan kepastian dan tokoh siapa saja yang pertama kali berjasa dalam masa persebaran Islam awal hingga terbentuknya kontruksi sosial berupa tradisi Zikiran Sultan yang masih bertahan kini di masyarakat pesisir tersebut, merupakan tanda tanya besar bagi penulis sehingga untuk menjawab permasalahan ini perlu untuk dikaji.

(15)

5 B. Tinjauan Pustaka

Dalam kajian pustaka penelitian ini, penulis pertama kali merujuk pada dalam kajian penelitian Nur Syam, Islam Pesisir (2005) yang diterbitkan LkiS Yogyakarta, di dalam fokus kajiannya yang meneliti masyarakat pesisir Jawa Timur, Nursyam menjelaskan bahwa tradisi Islam pesisir terbentuk pada upacara yang dibagi menjadi dua; upacara atau ritual ibadah dan ritual adat, keduanya sama-sama dipraktekkan pada pensakralan tiga medan budaya, yakni;

makam, masjid dan sumur.

Masyarakat pesisir, menurut Nursyam memiliki kekhasan dalam kegiatan upacara-upacara keagamaannya, yakni menonjolkan sikap adapatif terhadap ajaran Islam dibanding dengan masyarakat pedalaman yang sinkretik. Ia kemudian membagi masyarakat Jawa secara geografis dan kebudayaannya menjadi tiga, yaitu negarigung, mancanegari, dan pesisiran. Kebudayaan masyarakat di wilayah negarigung adalah kebudayaan yang bersumber dari dan berakar pada dunia keraton. Mereka ini disebut sebagai tiyang negari (orang negari), dengan sifat-sifatnya yang mengedepankan kehalusan baik dalam bahasa maupun kesenian, dengan kehidupan keagamaan sinkretik.

Masyarakat di wilayah mancanegari memiliki banyak kesamaan dengan budaya negarigung dan mereka mengidentifikasi dirinya sebagai tiyang pinggiran (orang pinggiran) yang memiliki kebudayaan yang kurang halus dibandingkan dengan tiyang negari, dan dalam kehidupan keberagamaannya juga dicirikan sinkretik. Masyarakat pesisiran, yang secara geografis tinggal di pesisir utara Jawa, memiliki ciri khas budaya yang berbeda, berwatak keras, terbuka dan keberagamaannya yang cenderung akulturatif.4

Islam awal mula berkembang di pesisir Utara Jawa berwatak kosmopolit dan egaliter. Sebagaimana yang diteliti Nursyam pada masyarakat pesisir Palang, Jawa Timur, bahwa terdapat pengakomodasian antara Islam dan budaya lokal seperti upacara petik

4 Nursyam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 166.

(16)

6

laut, manganan (tasyakuran desa) dan nyadran (khaul makam) yang diselenggarakan secara rutin dan upacara kalenderikal lainnya.5

Berdasarkan dari uraian review buku Nursyam tersebut, bahwa dalam masyarakat Islam pesisir terdapat rutinitas dalam kegiatan upacara, baik ritual ibadah maupun ritual adat dalam pensakralan sumur, makam dan masjid. Namun, bila dikaitkan dengan kajian penelitian tesis penulis dalam tradisi Zikiran sultan yang ada di masyarakat Pesisir Selatip, Tangerang Utara, Banten, begitu sulit dijumpai kegiatan upacara rutinitas pada ritual adat, akan tetapi begitu mencolok pada kegiatan ritual ibadah, seperti pada tradisi Zikiran sultan ini.

Begitu pula pada buku kumpulan penelitian yang diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, yang berjudul Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia (2009) salah satu peneliti di antaranya; Muhammad Hudaeri beserta kawan-kawan, dengan sub tema penelitian; Penyerapan Nilai-Nilai Budaya Lokal Dalam Kehidupan Beragama di Banten, di dalamnya dituliskan bahwa religiusitas yang melekat di Banten tidak terlepas daripada peranan penting dalam proses Islamisasi yang dilakukan oleh Kesultanan, para guru sufi berikut tarekatnya, aliansi politik dan jalur perdagangan. Terlebih lagi pada ajaran penghormatan dan pemujaan yang dikembangkan oleh para sufi yang begitu akomodatif terhadap budaya lokal telah berhasil dalam membentuk tradisi Islam.

Hudaeri menambahkan bahwa telah terjadi perubahan orientasi tentang pusat kosmis, yang dulu sebelum Islam datang pusat kosmis utama adalah keyakinan terhadap kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan juga tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat memiliki sumber kekuatan spiritual, kesaktian dan legitimasi politik. Namun setelah Islam berhasil berkembang di penduduk Banten, pusat kosmis utama itu beralih pada Mekkah dan Madinah yang dijadikan sebagai sumber kesaktian, kedigjayaan dan legitimasi

5 Nursyam, Islam Pesisir, h. 168.

(17)

7 politik, bahkan bacaan-bacaan Islam yang bertuliskan bahasa Arab lebih dianggap manjur dan sakti daripada bacaan-bacaan lokal. Selain itu, gelar sultan atau maulana yang diperoleh dari Mekkah lebih memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaannya.6

Oleh sebab itu, legitimasi atas adanya kekuatan sakti dan pengetahuan keagamaan yang luas yang dimiliki oleh para Sultan Banten merupakan salah satu faktor yang menjadi sumber kekuasaannya. Hal ini sangat wajar apabila rakyat menaati kekuasaannya atas dasar keyakinan bahwa kesaktian atau kekeramatan sultan dapat menimbulkan bencana atau memberikan pertolongan. Keyakinan seperti ini, sampai kini masih bisa ditemukan dalam tradisi tarekat dan debus yang berkembang di Banten.7

Kuatnya keyakinan atas kekeramatan Sultan ditambah lagi kehancuran kesultanan Banten, pada akhirnya menyebabkan ditonjolkannya tarekat sebagai jaringan sosial dan sumber kesaktian dan ilmu kedigjayaan pada saat-saat melakukan perlawan terhadap penjajahan Belanda. Para kiyai dan guru-guru tarekat yang melakukan perlawanan sering menganjurkan kepada para muridnya untuk melakukan dzikir dan membaca doa-doa tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan kesaktian atau ilmu kedigjayaan agar kebal terhadap senjata, tidak terlihat oleh musuh dan sebagainya.8

Dari uraian penelitian Hudaeri dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang begitu kuat akan kesakralan dan kekeramatan sultan Banten terhadap keyakinan keagamaan penduduk Banten sehingga dalam keyakinannya itu melahirkan pemujaan dan penghormatan pada ketokohan sultan, kemudian pada perkembangannya para guru

6 Muh. Hudaeri, dkk. Penyerapan Nilai-nilai Budaya Lokal Dalam Kehidupan Beragama di Banten (Studi tentang Budaya Lokal di Banten), dalam Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia ke- I, Afif dan Saeful Bahri, ed., (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 64.

