LAPORAN PERKEMBANGAN & PENCAPAIAN
KOMPONEN PENGUATAN KELEMBAGAAN
DAN PENGELOLAAN PROYEK
2004 - 2010
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT
PROGRAM (COREMAP) PHASE II - ADB
TULISAN INI MERUPAKAN LAPORAN AKHIR DARI KONSULTAN
1
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ... 4
I. LATAR BELAKANG ... 9
A. Indikator Kondisi Awal ... 9
B. Permasalahan dan Peluang ...10
II. TUJUAN, KOMPONEN, SASARAN DAN LEMBAGA PELAKSANA ...12
A. Tujuan ...12
B. Komponen ...14
C. Sasaran ...14
D. Lembaga Pelaksana ...15
1. Nasional ... 15
2. Daerah ... 17
III. EVALUASI CAPAIAN HASIL PELAKSANAAN ...19
A. Relevansi Desain Program ...19
B. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang ...20
1. Kebijakan dan Strategi Nasional ... 20
2. Implementasi Kebijakan dan Strategi Daerah ... 24
C. Komponen Penguatan Kelembagaan & Manajemen Proyek ...26
1. Pengembangan Kebijakan, Strategi Nasional dan Regional ... 26
2. Kawasan Konservasi Laut Daerah ... 31
D. Jaringan CRITC Nasional dan Regional ...40
1. Tutupan Karang Hidup ... 40
2. Kondisi Sosial Ekonomi ... 43
3. Riset Agenda ... 44
E. SDM dan Penyuluhan ...45
IV. KOORDINASI PROGRAM DAN MANAJEMEN PENGELOLAAN ...49
A. Pengelolaan Sumber Daya Masyarakat ...50
B. Masalah yang Dihadapi ...52
C. Alternatif Pemecahan Masalah ...53
D. Kesesuaian Rencana Kerja Terhadap Tahapan Kegiatan ...55
E. Dampak Pengadaan Barang dan Jasa dalam Pelaksanaan Rencana Kerja ...55
V. KOORDINASI PELAKSANAAN PROYEK ...56
B. Keterlibatan Unit Lain dalam Dinas ...56
C. Koordinasi Project Implementing Unit (PIU) ...57
D. Koordinasi Dengan Lembaga-Lembaga Lain...58
E. Kinerja Pelaksana Program dan Konsultan ...59
1. Project Management Office (PMO) ... 59
2. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ... 59
3. Regional Coordinating Unit (RCU) ... 60
4. Project Implementing Unit (PIU) ... 60
5. Project Management Consultant (PMC) dan Jr. Consultant ... 60
VI. EVALUASI KINERJA ...61
A. Efisiensi dalam Pencapaian Output ...61
B. Efektivitas Pencapaian Manfaat ...64
C. Dampak Legislatif, Kelembagaan dan Gender ...66
VII. PENILAIAN KESELURUHAN DAN REKOMENDASI ...67
A. Penilaian Keseluruhan ...67
B. Pembelajaran...68
C. Rekomendasi ...69
1. COREMAP ... 69
3
DAFTAR TABEL
TABEL 1: KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROGRAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG 21
TABEL 2: HASIL CAPAIAN KELEMBAGAAN DAERAH 28
TABEL 3: PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN RENCANA
PENGELOLAANNYA 34
TABEL 4: EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN LAINNYA DALAM KKLD 36 TABEL 5: PETA JALAN PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KKLD 37
TABEL 6: PERSENTASE TUTUPAN KARANG 42
TABEL 7: PESERTA BERBAGAI PELATIHAN COREMAP 2004-2009 48 TABEL 8: INDIKATOR CAPAIAN KOMPONEN KELEMBAGAAN DAN MANAJEMEN PROYEK 64
DAFTAR GRAFIK
GRAFIK 1: EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KKLD 38
GRAFIK 2: ANALISIS PENGELOLAAN KKLD PER ASPEK PENILAIAN 39
GRAFIK 3: CAPAIAN PENGELOLAAN KKLD PER LOKASI 39
GRAFIK 4: TUTUPAN KARANG HIDUP 43
GRAFIK 5: PENDAPATAN PER KAPITA DI BATAM, NATUNA, BINTAN, MENTAWAI DAN NIAS
(2005, 2007, 2009) 44
GRAFIK 6: PENDAPATAN PER KAPITA LINGGA DAN NIAS SELATAN (2006, 2008, 2010) 44
GRAFIK 7: CAPAIAN FISIK COREMAP II, 2004-2009 62
LAMPIRAN
RINGKASAN EKSEKUTIF
Sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang
sangat potensial dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya efektif bagi
pembangunan. Selain memiliki potensi daya tarik pariwisata bernilai tinggi,
ekosistem terumbu karang memiliki arti strategis serta memiiliki potensi ekonomi
dan jasa lingkungan yang signifikan. Habitat pesisir berperan penting bagi
kehidupan sehari-hari penduduk, dari segi mata pencaharian, hasil perekonomian,
dan produksi makanan. Secara makro, kawasan pesisir adalah ekosistem produktif
yang menyediakan basis penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang
sangat potensial dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya efektif bagi
pembangunan. Meski demikian, eksploitasi sumberdaya kelautan secara
besar-besaran tanpa pertimbangan aspek kelestariannya merupakan dampak langsung
atas menurunnya kualitas lingkungan hidup ekosistem termasuk terumbu karang.
permasalahan kerusakan terumbu karang meliputi (i) kemiskinan masyarakat dan
tidak tersedianya matapencaharian alternatif; (ii) ketidaktahuan dan tingkat
pemahaman yang rendah di masyarakat dan pengguna; (iii) lemahnya penegakan
hukum (law enforcement); dan (iv) kebijakan pemerintah yang belum menunjukkan
perhatian optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan
pesisir dan lautan khususnya terumbu karang.
Pelaksanaan Coral Reef Rehabilitaion and Management Program fase kedua (COREMAP II) merupakan program nasional dalam kegiatan rehabilitasi dan
pengelolaan terumbu karang untuk memberdayakan dan mendukung kehidupan
sosial ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui perlindungan,
rehabilitasi dan pemanfaatkan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya secara
berkelanjutan, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
melibatkan peran lembaga/institusi terkait baik di tingkat pusat, provinsi maupun
kabupaten/kota.
Sebagai tujuan capaian COREMAP II, kelembagaan pengelolaan terumbu
5 kebijakan, strategi, dan pedoman. Berbagai kebijakan dan peraturan untuk
mendukung hal itu telah dkeluarkan pada tingkat nasional dan tujuh kabupaten di
lokasi COREMAP II Asian Development Bank (ADB). Tujuh kabupaten telah
mencadangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) melalui keputusan bupati,
dan rencana pengelolaannya meliputi lebih dari 130.000 ha terumbu karang dan
ekosistem terkait, dari target 60.000 ha. Sejumlah workshop pada level pengambil
keputusan di daerah melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) dan Dinas telah dilakukan hingga akhir Desember 2010 untuk
mengimplementasikan penilaian efektivitas pengelolaan KKLD. Dari hasil penilaian
ini diharapkan menjadi rujukan para pengambil keputusan di daerah untuk
mengambil langkah-langkah perbaikan rencana pengelolaan KKLD mereka.
