• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Penelitian EKSISTENSI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN STANDAR DENGAN JAMINAN FIDUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Laporan Penelitian EKSISTENSI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN STANDAR DENGAN JAMINAN FIDUSIA"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

i

Laporan Penelitian

EKSISTENSI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN STANDAR DENGAN JAMINAN FIDUSIA

Oleh

AnakAgung Sri Indrawati,SH.,MH.

NIP.195710141986012001

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

2017

(2)

i

HALAMAN PENGESAHAN

1. JudulPenelitian : EKSISTENSI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN STANDAR DENGAN JAMINAN FIDUSIA

2. Bidang Ilmu : Ilmu Keperdataan.

3. Ketua Peneliti

a. Namalengkapdengangelar : A.A Sri Indrawati,SH.,MH

b. NIP/NIDN : 195710141986012001/0014105707

c. Pangkat/Gol : Pembina Tingkat I/IVb d. JabatanFungsional/Struktural : Lektor Kepala

e. PengalamanPenelitian : Terlampir dalam CV f. Program Studi/Jurusan : Hukum Keperdataan

g. Fakultas :Hukum

h. AlamatRumah/HP : JlPulau Adi Gg VIII No.1 Denpasar.

i. E-mail :

4. Jumlah Tim Peneliti :1 orang

5. LokasiPenelitian :-

6. Jangkawaktu penelitian :6 Bulan

7. BiayaPenelitian :-

Denpasar, 29 Mei 2017 Menegetahui

Ketua Bagian Hukum Keperdataan Peneliti

Dr. I Wayan Wiryawan, SH.MH Anak Agung Sri Indrawati,SH.MH NIP. 195503061984031003 NIP. 195710141986012001

Menyetujui

Dekan Fakultas Hukum UNUD

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum NIP. 19650221 199003 1 005

29 Juni

(3)

ii ABSTRAK

Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir, yang dalam prakteknya tumbuh sebagai perjanjian tertulis dan dicetak dalam jumlah banyak sehingga memudahkan penyediaannya.

Demikian juga pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, yang menimbulkan masalah tentang hubungan hukum para pihak serta kedudukan para pihak.

Penelitian ini adalah jenis penelitian normatif, yang mana berguna mengkaji lebih mendalam berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang eksistensi para pihak dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia.

Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan hukum para pihak adalah merupakan perikatan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban para pihak, serta kedudukan kreditur akan menjadi kreditur preferen, jika jaminan fidusia telah didaftar. Jika tidak, kedudukan kreditur menjadi kreditur konkuren.

Sedangkan debitur mempunyai kewajiban untuk memenuhi isi perikatan.

(4)

iii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Umum ... 7

1.4.2 Tujuan Khusus ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.5.1 Manfaat Teoritis... 7

1.5.2 Manfaat Praktis ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Jenis Penelitian ... 26

3.2 Jenis Pendekatan ... 26

3.3 Sumber Bahan Hukum ... 27

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 28

(5)

iv

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Jaminan Fidusia dan Pengikatannya sebagai Perjanjian Accessoir ... 29

4.2 Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Standar dengan Jaminan Fidusia ... ... 37

4.3 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Standar Dengan Jaminan Fidusia ... 41

BAB V PENUTUP ... 44

5.1 Simpulan ... 44

5.2 Saran-saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA

(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bagi masyarakat yang hidup di negara-negara maju maupun negara berkembang sekalipun, mendengar kata bank sudah bukan merupakan hal yang asing lagi. Bank sudah merupakan mitra dalam rangka memenuhi semua keuangan mereka. Bank dijadikan tempat untuk melakukan berbagai transaksi yang berhubungan dengan keuangan seperti tempat meminjam dan menyimpan uang, melakukan investasi, pengiriman uang, melakukan pembayaran maupun melakukan penagihan.

Peran perbankan juga sangat mempengaruhi perekonomian negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bank di suatu negara dapat pula dijadikan ukuran kemajuan negara yang bersangkutan. Semakin maju suatu negara maka semakin penting peranan perbankan dalam mengendalikan negara tersebut. Artinya keberadaan dunia perbankan semakin dibutuhkan pemerintah dan masyarakat.

Dalam dunia modern sekarang ini, peranan perbankan dalam memajukan perekonomian suatu negara sangatlah besar. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank.

Oleh karena itu saat ini dan di masa yang akan datang masyarakat tidak akan dapat lepas dari dunia perbankan, jika hendak menjalankan aktivitas keuangan, baik perorangan maupun lembaga, baik sosial maupun perusahaan.

(7)

2 Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya.1 Salah satu bentuk penyaluran dana bank kepada masyarakat, yaitu dalam bentuk kredit.

Penyaluran dana dalam bentuk kredit masih merupakan pilihan utama bank karena jika dikelola dengan hati-hati akan memberikan hasil yang tidak kecil bagi bank itu sendiri maupun perekonomian nasional.

Menurut Noan Webster 1972 yang dikutip Munir Fuady bahwa kredit berasal dari kata "creditus" yang berarti kepercayaan, merupakan bentuk past principle dari kata credere yang berarti "to trust" (kepercayaan)2. Dalan bahasa latin kredit disebut "credere" yang artinya percaya. Maksudnya si pemberii kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang akan disalurkanya pasti akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktu3. Jadi dapat disimpulkan bahwa unsur utama dari kredit adalah kepercayaan.

Menurut Drs. Muhamad Djumhana, SH. dalam bukunya Hukum Perbankan Indonesia disebutkan bahwa kepercayaan mengandung arti bahwa

1Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002. h. 2.

2Munir Fuady. Hukum Perkreditan Kontemporer. Citra Aditya Bhakti, Bandung. 1996.

h. 5.

3Op.cit. h. l01.

(8)

3 pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan4.

Pengertian kredit menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka (11):

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang menjanjikan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat pokok dan konvensional dari suatu bank. Beberapa pakar mengatakan bahwa fungsi tradisional bank adalah menghimpun dana-dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat5. Penyaluran dana kepada masyarakat yang dimaksudkan di atas pada umumnya dilakukan dalam bentuk pemberian kredit, baik itu berupa kredit modal kerja maupun kredit investasi.

Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan (yang telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 10 tahun 1988 tentang Perbankan) ditegaskan bahwa "Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga untuk mengurangi resiko tersebut adanya jaminan/agunan menjadi salah satu unsur yang penting.

4Muhamad Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

2000. h. 217.

5Neni Sri Imaniyati. Pengantar Hukum Perbankan Indonesia. Refika Aditama, Bandung.

2010. h. 139.

(9)

4 Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai jaminan fidusia yang dituangkan dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lainnya atau di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dewasa ini muncul berbagai macam perjanjian atau kontrak yang merupakan bentuk perjanjian turunan dari perjanjian yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sebagai akibat dari adanya asas kebebasan berkontrak. Subjek dari perjanjian pun tidak hanya orang melainkan juga badan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Dalam kegiatan penyaluran kredit dengan agunan benda bergerak atau jaminan fidusia maka seharusnya jaminan fidusia tersebut didaftarkan kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia agar kreditur memiliki titel eksekutorial apabila debitur melakukan wanprestasi. Namun dalam kenyataanya kreditur yang melakukan pengikatan notariil menyerahkan keseluruhan pendaftaran fidusia tersebut pada pihak notaris namun sampai pada saat kredit tersebut jatuh tempo pendaftaran fidusia tersebut belum dilakukan bahkan terkadang pada saat pelunasan jatuh tempo jaminan fidusia tersebut belum terdaftar sedangkan debitur pada awal pengikatan kredit sudah membayar semua biaya termasuk pendaftaran fidusia yang seharusnya ditanggung oleh kreditur.

Dimana hal ini tidak dibenarkan, terkecuali pihak kreditur membuat Surat Kuasa yang menunjuk notaris untuk mengurus keseluruhan daripada proses pembuatan akta fidusia hingga pendaftarannya.

(10)

5 Apabila terjadi hal seperti di atas maka kreditur akan kehilangan hak preverennya, masalah akan timbul apabila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur, hal ini tentunya akan sangat membahayakan pihak kreditur dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak debitur. Karena bagaimanapun juga dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia pihak kreditur selalu mencantumkan klausula yang lebih menguntungkan pihak kreditur yang lebih dikenal dengan klausula baku/klausula eksonerasi.

Perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.6 Adapun ciri-ciri pada umumnya dari perjanjian standar adalah sebagai berikut:

1. Wujudnya dalam bentuk formulir standar;

2. Syarat-syarat standar (baku) yang ada di dalamnya tidak dapat diubah;

3. Syarat-syarat standar (baku) yang ada di dalamnya disusun secara sepihak.

Di dalam prakteknya memang perjanjian baku atau standard ini tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir-formulir. Hal ini disebabkan karena perbuatan-perbuatan hukum sejenis yang selalu terjadi dan berulang-ulang melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu dan dibakukan, dan seterusnya dicetak dalam jumlah banyak sehingga memudahkan penyediaan setiap saat bila diperlukan.

6Mariam Darus Badrulzaman. Perjanjian Baku (Standard) dan Perkembangannya di Indonesia. USU. 1980. h. 2 ( Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I)

(11)

6 Perjanjian baku (standard) yang beredar dalam masyarakat dipandang banyak merugikan pihak debitur yang membutuhkan, karena isinya tidak mencerminkan rasa keadilan. Isi dari perjanjian standar berat sebelah dan terdapat klausula yang membatasi tanggung jawab salah satu pihak sehingga merugikan pihak lainnya atau hanya menguntungkan bagi salah satu pihak saja untuk itu sangat menarik dibuat dalam suatu karya penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas maka terdapat beberapa masalah yang dapat diangkat yang sekiranya dapat terjadi. Adapun permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hubungan hukum para pihak dalam perjanjian kredit

sebagai perjanjian standar dengan jaminan fidusia?

2. Bagaimana kedudukan hukum para pihak dalam perjanjian kredit sebagai perjanjian standar dengan jaminan fidusia?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam membahas permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan di atas dan agar lebih terarah maka diperlukan pembatasan ruang lingkup masalah.

Hal ini dimaksudkan agar pembahasan menjadi lebih terarah yaitu menghindari pembahasan yang sangat luas yang dapat mengaburkan pokok-pokok permasalahan yang menjadi fokus pembahasan. Adapun ruang lingkup masalah dalam adalah sebagai berikut:

(12)

7 Pada hubungan terhadap para pihak dalam perjanjian terkait dengan jaminan fidusia dan kedudukan para pihak dalam perjanjian sebagai perjanjian standar dengan perjanjian fidusia.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui permasalahan hukum dan isu-isu aktual mengenai klausula eksonerasi pada perjanjian kredit sebagai perjanjian standar dengan jaminan fidusia pada perbankan.

1.4.2 Tujuan khusus

Untuk mengetahui hubungan hukum dan kedudukan hukum para pihak dalam perjanjian kredit sebagai perjanjian standar dengan jaminan fidusia pada Bank Prima Master Cabang Denpasar.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum perbankan jaminan yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan aktivitas lembaga keuangan bank dalam kegiatan perkreditan mengenai pembatasan tanggung jawab kreditur yang tertuang dalam klausula eksonerasi.

(13)

8 1.5.2 Manfaat praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa masukan bagi masyarakat mengenai hubungan kedudukan para pihak pada perjanjian standar perbankan. Mengingat banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa perbankan khususnya untuk memperoleh kredit dengan jaminan fidusia.

(14)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Standar 1.1.1 Pengertian perjanjian standar

Di dalam praktek bisnis, di samping adanya perjanjian-perjanjian seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain, seperti yang diatur KUHPerdata, juga ada dua jenis perjanjian lainnya yang bernama perjanjian standar atau perjanjian baku yang belum atau tidak diatur dalam KUHPerdata.

Perjanjian standar ini tumbuh subur dalam praktek masyarakat, mengingat memang masyarakat sendiri menghendaki kehadirannya. Istilah perjanjian baku adalah merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu (standard contract). Sedangkan hukum Inggris menyebutkan sebagai (standard form of contract).

Menurut Sudaryatmo menyatakan bahwa perjanjian baku mempunyai sifat sebagai berikut:7

1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisisnya relatif lebih kuat dari konsumen;

2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam melakukan isi perjanjian;

3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.