7 Hudaeri, Penyerapan Nilai –Nilai Budaya Lokal, h. 66.

8 Hudaeri, Penyerapan Nilai –Nilai Budaya Lokal, h. 66

(18)

8

sufi serta tarekatnya mengambil peranan dalam mengajarkan pemujaan dan penghormatan ke dalam bentuk dzikir dan doa-doa tertentu sebagai kesaktian untuk menentang penjajahan Belanda, yang kemudian terwujud dalam tradisi pembacaan manaqib atau wawacan syeh Abdul Qodir Jailani dengan berbagai tujuan dan kebutuhan masyarakat hingga kini.

Menurut Hudaeri, praktek wawacan syekh Abdul Qodir Jailani dalam masyarakat Banten merupakan cerminan corak keagamaan sufistik yang menguasai pola kehidupan masyarakat dan diperkirakan mulai ramai semenjak ramainya penyebaran tarekat Qodiriyah atau Qodiriyah wa Naqsabandiyah.

Berdasarkan hasil review buku penelitian di atas, bila dikaitkan penelitian tesis ini diperoleh gambaran bahwa perlu ditelusuri ulang apakah pemujaan atau penghormatan terhadap Sultan Banten dalam tradisi Zikiran sultan merupakan buah dari keyakinan masyarakat pesisir kampung Selatip terhadap kekeramatan atau kesakralan seorang Sultan Banten, mungkinkah juga tradisi Zikiran itu salah satu bagian ajaran tarekat yang dikembangkan oleh para guru sufi dan dijadikan jaringan sosial dalam menyusun kekuatan untuk melawan penjajahan Belanda.

Berbeda dengan konsep Islam Pesisir-nya Nursyam, bahwa pusat ritual masyarakat pesisir terletak pada medan budaya masjid, makam dan sumur. Maka Arifuddin Ismail, dalam disertasinya Agama Nelayan (2012) menjelaskan bahwa masyarakat Islam Pesisir, dalam tradisi ritualnya berpusat pada kelautan, dimana tradisi itu terbentuk dari proses akulturasi Islam dan tradisi lokal masyarakat nelayan dengan intesitas dialogisasi kebudayaan. Arifuddin menambahkan bahwa proses akulturasi Islam ke dalam tradisi masyarakat nelayan umummnya digerakkan oleh beragam faktor. Pertama, faktor politik.

Hubungan emosional yang erat antara kerajaan (kerajaan Gowa dan kerajaan Balanipa) menjadi penting dalam proses Islamisasi di masyarakat pesisir (masyarakat Mandar). Kedua, nalar masyarakat

(19)

9 pesisir (Mandar) yang terbiasa dengan nalar mistis. Bangunan nalar ini memudahkan para ulama generasi awal untuk mendialogkan Islam. Dari kedua faktor tersebut Arifuddin mempertegas lagi bahwa corak Islam yang berkembang dalam masyarakat Islam pesisir (dalam hal ini masyarakat nelayan Mandar, Pambusuang) lebih condong kepada dominasi sufistik dalam corak praktikal ritualnya.9

Berdasarkan uraian di atas, bila juga dikaitkan dengan penelitian tesis ini dapat ditarik pertanyaan apakah ada kesamaan dengan penelitian Agama Nelayan-nya Arifudin Ismail, bahwa Zikiran sultan yang terbentuk kini hasil dari faktor politik yakni hubungan emosiaonal antara kesultanan Banten dengan ulama-ulama Banten sehingga terbentuk tradisi Zikiran sultan, dan mungkinkah masyarakat pesisir Tangerang utara dengan nalar yang mistisnya sehingga mudah menerima tradisi Zikiran ini sebagai bentuk pemujaan atas keagungan atau jasa sultan Banten.

C. Kerangka Teori

Berdasarkan uraian-uraian yang dibahas sebelumnya dan sekaligus untuk memudahkan dalam memberikan jawaban logis tentang permasalahan tesis ini, maka diperlukan kerangka teori tentang Zikiran Sultan ini. Dari pokok permasalahan terebut, menurut perspektif penulis term-term yang ingin dimunculkan adalah Agama dan Tradisi Islam, Perubahan Sosial. Ketiga term inilah yang nantinya ingin dikembangkan penulis dalam menjelaskan alasan- alasan mengapa fenomena tradisi Zikiran sultan ini muncul dan berkembang serta masih bertahan di masyarakat pesisir Selatip, Tangerang Utara, Banten.

9 Arifuddin Ismail, Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.180-181.

(20)

10

1. Agama Menurut Durkheim

Karena dalam tesis ini adalah penelitian tentang perubahan sosial, maka dalam memberikan pengertian tentang agama ini penulis ambil dari sudut pandang ilmu sosiologi. Adapun agama sebagaimana Hotman Siahaan menjelaskan dalam kutipannya pemikiran Emile Durkeim. Menurut Durkheim agama berasal dari masyarakat itu sendiri, dan masyarakat itu sendiri yang mengintepretasikan tentang Tuhan yang diyakini sesuai dengan idealismenya. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sakral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.10

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus yakni kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu sifat kudus dari agama dan praktek-praktek ritual dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi.

Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.11

Dari pendapat Durkheim, agama merupakan perwujudan dari collective consciousness (kesadaran kolektif) sekalipun selalu ada

10 Hotman Siahaan, Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1986), h. 170.

11 Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, (Jakarta: UI-Press, 1986) , h. 211.