Sebanyak enam pemerintahan kabupaten dan satu pemerintah kota telah
menetapkan dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) pengelolaan terumbu karang,
demikian pula lima kabupaten dan satu kota di lokasi proyek COREMAP telah
mengukuhkan Peraturan Daerah tentang Terumbu Karang. Dua kabupaten lainnya
diharapkan dapat mengukuhkan PERDA, dan satu kabupaten menetapkan RENSTRA
pada 2011. Diharapkan dengan kerangka kelembagaan ini, pemerintah daerah telah
memiliki panduan dalam arah kebijakan pengelolaan sumberdaya terumbu karang
dan ekosistem terkait lainnya, serta meningkat taraf hidup masyarakat khususnya di
kawasan pesisir.
Jejaring Coral Reef Information and Training Centers (CRITC) telah berfungsi melakukan survei kesehatan terumbu karang, survei sosial-ekonomi, dan survei
Creel secara berkala. Sumber daya manusia di CRITC tingkat daerah telah terlatih dan dilengkapi dengan peralatan survei terumbu karang khususnya di kawasan
Daerah Perlindungan Laut (DPL) tingkat desa. Sejumlah anggota kelompok
masyarakat (Pokmas) telah dilatih untuk mengumpulkan data hasil tangkapan
sebagai input untuk Creel, dan pelatihan untuk kegiatan mata pencaharian alternatif
serta kegiatan pengawasan (monitoring, controlling, and surveillance – MCS).
Salah satu dari indikator capaian proyek adalah penurunan tingkat
kemiskinan di kawasan pesisir lokasi proyek melalui peningkatan pendapatan per
terdapat variasi lebar pada pertumbuhan pendapatan per kapita di lokasi proyek
(dari 24,9% di Bintan Timur hingga -4,4% di Pulau Tiga, Natuna). Pendapatan per
kapita di dua lokasi (Bintan dan Nias Utara) naik lebih dari 2% per tahun, dan
tingkat perumbuhan per tahun di tiga lokasi (Mentawai, Batam dan Nias Selatan)
beranjak di bawah 2%. Pendapatan per kapita di Tapanuli Tengah, Natuna dan
Lingga turun dari 0,9 – 4,4% per tahun.
Salah satu argumen penurunan per kapita di Natuna adalah penurunan
pendapatan karena menurunnya kegiatan penangkapan yang merusak. Untuk kasus
Lingga dan Tapteng (Sitardas dan Jago-jago), pendapatan dari mata pencaharian
alternatif tidak dapat menutupi dari menurunnya pendapatan yang berasal dari
perikanan tangkap karena menurunnya hasil tangkapan ikan. Sebuah kajian evaluasi
kegiatan mata pencaharian alternatif (MPA) dilakukan oleh Kantor Pengelola Proyek
(Project Management Office – PMO) pada kuartal keempat 2010, untuk menentukan
statusnya dan kontribusinya terhadap pendapatan keluarga pada akhir proyek.
Hingga 31 Oktober 2010, secara keseluruhan penyelesaian proyek mencapai
86,1% dari efektivitas pinjaman per 7 November 2003. Perhitungan sisa waktu
berdasarkan panduan ADB sejak mulai persetujuan pinjaman mencapai 86,9% dari
tanggal penyelesaian hasil revisi, telah terlampaui. Per 15 November 2010,
COREMAP II secara kumulatif telah menyerap SDR (special drawing right) 21,790
juta (USD) atau 87,1% dari total pinjaman SDR 25.004 juta.
Pencapaian Komponen Penguatan Kelembagaan dan Pengelolaan Proyek per
31 Oktober 2010 untuk kemajuan fisik sebesar 37,3% dari target komponen sebesar
40%, sedangkan kemajuan pelaksanaan komponen Pengelolaan dan Pengembangan
Sumberdaya Berbasis Masyarakat (community based management – CBM) sebesar
47,8% dari target komponen sebesar 60%.
Pelaksanaan program COREMAP II telah berjalan dengan baik meskipun
memerlukan peningkatan dan dukungan dari berbagai pihak terkait (stakeholders)
secara penuh sehingga program ini berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Keterlibatan dan peran serta para koordinator dalam melaksanakan program
sehari-hari sangat diperlukan sehingga beban kegiatan program tidak hanya pada
7 Adanya kepastian payung hukum dan arah kebijakan pemerintah daerah
yang terlembaga, serta sosialisasi yang dilakukan secara berkala telah
meningkatkan pemahaman aparat pemerintah dan masyarakat dalam mengelola
terumbu karang dan ekosistemnya. Dengan demikian kualitas sumberdaya kelautan
meningkat yang pada gilirannya akan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Menurunnya kegiatan-kegiatan yang merusak seperti penggunaan bom, racun
penangkapan ikan dan penambangan karang, merupakan dampak langsung dari
keberhasilan COREMAP II.
Terbentuknya kelembagaan di tingkat desa telah memudahkan Pemerintah
Daerah dalam mengelola sumberdaya kelautannya, karena setiap desa telah
memiliki daerah konservasi masing-masing yang diperkuat dengan penetapan
Peraturan Desa (PERDES). Kelembagaan desa ini perlu diperkuat menjadi lembaga
yang mandiri, pembinaan secara berkelanjutan dapat dilakukan Dinas Kelautan dan
Perikanan setempat agar pengelolaan sumberdaya terumbu karang dapat terus
berkelanjutan.
Masyarakat di desa lokasi telah tampak merasakan kegunaaan dampak dari
program ini terutama dengan adanya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan sumber daya alam mereka
sendiri. Meskipun kegiatan mata pencaharian alternatif (MPA) belum semuanya
berjalan dengan baik, namun menurut pengakuan pihak penerima kegiatan ini, hasil
yang diperoleh dari kegiatan ini telah turut membantu menambah pendapatan
keluarga. Rata-rata per orang anggota Pokmas mendapatkan dana dengan kisaran
Rp 500.000 – Rp 5.000.000 per musim budidaya (rata-rata tiga bulan). Diharapkan
dengan adanya kegiatan MPA, selain dapat membantu perekonomian keluarga
masyarakat pesisir, juga mengurangi tekanan terhadap sumberdaya terumbu
karang dari kegiatan destruktif.
