• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaminan Fidusia dan Pengikatannya sebagai Perjanjian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jaminan Fidusia dan Pengikatannya sebagai Perjanjian

"Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan".

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, secara tersurat jelas-jelas ditekankan keharusan adanya jaminan atas setiap pemberian kredit kepada siapapun. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 keharusan adanya jaminan terkandung secara tersirat dalam kalimat "keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur..." dan sekaligus mencerminkan apa yang disebut dengan "the five C's of credit" yang salah satunya adalah collateral (jaminan/agunan) yang harus disediakan oleh debitur. Lebih lanjut, jaminan atau agunan ini dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 8 Undang-undang tersebut yang menyebutkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.

30 Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, jaminan/agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit bersangkutan. (Wawancara tanggal 7 Juni 2011)

Pada pokoknya terdapat 2 (dua) asas pemberian jaminan jika ditinjau dari sifatnya, yaitu:22

1. Jaminan yang bersifat umum

Yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada setiap kreditur, hak-hak tagihan mana tidak mempunyai hak-hak saling mendahului (konkuren) antara kreditur yang satu dengan kreditur lainnya.

2. Jaminan yang bersifat khusus

Yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada setiap kreditur, hak-hak tagihan mana tidak mempunyai hak-hak mendahului sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak preverent).

Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya

22H.R. Daeng Naja. Hukum Kredit dan Bank Garansi The Bankers Hand Book. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. h. 207-208.

31 dalam suatu perikatan. Dari pengertian tersebut, maka lebih lanjut dapat dijabarkan sebagai berikut :23

a. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaan maupun hak perorangan.24

b. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun pihak ketiga yang disebut juga penjaminan atau penanggung. Jaminan perorangan ataupun penanggungan utang selalu diberikan pihak ketiga kepada kreditur penanggungan mana diberikan, baik dengan sepengetahuan ataupun tanpa sepengetahuan debitur yang bersangkutan.

c. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut untuk keamanan dan kepentingan kreditur haruslah diadakan dengan suatu perikatan khusus, perikatan mana bersifat accessoir dari perjanjian kredit atau pengakuan utang yang diadakan antara debitur dan kreditur.

Pada prinsipnya tidak selalu suatu penyaluran kredit harus dengan jaminan kredit sebab jenis usaha dan peluang bisnis yang dimiliki pada dasarnya sudah merupakan jaminan terhadap prospek usaha itu sendiru. Namun, suatu kredit dilepas tanpa agunan maka memiliki resiko yang sangat besar, jika investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula. Jika

23Ibid.

24Hak kebendaan adalah berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud, benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Sedangkan hak perorangan tidak lain adalah penanggungan utang, yang diatur dalam Pasal 1820-PasaI 1850 KUH Perdata.

32 hal ini terjadi, pihak bank tentu akan sangat dirugikan sebab dana yang disalurkan memiliki peluang tidak dikembalikan debitur.

Apa yang dikemukakan di atas berarti bahwa kredit tersebut macet tanpa ada asset dari nasabah yang dapat menutupi kredit yang tidak terbayarkan.

Sementara itu jika ada agunan pihak bank dapat menarik kembali dananya dengan memanfaatkan jaminan tersebut.

Pada dasarnya, jaminan kredit oleh calon debitur/debitur diharapkan dapat membantu memperlancar proses analisis pemberian kredit dari bank, yang dengan demikian jaminan kredit atau collateral tersebut haruslah:25

a. Secured, artinya jaminan kredit tersebut dapat diadakan pengikatannya secara yuridis formal, sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian apabila di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, bank telah mempunyai alat bukti yang sempurna dan lengkap untuk menjalankan suatu tindakan hukum.

b. Marketable, artinya apabila jaminan tersebut harus, perlu, dan dapat dieksekusi, jaminan kredit tersebut dapat dengan mudah dijual atau diuangkan untuk melunasi utang debitur.

Jaminan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah jaminan benda bergerak yaitu kendaraan bermotor. Telah dibawa sebelumnya bahwa jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut untuk keamanan dan kepentingan kreditur haruslah diadakan dengan suatu perikatan khusus, perikatan mana bersifat

25H.R. Daeng Naja. op.cit. h. 209.

