• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum perbankan jaminan yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan aktivitas lembaga keuangan bank dalam kegiatan perkreditan mengenai pembatasan tanggung jawab kreditur yang tertuang dalam klausula eksonerasi.

8 1.5.2 Manfaat praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa masukan bagi masyarakat mengenai hubungan kedudukan para pihak pada perjanjian standar perbankan. Mengingat banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa perbankan khususnya untuk memperoleh kredit dengan jaminan fidusia.

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Standar 1.1.1 Pengertian perjanjian standar

Di dalam praktek bisnis, di samping adanya perjanjian-perjanjian seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain, seperti yang diatur KUHPerdata, juga ada dua jenis perjanjian lainnya yang bernama perjanjian standar atau perjanjian baku yang belum atau tidak diatur dalam KUHPerdata.

Perjanjian standar ini tumbuh subur dalam praktek masyarakat, mengingat memang masyarakat sendiri menghendaki kehadirannya. Istilah perjanjian baku adalah merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu (standard contract). Sedangkan hukum Inggris menyebutkan sebagai (standard form of contract).

Menurut Sudaryatmo menyatakan bahwa perjanjian baku mempunyai sifat sebagai berikut:7

1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisisnya relatif lebih kuat dari konsumen;

2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam melakukan isi perjanjian;

3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.

7Sudaryatmo. Hukum dan Advokasi Konsumen. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1999.

h. 29.

10 Tumbuh dan berkembangnya perjanjian standard dalam masyarakat adalah dalam rangka efisiensi, baik dari segi waktu maupun biaya, karena transaksi bisnis yang akan dibuatkan perjanjian standar itu dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus. Ciri-ciri kehidupan masyarakat yang modern ditandai dengan adanya kecenderungan mendapatkan pelayanan jasa secara praktis, efisien dan efektif. Sejalan dengan cerminan kehidupan masyarakat modern itu, pelaksanaan perjanjian jual beli, pelayanan kredit oleh pihak non bank, telah dilengkapi berbagai perjanjian baku. Perjanjian standar yang beredar dalam masyarakat, dalam pandangan banyak pihak, masih banyak yang merugikan masyarakat dengan klausula baku (standard) yang ada di dalamnya. Isi perjanjian standar pada umumnya berat sebelah dan lebih banyak menguntungkan si pembuatnya.

Pihak penyusun kontrak atau perjanjian dengan persyaratan-persyaratannya mempunyai kedudukan yang lebih kuat bila dibandingkan dengan pihak lain dan akan menerima begitu saja syarat-syarat yang diajukan oleh penyusun kontrak.

Menurut Sluijter bukankah merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha (kreditur) dalam perjanjian tersebut bagaikan pembentuk undang-undang swasta, sehingga syarat tersebut merupakan undang-undang-undang-undang, bukan perjanjian. Sedangkan Stein mengemukakan bahwa dasar berlakunya perjanjian standar ini adalah (de fictie van will of vertrouwen). Jadi tidak ada kebebasan kehendak yang sungguh-sungguh pada pihak-pihak dan kesepakatan yang ada merupakan kesepakatan yang diam-diam, dalam artian bisa jadi pihak debitur tidak mengetahui akan isi dan maksud dari perjanjian, namun dapat diterima begitu saja dan telah dianggap sepakat. Yang dinamakan perjanjian standar

11 umumnya ialah perjanjian yang berbentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur lantas disodorkan pada debitur. Formil debitur menyetujuinya, dan materil debitur "terpaksa" menerimanya. Adanya persesuaian kehendak adalah fiktif. Perjanjian standar khususnya adalah perjanjian standar yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti akta jual beli, baik adanya dan berlakunya perjanjian ini untuk para pihak ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah, dilihat dari bentuknya sebagai perjanjian maka seakan-akan di sini terdapat unsur konsensualisme sebenarnya sama sekali tidak ada.

1.1.2 Dasar hukum perjanjian standar

Perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu.

Dilihat dari kata berjanji untuk melaksanakan sesuatu, maka perjanjian itu dibagi ke dalam tiga macam, yaitu:

a. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu barang;

b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu;

c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Perjanjian yang pertama yaitu perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang misalnya dalam jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, pinjam pakai. Perjanjian yang kedua yaitu perjanjian untuk membuat suatu karya seni atau lukisan perjanjian perburuhan dan lain-lain. Perjanjian yang ketiga yaitu perjanjian tidak mendirikan tembok perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya.