Dampak keberhasilan COREMAP II dapat diukur setelah terselesaikannya
program ini. Capaian program yang telah dihasilkan hingga saat ini, merupakan
cerminan dari perkiraan keberhasilan dampak COREMAP II yang dapat
diperkirakan setelah 3-4 tahun program ini berakhir. Meskipun demikian,
COREMAP II secara umum telah berhasil dalam mengarahkan dan
termasuk pemerintah pusat dan daerah, bahwa sektor kelautan menjadi sektor
yang sangat penting untuk diperhatikan – meski belum dapat disebut leading sector
– yang dari semula banyak pihak masih berpikir tentang pemanfaaatan aspek daratan. COREMAP II juga telah berhasil menurunkan aspek ancaman terhadap
sumberdaya kelautan khususnya terhadap terumbu karang dan ekosistem
terkaitnya. Di sisi lain, kesadaran masyarakat luas dan para pihak terkait terhadap
pentingnya sumberdaya kelautan, termasuk terumbu karang, telah meningkat pesat
seiring dengan berlangsungnya program ini.
Pelaksanaan program COREMAP II akan berakhir 2011, diharapkan menjadi
model dan acuan bagi PEMDA – baik di lokasi COREMAP II maupun di luar lokasi
sebagai replikasi – dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembuat keputusan
tentang pengelolaan terumbu karang dan ekosistemnya serta pemberdayaan
masyarakat pesisir, terutama bagi desa yang belum tersentuh dalam program
COREMAP II. Selain itu kebijakan dan kelembagaan yang telah terbentuk dan
terlaksana juga dapat menjadi acuan bagi daerah lain dalam menyusun kebijakan
dan kelembagaan dalam pengelolaan terumbu karang di daerahnya. Partisipasi
PEMDA, lembaga/instansi dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders)
9
I.
LATAR BELAKANG
A. Indikator Kondisi Awal
Indonesia merupakan salah satu negara bahari besar di dunia, dengan
karakteristik geografisnya yang melintang di garis khatulistiwa dengan diapit dua
samudera, yakni lautan Hindia dan Pasifik. Adanya struktur dan tipologi
ekosistemnya yang didominasi oleh lautan yang terdapat lebih dari 17.000 pulau,
sehingga jika ditarik garis lurus, garis pantai Indonesia merupakan terpanjang
kedua di dunia setelah Kanada sepanjang 81.000 km. Lokasinya yang tepat di garis
khatulistiwa dengan musim tropis yang kaya cahaya matahari dan curah hujan yang
cukup telah menjadikan Indonesia sebagai pusat mega-biodiversity terbesar di dunia di daratan dan pulau-pulau. Sinar matahari yang cukup sepanjang tahun dan
pertemuan dua arus samudera, menjadikan sumber nutrisi bagi kehidupan berbagai
jenis species di laut, meningkatkan keanekaragaman sumberdaya kelautan, termasuk terumbu karang.
Sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang
sangat potensial dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya efektif bagi
pembangunan. Selain memiliki potensi daya tarik pariwisata bernilai tinggi,
ekosistem terumbu karang memiliki arti strategis serta memiiliki potensi ekonomi
dan jasa lingkungan yang signifikan. Habitat pesisir berperan penting bagi
kehidupan sehari-hari penduduk, dari segi mata pencaharian, hasil perekonomian,
dan produksi makanan. Secara makro, kawasan pesisir adalah ekosistem produktif
yang menyediakan basis penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Lebih dari 55% perikanan nasional diperoleh dari hasil penangkapan di
kawasan pesisir. Beberapa kawasan yang kaya dengan keanekaragaman hayati
(biodiversity) ditemukan di kawasan pesisir Indonesia termasuk terumbu karang,
hutan bakau, padang lamun, laguna, dan muara. Kawasan pesisir Indonesia adalah
tempat 2.500 jenis moluska, 2,000 jenis crustacea, enam jenis penyu laut, 30 jenis mamalia laut, dan lebih dari 2.000 jenis ikan. Dengan 70 genera dan 450 jenis karang menutupi 42.000 km2 atau 16.5% tutupan karang dunia total seluas 255.300
Terumbu karang Indonesia merupakan bentuk ekosistem penting yang
berada di kawasan pesisir dengan penduduk setempat menggantungkan mata
pencaharian sebagai sumber makanan, pendapatan, serta sebagai proteksi
perlindungan persisir dan bahkan bahan konstruksi bangunan di sebagian tempat.
Terumbu karang juga merupakan signifikan bagi sains, pendidikan, farmasi dan
warisan konservasi dunia. Asian Development Bank (ADB) memperkirakan karang
yang sehat menghasilkan senilai US$15,000 per km2/tahun, dan merupakan sumber makanan utama bagi masyarakat setempat serta peluang ekonomi bagi sekitar
67.500 kampung/desa pesisir.
Kegiatan ekonomi pesisir dan laut diperkirakan sebesar 25–30% dari PDB
Indonesia yang menyediakan kesempatan kerja sekitar lebih dari 20 juta orang.
Terumbu karang juga berperan penting bagi pariwisata bahari yang menyediakan
pasir pantai yang indah. Nilai pariwisata dari terumbu karang diperkirakan ADB
(2003) mencapai US$3,000 per km2/tahun di kawasan potensi rendah, hingga US$500,000 per km2 per tahun di kawasan potensi tinggi. Terumbu karang di sekitar pulau juga berperan penting dalam antisipasi energi gelombang,
perlindungan lahan pesisir dari badai dan erosi gelombang. Nilai benefit dari
perlindungan pesisir dari terumbu karang diperkirakan ADB US$15,000–120,000
per km2 tergantung nilai dari infrastruktur.
B. Permasalahan dan Peluang
Menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang
dilakukan pada 2000, kondisi terumbu karang Indonesia 41,78% dalam keadaan
rusak, 28,30% kondisi sedang, 23,72% kondisi baik, dan hanya 6,20% dalam kondisi
sangat baik. Ancaman eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa
pertimbangan aspek kelestariannya telah berdampak langsung atas menurunnya
kualitas lingkungan kehidupan ekosistem terumbu karang dan pendukungnya.
Degradasi terumbu karang dapat ditimbulkan oleh dua penyebab utama,
yaitu akibat kegiatan manusia dan akibat alam. Kegiatan manusia yang
menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain: (i) penangkapan
ikan dengan menggunakan bahan dan/atau alat yang dapat membahayakan sumber
daya ikan dan lingkungannya; (ii) penambangan dan pengambilan karang; (iii)
11 pembangunan di wilayah pesisir; (vi) kegiatan pembangunan di wilayah hulu.
Sedangkan degradasi terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain: (i)
pemanasan global; (ii) bencana alam seperti angin taufan; (iii) gempa tektonik; (iv)
banjir; (v) tsunami, serta fenomena alam lainnya.
