• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaringan CRITC Nasional dan Regional

Dalam dokumen Laporan Perkembangan dan Pencapaian CORE (Halaman 41-46)

Jejaring Pusat Informasi dan Pelatihan Terumbu Karang (Coral Reef Information and Training Centers -- CRITC) sudah terbentuk di tingkat nasional dan daerah. Untuk memperkuat SDM di daerah, CRITC sudah memberikan pelatihan- pelatihan seperti pelatihan data base, web, GIS, sosial ekonomi, Creel, dan monitoring kesehatan karang. CRITC LIPI mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan monitoring kesehatan karang di lokasi proyek, tetapi melihat luasnya wilayah menyebabkan CRITC LIPI cukup sulit untuk melaksanakan monitoring kesehatan karang dan menyediakan data secara berkala. Untuk itu diputuskan bahwa CRITC LIPI akan melakukan monitoring di kawasan KKLD sementara PIU dan masyarakat melakukan monitoring di kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL).

Oleh karena itu, CRITC LIPI memberikan pelatihan dan pedoman dalam melaksanakan kegiatan tersebut kepada staf RCU, PIU, CRITC daerah serta masyarakat. Pelaksanaan Creel tidak hanya melibatkan staf PIU/CRITC daerah tetapi juga masyarakat. Dalam hal ini CRITC LIPI juga telah melatih anggota masyarakat yang ditunjuk sebagai pelaksana Creel di setiap lokasi serta memberikan peralatan dan buku panduan agar lebih mudah dipahami. Saat ini CRITC daerah sudah mampu melaksanakan reef health survey dalam DPL dan melakukan supervisi terhadap pelaksanaan Creel.

1. Tutupan Karang Hidup

Salah satu indikator dalam penilaian kondisi ekologi terumbu karang adalah tingkat tutupan karang hidup (life coral cover). Penilaian kondisi ekologi terumbu karang dilakukan dengan dua tahapan yaitu; (i) studi baseline (T0) yang dilakukan pada awal pelaksanaan proyek, dan (ii) pemantauan kesehatan yang dilakukan pada tahun-tahun berikutnya. Monitoring kesehatan terumbu karang yang dilakukan oleh CRITC-LIPI di lokasi COREMAP, menunjukkan bahwa persentase tingkat karang hidup di beberapa lokasi ada yang mengalami kenaikan dan ada juga yang mengalami penurunan yang disebabkan faktor manusia dan faktor alam.

Di wilayah pantai Barat Sumatera, kondisi tutupan karang mengalami peningkatan. Seperti di Tapteng, penerapan Perda tentang pengelolaan terumbu

41 karang menyebabkan penjualan karang hias menurun dan penangkapan ikan yang merusak juga turun secara signifikan. Di Kabupaten Kepulauan Mentawai, masyarakat sudah menerapkan peraturan desa (PERDES) dan di tingkat pemerintah telah ditetapkan melalui SK Bupati tentang pelarangan penggunaan batu karang sebagai bahan bangunan. Sedangkan di Nias dan Nias Selatan setelah mengalami kerusakan akibat gempa dan tsunami, kondisi terumbu karang mulai mengalami pemulihan.

Di wilayah pantai timur Sumatera, sebagian besar mengalami penurunan akibat faktor alam dan manusia. Di Kabupaten Bintan, tepatnya di Pulau Mapur terjadi peningkatan tutupan karang hidup sebesar 9.6% karena masyarakat sudah menerapkan Perdes tentang larangan terhadap nelayan komersil melakukan penangkapan ikan di wilayah mereka. Akibat dari pengerukan pantai sebagai alur kapal dan limbah dari industri dan rumah tangga, secara tidak langsung mengakibatkan penurunan tutupan karang hidup sebesar 5,4% di Gunung Kijang dan Kawal. Hal ini juga terjadi di Malang Rapat tempat di mana akibat sedimentasi global dari laut Cina Selatan menyebabkan penurunan sebesar 6,8% dan di Teluk Bakau terjadi penurunan sebesar 1.18% karena dampak tidak langsung dari pembangunan jalan, batu miring dan penimbunan pantai. Sementara di Batam dan Natuna kondisi tutupan karang di kawasan daerah perlindungan laut (DPL) relatif stabil, masyarakat desa sudah mulai menerapkan peraturan desa (PERDES) tentang pengelolaan DPL sedangkan di Lingga terjadi penurunan selain akibat faktor alam juga adanya pencemaran akibat penambangan bauksit dan pasir.