12 Menurut Pasal 1330 ayat (3) kitab Undang-undang Hukum Perdata,

"semua perjanjian itu haras dilaksanakan dengan itikad baik".

Mengenai istilah itikad baik berarti: seorang pembeli barang yang berisi itikad baik adalah seorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik sediri dari barang yang dibelinya itu, ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ia membeli dari orang yang bukan pemilik. Ia adalah seorang pembeli yang jujur.8

Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 BW yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang/lebih menginginkan dirinya terhadap satu orang/lebih terdapat kelemahan-kelemahan dalam pengertian perjanjian menurut pasal 1313 BW. Kelemahan tersebut adalah:

1. Hanya menyangkut sepihak saja, dari perumusan hanya satu orang/lebih mengikat dirinya, tidak kedua belah pihak, harusnya perumusan tersebut saling mengikatkan diri;

2. Kata perbuatan seharusnya dipakai kata persetujuan;

3. Pengertian perjanjian terlalu luas;

4. Tanpa menyebutkan tujuan.

Dalam syarat sahnya perjanjian, orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:

8R. Subekti. Aneka Perjanjian. Aditya Bakti, Bandung. 1995. h. 41. (Selanjutaya disebut Subekti III)

13 1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Sedangkan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal. Ini dimaksud tiada lain dan pada isi perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang dimaksud.

Jadi, yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Dalam suatu perjanjian jual beli isinya adalah: Pihak yang satu menghendaki uang. Dalam perjanjian sewa menyewa: Satu pihak menginginkan kenikmatan sesuatu barang, pihak lain menghendaki uang. Syarat objektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:

1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.

2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

14

"Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung".9

Kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya.

1.2 Jenis-Jenis Perjanjian Standar

Pada umumnya perjanjian standard lebih menguntungkan pihak yang membuatnya atau pihak kreditur dan cenderung merugikan pihak konsumen.

Walaupun tidak semuanya demikian. Perjanjian standard dalam praktek di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:10

1. Perjanjian baku sepihak

Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukanya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

9Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya. Beri Hukum Perikatan-perikatan yang Lahir dari Perjanjian. PT. Raja Grafindo, 2003. h. 103.

10Mariam Darus Badrulzaman. Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen. Makalah yang Disampaikan pada Simposium Perlindungan Konsumen, BPHN Departemen Kehakiman RI, Jakarta. 1980. h. 55. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II)

15 2. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah

Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agrarian, lihatlah misalnya formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No.

104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual beli model 1156727, akta hipotik model 1045055 dan sebagainya,

3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris dan advokat

Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris dan advokat adalah perjanjian-perjanjian yang sejak semula konsepnya sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Di dalam kepustakaan Belanda, jenis ini disebut contract model.

1.3 Pengertian dan Ruang Lingkup Jaminan Fidusia

Secara historis bahwa kegiatan bisnis yang memerlukan dana melalui pinjam meminjam, perihal jaminan kebendaannya dalam pelaksanaan terdapat lima bentuk yang salah satunya adalah fidusia. Fidusia memiliki kepastian hukum sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Fidusia, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebut sebagai jaminan hak milik secara kepercayaan, yang keberadaannya didasarkan atas yurisprudensi. Dalam jaminan hak milik

16 secara kepercayaan atau yang lebih dikenal dengan fidusia yang diserahkan sebagai jaminan adalah hak milik sedangkan barangnya tetap dikuasai debitur.

Adapun pengertian fidusia menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut :

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Dalam kegiatan pembiayaan konsumen dikenal adanya jaminan pokok yang dilakukan melalui Perjanjian Jaminan Fidusia atas barang yang dibeli konsumen yang pendanaannya dilakukan oleh perusahaan pembiayaan. Adapun pengertian Jaminan Fidusia menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut :

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Sama halnya seperti hak agunan atas kebendaan lainnya seperti gadai yang diatur dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), hak tanggungan (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

17 Hak Tanggungan) dan hipotek, maka Jaminan Fidusia menganut prinsip droit de preference. Sesuai ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, prinsip ini berlaku sejak tanggal pendaftarannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Jadi di sini berlaku adagium first registered, first secured.11

Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud di atas adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului kreditur-kreditur lainnya. Bahkan sekalipun pemberi fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi, hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta pailit pemberi fidusia. Dengan demikian penerima fidusia termasuk ke dalam kelompok kreditur separatis12.