(21)

11 perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat) dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia. Dalam hal ini Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu kepercayaan dan ritus/upacara-upacara. Keyakinan adalah pikiran dan ritus adalah tindakan.12

Agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal. Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciousness tersebut semakin lemah kembali.

Jadi ritual-ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif di antara masyarakat, atau dengan kata lain ritual agama merupakan charge bagi manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhannya.13

Agama dipandang sebagai sumber utama solidaritas sosial.

Ritual agama yang dilakukan secara kolektif dapat memperkuat solidaritas (collective effervescene). Durkheim menjelaskan dalam teori struktural fungsionalnya, agama sebagai pencipta kohesi sosial, bagaimana menjelaskan semakin inklusif terhadap agama tersebut, pada saat yang sama semakin eksklusiv terhadap kelompok-kelompok agama yang lain. Dan hal seperti inilah yang dapat kita perhatikan di Indonesia. Ketika terjadi sebuah perkumpulan yang mengatasnamakan kelompok tertentu maka rasa persaudaraan yang

12 D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983). h.

27.

13 Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, ed. II, (Jakarta: Prenada Media, 2004,), h. 119.

(22)

12

terjalin pun semakin erat dan akan semakin erat lagi jika terjadi kekacauan yang mengatasnamakan kelompok tersebut. Intinya, agama dipandang sebagai sumber utama solidaritas sosial. Dengan mengatas namakan agama orang dapat berkumpul bersama dan bersatu.14

Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan- larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.15

Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi kekudusan itu.

Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang kudus dengan yang profan tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek- praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.16

14 Fransiska SSE Seda, Eksklusivitas dan Inklusivitas, (Diktat Sosiologi Agama 2010).

15 Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, (Jakarta: UI-Press, 1986) , h. 154.

16 Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern. h. 155.

(23)

13 2. Tradisi Islam

Adapun istilah tradisi secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek, dan lain-lain yang diwariskan turun temurun termasuk cara penyampaian pengetahuan, doktrin, dan praktek tersebut.17 Purwadarminta menjelaskan bahwa tradisi merupakan adat kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan masih terus menerus dilakukan di masyarakat, di setiap tempat atau suku berbeda-beda.18 Sedangkan dalam Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, tradisi didefiniskan sebagai penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar.19

Kata tradisi dalam bahasa Arab berasal dari unsur-unsur huruf wa ra tsa, yang dalam kamus klasik disepadankan dengan kata-kata irts, wirts, dan mirats. Semua kata tersebut merupakan bentuk masdar yang menunjukkan arti segala yang diwaris manusia dari kedua orang tuanya, baik berupa harta maupun pangkat atau keningratan.

Sebagian para lingius klasik membedakan antara kata wirts dan mirats yang mengartikan dengan makna kekayaan, dengan kata irts yang secara spesifik mengandung arti kehormatan dan keningratan.20 Huruf ta merupakan derivasi dari bentuk wurats, karena beratnya baris dlammah yang berada di atas wawu, perubahan-perubahan semacam ini lazim berlaku di kalangan gramatikal Arab.

17 Muhaimain AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta;Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 11-12.

18 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahas Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1993), h. 1088.

19 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Dep P&K dan Balai Pustaka, tt), h.

599.

20 Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, penerjemah Ahmad Baso, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 13.

(24)

14

Berbeda dengan istilah Arab, Turats dalam bahasa Perancis dikenal dengan sebutan heritage yang berarti warisan kepercayaan dan adat istiadat bangsa tertentu.21 Jadi tradisi dalam pembahasan ini adalah kebudayaan yang dilihat sebagai bagian esensial atau warisan kebudayaan masa lampau yang sampai sekarang masih dilaksanakan secara turun temurun.

Dalam wacana sosiologi dan antropologi, Tradisi Islam dapat dipahami dan dipraktikan melalui konsep humanisme-teosentris sebagai wujud realita sosial.22 Realitas tersebut banyak dikenal dengan konsep dualisme agama (Islam), yaitu Islam Tradisi Besar (Great Tradition) dan Tradisi Kecil (Little Tradition) atau tradisi Lokal (Local Tradition). Secara lebih konkret, dalam konteks agama Islam, kedua tradisi ini dapat dikatakan sebagai Islam Resmi (Official Islam) yang berada di tangan para agamawan dan Islam Populer (Popular Islam) yang banyak berkembang dan diaplikasikan dalam masyarakat atau rakyat kebanyakan. Ernest Gellner menyebut kedua model tradisi tersebut dengan tradisi tinggi (high tradition) dan tradisi rendah (low tradition).23

3. Perubahan Sosial

Adapun pengertian perubahan sosial banyak para ahli memberikan beberapa defenisi, salah satu di antaranya penulis sebut dari Emile Durkheim, yakni; perubahan sosial dapat terjadi sebagai hasil faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas

21 Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, h. 15.

22Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung:

Mizan, 1996), h. 229.

23 Ernest Gellner, Menolak Posmodernnisme, Penerjemah Paryanto dalam Islam Akomodasi Budaya dan Poskolonial, (Surakarta: Pusat studi Budaya dan Perubahan Sosial Universita Muhammadiyah, 2002), h. 61.

(25)

15 mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.24

Berdasarkan dari pengertian itu dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam suatu lingkungan sosial yang meliputi berbagai unsur dan menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem sosial dalam lingkungan tersebut.

Perubahan sosial meliputi perubahan struktur dan fungsi masyarakat, termasuk diantaranya nilai – nilai sosial, norma, dan berbagai pola dalam kehidupan manusia.

Perubahan terjadi karena adanya modifikasi dari berberapa pola kehidupan. Ada berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya modifikasi tersebut. Kondisi tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa Teori Perubahan Sosial, di antaranya oleh Emile Durkheim berpendapat bahwa perubahan karena suatu evolusi mempengaruhi perorganisasian masyarakat, terutama dalam menjalin hubungan kerja.25

D. Metode Penelitian

Dalam mengungkap bentuk, fenomena dan faktor perubahan yang terjadi dalam tradisi Zikiran Sultan itu. Maka, dalam pendekatan yang dipakai adalah penelitian kualitatif pada studi kasus tradisi Zikiran tersebut dengan merujuk serta membandingkan pada metode perubahan sosial yang diusung oleh teori-teori Emil

24 Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 10-36.