Pelaksanaan survei Creel di daerah sudah mulai rutin dilaksanakan sejak Januari hingga Desember. Lokasi pelaksanaan seperti tempat pendaratan ikan, pelabuhan, pinggir pantai. Di wilayah Sumatera bagian Barat, alat tangkap yang digunakan adalah pancing dengan perahu tanpa motor serta jaring sedangkan di wilayah Sumatera bagian Timur sebagian besar menggunakan pancing dan jaring tetapi di beberapa lokasi masih ada yang menggunakan bubu, rawai dan bagan. Di Pulau Mubut, Batam masih terdapat penggunaan alat bubu dan pukat bilis demikian pula di kabupaten Natuna, tepatnya di Desa Tanjung dan Kelanga masih dan di Pulau Tiga masyarakatnya menggunakan bagan. Hasil tangkapan ikan yang paling tinggi menggunakan pancing dan jaring sedangkan hasil tangkapan dengan bubu dan

pukat bilis sudah menurun tetapi hasil tangkapan dengan bagan masih cukup besar. Tingkat persentase tutupan karang tampak dalam tabel di bawah ini.

Tabel 6: Persentase Tutupan Karang

Stasiun Pantauan

Persen Tutupan Karang Hidup

2007 2008 2009 2010 Bintan Numbing 49.35 54.34 52.69 53.67 Mapur 58.01 68.90 64.27 67.28 Tambelan - - 67.11 72.63 Lingga 58.94 67.42 55.00 56.39 Batam P. Abang 60.05 57.56 62.27 68.62 Karas 55.64 47.28 49.21 51.79 Natuna Bunguran 46.04 51.38 51.77 53.23 Kelarik - 49.01 50.37 49.07 Tapteng Mursala 33.74 48.41 52.63 47.32 Harojan 38.31 40.66 43.15 40.98 Nias Hinako - 21.40 22.13 23.80 Lahewa 17.20 19.81 29.83 32.04 Nias Selatan Pulau-pulau Batu - - 13.50 15.31 Hibala 6.25 8.35 11.54 13.61 Mentawai Sipora 24.94 11.97 18.92 29.84 Siberut 12.52 15.25 15.13 18.93 Pagai 28.67 27.88 32.18 36.04

43 Grafik 4: Tutupan Karang Hidup

2. Kondisi Sosial Ekonomi

Salah satu dari indikator capaian proyek adalah penurunan tingkat kemiskinan di kawasan pesisir lokasi proyek melalui peningkatan pendapatan per kapita 2% per tahun. Hasil kajian sosial-ekonomi dari 2005 - 2009 menunjukkan terdapat variasi lebar pada pertumbuhan pendapatan per kapita di lokasi proyek (dari 24,9% di Bintan Timur hingga -4,4% di Pulau Tiga, Natuna). Pendapatan per kapita di dua lokasi (Bintan dan Nias Utara) naik lebih dari 2% per tahun, dan tingkat perumbuhan per tahun di tiga lokasi (Mentawai, Batam dan Nias Selatan) beranjak di bawah 2%. Pendapatan per kapita di Tapanuli Tengah, Natuna dan Lingga turun dari 0,9 – 4,4% per tahun.