Degradasi sumberdaya tersebut kian diperburuk oleh kemiskinan ekstrim
dari para nelayan yang bermata pencaharian perikanan sebagai sumber utamanya.
Kondisi ini memerlukan perbaikan bagi pendapatan para nelayan tersebut dan
menyediakan mata kegiatan pencaharian untuk menghindari praktek perikanan
yang merusak. Kegiatan mata pencaharian di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
telah dikembangkan/diperkenalkan khususnya nelayan skala kecil. Hak masyarakat
terhadap sumberdaya setempat telah diperkuat untuk menjamin arus investasi yang
menguntungkan bagi masyarakat lokal.
Sumberdaya pesisir dan laut Indonesia pada awal diperkenalkannya Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) mengalami keterbatasan dalam hal kebijakan, perundangan dan kelembagaan yang berdampak pada
kurangnya pengelolaan sumberdaya di kawasan pesisir. Kebijakan nasional
terumbu karang di bawah COREMAP tahap I telah operasional di level provinsi.
Undang undang Tata Ruang saat itu No 24/1992, yang menyediakan kerangka dan
dasar hukum bagi perencanaan sumberdaya alam dan alokasinya, membutuhkan
amandemen agar konsisten dengan ketentuan perundangan mengenai
desentralisasiyang saat itu mengacu pada UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Pemerintahan Daerah, sebelum direvisi pada 2004. Berbagai keterbatasan ini,
kurangnya kapasitas kelembagaan, dan banyaknya pemerintah daerah yang belum
siap menghadapi desentralisasi, turut memperburuk degradasi sumberdaya pesisir
dan kelautan.
Dengan demikian akar permasalahan kerusakan terumbu karang meliputi (i)
kemiskinan masyarakat dan tidak tersedianya matapencaharian alternatif; (ii)
ketidaktahuan dan tingkat pemahaman yang rendah di masyarakat dan pengguna;
(iii) lemahnya penegakan hukum (law enforcement); dan (iv) kebijakan pemerintah
yang belum menunjukkan perhatian optimal dalam mengelola sistem alami dan
Dengan sejumlah kondisi objektif tersebut, pada 1998 Pemerintah Indonesia
meluncurkan program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef
Rehabilitation and Management Program -- COREMAP) yang terdiri dari tiga fase. Fase pertama adalah “inisiasi” periode 1998-2003, fase kedua adalah “akselerasi”
2004-2009 dengan masa perpanjangan 2010-2011, dan fase ketiga memasuki tahap
“institusionalisasi” direncanakan 2012-2016.
Saat ini pemerintah sedang melaksanakan fase kedua program tersebut yang
lebih dikenal dengan COREMAP II didanai oleh Pemerintah Indonesia dan beberapa
lembaga keuangan internasional. Pada 10 Februari 2003, Pemerintah Indonesia dan
Bank Pembangunan Asia (ADB) menandatangani pinjaman (loan) No. 1962 (SF) –
INO untuk membiayai kegiatan COREMAP II di Indonesia bagian Barat sebesar
Special Drawing Rights (SDR) 25,004 juta (setara dengan US$33.0 juta pada 10 Februari 2003 atau US$38,24 juta pada 15 Nov. 2010) yang bersumber dari Asian
Development Fund (ADF). Pinjaman ini efektif pada 7 November 2003 untuk pelaksanaan program s/d 31 Desember 2009 (meski setelah revisi capaian program
selama 2009 dilakukan masa perpanjangan hingga 31 Desember 2011).
Pelaksana program COREMAP II berada pada Kementerian Kelautan dan
Perikanan c.q. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai Executing Agency dengan melibatkan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Departemen Dalam Negeri,
POLAIRUD dan TNI AL. Pelaksanaan program ini selain ditunjang oleh dana APBN,
salah satu sumber pendanaannya adalah Loan dari Asian Development Bank (ADB) yang bersifat on granting dari pusat ke daerah. Pemerintah Daerah tempat lokasi COREMAP menyumbang APBD sebagai dana pendamping (counterpart financing).
II.
TUJUAN, KOMPONEN, SASARAN DAN LEMBAGA PELAKSANA
A. Tujuan
Program COREMAP II merupakan program nasional dalam kegiatan
rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang untuk memberdayakan dan
mendukung kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
13 ekosistem terkait lainnya secara berkelanjutan diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan melibatkan peran lembaga/institusi terkait baik
di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, bahkan perdesaan.
COREMAP II – ADB mempunyai tujuan umum yaitu, (i) kesehatan ekosistem
terumbu karang rata-rata 2% per tahun di lokasi proyek, dan (ii) kesejahteraan
ekonomi masyarakat naik rata-rata 2% per tahun di lokasi proyek. Secara spesifik,
COREMAP II akan berkontribusi terhadap tujuan pengelolaan terumbu karang
nasional melalui : (i) peningkatan kapasitas lembaga nasional dan daerah untuk
mengelola sumberdaya TK, (ii) merehabilitasi dan mengelola secara efektif
sumberdaya TK sehingga pendapatan dan standar hidup masyarakat ditingkatkan.
Program ini dilaksanakan di tiga provinsi dan delapan kabupaten yaitu Provinsi
Sumatera Utara (Kabupaten Tapanuli Tengah, Nias dan Nias Selatan), Provinsi
Sumatera Barat (Kabupaten Mentawai), dan Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam,
Kabupaten Bintan, Natuna dan Lingga). Kabupaten prioritas ini meliputi lebih dari
seluas 300.000 hektar (ha) of terumbu karang pantai, merupakan 98% dari total
terumbu karang di tiga provinsi. Hal ini juga merupakan tak kurang dari 450 desa
pesisir, dengan sekitar 87% penduduk tinggal dekat dengan sumberdaya terumbu
karang dan kehidupannya bergantung dari perikanan karang.
Penulisan laporan ini khusus membahas perkembangan pelaksanaan salah
satu komponen COREMAP yaitu Kebijakan, Penguatan Kelembagaan dan
Pengembangan Marine Management Area (MMA). Tulisan ini dimaksudkan untuk: (i) memperoleh informasi tentang laporan kemajuan komponen Kebijakan,
Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Marine Management Area (MMA),
termasuk pengelolaan proyek periode 2004-2010, setahun sebelum masa
perpanjangan program COREMAP II berakhir; (ii) memberikan rekomendasi tentang
pengelolaan terumbu karang berkelanjutan; (iii) sebagai laporan pertanggung
jawaban Jr. Konsultan Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan MMA. Penulis
bergabung dengan COREMAP II pada Maret 2008 hingga Februari 2011, dan untuk
memudahkan gambaran capaian Komponen Kelembagaan dan Pengelolaan Proyek
B. Komponen
Program COREMAP II mempunyai dua komponen dan delapan
sub-komponen yaitu: Komponen Penguatan Kelembagaan dan Pengelolaan Proyek
yang meliputi empat sub-komponen yaitu : (i) penguatan lembaga nasional dan
daerah; (ii) penguatan Jaringan Informasi dan Pelatihan Terumbu Karang (Coral
Reef Information and Training Centers -- CRITC) yang akan bekerja sama dalam jaringan, tukar menukar informasi, dan koordinasi antara lokasi program dan
diantara nasional dan regional; (iii) pengembangan sumberdaya manusia dan
penyuluhan; dan (iv) pengelolaan proyek. Sedangkan komponen kedua yaitu
Komponen Pengelolaan dan Pengembangan Sumberdaya Terumbu Karang Berbasis
Masyarakat (Community Based Management -- CBM) meliputi empat sub-komponen
yaitu (i) pemberdayaan masyarakat, (ii) pengelolaan sumberdaya berbasis
masyarakat, (iii) pengembangan infrastruktur dan fasilitas sosial serta; (iv)
pengembangan mata pencaharian alternatif.