Jadi dapat dikatakan bahwa ketentuan di atas berhubungan dengan, bahwa jaminan fidusia merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan hutang. Di samping itu, dalam Undang-Undang tentang Kepailitan menentukan bahwa benda yang menjadi objek jaminan fidusia berada di luar kepailitan dan atau likuidasi.

Sifat dan ciri-ciri jaminan fidusia

Ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud khususnya yang tidak dapat dibebani hak

11Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2000. h. 131.

12Ibid. h. 132.

18 tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia.

Adapun empat sifat maupun ciri-ciri yang dimiliki oleh jaminan fidusia, yaitu antara lain:

1. Perjanjian fidusia merupakan perjanjian obligatoir

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Fidusia menyebutkan yang dimaksud dengan jaminan fidusia sebagai berikut:

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Berdasarkan pengertian di atas, jaminan fidusia merupakan lembaga hak jaminan (agunan) yang bersifat kebendaan (zakelijk zekerheid, security right in rem) yang memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya. Sebagai hak kebendaan (yang memberikan jaminan), dengan sendirinya sifat dan ciri-ciri hak kebendaan juga melekat pada jaminan fidusia. Dia bukan perjanjian Obligatoir yang bersifat perorangan (persoonlijk).

Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa perjanjian fidusia itu bersifat obligatoir dan melahirkan hak-hak yang bersifat persoonlijk, sesuai

19 dengan sistem hukum Romawi fidicia cumcreditoria menurut pengertiannya yang klasik yaitu melahirkan hak eigendom bagi kreditur, meskipun dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana yang diperjanjikan antar pihak.

Pendapat demikian juga sesuai dengan pertumbuhan hukum Anglo Amerika menurut sistem common law di mana pemegang hipotek (mortgagee) dianggap memperoleh hak eigendom atas benda jaminan, menjadi eigenaar dari benda jaminan dan berkedudukan sebagai the title holder dari benda jaminan tersebut.13

Perjanjian fidusia bersifat obligatoir, berarti hak yang penerima fidusia merupakan hak milik yang sepenuhnya, meskipun hak tersebut dibatasi oleh hal-hal yang ditetapkan bersama dalam perjanjian. Akan tetapi, pembatasan demikian hanya bersifat pribadi. Karena hak yang diperoleh penerima fidusia itu merupakan hak milik yang sepenuhnya, ia bebas menentukan cara pemenuhan piutangnya, terhadap benda yang dijaminkan melalui fidusia. Hak yang timbul dari perjanjian fidusia adalah hak yang bersifat pribadi, yang lahir karena adanya hubungan perutangan antara kreditur dan debitur. Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa dari gadai tidak dapat diterapkan kepadanya.

Juga para pihak bebas untuk menentukan manakala terjadi kepailitan pada kreditur atau debitur.14

13Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktik dan Pelaksanaan di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. h. 21.

14Ibid. h. 23.

20 2. Sifat accessoir dari jaminan fidusia

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa pembebanan jaminan fidusia diperuntukan sebagai agunan bagi pelunasan utang debitur (pemberi fidusia), yang berarti perjanjian fidusia merupakan perjanjian ikutan, buntut, atau ekor dari perjanjian pokoknya.

Ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia beserta penjelasannya menegaskan, bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Dengan demikian ini berarti, bahwa kelahiran dan keberadaan perjanjian jaminan fidusia ditentukan oleh adanya perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban dan sekaligus tanggung jawab para pihak untuk memenuhi suatu prestasi sebagai akibat terjadinya perikatan.

Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dinyatakan: "Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi". Adapun penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan, sebagai berikut:

"yang dimaksud dengan prestasi dalam ketentuan ini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang".