25 Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1974). h. 23.

(26)

16

Durkheim. Di antaranya teori Sosiologi Agama. 26 Menurut Durkheim sosiologi agama, agama terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat agama yang selalu ada sepanjang zaman dengan menganalisis bentuk-bentuk agama yang paling primitif. Singkat kata dia menemukan hakikat agama dengan cara memisahkan yang sakral dari provan. Yang sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Durkheim mengatakan bahwa ikatan moral ini dapat berubah menjadi ikatan kognitif karena kategori-kategori pemahaman semisal klasifikasi waktu, tempat dan penyebab semuanya berasal dari ritual keagamaan. Masyarakat melalui individu menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai provan. Aspek realitas sosial yang didefinisikan dan dianggap sakral inilah yaitu sesuatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Sementara itu profan adalah suatu yang bisa dipakai aspek kehidupan duniawi. Durkheim tidak percaya bahwa agama itu tidak ada sama sekali karena tak lebih dari sekedar sebuah ilusi setiap fenomena sosial yang mudah menyebar pasti memiliki kebenaran. Namun kebenarannya tersebut belum tentu sama dengan yang diyakini oleh para penganutnya. Sebenarnya, Durkheim tidak percaya dengan realitas supranatural apapun yang menjadi sumber perasaan agama tersebut. Agama adalah sistem simbol yang dengannya masyarakat dapat menyadari dirinya, inilah satu-satunya cara yang bisa menjelaskan kenapa setiap masyarakat memiliki kepercayaan agama, akan tetapi masing-masing kepercayaan berbeda satu sama lain. Masyarakat merupakan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan kita yang melampaui kita menuntut pengorbanan kita, menekan sifat egois kita dan mengisi kita dengan energi. Masyarakat menurut Durkheim menggunakan

26 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: dari teori fungsionalisme hingga post modernis sosial, Perubahan Sosial, penerjemah Acmad Fedyani, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 175.

(27)

17 kekuatan melalui representasi, Durkheim melihat tak lebih dari sekedar hasil pengejawantangan wujud Tuhan dan simbolisnya.

Dengan kata lain masyarakat adalah sumber dari kesakralan itu sendiri.

Berdasarkan teori perubahan sosial Emil Durkheim di atas, maka obyek penelitian, baik tempat maupun sumber data, penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan pengumpulan datanya dengan pengamatan (observation) dan wawancara mendalam (indepth interview). Metode wawancara, akan dikembangkan menjadi metode analisis life story.

Dalam penelitian ini penulis melakukan:

a. Mengidentifikasi bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah penelitian, yakni tentang buku-buku yang berkaitan dengan tradisi Islam Pesisir, di antaranya; Nur Syam dalam Islam Pesisir, Arifuddin Ismail dalam Agama Nelayan, dan Muhammad Hudaeri tentang tradisi wawacan syeh di Banten.

b. Melakukan pemilihan isi tema dalam buku di atas sesuai kerangka berpikir penulis kemudian menelaah (review) dan diperbandingkan dengan bahan pustaka lainnya.

Adapun dalam bagian teknik pengumpulan data, penulis menggunakan teknik sebagai berikut:

a. Dokumentasi. Sumber utama data dokumentasi yang akan dipergunakan adalah berupa hasil wawancara dengan narasumber/informan di lapangan. Setelah itu, dikaji secara kritis-analitis dengan dokumen dan catatan yang terkait pada dokumen dan catatan sejarah Banten. Selain data primer tersebut, penelitian ini juga akan menggunakan data-data sekunder berupa dokumen-dokumen yang berasal dari para sarjana kontemporer maupun karya para ulama tempo dulu yang berkaitan dengan topik penelitian itu, dan apa pandangan para sarjana antropologi tentang praktek keberagamaan masyarakat.

(28)

18

b. Pengamatan. Pengamatan digunakan untuk melihat fenomena- fenomena sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat sehari- hari. Dalam melakukan pengamatan ini peneliti berusaha secara tajam menyaring setiap gejala sosial dengan mempergunakan landasan teoritik yang sesuai dengan penelitian ini. Pengamatan akan dipakai untuk melihat praktek tradisi yang masih berkembang di masyarakat sekitar.

c. Wawancara. Pada penelitian ini wawancara dilakukan tidak terstruktur dengan melihat kondisi dan tema yang berkembang dalam wawancara. Ini dimaksudkan agar penggalian informasi secara mendalam tentang suatu topik tidak terkesan kaku dan dipaksakan sehingga informan dapat memberikan keterangan- keterangan yang diketahuinya secara bebas.

d. Lokasi penelitian. Untuk penelitian ini dilakukan di masyarakat pesisir kampung Selatip, desa Lontar, kecamatan Kemiri yang berbatasan dengan kecamatan Kronjo, Tangerang, Banten.

Lokasi tersebut penulis pilih, berdasarkan di samping atas pertimbangan kemudahan akses, juga memang dalam rangka menyingkap fenomena perubahan tradisi Zikiran sultan.

Ketika data penelitian di atas diperoleh. Langkah selanjutnya adalah menganalisis data-data tersebut. Yakni dengan menguraikan satu persatu kategorisasi tradisi apa saja yang menjadi ciri khas, dan yang masuk dan atau telah berkembang dalam masyarakat Islam Pesisir Tangerang bagian Utara Banten, lalu diklasifikasikan secara terperinci bagian-bagian mana yang termasuk tradisi Islam Nusantara, dan dihubungkan pula dengan tradisi Islam yang ada dan berkembang di pusat kesultanan Banten baik sejak berdirinya kesultanan sampai dengan saat ini. Kemudian diperbandingkan dengan tradisi-tradisi daerah lainnya di luar Banten yang masih memiliki hubungan atau persamaan dengan tradisi tersebut.