C. Sasaran
Sasaran yang diharapkan dari program COREMAP II adalah: kekayaan
terumbu karang dan ekosistem terkait dapat dilestarikan; masyarakat pesisir
mencapai keseimbangan antara lingkungan hidup dan kesejahteraan mereka;
masyarakat pesisir telah berdaya untuk melindungi lingkungan mereka sendiri;
masyarakat pesisir tidak lagi terasing dari pembangunan; kesadaran dan perilaku
masyarakat semakin baik terhadap terumbu karang; masyarakat nasional maupun
internasional dapat menghargai apa yang telah dilakukan masyarakat Indonesia
untuk melindungi terumbu karang; terciptanya pendekatan kerjasama dan
partisipasi antara masyarakat, LSM, dan Pemerintah, untuk mencapai tujuan
bersama; perilaku destruktif (pemboman, pembiusan, pukat, bubu) telah menjadi
masa lalu; nelayan telah dapat memanen ikan tak jauh dari pantai, sehingga tidak
perlu berlayar jauh; masyarakat dapat menikmati pantai dan laut yang indah dan
15 D. Lembaga Pelaksana
1. Nasional
Program COREMAP melibatkan para pihak terkait tidak hanya Kementerian
Kelautan dan Perikanan, namun juga melibatkan kementerian lainnya. Untuk itu
diperlukan kerjasama antar-departemen/kementerian dan lintas sektor. Untuk
tujuan koordinasi ini, pada tingkat nasional dibentuk National Steering Committee (NSC) yang dipimpin oleh Bappenas dan National Technical Committee (NTC) oleh LIPI. NSC dibantu NTC meliputi staf teknis bagi anggota NSC. Anggota NSC terdiri
atas perwakilan dari Kementerian Keuangan, LIPI, Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi / UKM,
Kementerian Kesehatan dan TNI-AL, selain dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan sendiri. NSC bertugas melakukan panduan kebijakan yang dibutuhkan
untuk menindaklanjuti hasil kerja bidang kebijakan dan hukum, mencari jalan
keluar atas masalah inter-departemen/kementerian dan merumuskan solusi atas
hambatan pelaksanaan proyek.
Di tingkat nasional lembaga pelaksana (executing agency) pada COREMAP
Tahap I adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dengan didirikannya
departemen baru yakni Departemen Eksplorasi Laut pada 1999 yang kemudian
diubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan kini menjadi
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), maka lembaga pelaksana untuk
COREMAP Tahap II dialihkan ke kementerian yang baru ini, khususnya di Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K). KP3K membentuk Project Management Office (PMO) untuk menjalankan proyek sehari-hari. PMO dipimpin oleh seorang Direktur, yang juga ex-officio pada Direktur Kawasan Konservasi Laut dan Ikan (KKJI) yang sebelumnya bernama Direktur Kawasan Taman Nasional Laut
(KTNL). Staf PMO terdiri dari eksekutif sekretaris, asisten direktur (Asdir), para
koordinator, manajer proyek (Kuasa Pengguna Anggaran – KPA), manajer keuangan
(Pejabat Pembuat Komitmen – PPK), bendahara beserta asistennya.
PMO bertanggung jawab atas: (i) perencanaan dan jadwal kegiatan proyek;
(ii) administrasi dan kegiatan kontraktual di tingkat pusat; (iii) pembukuan dan
supervisi dan monitoring program kerja proyek keseluruhan dan persiapan laporan
monitoring kondolidasi keuangan; (v) sebagai sekretariat NSC dan NTC; dan (vi)
koordinasi kegiatan lapangan; serta (vii) pengumpulan, konsolidasi dan
penyimpanan seluruh laporan kemajuan proyek, laporan dari lakasi proyek, laporan
teknis keuangan dan mengajukannya ke ADB; (viii) penyiapan laporan triwulan;
laporan evaluasi tengah tahun dan laporan akhir keseluruhan proyek; (ix) sebagai
penghubung dengan ADB.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merupakan bagian dari
program ini sebagai National Project Implementing Unit (NPIU), dengan kegiatan terfokus pada penyediaan informasi ilmiah, pemantauan sumberdaya terumbu
karang di lokasi proyek, dan melakukan berbagai pelatihan (Coral Reef Information
and Training Centers -- CRITC) serta pendidikan terkait dengan sumberdaya terumbu karang dan potensi kelautan. Penanggungjawab NPIU LIPI adalah Kepala
Pusat Penelitian Oceanologi (P2O) LIPI yang membawahi Kepala Unit Pelaksana.
Kepala Unit Pelaksana berkoordinasi dengan Direktur PMO. Kepala Unit ini dibantu
dua asisten, yaitu Program Koordinator ADB dan Program Koordinator Word Bank.
Program Koordinator membawahi Para Koordinator, yaitu Koordinator Riset
Agenda, Koordinator Monitoring dan Evaluasi, Koordinator GIS, Koordinator
Pengarsipan dan Perpustakaan, Koordinator Database, Koordinator Pelaporan, dan
Koordinator Hubungan Masyarakat.