7Sudaryatmo. Hukum dan Advokasi Konsumen. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1999.

h. 29.

(15)

10 Tumbuh dan berkembangnya perjanjian standard dalam masyarakat adalah dalam rangka efisiensi, baik dari segi waktu maupun biaya, karena transaksi bisnis yang akan dibuatkan perjanjian standar itu dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus. Ciri-ciri kehidupan masyarakat yang modern ditandai dengan adanya kecenderungan mendapatkan pelayanan jasa secara praktis, efisien dan efektif. Sejalan dengan cerminan kehidupan masyarakat modern itu, pelaksanaan perjanjian jual beli, pelayanan kredit oleh pihak non bank, telah dilengkapi berbagai perjanjian baku. Perjanjian standar yang beredar dalam masyarakat, dalam pandangan banyak pihak, masih banyak yang merugikan masyarakat dengan klausula baku (standard) yang ada di dalamnya. Isi perjanjian standar pada umumnya berat sebelah dan lebih banyak menguntungkan si pembuatnya.

Pihak penyusun kontrak atau perjanjian dengan persyaratan-persyaratannya mempunyai kedudukan yang lebih kuat bila dibandingkan dengan pihak lain dan akan menerima begitu saja syarat-syarat yang diajukan oleh penyusun kontrak.

Menurut Sluijter bukankah merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha (kreditur) dalam perjanjian tersebut bagaikan pembentuk undang- undang swasta, sehingga syarat tersebut merupakan undang-undang, bukan perjanjian. Sedangkan Stein mengemukakan bahwa dasar berlakunya perjanjian standar ini adalah (de fictie van will of vertrouwen). Jadi tidak ada kebebasan kehendak yang sungguh-sungguh pada pihak-pihak dan kesepakatan yang ada merupakan kesepakatan yang diam-diam, dalam artian bisa jadi pihak debitur tidak mengetahui akan isi dan maksud dari perjanjian, namun dapat diterima begitu saja dan telah dianggap sepakat. Yang dinamakan perjanjian standar

(16)

11 umumnya ialah perjanjian yang berbentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur lantas disodorkan pada debitur. Formil debitur menyetujuinya, dan materil debitur "terpaksa" menerimanya. Adanya persesuaian kehendak adalah fiktif. Perjanjian standar khususnya adalah perjanjian standar yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti akta jual beli, baik adanya dan berlakunya perjanjian ini untuk para pihak ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah, dilihat dari bentuknya sebagai perjanjian maka seakan-akan di sini terdapat unsur konsensualisme sebenarnya sama sekali tidak ada.

1.1.2 Dasar hukum perjanjian standar

Perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu.

Dilihat dari kata berjanji untuk melaksanakan sesuatu, maka perjanjian itu dibagi ke dalam tiga macam, yaitu:

a. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu barang;

b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu;

c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Perjanjian yang pertama yaitu perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang misalnya dalam jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, pinjam pakai. Perjanjian yang kedua yaitu perjanjian untuk membuat suatu karya seni atau lukisan perjanjian perburuhan dan lain-lain. Perjanjian yang ketiga yaitu perjanjian tidak mendirikan tembok perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya.

(17)

12 Menurut Pasal 1330 ayat (3) kitab Undang-undang Hukum Perdata,

"semua perjanjian itu haras dilaksanakan dengan itikad baik".

Mengenai istilah itikad baik berarti: seorang pembeli barang yang berisi itikad baik adalah seorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik sediri dari barang yang dibelinya itu, ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ia membeli dari orang yang bukan pemilik. Ia adalah seorang pembeli yang jujur.8

Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 BW yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang/lebih menginginkan dirinya terhadap satu orang/lebih terdapat kelemahan-kelemahan dalam pengertian perjanjian menurut pasal 1313 BW. Kelemahan tersebut adalah:

1. Hanya menyangkut sepihak saja, dari perumusan hanya satu orang/lebih mengikat dirinya, tidak kedua belah pihak, harusnya perumusan tersebut saling mengikatkan diri;

2. Kata perbuatan seharusnya dipakai kata persetujuan;

3. Pengertian perjanjian terlalu luas;

4. Tanpa menyebutkan tujuan.

Dalam syarat sahnya perjanjian, orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:

8R. Subekti. Aneka Perjanjian. Aditya Bakti, Bandung. 1995. h. 41. (Selanjutaya disebut Subekti III)

(18)

13 1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang- Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Sedangkan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal. Ini dimaksud tiada lain dan pada isi perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang dimaksud.

Jadi, yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Dalam suatu perjanjian jual beli isinya adalah: Pihak yang satu menghendaki uang. Dalam perjanjian sewa menyewa: Satu pihak menginginkan kenikmatan sesuatu barang, pihak lain menghendaki uang. Syarat objektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:

1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.

2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

(19)

14

"Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung".9

Kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya.

1.2 Jenis-Jenis Perjanjian Standar

Pada umumnya perjanjian standard lebih menguntungkan pihak yang membuatnya atau pihak kreditur dan cenderung merugikan pihak konsumen.

Walaupun tidak semuanya demikian. Perjanjian standard dalam praktek di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:10

1. Perjanjian baku sepihak

Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukanya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

9Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya. Beri Hukum Perikatan-perikatan yang Lahir dari Perjanjian. PT. Raja Grafindo, 2003. h. 103.

10Mariam Darus Badrulzaman. Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen. Makalah yang Disampaikan pada Simposium Perlindungan Konsumen, BPHN Departemen Kehakiman RI, Jakarta. 1980. h. 55. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II)

(20)

15 2. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah

Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agrarian, lihatlah misalnya formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No.

104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual beli model 1156727, akta hipotik model 1045055 dan sebagainya,

3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris dan advokat

Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris dan advokat adalah perjanjian-perjanjian yang sejak semula konsepnya sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Di dalam kepustakaan Belanda, jenis ini disebut contract model.