Dalam beberapa kunjungan yang dilakukan, penulis melakukan pengumpulan data atau sumber dilakukan dengan menggunakan bahan dokumen, buku dan lain sebagainya. Yang terbagi ke dalam

(29)

19 sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber pokok yang menjadi pembahasan dalam tesis ini, sumber data primernya meliputi dokumen tertulis atau lisan teks zikiran sultan yang ada di masyarakat Selatip Kabupaten Tangerang, Dokumen Pribadi Sejarah Banten dan Terjemahan oleh Yadi Ahyadi, Tinjauan Kritis Sejarah Banten Oleh Husein Djajadiningrat dan Menyusuri Jejak Kesultan Banten oleh Titik Pudjiastuti. Kemudian sumber data sekunder yakni penunjang dari sumber pokok yang terdiri dari buku- buku yang membahas terkait dalam tesis ini, seperti Nursyam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005, Muh. Hudaeri, dan kawan-kawan dalam Penyerapan Nilai-nilai Budaya Lokal Dalam Kehidupan Beragama di Banten (Studi tentang Budaya Lokal di Banten), dalam Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia ke- I, editor Afif dan Saeful Bahri, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009, dan Arifuddin Ismail, Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal, Yogyakarta diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, 2012. Selain buku-buku tersebut digunakan pula buku-buku dan artikel lainnya yang berkaitan dengan pembahasan dalam tesis ini.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulis dalam pembahasan tesis ini. Di sini penulis perlu menyusun beberapa pembahasan tesis ini ke dalam lima bab yang terbagi ke dalam sub bab yaitu :

Untuk bab pertama adalah Pendahuluan, dimana umumnya dalam semua penelitian, di sini penulis menguraikan alasan-alasan pentingnya tesis ini untuk dikaji sebagai bahan penelitian ilmiah, maka dalam bab ini perlu dijelaskan bagaimana gambaran umum permasalahan tersebut, yakni; Latar Belakang Masalah; Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah; Tujuan dan Manfaat Penelitian;

Kerangka Teori; Tinjauan Pustaka; Metodologi Penelitian; dan Sistematika Penulisan.

(30)

20

Untuk bab kedua, penulis memberikan uraian tentang gambaran umum pengertian dan praktek Zikiran yang berkembang di masyarakat Nusantara, maka tema pokok dalam bab dua ini adalah Praktek Zikiran di dalam Masyarakat Nusantara; meliputi;

Pengertian Zikir dan Praktek Zikiran di Masyarakat Nusantara, yang meliputi zikiran dalam masalah ibadah dan sosial, dan Amalan Zikiran;

yang meliputi amalan khusus dan umum.

Untuk bab yang ketiga, membahas lebih spesifik tentang makna filosofis dan praktek tradisi Zikiran Sultan di masyarakat pesisir kampung Selatip. Maka tema pokok ini berisi; Tradisi Zikiran Sultan Masyarakat Selatip; di dalam sub-sub temanya diuraikan kondisi geografis, asal-usul dan praktek perkembangannya agar nanti di bab berikutnya dapat menunjang analisis antara perpaduan dan peranan kesultanan Banten di masyarakat Selatip, umumnya di masyarakat Pesisir bagian Utara Kabupaten Tangerang. Oleh sebab itu perlu dibahas di antaranya; Kondisi Geografis Masyarakat Kampung Selatip;

yang meliputi Asal-usul Kampung Selatip, Kondisi Lingkungan Kampung Selatip, dan Tutur Cerita di Sekitar Kampung Selatip. Setelah mendapatkan gambaran umum tentang Kampung Selatip barulah dibahas apa itu Zikiran Sultan yang berlangsung selama ini di kampung Selatip, oleh sebab itu dibahas juga dalam hal ini; Zikiran Sultan di kampung Selatip, oleh karena pembahasan tesis ini mengenai bagaimana perubahan tradisi yang berkembang di kampung tersebut, maka di sini perku dibahas meliputi; Keberadaan Tradisi Zikiran Sultan, Asal-usul Tradisi Zikiran Sultan dalam hal ini dibahas tentang sejarah asal-muasal sampai berkembangnya tradisi tersebut, untuk mendapatkan informasi yang berkembang tentang asal mula tradisi tersebut sampai tiba di kampung Selatip perlu dibahas disini pada dua jalur, yakni Jalur Ulama; meliputi Jalur Syech Nawawi Tanara dan Jalur Ki Umar Rencalang, adapun Jalur Kesultanan Banten, bisa melalui Sultan Maulana Hasanudin dan Sultan Abul Mafakhir, serta dengan Jalur Jaringan Tarekat di Banten.

(31)

21 Setelah memperoleh gambaran spesifik mengenai asal usul tradisi zikiran yang berkembang di kampung tersebut, kemudian menjelaskan pula tentang bagaimana ritual tersebut. Maka pada bab tiga ini juga dibahas tentang Ritual Tradisi Zikiran Sultan; meliputi Zikiran Sultan di Kampung Selatip, Waktu dan Tempat Pelaksanaan, Teks Zikiran Sultan. Barulah setelah dibahas mengenai makna yang terkandung dalam tradisi tersebut dengan pembahasan Makna Filosofis Tradisi Zikiran Sultan.

Adapun di bab yang keempat adalah memasuki bab analisa penulis dalam meneliti tradisi zikiran ini. Sesuai dengan judul dalam tesis ini. Maka dalam tema pokok bab empat ini perlu dibahas tentang; Fenomena Perubahan dalam Tradisi Zikiran Sultan; di mana dalam fenomena tersebut terjadi dalam; Bentuk Perubahan Tradisi Zikiran Sultan, baik dari segi Bacaan Zikiran, Ritual Pelaksanaan Zikiran maupun Jumlah anggota dan Tingkat Popularitas-nya, perubahan tersebut bukan tanpa alasan oleh sebab itu di sini juga perlu dibahas apa yang melatarbelakangi terjadinya bentuk perubahan tersebut, dalam hal ini dibahas; Latar Belakang Perubahan Tradisi Zikiran Sultan, baik latar belakang ekonomi, politik, pendidikan, keamanan sampai kepada masuknya kebudayaan lain.