Lembaga CRITC daerah dibentuk di setiap daerah (kabupaten) lokasi proyek
yang berperan untuk memantau kondisi terumbu karang secara reguler serta
memantau ketersediaan populasi ikan di lokasi terumbu karang melalui kegiatan
yang dinamakan dengan Creel. Creel bukan merupakan singkatan namun penamaan dari kegiatan pemantauan sumberdaya ikan karang yang diambil dari nama asal
tempat penyimpan/keranjang dari hasil pengumpulan ikan. Survey Creel dilakukan per triwulan dan per enam bulan dengan melakukan Benefit Monitoring and Evaluation (BME) untuk pemantauan kesehatan ekologi terumbu karang, rata-rata produktivitas hasil tangkapan ikan (catch per unit effort – CPUE) dari species target
dan survei sosial-ekonomi. Dalam implementasi program, lembaga pelaksana
(executing agency) bekerjasama erat dengan lembaga-lembaga pemerintah terkait,
17 dikembangkan. Struktur organisasi COREMAP II seperti tertera pada organigram di
bawah ini:
2. Daerah
Peran provinsi sebagai Unit Koordinasi Daerah (Regional Coordinating Unit --
RCU) diketuai oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi yang bertugas
mengkoordinasikan berbagai komponen kegiatan COREMAP II yang berada di
kabupaten/kota di wilayahnya. Secara teknis, Dinas Kelautan dan Perikanan
Propinsi memiliki hubungan vertikal dengan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten/Kota dan bertanggung jawab dalam pembinaan teknis
kegiatan-kegiatan COREMAP II terutama dalam pemberdayaan dan penyadaran masyarakat
pesisir di wilayahnya. Sedangkan Unit Pelaksana Proyek (Project Implementing Unit
-- PIU) berada di Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten/kota.
Di tingkat provinsi dibentuk Regional Advisory Committee (RAC) oleh Bappeda dan di tingkat kabupaten dilakukan oleh District Steering Committee atau Komite Pengarah Daerah (KPD) dipimpin oleh Bappeda kabupaten. Pertemuan rutin
RAC dan KPD dilaksanakan paling kurang dua kali dalam setahun, dan di tingkat
Peran pendampingan untuk pengelolaan proyek disediakan di setiap
level. Di tingkat pusat terdapat konsultan individual untuk membantu peran Project Management Office (PMO). Pada level provinsi (RCU) dan dan kabupaten (PIU) terdapat konsultan Community Development (CD) pada awal program, yang kemudian disesuaikan peran dan fungsinya yang belakangan menjadi sebagai
konsultan Regional Adviser (RA) bagi setiap kabupaten, yang juga merangkap bagi tingkat provinsi bila di wilayah kabupaten tersebut terdapat pemerintahan provinsi.
Pendampingan dari penyuluh (extension worker) ke masyarakat berperan
membantu kelompok masyarakat (Pokmas) dalam melakukan kegiatan pelaksanaan
program. Rekrutmen dan penyediaan penyuluh melibatkan organisasi lembaga
swadaya masyarakat (LSM) nasional pada tahap awal, untuk kemudian secara
berangsung diserahkan kepada LSM setempat melalui kegiatan kontraktual antara
LSM dengan PIU. Pokmas pada tahap awal didampingi oleh senior facilitator (SF), field facilitator (FF) dan village motivator (VM) atau motivator desa. Dalam merencanakan kegiatan usahanya, Pokmas juga mendapat pendampingan dari field microenterprise specialist (FMS) yang berperan mengidentifikasi rencana kegiatan usaha bagi Pokmas yang sesuai dengan kondisi geografis dan kestersediaan bahan
baku, berikut potensi pasarnya.
Di tingkat Kecamatan tidak ada struktur kelembagaan yang formal. Camat
berfungsi sebagai koordinator, apabila lokasi proyek melibatkan beberapa desa
dalam pengelolaan terumbu karang di wilayah kecamatan. Salah satu bentuk
keterlibatan tersebut adalah peran serta Camat dalam pembinaan kelompok
masyarakat yang merupakan perwakilan dari setiap elemen masyarakat di desa.
Di tingkat masyarakat, dibentuk kelompok masyarakat (Pokmas) dengan
masing-masing anggota 6-10 orang setiap Pokmas. Pokmas dikelompokkan sebagai
Pokmas yang khusus bidang konservasi, bidang kegiatan usaha, dan bidang
pengawasan. Di setiap desa lokasi program, terbentuk 3-6 Pokmas disesuaikan
kebutuhan. Keanggotaan Pokmas tidak hanya melibatkan jenis kelamin pria, namun
juga terbuka bagi perempuan. Bahkan di beberapa Pokmas seperti di Natuna,
19
III.
EVALUASI CAPAIAN HASIL PELAKSANAAN
A. Relevansi Desain Program
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005–2025
menyatakan bahwa arah pembangunan ke depan perlu memerhatikan
pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Melihat cakupan
dan prospek sumber daya kelautan yang sangat luas, arah pemanfaatannya harus
dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif sehingga
dapat meminimalkan konflik dan kelestariannya tetap terjaga.
Selain itu, mengingat permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut,
pesisir, dan pulau-pulau kecil cukup kompleks, pendekatan keterpaduan dalam
kebijakan dan perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin
keberlanjutan proses ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sejalan dengan hal tersebut,
pada Senior Officials Meeting (SOM 1) tentang Coral Triangle Initiative (CTI) di Bali
pada Desember 2007, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono meminta
dukungan teknis dan keuangan dari ADB untuk persiapan rencana aksi CTI dan ADB
menjadi lembaga utama agar CTI dapat mengakses sumber dana dari Global Environment Facility (GEF). Sehubungan dengan adanya usulan agar Indonesia bagian barat juga masuk dalam CTI, COREMAP sebagai program yang menangani
areal terumbu karang terbesar di wilayah Indonesia Barat dapat membantu
kegiatan CTI di kawasan tersebut. Tujuan CTI relatif sama dengan COREMAP yaitu
pengelolaan terumbu karang dan spesies terkait, serta peningkatan taraf hidup
masyarakat khususnya di kawasan pesisir melalui pengelolaan kawasan konservasi
laut (marine protected areas – MPA).
Salah satu indikator kinerja komponen Penguatan Kelembagaan dan
Pengelolaan Proyek antara lain: (i) adanya kebijakan nasional dan strategi
pengelolaan terumbu karang diimplementasikan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) berdasarkan draft Strategi Kebijakan Nasional dari hasil COREMAP
tahap I; (ii) tersusunnya rencana strategis pengelolaan terumbu karang di enam
kabupaten dan diimplementasikan oleh pemeritah kabupaten; (iii) dikeluarkannya
dikeluarkannya kebijakan dan strategi di tingkat provinsi; (v) penyiapan program
pengelolaan terumbu karang (coral reef management program -- CRMP) di enam
kabupaten; (vi) terbentuknya kawasan konservasi laut daerah (marine management
areas – MMAs) dan diimplementasikan di tiga dari enam target kabupaten; (vii) terbentuknya sistem pengawasan dan pengendalian (monitoring, control, and
surveillance – MCS) oleh masyarakat setempat dan diimplementasikan di enam lokasi kabupaten.
B. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang
Konsisten dengan RPJP dan sebagai bagian dari tujuan proyek untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah terhadap penyusunan kebijakan, strategi dan
pedoman pengelolaan terumbu karang yang berkesenambungan, COREMAP II telah
membantu daerah dalam mengembangkan kebijakan, strategi dan peraturan dalam
pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang berkelanjutan khususnya dengan
adanya desentralisasi pengelolaan terumbu karang di daerah.