1.3 Pengertian dan Ruang Lingkup Jaminan Fidusia

Secara historis bahwa kegiatan bisnis yang memerlukan dana melalui pinjam meminjam, perihal jaminan kebendaannya dalam pelaksanaan terdapat lima bentuk yang salah satunya adalah fidusia. Fidusia memiliki kepastian hukum sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Fidusia, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebut sebagai jaminan hak milik secara kepercayaan, yang keberadaannya didasarkan atas yurisprudensi. Dalam jaminan hak milik

(21)

16 secara kepercayaan atau yang lebih dikenal dengan fidusia yang diserahkan sebagai jaminan adalah hak milik sedangkan barangnya tetap dikuasai debitur.

Adapun pengertian fidusia menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut :

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Dalam kegiatan pembiayaan konsumen dikenal adanya jaminan pokok yang dilakukan melalui Perjanjian Jaminan Fidusia atas barang yang dibeli konsumen yang pendanaannya dilakukan oleh perusahaan pembiayaan. Adapun pengertian Jaminan Fidusia menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut :

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Sama halnya seperti hak agunan atas kebendaan lainnya seperti gadai yang diatur dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), hak tanggungan (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

(22)

17 Hak Tanggungan) dan hipotek, maka Jaminan Fidusia menganut prinsip droit de preference. Sesuai ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, prinsip ini berlaku sejak tanggal pendaftarannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Jadi di sini berlaku adagium first registered, first secured.11

Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud di atas adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului kreditur-kreditur lainnya. Bahkan sekalipun pemberi fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi, hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta pailit pemberi fidusia. Dengan demikian penerima fidusia termasuk ke dalam kelompok kreditur separatis12.

Jadi dapat dikatakan bahwa ketentuan di atas berhubungan dengan, bahwa jaminan fidusia merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan hutang. Di samping itu, dalam Undang-Undang tentang Kepailitan menentukan bahwa benda yang menjadi objek jaminan fidusia berada di luar kepailitan dan atau likuidasi.

Sifat dan ciri-ciri jaminan fidusia

Ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud khususnya yang tidak dapat dibebani hak

11Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2000. h. 131.

12Ibid. h. 132.

(23)

18 tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia.

Adapun empat sifat maupun ciri-ciri yang dimiliki oleh jaminan fidusia, yaitu antara lain:

1. Perjanjian fidusia merupakan perjanjian obligatoir

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Fidusia menyebutkan yang dimaksud dengan jaminan fidusia sebagai berikut:

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Berdasarkan pengertian di atas, jaminan fidusia merupakan lembaga hak jaminan (agunan) yang bersifat kebendaan (zakelijk zekerheid, security right in rem) yang memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya. Sebagai hak kebendaan (yang memberikan jaminan), dengan sendirinya sifat dan ciri-ciri hak kebendaan juga melekat pada jaminan fidusia. Dia bukan perjanjian Obligatoir yang bersifat perorangan (persoonlijk).

Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa perjanjian fidusia itu bersifat obligatoir dan melahirkan hak-hak yang bersifat persoonlijk, sesuai

(24)

19 dengan sistem hukum Romawi fidicia cumcreditoria menurut pengertiannya yang klasik yaitu melahirkan hak eigendom bagi kreditur, meskipun dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana yang diperjanjikan antar pihak.

Pendapat demikian juga sesuai dengan pertumbuhan hukum Anglo Amerika menurut sistem common law di mana pemegang hipotek (mortgagee) dianggap memperoleh hak eigendom atas benda jaminan, menjadi eigenaar dari benda jaminan dan berkedudukan sebagai the title holder dari benda jaminan tersebut.13

Perjanjian fidusia bersifat obligatoir, berarti hak yang penerima fidusia merupakan hak milik yang sepenuhnya, meskipun hak tersebut dibatasi oleh hal-hal yang ditetapkan bersama dalam perjanjian. Akan tetapi, pembatasan demikian hanya bersifat pribadi. Karena hak yang diperoleh penerima fidusia itu merupakan hak milik yang sepenuhnya, ia bebas menentukan cara pemenuhan piutangnya, terhadap benda yang dijaminkan melalui fidusia. Hak yang timbul dari perjanjian fidusia adalah hak yang bersifat pribadi, yang lahir karena adanya hubungan perutangan antara kreditur dan debitur. Ketentuan- ketentuan yang bersifat memaksa dari gadai tidak dapat diterapkan kepadanya.

Juga para pihak bebas untuk menentukan manakala terjadi kepailitan pada kreditur atau debitur.14

13Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktik dan Pelaksanaan di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. h. 21.

14Ibid. h. 23.

(25)

20 2. Sifat accessoir dari jaminan fidusia

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa pembebanan jaminan fidusia diperuntukan sebagai agunan bagi pelunasan utang debitur (pemberi fidusia), yang berarti perjanjian fidusia merupakan perjanjian ikutan, buntut, atau ekor dari perjanjian pokoknya.

Ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia beserta penjelasannya menegaskan, bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Dengan demikian ini berarti, bahwa kelahiran dan keberadaan perjanjian jaminan fidusia ditentukan oleh adanya perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban dan sekaligus tanggung jawab para pihak untuk memenuhi suatu prestasi sebagai akibat terjadinya perikatan.

Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dinyatakan: "Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi". Adapun penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan, sebagai berikut:

"yang dimaksud dengan prestasi dalam ketentuan ini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang".

(26)

21 Kata-kata "ikutan" dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia jelas menunjukkan, bahwa fidusia merupakan suatu perjanjian accessoir. Sebagai suatu perjanjian accessoir perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut :15

a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;

b. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;

c. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan bila ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

Sifat accessoir dari perjanjian fidusia ini membawa akibat hukum, bahwa:16

a. Dengan sendirinya jaminan fidusia menjadi hapus karena hukum, apabila perjanjian pokoknya itu berakhir atau karena sebab lainnya yang menyebabkan perjanjian pokoknya menjadi hapus;

b. Fidusia yang menjaminnya karena hukum beralih pula kepada penerima fidusia yang baru dengan dialihkannya perjanjian pokoknya kepada pihak lain;

c. Fidusia merupakan bagian tidak terpisahkan dari atau selalu melekat pada perjanjian pokoknya, karena itu hapusnya fidusia tidak menyebabkan hapusnya perjanjian pokok.

15Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. op.cit. h. 125.

16Rachmadi Usman. Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika. 2008. h. 165.