Dengan fenomena perubahan yang terjadi pada tradisi zikiran itu, namun di sisi lain tradisi itu tidak membuat hilang begitu saja baik ditelan waktu maupun perkembangan zaman. Oleh sebab itu faktor kebertahanan tradisi itu juga perlu dibahas dalam bab ini, yang meliputi Kebertahanan Tradisi Zikiran Sultan Banten di Masyarakat Selatip, faktor tersebut di antaranya, ada Wasiat Ulama, Waktu yang Sakral, Legitimasi Tradisi, dan Semangat Keagamaan.

Untuk bab lima berisi Penutup, meliputi Kesimpulan dan Rekomendasi sebagaimana umumnya ada di bab lima. Yaitu, penulis berusaha mencoba menjawab pembahasan ke pembahasan lainnya yang meliputi menjawab rumusan masalah dan penemuan yang ditemukan dalam permasalahan di dalam tesis ini. Kemudian

(32)

22

diuraikan juga dalam hal kritik dan saran serta rekomendasi yang dituangkan untuk dijadikan bahan penelitian selanjutnya.

(33)

23

BAB II

TRADISI ZIKIRAN DI MASYARAKAT NUSANTARA

A. Pengertian Zikir

Dalam Kamus Arab-Indonesia yang disusun oleh Mahmud Yunus disebutkan, kata Dzikr berasal dari dzakara-yadzkuru-dzikran,1 yang artinya menyebut dan mengingat. Ahli tafsir Quraish Shihab menjelaskan bahwa Kata zikr ini juga banyak ditemukan dalam al- Qur‟an tidak kurang dari 280 kali dan pada mulanya berarti mengucapkan dengan lidah/menyebut sesuatu dan berantonim lupa, kemudian berkembang menjadi mengingat, karena mengingat sesuatu seringkali mengantar lidah menyebutnya. Sehingga menyebut dengan

1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung / PT. Mahmud Yunus Waddzuryah, tt), h. 134.

(34)

24

lidah dapat mengantar hati untuk mengingat lebih banyak lagi apa yang disebut-sebut itu.2

Kata Zikir sebenarnya merupakan ungkapan dan pemendekan kalimat dzikrulah, ia merupakan amalan khas yang mesti ada dalam setiap tarekat.3 Yang dimaksud dengan Zikir dalam suatu tarekat adalah mengingat dan menyebut nama Allah, baik secara lisan maupun secara batin (jahr/sirri atau khafi). Di dalam tarekat, Zikir diyakini sebagai cara yang paling efektif dan efesien untuk membersihkan jiwa dari segala macam kotoron dan penyakit- penyakitnya, sehingga hampir semua tarekat mempergunakan metode ini. Bahkan dalam istilah tasawuf, setiap yang disebut tarekat, maka yang dimaksudkan adalah tarekat Zikir . Zikir bermanfaat ganda, di samping ia berfungsi sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk membersihkan jiwa, tetapi susah untuk rnengidentifikasirnya mana yang dahulu di antara keduanya.

Dalam memaknai zikir, Quraish Shihab memberikan penjelasan lebih lanjut antara kata menyebut, mengingat dan menghafal.

Kalau kata menyebut dikaitkan dengan sesuatu, maka apa yang disebut itu adalah namanya dan bila nama itu terucapkan maka pemilik nama itu diingat atau disebut sifat, perbuatan, atau peristiwa yang berkaitan dengannya. Dari sinilah kata dzikrullah berarti mencakup penyebutan nama Allah dan segala sifat dan perbuatan- Nya. Sedangkan kata mengingat adalah suatu nikmat yang sangat besar, sebagaimana lupa pun merupakan nikmat yang tidak kurang besarnya bila untuk melupakan kesalahan orang lain, atau kesedihan atas luputnya nikmat. Begitu juga dengan mengingat akan menjadi nikmat istimewa bila yang diingat adalah hal-hal perintah Allah. Pun demikian dengan menghafal, jika Zikir secara umum dikatakan dalam arti memelihara sesuatu maka bisa juga dapat disamakan dengan

2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, (Jakarta :Lentera Hati, 2008), h. 11.

3 Abdul Wahib Mu'thi, Tarekat: Sejarah Timbulnya, Macam-macama dan ajarannya dalam tasawuft, (Jakarta: Paramadina, tt), h. 154.

(35)

25 menghafal karena tekanannya pada lebih kepada upaya memperoleh pengetahuan dan menyimpannya dalam benak, sedangkan Zikir adalah menghadirkan kembali apa yang tadinya telah berada dalam benak. Atas dasar inilah, maka Zikir dapat terjadi dengan hati atau dengan lisan, baik karena sesuatu yang telah dilupakan maupun karena ingin memantapkannya dalam benak.4

Dalam pengertian makna Zikir yang luas maupun makna sempit, Quraish Shihab menjelaskan bahwa makna Zikir dalam pengertian sempit adalah Zikir yang dilakukan dengan lidah saja, Zikir dengan lidah saja ini adalah menyebut –nyebut nama Allah atau apa yang berkaitan dengan –Nya seperti mengucapkan Tasbih, Tahmid, Tahlil, Hauqalah, dan lain-lain. Atau bisa jadi Zikir dengan lidah disertai dengan kehadiran kalbu baik dengan atau tanpa unsur pemaksaaan dalam kehadiran hati, dan Zikir inilah peringkat yang tertinggi. Sedangkan Zikir dengan lidah saja adalah tingkat terendah namun masih memiliki berbagai manfaatnya.5

Adapun makna Zikir dalam arti luas adalah kesadaran tentang kehadiran Allah di mana dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk; kebersamaan dalam arti pengetahuan-Nya terhadap apa pun di alam raya ini serta bantuan dan pembelaan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang taat. Zikir semacam inilah, menurut Quraish, Zikir yang menjadi pendorong utama melaksanakan tuntunan-Nya.6

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Zikir artinya ingat.

Yang dimaksud ialah Zikir atau ingat kepada Allah. Para santri bila sudah masuk ajaran tasawuf, mereka diberi bimbingan Zikir . Zikir yang ada tuntunannya adalah bersumber dari Nabi Muhammad.