1. Kebijakan dan Strategi Nasional
Sebagai awal capaian penguatan kelembagaan dari program COREMAP II
adalah dikeluarkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Hal ini
sebagai acuan bagi pemerintah baik di tingkat pusat, provinsi maupun
kabupaten/kota, serta masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu
karang. Uraian mengenai kebijakan, strategi dan program pengelolaan terumbu
21 Tabel 1: Kebijakan, Strategi dan Program Pengelolaan Terumbu Karang
Kebijakan Strategi Program
Mengupayakan
keberhasilan antara lain: (1) efisiensi ekonomi; (2) pemerataan hasil
masyarakat luas dalam kegiatan yang terkait dengan upaya
wilayah pesisir dan laut peran aktif lembaga penelitian dan perguruan tinggi daerah
percontohan untuk tiap jenis katagori pengelolaan
Perlindungan dan pelestarian gugusan terumbu karang yang memiliki nilai tinggi dari sudut pandang regional, nasional maupun
23
peningkatanperan serta
lembaga non pemerintah dalam
program pemberdayaan masyarakat keuangan yang tidak mengikat dari pemerintah, pemerintah daerah dan swasta kepada kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi di ekosistem terumbu karang dan sekitarnya
peningkatan pelayanan pemerintah, pemerintah daerah dan swasta pada penyediaan akses masyarakat akan ilmu pengetahuan pengelolaan spesifik yang sesuai dengan kondisi lokal
penyusunan kriteria dan sistem penilaian yang sesuai untuk mengkaji kondisi terumbu karang
pendanaan untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat serta mencari dukungan lembaga dalam dan luar negeri dalam penyediaan dana untuk mengelola ekosistem terumbu karang
dalam APBN dan APBD
pengupayakan sumber dana dari luar negeri yang sifatnya tidak mengikat
penghimpunan dan pemanfaatan dana masyarakat utuk
pengelolaan ekosistem terumbu karang
2. Implementasi Kebijakan dan Strategi Daerah
Munculnya konsep kebijakan, strategi, dan program tersebut telah
mendorong penguatan pelaksanaan program COREMAP II bergerak serempak baik
di tingkat nasional maupun daerah. Di tingkat daerah, pelaksanaan COREMAP II
telah mendorong pemerintah daerah untuk memasukan program pengelolaan
sumberdaya kelautan khususnya terumbu karang khususnya ke dalam rencana
pembangunannya antara lain ke dalam Rencana Strategis Pengelolaan Sumberdaya
Terumbu Karang sebagai pedoman arah kebijakan pembangunan daerah.
Hal ini tampak dengan tersusunnya dokumen Rencana Strategis (RENSTRA)
Pengelolaan terumbu karang di beberapa kabupaten sasaran. Beberapa bagian
dalam RENSTRA tersebut telah termuat dalam strategi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) seperti di Kabupaten Nias, Tapteng, Natuna serta
Kota Batam. Provinsi Kepri, Kabupaten Bintan, dan Mentawai diharapkan akan
mengintegrasikan RENSTRA Pengelolaan Terumbu Karang pada 2011 ini.
Di tingkat masyarakat, sejak diluncurkannya program COREMAP II, terjadi
perubahan perilaku masyarakat seperti tidak menggunakan batu karang sebagai
bahan bangunan, menurunnya penangkapan ikan dengan racun/potassium secara
signifikan. Sebagai contoh di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,
dengan keluarnya Peraturan Bupati Mentawai Nomor
523/209.1/BUP-KM/VII-2007 tentang Pelarangan Peredaran Sianida/Potasium Tanpa Izin di Kab.
Kepulauan Mentawai serta terbitnya Surat Edaran dari Pemda tentang pelarangan
penggunaan batu karang dalam kegiatan proyek fisik dana APBD Kabupaten
Kepulauan Mentawai. Demikian pula hal serupa terjadi di Kabupaten Tapanuli
25 Bersamaan dengan itu, sistem pengawasan terpadu berbasis masyarakat
yang dibentuk COREMAP sejak periode fase pertama, kian meningkat hingga pada
level pemerintahan desa dan level berikutnya. Operasi gabungan yang dilaksanakan
selalu melibatkan TNI-AL, POLAIR dan pihak terkait lainnya. Sejumlah kapal yang
tercatat tertangkap melakukan penangkapan yang merusak diproses secara hukum.
Pengawasan serupa juga dilakukan melalui masyarakat yang relatif efektif di
berbagai lokasi terutama yang berbatasan dengan negara lain semisal di Natuna,
Batam, Bintan dan Tapanuli Tengah.
Sejalan dengan rencana pengelolaan terumbu karang, upaya ke arah
pemanfaatan aspek pariwisata juga terus direalisasikan. Pemda Tapanuli Tengah
juga sedang menyiapkan peraturan dan kebijakan dalam pengembangan pariwisata
dan lalu lintas perhubungan laut. Demikian pula dengan Pemda Mentawai, rencana
pengembangan wisata bahari di Desa Katurai telah disesuaikan dengan peruntukan
kawasan dan pengembangan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Hal yang
sama dilakukan di Batam, Bintan dan Natuna telah dijadikan pola percontohan
(pilot project) yakni pengelolaan KKLD bersamaan dengan mengembangkan sebagai
lokasi pariwisata bahari.
Di sejumlah lokasi KKLD, kini telah masuk dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) pesisir dan laut semisal di Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang
meliputi Desa Saibi Samukop, Saliguma dan Katurai. Demikian pula KKLD di
Tapanuli Tengah diintegrasikan dengan rencana kawasan minapolitan yang lebih
besar dan terintegrasi di kawasan pesisirnya. Pemerintah Daerah dan masyarakat
sudah merasakan dampak dari program ini, dan berharap adanya peningkatan
keterampilan kelompok masyarakat dan penguatan organisasi mereka.
Sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan, sejumlah kabupaten di
wilayah COREMAP II membuat suatu model desa pesisir dengan berbagai fasilitas
sanitasi dan fasilitas prasarana lainnya seperti penyediaan air bersih yang memadai
guna mendukung kesiapan masyarakat pesisir ke depan sebagai bagian dari desain
pelaksanaan KKLD, termasuk tersedianya prasarana informasi bagi
pengunjung/wisatawan, ketersediaan penginapan memadai, serta membuat pos
pengawasan yang efektif. Hal seperti itu sedang dikembangkan di Tapanuli Tengah
mengembangkan Pulau Mapur, di Batam dengan mengembangkan Pulau Abang, dan
lokasi di kabupaten lainnya seperti di Natuna khususnya di pesisir timur.