21 Kata-kata "ikutan" dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia jelas menunjukkan, bahwa fidusia merupakan suatu perjanjian accessoir. Sebagai suatu perjanjian accessoir perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut :15

a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;

b. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;

c. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan bila ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

Sifat accessoir dari perjanjian fidusia ini membawa akibat hukum, bahwa:16

a. Dengan sendirinya jaminan fidusia menjadi hapus karena hukum, apabila perjanjian pokoknya itu berakhir atau karena sebab lainnya yang menyebabkan perjanjian pokoknya menjadi hapus;

b. Fidusia yang menjaminnya karena hukum beralih pula kepada penerima fidusia yang baru dengan dialihkannya perjanjian pokoknya kepada pihak lain;

c. Fidusia merupakan bagian tidak terpisahkan dari atau selalu melekat pada perjanjian pokoknya, karena itu hapusnya fidusia tidak menyebabkan hapusnya perjanjian pokok.

15Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. op.cit. h. 125.

16Rachmadi Usman. Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika. 2008. h. 165.

22 Karena perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, sesuai dengan sifatnya tersebut, perjanjian pemberi jaminan fidusia merupakan suatu perjanjian bersyarat, dengan syarat pembatalan sebagaimana diatur dalam Pasal 1253 jo Pasal 1265 KUHPerdata, dengan konsekuensinya, pemberian jaminan fidusia itu akan hapus atau berakhir jika perjanjian pokoknya telah lunas.17

3. Sifat droit de suite dari fidusia : fidusia sebagai hak kebendaan

Sifat droit de duite juga dianut jaminan fidusia, di samping jaminan hipotek dan hak tanggungan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 20 tersebut menentukan :

Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas, benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia.

Penjelasan atas Pasal 20 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan:

Ketentuan ini mengakui prinsip "droit de suite" yang telah merupkan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (in ren).

Pemberian sifat hak kebendaan di sini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang kuat kepada pemegang hak kebendaan. Hal ini berangkat dari pikiran, bahwa benda jaminan tetap menjadi milik pemberi jaminan dan

17J. Satrio. Janji-Janji (Bedingeng) dalam Akta Hipotek dan Hak Tanggungan. Media Notariat. Edisi Januari-Maret. Jakarta: Ikatan Notaris Indonesia. 2002. h. 197.

23 pemberi jaminan pada asasnya selama penjaminan berlangsung tetap wenang untuk mengambil tindakan pemilikan atas benda jaminan miliknya. Dengan memberikan sifat droit pada fidusia, maka hak kreditur tetap mengikuti bendanya ke dalam siapapun ia berpindah, termasuk terhadap pihak ketiga pemilik baru, yang berkedudukan sebagai pihak ketiga pemberi jaminan.18

Pada dasarnya debitur (pemberi fidusia) tidak wenang lagi mengalihkan objek benda jaminan fidusia kepada pihak lain, karena telah terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda jaminan fidusia secara constitution possessorium dari debitur (pemberi fidusia) kepada kreditur (penerima fidusia).

4. Fidusia memberikan kedudukan diutamakan (sifat droit de preference ) Sifat droit de preference atau diterjemahkan sebagai hak mendahului atau diutamakan, juga melekat pada jaminan fidusia. Sifat droit de preference ini dapat kita baca dari perumusan pengertian yuridis jaminan fidusia yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan lebih lanjut diatur dalam Pasal 27 dan pasal 28 Undang-Undang yang sama19.

Ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan:

a. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya;

18Ibid. h. 278.

19Rachmadi Usman. op.cit. h. 172.

24 b. Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

c. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi pemberi fidusia.

Dari ketentuan pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia di atas, dapat diketahui bahwa penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan atau diutamakan terhadap kreditur lainnya, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya, atas hasil eksekusi (penjualan) dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan piutang ini mendahului dari kreditur lainnya yang tidak dijamin dengan fidusia, walaupun penerima fidusia termasuk orang yang pailit atau dilikuidasi. Hak utama dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi dari pemberi fidusia, karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta kepailitan pemberi fidusia. Ketentuan ini berhubungan dengan ketentuan bahwa jaminan fidusia

Dari ketentuan pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia di atas, dapat diketahui bahwa penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan atau diutamakan terhadap kreditur lainnya, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya, atas hasil eksekusi (penjualan) dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan piutang ini mendahului dari kreditur lainnya yang tidak dijamin dengan fidusia, walaupun penerima fidusia termasuk orang yang pailit atau dilikuidasi. Hak utama dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi dari pemberi fidusia, karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta kepailitan pemberi fidusia. Ketentuan ini berhubungan dengan ketentuan bahwa jaminan fidusia

Dokumen terkait