Salah satu argumen penurunan per kapita di Natuna adalah penurunan pendapatan karena menurunnya kegiatan penangkapan yang merusak. Untuk kasus Lingga dan Tapteng (Sitardas dan Jago-jago), pendapatan dari mata pencaharian alternatif tidak dapat menutupi dari menurunnya pendapatan yang berasal dari perikanan tangkap karena menurunnya hasil tangkapan ikan. Sebuah kajian evaluasi kegiatan mata pencaharian alternatif dilakukan oleh PMO pada kuartal keempat 2010, untuk menentukan statusnya dan kontribusinya terhadap pendapatan

keluarga pada akhir proyek. Gambaran pendapatan per kapita per dua tahunan disajikan pada grafik berikut:

Grafik 5: Pendapatan Per Kapita di Batam, Natuna, Bintan, Mentawai dan Nias (2005, 2007, 2009)

Grafik 6: Pendapatan per Kapita Lingga dan Nias Selatan (2006, 2008, 2010)

3. Riset Agenda

Riset agenda sudah dilaksanakan sejak 2005 hanya kabupaten Nias Selatan yang belum pernah melaksanakannya, hal ini disebabkan terbatasnya SDM dan sarana penunjang lainnya. Tahun 2008 riset agenda hanya dilaksanakan di dua

-50,000 0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000 400,000 450,000 Tahun 2005 328,700 379,300 194,280 243,800 239,310 Tahun 2007 320,500 264,850 326,650 372,190 186,870 174,200 Tahun 2009 351,500 312,140 388,400 256,013 231,065 187,560

Increase/Decrase per year 1.7 -4.4 24.9 1.25 -0.9 3.8

Batam Natuna Bintan Mentaw ai Tapteng Nias

-100,000 0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 2006 223,200 2008 423,050 107,460 2010 203,120 110,490 Icrease/Decrease per year -0.15 1.4

45 kabupaten yaitu Bintan dengan judul Identifikasi dan Pemetaan Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Wilayah COREMAP II Kabupaten Bintan serta Natuna dengan judul Studi Kelayakan untuk Pengembangan Keramba Jaring Tancap (KJT) dan Rumput laut di Wilayah COREMAP Kabupaten Natuna. Hasil riset agenda ini dipakai oleh PIU dalam mengembangkan kegiatan Mata Pencaharian Alternatif (MPA). Kegiatan MPA di Bintan yang selama ini didominasi oleh budidaya Keramba Jaring Tancap (KJT) dan Kepiting bakau, di daerah Mapur dan Kawal mulai dikembangkan MPA budidaya rumput laut dan rencananya pada 2010 dikembangkan juga di daerah Tambelan. Pada tahun 2009 riset agenda dilaksanakan di 5 kabupaten/kota yaitu Tapteng, Mentawai, Batam, Bintan dan Lingga. Sosialisasi dan diseminasi hasil riset dilaksanakan pada 2010.

Coral Reef Management Information System (CRMIS) tidak hanya sebagai tempat penyediaan informasi tentang pengelolaan terumbu karang tetapi juga mengembangkan program untuk memberikan data yang dibutuhkan bagi pengguna informasi. Sistem ini di desain dan direncanakan dengan baik agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, tetapi baru sebagian daerah yang dapat menggunakannya yaitu Batam dan Bintan, sebagian lagi tidak dapat berfungsi karena keterbatasan sarana infrastruktur komunikasi. Penggunaan sistem ini masih membutuhkan ruang untuk dimasukkan dalam website COREMAP untuk menyediakan data dan informasi tentang kesehatan karang, sosial ekonomi dan Creel, serta beberapa riset yang sudah dilaksanakan. Untuk sementara daerah mengirimkan data secara manual dalam bentuk compact disc dan dikirim ke CRITC Pusat. Akhir tahun 2009 Tapteng sudah mulai mencoba sistem ini tetapi masih memerlukan perbaikan peralatan dan pelatihan tambahan.

Dalam dokumen Laporan Perkembangan dan Pencapaian CORE (Halaman 41-46)

Dokumen terkait