33 accessoir dari perjanjian kredit atau pengakuan utang yang diadakan antara debitur dan kreditur.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia. Kemudian lebih lanjut Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

(1) Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian;

(2) Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri.

Dengan adanya ketentuan Pasal 9 ini, maka piutang yang dulunya diikat dengan akta "cessie jaminan atas piutang" (fiduciary assignment of receivables), sekarang menjadi objek jaminan fidusia sehingga pengikatannya adalah dengan Perjanjian kredit dan perjanjian pengakuan utang dijadikan dalam satu akta yaitu Perjanjian Pengakuan Utang. Jadi setelah Perjanjian Pengakuan Utang ditandatangani para pihak, barulah akta perjanjian fidusia dibuat untuk selanjutnya didaftarkan, sehingga perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan sama seperti hak tanggungan, hipotik, dan gadai.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

34 suatu prestasi. Dengan demikian untuk membuat suatu perjanjian jaminan fidusia terlebih dahulu haruslah ada perjanjian pokok, yang pada Bank Prima Master disebut Perjanjian Pengakuan Utang.

Menurut H.R. Daeng Naja hal-hal yang perlu diketahui dan diperhatikan oleh aparat perkreditan bank dalam hal pembebanan fidusia terhadap suatu jaminan, antara lain sebagai berikut:

a) Keharusan adanya perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang mendahului perjanjian jaminan fidusia;

b) Akta perjanjian jaminan fidusia harus dibuat dalam bentuk akta notaris, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Fidusia;

c) Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Fidusia karena terjadi atau lahirnya jaminan fidusia pada tanggal tercatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Fidusia.

Menurut Ibu Made Dwi Marini Putri, SH, Staff Sub Bidang Pelayanan Jasa Hukum pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Denpasar bahwa permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa, atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, yang memuat:

a) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

35 b) Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, serta nama dan tempat

kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

c) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

d) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

e) Nilai penjaminan; dan

f) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Dari permohoaan pendaftaran tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan tersebut. Kemudian, Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan saat itulah lahir atau terjadinya fidusia.

Jadi, apabila benda jaminan fidusia tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, walaupun telah dibuatkan akta jaminan fidusia secara notariil, belum terjadi fidusia atau belumlah ada jaminan bagi bank sebagai pemegang fidusia. Yang dimaksud para pihak dalam perjanjian fidusia di sini adalah antara pemberi fidusia atau debitur dan penerima fidusia atau kreditur/bank. Adapun hak dan kewajiban para pihak tersebut, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Hak dan kewajiban pemberi fidusia a. Hak pemberi fidusia

36 1) Ia berhak menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia, untuk menunjang kelangsungan usahanya, bahkan memperjualbelikannya jika itu adalah stok barang dagangan;

2) Ia berhak meminta atau menerima sisa hasil penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia, setelah dikurangi dengan pembayaran pelunasan utang-utangnya.

b. Kewajiban pemberi fidusia

1) Ia berkewajiban memelihara dan menjaga keselamatan benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

2) Ia berkewajiban melaporkan keadaan benda yang menjadi objek jaminan fidusia, utamanya untuk barang yang diperdagangkan atau stok barang dagangan.

3) Ia berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

4) Ia berkewajiban membayar seluruh utang sampai lunas, terutama dari hasil penjualan barang jaminan yang difidusiakan, apabila ia wanprestasi.

2. Hak dan kewajiban penerima fidusia a. Hak penerima fidusia

1) Ia berhak mengawasi benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sebagaimana hak yang telah diberikan kepadanya sebagai pemilik atas barang jaminan tersebut.

37 2) Ia berhak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum jika debitur/pemberi fidusia wanprestasi.

3) Ia berhak mengambil pelunasan dari hasil penjualan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia, jika debitur/pemberi fidusia wanprestasi.

b. Kewajiban penerima fidusia

1) Ia berkewajiban memberikan kekuasaan kepada pemberi fidusia/debitur atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

2) Ia berkewajiban menyerahkan kelebihan dari harga hasil penjualan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia setelah dikurangi utang debitur/pemberi fidusia.

4.2 Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Sebagai

Dokumen terkait