Zikir yang paling utama adalah Zikir yang dilakukan dalam hati.

Zikir , biasanya tahap pertama dapat dilakukan dengan bantuan alat

4 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 13.

5 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 14.

6 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 16.

(36)

26

tasbih dengan harapan tasbih itu selalu mengingatkan kita misalnya untuk membaca Subhanallah.

Terlepas dari tingkatan martabat Zikir , makna Zikir dalam pengertian sempit adalah Zikir yang terikat dengan waktu, bacaannya pun dibatasi dan ditentukan sesuai kebutuhan dan kondisi.

Sedangkan Zikir dalam artian luas dapat berarti Zikir yang tak memiliki ikatan waktu dan objek yang diingat pun sangat luas maknanya.

B. Praktek Zikiran di Masyarakat Nusantara

Praktek Zikir di Nusantara beragam sekali, Munawwir Abdul Fatah dalam bukunya Tradisi Orang-orang NU, mengklasifikasikan tradisi ini ke dalam dua bagian, pertama, masalah ibadah, dan kedua, masalah sosial. Termasuk di dalamnya Zikir dan wirid masuk dalam kategori masalah ibadah, sedangkan amalan Zikiran berupa tahlilan, manaqiban, dibaan, burdahan dan sejenisnya masuk dalam kategori masalah sosial. Namun dua klasifikasi tadi tidak terlepas dari landasannya dalam melaksanakan praktek tradisi-tradisi di Nusantara. Landasan itu berdasarkan keyakinan dan metode berpikir cara Ahlusunnah Waljamaah, mengikuti Sahabat Nabi, Ulama dan mayoritas, hukum-hukum cara bermazhab, pengambilan keputusan serta Thariqah Muktabarah.

1. Praktek Zikiran dalam Masalah Ibadah a. Wiridan

Wirid adalah suatu amalan yang harus dilaksanakan secara terus menerus (istiqamah) pada waktu-waktu tertentu dan dengan jumlah bilangan tertentu juga. seperti setiap selesai mengerjakan shalat lima waktu, atau waktu-waktu tertentu lainnya. Wirid ini biasanya berupa potongan-potongan ayat, atau shalawat atau nama- nama indah Tuhan (al-asma' al-husna). Perbedaannya dengan Zikir di

(37)

27 antaranya adalah; kalau Zikir diijazahkan oleh seorang mursyid atau syekh dalam prosesi khusus (bai'at, ta/qin, atau khirqah). Para ahli tarekat khususnya, dan para sufi pada umumnya, berkeyakinan babwa Zikir harus dibai'atkan. Karena kalau tidak dibai'atkan maka nilai ibadah amalannya tersebut hanya bernilai sebagai wirid biasa.7 Sedangkan wirid tidak harus diijazahkan oleh seorang mursyid dan tidak diberikan dalam prosesi khusus. Sedangkan dari segi tujuannya juga memiliki perbedaan diantara keduanya. Zikir dikerjakan hanya semata-mata ibadah (mendekatkan diri kepada Allah), sementara wirid dikerjakan untuk tujuan-tu]uan tertentu yang bersifat keduniaan. Seperti untuk kelancaran rizki (jalbul rizki), kewibawaan dan sebagainya.

Wiridan itu maksudnya membaca bacaan tertentu setelah shalat. Jika dikumpulkan, semuanya ada puluhan macam. Tapi, kalimat pokoknya hampir sama, tentu ada lafal Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar. Mukaddimah-nya bisa panjang, juga penutupnya. Hal itu berdasar pada pelajaran yang diterima dari kyai/guru dari santri yang bersangkutan.8

Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasaan Al-Quran Tentang Zikir dan Doa, menuliskan bahwa kata Wirid mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimat-kalimatnya. Salah satu di antaranya adalah Kehadiran pada sumber air, baik memasuki/bercelup dengan sumber air itu, maupun sekedar berada di sekitarnya. Begitu juga dengan kata Syari’ah, yang biasa digunakan untuk makna ketentuan- ketentuan agama, juga berarti sumber air sebagai isyarat bahwa agama adalah kebutuhan ruhani manusia tak ubahnya dengan air yang merupakan kebutuhan jasmaninya. Dari sini, kemudia kata wirid -khususnya oleh agamawan/pengamal tasawuf- digunakan untuk menunjuk amalan-amalan keagamaan, baik bacaan al-Quran atau doa-doa tertentu maupun aktivitas tertentu, seperti shalat sunnah

7 Wahib Mu'thi, Tarekat, h. 146.

8 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 64.

(38)

28

-malam atau siang- yang dilakukan seseorang secara ruitin pada waktu-waktu yang ditentukan.9

Quraish Shihab juga menambahkan dengan mengutip pendapat dari Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Sahl al-Husaini (w. 1900 M), ketika menulis Syarh tentang Wirid dan Ratib al –Haddad, bahwa apa yang dinamai Hizb, Wirid, dan Ratib, pada hakikatnya adalah kumpulan dari zikir, doa, dan kegiatan yang mengarah kepada Allah, yang disusun untuk mengingat, merenung, dan memohon perlindungan Allah dari aneka keburukan serta meraih aneka kebajikan. Ia adalah cara membuka pintu guna meraih ma‟rifat dan pengetahuan. Itu semua disertai dengan kebulatan hati dan tekad mengarah kepada Allah swt.10

Sebenarnya, menurut Quraish Shihab, bahwa kata wirid dalam pengertian ini tidak ditemukan dalam Al-Quran. Sementara para pakar menyatakan bahwa kata wirid dalam pengertian di atas baru popular setelah abad ke-2 H / 8 M, lebih-lebih setelah berkembangnya tasawuf dan tarekat-tarekatnya. Ketika itu, dikenal dua kategori wirid. Pertama, yang diamalkan secara terang-terangan, bahkan berjamaah, dan yang kedua, yang dilakukan sendiri-sendiri bahkan dirahasiakan. Sejak itu pula kata wirid telah diidentikkan dengan kata zikir, walau zikir pada hakikatnya dapat terjadi tanpa melakukannya secara rutin. Kendati istilah wirid dalam pengertian di atas tidak dikenal pada masa Nabi SAW., namun ini bukan berarti bahwa ia tidak memiliki dasar dari tuntunan agama. 11

Mengenai tata cara wiridan, orang-orang muslim Nusantara khususnya warga NU biasanya memilih dengan suara keras yang dituntun oleh seorang imam. Imam dapat mengajari santri yang belum hafal dan dilakukan setiap 5 hari kali atau lebih. Meskipun para kyai mengerti, jika masih ada yang mengerjakan shalat maka

9 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 159-160.