(27)

22 Karena perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, sesuai dengan sifatnya tersebut, perjanjian pemberi jaminan fidusia merupakan suatu perjanjian bersyarat, dengan syarat pembatalan sebagaimana diatur dalam Pasal 1253 jo Pasal 1265 KUHPerdata, dengan konsekuensinya, pemberian jaminan fidusia itu akan hapus atau berakhir jika perjanjian pokoknya telah lunas.17

3. Sifat droit de suite dari fidusia : fidusia sebagai hak kebendaan

Sifat droit de duite juga dianut jaminan fidusia, di samping jaminan hipotek dan hak tanggungan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 20 tersebut menentukan :

Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas, benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia.

Penjelasan atas Pasal 20 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan:

Ketentuan ini mengakui prinsip "droit de suite" yang telah merupkan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (in ren).

Pemberian sifat hak kebendaan di sini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang kuat kepada pemegang hak kebendaan. Hal ini berangkat dari pikiran, bahwa benda jaminan tetap menjadi milik pemberi jaminan dan

17J. Satrio. Janji-Janji (Bedingeng) dalam Akta Hipotek dan Hak Tanggungan. Media Notariat. Edisi Januari-Maret. Jakarta: Ikatan Notaris Indonesia. 2002. h. 197.

(28)

23 pemberi jaminan pada asasnya selama penjaminan berlangsung tetap wenang untuk mengambil tindakan pemilikan atas benda jaminan miliknya. Dengan memberikan sifat droit pada fidusia, maka hak kreditur tetap mengikuti bendanya ke dalam siapapun ia berpindah, termasuk terhadap pihak ketiga pemilik baru, yang berkedudukan sebagai pihak ketiga pemberi jaminan.18

Pada dasarnya debitur (pemberi fidusia) tidak wenang lagi mengalihkan objek benda jaminan fidusia kepada pihak lain, karena telah terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda jaminan fidusia secara constitution possessorium dari debitur (pemberi fidusia) kepada kreditur (penerima fidusia).

4. Fidusia memberikan kedudukan diutamakan (sifat droit de preference ) Sifat droit de preference atau diterjemahkan sebagai hak mendahului atau diutamakan, juga melekat pada jaminan fidusia. Sifat droit de preference ini dapat kita baca dari perumusan pengertian yuridis jaminan fidusia yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan lebih lanjut diatur dalam Pasal 27 dan pasal 28 Undang-Undang yang sama19.

Ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan:

a. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya;

18Ibid. h. 278.

19Rachmadi Usman. op.cit. h. 172.

(29)

24 b. Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

c. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi pemberi fidusia.

Dari ketentuan pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia di atas, dapat diketahui bahwa penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan atau diutamakan terhadap kreditur lainnya, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya, atas hasil eksekusi (penjualan) dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan piutang ini mendahului dari kreditur lainnya yang tidak dijamin dengan fidusia, walaupun penerima fidusia termasuk orang yang pailit atau dilikuidasi. Hak utama dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi dari pemberi fidusia, karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta kepailitan pemberi fidusia. Ketentuan ini berhubungan dengan ketentuan bahwa jaminan fidusia merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan hutang.

Demikian pula jika yang dinyatakan pailit itu kreditur (penerima fidusia), maka benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk harta dari kepailitan kreditur (penerima fidusia), sebab pengalihan hak kepemilikan suatu benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut ditujukan sebagai jaminan saja.

(30)

25 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan kemungkinan, bahwa atas benda yang sama dapat dibebani lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia, sehingga terdapat penerima fidusia peringkat pertama, penerima fidusia peringkat kedua, penerima fidusia peringkat ketiga, dan seterusnya. Dengan kata lain berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimungkinkan terjadinya fidusia ulang oleh kreditur pemberi fidusianya.

Ketentuan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, menyatakan:

Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

Jadi bila atas benda yang sama dibebani pada lebih dari satu jaminan fidusia dengan merujuk ketentuan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut, hak yang didahulukan tersebut diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkan Jaminan Fidusianya pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Ini berarti kreditur (penerima fidusia) peringkat pertama mempunyai hak lebih dahulu mengambil pelunasan daripada penerima fidusia peringkat kedua. Peringkat hak yang didahulukan dari penerima fidusia didasarkan pada tanggal pendaftarannya. Penjelasan atas Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia antara lain menyatakan, bahwa hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

(31)

26 BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam penulisan suatu karya ilmiah tentulah harus menggunakan metode penulisan agar karya tulis ini memenuhi syarat-syarat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian hukum adalah segala aktivitas seseorang untuk menjawab permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktis, baik yang bersifat azas-azas hukum, norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang berkenaan dengan kenyataan hukum dalam masyarakat.20

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

3.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sebagai berikut:

1. Pendekatan perundang-undangan (The statute approach);

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah Undang- Undang.

20Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika, Jakarta. 2009. h. 19.

(32)

27 2. Pendekatan analisis konsep hukum (Analytical and conceptual approach)

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti harus mencari suatu mengenai kecocokan penerapan konsep pengikatan jaminan fidusia.

3.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan sebagai berikut.21

1. Sumber bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas, yang terdiri dari perundang- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan.

2. Sumber bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, kamus-kamus, dan jurnal-jurnal hukum.

3. Sumber bahan hukum tersier adalah merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah ensiklopedia indeks kumulatif dan seterusnya.

21Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, Ed. I, Cet.6. Kencana Prenada Media Group. 2010. h. 93.

(33)

28 3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk menunjang penelitian, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan yang difokuskan terhadap bahan-bahan hukum primer maupun bahan-bahan hukum sekunder.

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Berdasarkan bahan hukum yang telah diperoleh melalui studi kepustakaan, maka bahan-bahan hukum tersebut diolah secara kualitatif. Terhadap bahan hukum yang diperoleh ini dilakukan pengklasifikasian untuk mempermudah di dalam mendukung penulisan secara menyeluruh.

(34)

29 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jaminan Fidusia dan Pengikatannya Sebagai Perjanjian Accesoir Dalam Pasal; 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

"Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan".