10 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h. 160.

11 Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir dan Do’a, h, 160.

(39)

29 wiridan hendaknya tidak terlalu keras karena itu bisa mengganggu orang yang sedang shalat. Akan tetapi, sudah menjadi kebiasaan di pesantren ada yang terlambat, meski jumlahnya tidak seberapa. Dan, mengucapkannya dengan suara keras akan sangat bermanfaat untuk santri-santrinya.12

2. Praktek Zikiran dalam Masalah Sosial a. Tahlilan

Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat La Ilaha Illa Allah. Di masyarakat Nusantara sendiri berkembang pemahaman bahwa setiap pertemuan yang di dalamnya dibaca kalimat itu secara bersama-sama disebut Majlis Tahlil. Majlis Tahlil di masyarakat Indonesia sangat variatif, dapat diselenggarakan kapan dan di mana saja. Bisa pagi, siang, sore, atau malam. Bisa di masjid, mushola, rumah, atau lapangan.13 Tahlilan ini juga termasuk tradisi amalan warga NU, yaitu berkumpul untuk membaca ayat- ayat Al-Qur‟an, kalimat Zikir, berdoa dan bersedekah dengan harapan pahalanya dipersembahkan kepada orang yang sudah meninggal.14

Acara tahlilan biasanya diselenggarakan khusus tahlil, meski banyak juga acara tahlil ini ditempelkan pada acara inti yang lain.

Misalnya, setelah Dibaan disusul Tahlil, Yasinan lantas Tahlil, sebelum Midodareni ada Tahlil, acara Tasmiyah (memberi nama bayi) ada Tahlil, Khitanan ada Tahlil, rapat-rapat ada Tahlil, kumpul- kumpul ada Tahlil, pengajian ada Tahlil, sampai arisan pun ada Tahlil. Waktu yang digunakan untuk Tahlil biasanya 15-20 menit dan bisa diperpanjang dengan cara membaca kalimat Laa Ilaha Illa Allah... 100 kali, 200 kali, atau 700 kali. Atau diperpendek misalnya

12 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 65.

13 Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, (Yogyakarta:

Pustaka Pesantren, 2008), h. 276-277

14 Tim Penulis, Islam Ahlusunnah Wal Jamaah: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Pusat, 2016), h. 193.

(40)

30

hanya 3 kali, atau 21 kali. Semua ini disesuaikan kebutuhan dan waktu. Semua rangkaian kalimat yang ada dalam tahlil diambil dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Nabi. Munawwir Abdul Fattah menegaskan bahwa keliru pemahaman sebagian orang yang menganggap Tahlil buatan kiyai atau ulama. Jadi, yang menyusun jadi kalimat-kalimat baku Tahlil dulunya memang seorang ulama, tetapi kalimat demi kalimat yang disusunnya tak lepas dari anjuran Rasulullah.15

b. Pujian

Pujian adalah sanjungan untuk Allah. Pujian adalah istilah khas orang NU. Dalam prakteknya, pujian bisa jadi kalimat yang mengandung pujian; namun yang sering didengar adalah lantunan shalawat nabi dengan beragam nasyidnya. Kadang juga terdengar ungkapan ajaran/pesan moral para Wali Songo, meski dengan bahasa Jawa yang kental. Waktu pujian biasanya setelah adzan, sebelum shalat berjamaah. Hal ini ditempuh karena ingin memanfaatkan waktu, ketimbang hanya bercengkerama menanti datangnya imam jama'ah. Sebenarnya, waktu yang cuma sebentar ini adalah waktu istimewa, seperti disebut dalam hadits: Doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak.16

Para makmum (tua, muda, anak-anak) yang telah datang lebih dahulu dari imam dapat bersama-sama melantunkan pujian. Pujian ini akan nampak ramai bersaut-sautan saat shalat Subuh, Maghrib, dan Isya. Di perkampungan orang NU yang banyak mushala dan masjid, bagi orang yang belum terbiasa mungkin sedikit agak terganggu karena sekilas ada kesan adu kekuatan suara dan adu pengeras yang paling baik dan mahal. Tetapi sebenarnya mereka tulus. Mereka melakukan pujian hanyalah sekadar mengisi waktu,

15 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 277.

16 Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, h. 202.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak lupa juga hal yang diperhatian oleh peneliti adalah kondisi ekonomi para petani dan bentuk-bentuk strategi yang mereka lakukan sehingga masih bertahan

If you wish to download the The Technological Singularity By Murray Shanahan, it is quite simple then, due to the fact that currently we proffer the connect to purchase as well as

Pasien mengharapkan bahwa dokter dapat respek, penuh perhatian dan terbuka untuk menerima atau mendengarkan apa yang dirasakan pasien, dari segi provider , diperlukannya

80 mg/ml memiliki daya hambat yang lebih kecil dibandingkan ekstrak kulit batang tanaman lain seperti Kemuning ( Murraya paniculata (L) Jack) pada konsentrasi

Seluruh teman serta sahabat D3 Metrologi dan Instrumentasi Angkatan 2011 antara lain: Mestika, Naimah, Joko, Choky, Steviana, Zuma, Wirda CS, Adinda CS, dan masih banyak lagi

Menurunnnya moral dan sikap siswa merupakan salah satu probematika pendidikan saat ini, salah satu upaya pemerintah Kabupaten Jombang dalam meningkatkan karakter

[r]

Kesimpulan dari Aplikasi Lombok ARtour merupakan aplikasi yang dapat memberikan informasi tentang pariwisata yang ada di Lombok dengan menggunakan media yang