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, secara tersurat jelas-jelas ditekankan keharusan adanya jaminan atas setiap pemberian kredit kepada siapapun. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 keharusan adanya jaminan terkandung secara tersirat dalam kalimat "keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur..." dan sekaligus mencerminkan apa yang disebut dengan "the five C's of credit" yang salah satunya adalah collateral (jaminan/agunan) yang harus disediakan oleh debitur. Lebih lanjut, jaminan atau agunan ini dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 8 Undang-undang tersebut yang menyebutkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.

(35)

30 Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, jaminan/agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit bersangkutan. (Wawancara tanggal 7 Juni 2011)

Pada pokoknya terdapat 2 (dua) asas pemberian jaminan jika ditinjau dari sifatnya, yaitu:22

1. Jaminan yang bersifat umum

Yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada setiap kreditur, hak- hak tagihan mana tidak mempunyai hak saling mendahului (konkuren) antara kreditur yang satu dengan kreditur lainnya.

2. Jaminan yang bersifat khusus

Yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada setiap kreditur, hak- hak tagihan mana tidak mempunyai hak mendahului sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak preverent).

Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya

22H.R. Daeng Naja. Hukum Kredit dan Bank Garansi The Bankers Hand Book. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. h. 207-208.

(36)

31 dalam suatu perikatan. Dari pengertian tersebut, maka lebih lanjut dapat dijabarkan sebagai berikut :23

a. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaan maupun hak perorangan.24

b. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun pihak ketiga yang disebut juga penjaminan atau penanggung. Jaminan perorangan ataupun penanggungan utang selalu diberikan pihak ketiga kepada kreditur penanggungan mana diberikan, baik dengan sepengetahuan ataupun tanpa sepengetahuan debitur yang bersangkutan.

c. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut untuk keamanan dan kepentingan kreditur haruslah diadakan dengan suatu perikatan khusus, perikatan mana bersifat accessoir dari perjanjian kredit atau pengakuan utang yang diadakan antara debitur dan kreditur.

Pada prinsipnya tidak selalu suatu penyaluran kredit harus dengan jaminan kredit sebab jenis usaha dan peluang bisnis yang dimiliki pada dasarnya sudah merupakan jaminan terhadap prospek usaha itu sendiru. Namun, suatu kredit dilepas tanpa agunan maka memiliki resiko yang sangat besar, jika investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula. Jika

23Ibid.

24Hak kebendaan adalah berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud, benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Sedangkan hak perorangan tidak lain adalah penanggungan utang, yang diatur dalam Pasal 1820- PasaI 1850 KUH Perdata.

(37)

32 hal ini terjadi, pihak bank tentu akan sangat dirugikan sebab dana yang disalurkan memiliki peluang tidak dikembalikan debitur.

Apa yang dikemukakan di atas berarti bahwa kredit tersebut macet tanpa ada asset dari nasabah yang dapat menutupi kredit yang tidak terbayarkan.

Sementara itu jika ada agunan pihak bank dapat menarik kembali dananya dengan memanfaatkan jaminan tersebut.

Pada dasarnya, jaminan kredit oleh calon debitur/debitur diharapkan dapat membantu memperlancar proses analisis pemberian kredit dari bank, yang dengan demikian jaminan kredit atau collateral tersebut haruslah:25

a. Secured, artinya jaminan kredit tersebut dapat diadakan pengikatannya secara yuridis formal, sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian apabila di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, bank telah mempunyai alat bukti yang sempurna dan lengkap untuk menjalankan suatu tindakan hukum.

b. Marketable, artinya apabila jaminan tersebut harus, perlu, dan dapat dieksekusi, jaminan kredit tersebut dapat dengan mudah dijual atau diuangkan untuk melunasi utang debitur.

Jaminan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah jaminan benda bergerak yaitu kendaraan bermotor. Telah dibawa sebelumnya bahwa jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut untuk keamanan dan kepentingan kreditur haruslah diadakan dengan suatu perikatan khusus, perikatan mana bersifat

25H.R. Daeng Naja. op.cit. h. 209.

(38)

33 accessoir dari perjanjian kredit atau pengakuan utang yang diadakan antara debitur dan kreditur.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia. Kemudian lebih lanjut Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

(1) Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian;

(2) Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri.

Dengan adanya ketentuan Pasal 9 ini, maka piutang yang dulunya diikat dengan akta "cessie jaminan atas piutang" (fiduciary assignment of receivables), sekarang menjadi objek jaminan fidusia sehingga pengikatannya adalah dengan Perjanjian kredit dan perjanjian pengakuan utang dijadikan dalam satu akta yaitu Perjanjian Pengakuan Utang. Jadi setelah Perjanjian Pengakuan Utang ditandatangani para pihak, barulah akta perjanjian fidusia dibuat untuk selanjutnya didaftarkan, sehingga perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan sama seperti hak tanggungan, hipotik, dan gadai.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

(39)

34 suatu prestasi. Dengan demikian untuk membuat suatu perjanjian jaminan fidusia terlebih dahulu haruslah ada perjanjian pokok, yang pada Bank Prima Master disebut Perjanjian Pengakuan Utang.

Menurut H.R. Daeng Naja hal-hal yang perlu diketahui dan diperhatikan oleh aparat perkreditan bank dalam hal pembebanan fidusia terhadap suatu jaminan, antara lain sebagai berikut:

a) Keharusan adanya perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang mendahului perjanjian jaminan fidusia;

b) Akta perjanjian jaminan fidusia harus dibuat dalam bentuk akta notaris, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Fidusia;

c) Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Fidusia karena terjadi atau lahirnya jaminan fidusia pada tanggal tercatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Fidusia.

Menurut Ibu Made Dwi Marini Putri, SH, Staff Sub Bidang Pelayanan Jasa Hukum pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Denpasar bahwa permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa, atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, yang memuat:

a) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

(40)

35 b) Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, serta nama dan tempat

kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

c) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

d) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

e) Nilai penjaminan; dan

f) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Dari permohoaan pendaftaran tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan tersebut. Kemudian, Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan saat itulah lahir atau terjadinya fidusia.

Jadi, apabila benda jaminan fidusia tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, walaupun telah dibuatkan akta jaminan fidusia secara notariil, belum terjadi fidusia atau belumlah ada jaminan bagi bank sebagai pemegang fidusia. Yang dimaksud para pihak dalam perjanjian fidusia di sini adalah antara pemberi fidusia atau debitur dan penerima fidusia atau kreditur/bank. Adapun hak dan kewajiban para pihak tersebut, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Hak dan kewajiban pemberi fidusia a. Hak pemberi fidusia

(41)

36 1) Ia berhak menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia, untuk menunjang kelangsungan usahanya, bahkan memperjualbelikannya jika itu adalah stok barang dagangan;

2) Ia berhak meminta atau menerima sisa hasil penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia, setelah dikurangi dengan pembayaran pelunasan utang-utangnya.

b. Kewajiban pemberi fidusia

1) Ia berkewajiban memelihara dan menjaga keselamatan benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

2) Ia berkewajiban melaporkan keadaan benda yang menjadi objek jaminan fidusia, utamanya untuk barang yang diperdagangkan atau stok barang dagangan.

3) Ia berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

4) Ia berkewajiban membayar seluruh utang sampai lunas, terutama dari hasil penjualan barang jaminan yang difidusiakan, apabila ia wanprestasi.

2. Hak dan kewajiban penerima fidusia a. Hak penerima fidusia

1) Ia berhak mengawasi benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sebagaimana hak yang telah diberikan kepadanya sebagai pemilik atas barang jaminan tersebut.

(42)

37 2) Ia berhak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum jika debitur/pemberi fidusia wanprestasi.

3) Ia berhak mengambil pelunasan dari hasil penjualan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia, jika debitur/pemberi fidusia wanprestasi.

b. Kewajiban penerima fidusia

1) Ia berkewajiban memberikan kekuasaan kepada pemberi fidusia/debitur atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

2) Ia berkewajiban menyerahkan kelebihan dari harga hasil penjualan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia setelah dikurangi utang debitur/pemberi fidusia.

4.2 Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Standar dengan Jaminan Fidusia

Pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat pokok dari suatu bank.

Beberapa pakar mengatakan bahwa fungsi tradisional bank adalah menghimpun dana-dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat26. Penyaluran dana kepada masyarakat yang dimaksudkan di atas pada umumnya dilakukan dalam bentuk pemberian kredit, baik itu berupa kredit modal kerja maupun kredit investasi.

26Neni Sri Iraaniyati, op.cit. h. 139.

(43)

38 Menurut Noan Webster 1972 yang dikutip Munir Fuady mengatakan bahwa kredit berasal dari kata "creditus" yang berarti kepercayaan, merupakan bentuk past principle dari kata credere yang berarti "to trust" (kepercayaan)27. Dalam bahasa latin kredit disebut "credere" yang artinya percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang akan disalurkanya pasti akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktu28. Jadi dapat disimpulkan bahwa unsur utama dari kredit adalah kepercayaan.

Kepercayaan mengandung arti bahwa pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan29.

Pengertian kredit menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka (11):

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang menjanjikan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

27 Munir Fuady. op. cit. h. 5.

28Kasmir. op.cit . h. 2.

29Muhamad Djumhana. op.cit. h. 217.

(44)

39 Secara sederhana dapat pula dikemukakan, bahwa kredit adalah kepercayaan dari atau saling percaya antara kreditur dan debitur. Jadi apa yang telah disepakati wajib ditaati30.

Perjanjian kredit pada perbankan merupakan salah satu contoh bentuk perjanjian standard. Dalam pelaksanaan pemberian kredit, perjanjian kredit pada dasarnya melibatkan 2 pihak, yaitu pihak kreditur (bank), dan pihak peminjam dana (debitur). Mengenai para pihak, hubungan maupun kedudukan para pihak dapat dilihat melalui Gambar di bawah ini:

Penyaluran Kredit

30Sentosa Sembiring. Hukum Perbankan. CV. Mandala Maju, Bandung. 2008. h. 51.

Perbankan

(Kreditur) Debitur

Perjanjian Pengakuan Utang dan Akta Jaminan Fidusia

(45)

40 Adanya kesepakatan

Dari diagram di atas dapat dijelaskan mengenai hubungan para pihak dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia adalah sebagai berikut:

Hubungan pihak kreditur dengan debitur dalam perjanjian kredit

Hubungan antara pihak kreditur dengan debitur adalah hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan dalam bentuk kredit. Di mana pihak pemberi biaya sebagai kreditur dan pihak penerima biaya sebagai pihak debitur.

Pihak kreditur berkewajiban utama dalam memberi sejumlah uang untuk modal kerja dan/atau modal investasi (hal ini tergantung dari kesepakatan para pihak), sementara pihak debitur berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan atau angsuran kepada pihak kreditur. Jadi hubungan kontraktual antara pihak penyedia dana dengan pihak konsumen adalah perjanjian kredit. Sehingga ketentuan-ketentuan tentang perjanjian kredit (dalam KUHPerdata) dan ketentuan perkreditan yang diatur dalam peraturan perbankan secara yuridis formal berlaku karena pihak pemberi biaya adalah pihak bank sehingga selain tunduk pada ketentuan KUHPerdata juga tunduk pada peraturan perbankan yang berlaku.

Dengan demikian, sebagai konsekuensi yuridis dari perjanjian kredit tersebut, maka setelah seluruh perjanjian kredit ditandatangani dan dana sudah

Pengikatan Secara Notariil

Perjanjian Kredit di Bawah Tangan

(46)

41 dicairkan, maka dana tersebut dapat langsung digunakan oleh debitur sesuai dengan kebutuhanya, dan pihak kreditur berhak dan berkewajiban mendaftarkan jaminan benda bergerak debitur dalam perjanjian fidusia. Namun setelah perjanjian kredit tersebut diselesaikan oleh pihak debitur kepada kreditur maka hubungan kontraktual dalam hal ini perjanjian kredit antara kreditur dan debitur akan berakhir.

4.3 Kedudukan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Standar dengan Jaminan Fidusia

Perjanjian kredit dengan jaminan fidusia disusun atau dibuat oleh pihak kreditur pada umumnya berbentuk perjanjian standar yang dilengkapi dengan klausula eksonerasi yang memberatkan pihak debitur. Isi dari perjanjian standar kredit dengan jaminan fidusia umumnya tidak seimbang.

Dalam prakteknya baik format maupun isi perjanjian kredit dengan jaminan fidusia telah ditentukan oleh bank selaku kreditur dan kurang adanya gentlemen agrrement dari pihak kreditur. Hal ini juga berlaku bagi perjanjian kredit dengan jaminan fidusia milik Bank Prima Master. Sebagai contoh isi perjanjian kredit dengan jaminan fidusia milik Bank Prima Master yang memberatkan debitur dan sebaliknya menguntungkan pihak bank (kreditur). Hal tersebut tentunya menunjukkan ketidakseimbangan yang berarti kedudukan hukum masing-masing para pihak tidaklah sama, di mana kedudukan hukum

(47)

42 pihak debitur yang tidak lain adalah peminjam dana lebih lemah dibanding pihak kreditur yaitu pihak bank selaku penyedia dana.

Ketidakseimbangan ini dapat dilihat dari banyaknya kewajiban pihak debitur dan sedikitnya hak yang diperoleh oleh pihak debitur dan sebaliknya.

Namun bisnis pembiayaan ini tetap tumbuh pesat, walaupun terjadi ketidakseimbangan kedudukan debitur tetap menggunakan jasa lembaga ini untuk memenuhi kebutuhannya.

Walaupun tidak adanya gentlemen agrrement dari pihak pengembang dan lemahnya posisi debitur dalam perjanjian standard kredit dengan jaminan fidusia namun hal ini tentunya tidak bisa hanya disalahkan hanya pada pihak bank (kreditur) saja karena pihak debitur kerap kali mengabaikan isi perjanjian kredit tersebut, tanpa harus memahami secara rinci biasanya pihak debitur langsung menandatangani perjanjian standard yang disodorkan pihak kreditur tanpa membacanya dengan seksama karena faktor kebutuhan dan keinginan pihak debitur akan kredit yang diajukanya cepat cair.

Dengan demikian pihak kreditur lebih tinggi karena sebagai pihak yang membuat perjanjian standard kredit tersebut dan sekaligus sebagai pemilik modal.

Kemudian kedudukan pihak debitur yang lebih lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan kredit hanya memiliki dua pilihan menerima atau menolak perjanjian tersebut dan sebagai konsekuensi apabila pihak debitur menerimanya maka pihak debitur harus mematuhi seluruh ketentuan yang pertuang dalam isi

(48)

43 perjanjian. Dalam hal ini memang seolah-olah hanya pihak debitur selaku yang meminjam dana terlihat dirugikan, namun sebenarnya tidaklah begitu.

(49)

44 BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

5.1.1 Hubungan hukum para pihak dalam perjanjian kredit sebagai perjanjian standar dengan perjanjian fidusia adalah adanya hak dan kewajiban yang satu pihak sebagai kreditur yang berhak atas pretasi dan adanya pihak debitur sebagai pihak yang harus memenuhi prestasi dalam perjanjian tersebut.

5.1.2 Kedudukan para pihak dalam perjanjian kredit sebagai perjanjian standar dengan jaminan fidusia adalah dimana pihak kreditur mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan kuat dalam pemenuhan prestasi, sedangkan pihak kreditur lebih lemah kedudukannya, jadi terjadi kedudukan yang tidak seimbang, tetapi dikarenakan debitur telah menandatangani perjanjian standar, sehingga dianggap menyetujui isi perjanjian tersebut.

5.2 Saran-Saran

5.2.1 hendaknya debitur benar-benar mengetahui akibat dari hubungan hukum yang telah dilakukannya. Dan mematuhi akibat yang ditimbulkan dari pengikaran tersebut.

5.2.2 Hendaknya kreditur dalam membuat isi dari perjanjian baru atau standar juga memperhatikan azas keadilan dan keseimbangan bagi pihak debitur.

(50)

45 DAFTAR BACAAN

BUKU

Bambang Sunggono. Metode Penelitian Hukum. Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2010.

Burhan Ashsofa. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta. 2001.

E. H. Hondius. Syarat-Syarat Baku dalam Hukum Kontrak. Compedium Hukum Belanda. 1978.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2000.

Henry P. Penggabean. Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian. Liberty, Yogyakarta. 1992.

H.R. Daeng Naja. Hukum Kredit dan Bank Garansi The Bankers Hand Book.

Citra Aditya Bakti, Bandung. 2005.

H.R, Otje Salman S. dan Anthon F. Susanto. Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Refika Aditama, Bandung. 2008.

Johanes Gunawan. Kapita Selekta Hukum Perikatan. Universitas Parahyangan, Bandung. 1992.

J. Satrio. Janji-Janji (Bedingeng) dalam Akta Hipotek dan Hak Tanggungan.

Media Notarial Edisi Januari-Maret. Jakarta: Ikatan Notaris Indonesia.

2002.

Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002.

Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya. Beri Hukum Perikatan-perikatan yang Lahir dari Perjanjian. PT. Raja Grafindo. 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Ditinjau dari kecernaan ransum dan neraca mineral esensial pada sapi perah laktasi, maka onggok dapat dipergunakan sebagai sumber energi pengganti bungkil kelapa

Dalam penelitian ini, hasil perancangan permainan edukasi berbasis teknologi motion gesture (Eduactday) mengakomodasi 23 kebutuhan pengguna yang telah disesuaikan dengan karakteristik

Taspen (Tabungan Asuransi Sosial Pegawai Negeri) dibentuk untuk memberikan jaminan pada masa pensiun, asuransi kematian, dan nilai tunai asuransi sebelum pensiun dengan memberikan

tanda yang muncul dalam sebuah produk komunikasi tidak lain merupakan. kesatuan dari realitas yang diolah untuk mempengaruhi

Hasil ini membuktikan bahwa komitmen organisasi memoderasi pengaruh penerapan SIKD pada kualitas LKPD Kabupaten Karangasem.Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan

Auditor harus dapat mengumpulkan setiap informasi untuk mengambil keputusan dalam menghasilkan audit yang berkualitas,hal tersebut tidak bisa dilakukan jika

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan penelitian pengembangan anak usia dini yang menyentuh seluruh kebutuhan tumbuh kembang anak, sistematis, dan melibatkan

We compared the composition and structure of the communities of arbuscular mycorrhizal (AM) fungi associated with maize ( Zea mays L.) and soybeans ( Glycine max (L.) Merr.) in