Diperlukan suatu pola keberlanjutan antara program COREMAP dengan
Pemerintah Daerah. Terdapat kasus di mana pihak pemangku kepentingan
(stakeholders) masih belum memahami dan mengetahui konsep KKLKD, seperti
pernah terjadi di Batam dan Bintan yakni kapal kargo membuang sauh di dalam
kawasan KKLD. Alasan berlabuhnya kapal di KKLD itu telah seizing dari Dinas
Perhubungan setempat, sementara Dinas Perhubungan merasa tidak tahu adanya
KKLD. Hal ini menjadi pelajaran pihak daerah maupun pusat bahwa peraturan dan
kebijakan perlu dibuat dengan dengan melibatkan stakeholders seluas mungkin dan
perlunya mempercepat proses pemasukan kawasan KKLD ke dalam peta laut yang
diterbitkan oleh Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) sehingga semua pihak
pengguna kelautan mengetahui adanya lokasi KKLD dan konflik kepentingan antar
lembaga/institusi dapat dihindari. Di sebagian lokasi lain – meski berskala kecil –
masih terjadi penggunaan alat penangkapan destruktif seperti pemboman, meski
dilakukan oleh nelayan dari desa tetangga bukan lokasi COREMAP II, seperti
dilaporkan terjadi di Tapanuli Tengah, Nias Selatan, Bintan, dan Natuna
C. Komponen Penguatan Kelembagaan dan Pengelolaan Proyek
1. Pengembangan Kebijakan, Strategi Nasional dan Regional
Sejalan dengan tujuan program, perlu dibuat landasan peraturan yang jelas
tentang pengelolaan terumbu karang agar terhindar dari kegiatan-kegiatan yang
merusak dan tidak ramah lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan konflik
kepentingan. Pada tingkat nasional, COREMAP II berperan dalam penyusunan
Undang-Undang tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disahkan pada
Desember 2007 (UU No. 27/2007) dengan memuat larangan atas penambangan
karang dan kegiatan penangkapan ikan yang merusak. COREMAP juga telah
berpartisipasi dalam rancangan Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumber
Daya Perikanan (PP 60/2007) dan produk turunannya, serta mendukung
penyusunan Peraturan Menteri 17/2008 yang disahkan pada September 2008
27 Pada saat yang sama program COREMAP aktif membantu Pemerintah Daerah
dalam menyusun peraturan daerah (PERDA) tentang Pengelolaan Terumbu Karang.
Penyusunan PERDA membutuhkan waktu relatif panjang dari perkiraan semula.
Pada 2007, Kabupaten Natuna yang pertama mengesahkan PERDA tentang
Pengelolaan Terumbu Karang, disusul Kabupaten Tapteng pada tahun yang sama.
Pada 2008, PERDA Pengelolaan Terumbu Karang (PTK) di Kabupaten Bintan dan
Mentawai disahkan sedangkan PERDA PTK Kota Batam dan Provinsi Sumatera
Barat disahkan pada 2009. Pengesahan PERDA PTK Kota Batam membutuhkan
waktu yang cukup panjang padahal awalnya diharapkan Batam sebagai pilot dalam
penyusunan PERDA walaupun sebenarnya pembahasan dengan panitia khusus
(Pansus) DPRD sudah selesai pada Juli 2007. Hal ini disebabkan karena adanya
pembahasan revisi PERDA Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam dan
setelah dua tahun tanpa ada kemajuan akhirnya pada Agustus 2009 PERDA PTK
Kota Batam disahkan oleh DPRD.
Rancangan PERDA PTK (RANPERDA) tentang pengelolaan terumbu karang
Kabupaten Nias telah tersusun dalam bentuk draf akhir (final draft) pada 2009,
namun hingga 2010 belum dibahas karena kabupaten tersebut mengalami
pemekaran menjadi tiga kabupaten dan satu kotamadya dimana dua kabupaten di
antaranya yaitu Nias Utara dan Nias Barat terdapat desa lokasi COREMAP. Jika
dilihat dari pengalaman dalam penyusunan PERDA dan sisa waktu yang tersedia,
dua kabupaten tersebut mengalami hambatan dalam menyusun PERDA mengingat
manajemen pemerintahan yang masih terbatas baru terbentuk pada Oktober 2009,
dan kegiatan pemerintahan pada awal Maret 2010.
Draf akhir RANPERDA PTK Kabupaten Lingga telah tersusun pada 2009,
dilakukan pembahasan dengan stakeholders melalui konsultasi publik. Hasil pembahasan yang telah disempurnakan tersebut telah disampaikan kepada Bagian
Hukum Pemkab dan telah dilakukan berbagai perbaikan, yang selanjutnya dipakai
sebagai bahan pembahasan (draft RANPERDA) dengan Tim Eksekutif yang telah
dibentuk Pemda. Draft hasil pembahasan dengan Tim Eksekutif ini akan
ditindaklnjuti oleh Biro Hukum Provinsi Kepri untuk proses harmonisasi
peraturan/perundangan, sebelum disampaikan kepada DPRD Kabupaten Lingga
disusun pada 2009, semula direncanakan kegiatan pengesahannya pada 2010. Di
kedua kabupaten, Lingga dan Nias Selatan telah dirancang kegiatan pengesahannya
pada 2010 namun hal itu belum tercapai, diharapkan pada 2011 PERDA di kedua
kabupaten tersebut telah dapat disahkan sebelum akhir program COREMAP II.
Tabel 2:Hasil Capaian Kelembagaan Daerah
LOKASI RENSTRA PERDA
Batam Substansi telah dimasukan ke dalam RPJMD 2007-2011, namun, belum ditetapkan dalam bentuk Perwako
No. 7 Tahun 2009, 25 Agustus 2009
Natuna SK Bupati No. 346/2007, 15 November 2007
Perda No. 1 Tahun 2007. 1 September 2007
Bintan SK Bupati Bintan No. 13/II/2009. Dalam proses untuk dimasukan dikirim ke Prov utk harmonisasi isi Perda. Sdh diagendakan dg DPRD & eksekutif, masuk Prolegda
Prov. Kepri
Pembahasan oleh Panitia Kerja Kep DPRD No. Kpts-DPRD/160/VI/2010
Mentawai Kep. Bupati no. 188.45 – 179, 5 Juli 2010
Perda No. 19 Tahun 2008,19 Desember 2008
Prov. Sumatera Barat Belum dibahas Perda No. 3 Tahun 2009
Tapteng
SK Bupati No. 10 Tahun 2006, 28 Desember 2006
SK bersama Bupati No. 05/KPTS/ HKM/Th 2007 dan DPRD No. 032/KPTS/DPRD/ Th 2007, 5 Desember 2007.
Nias SK Bupati No. 20/2007, 22 Nov. 2007
Draf
29 Sementara di tingkat provinsi, Provinsi Sumatera Barat telah mengesahkan
PERDA PTK yang pada 2009, dan Provinsi Kepulauan Riau masih pembahasan
dengan Panitia Legislatif dan diharapkan tahun 2010 sudah dapat disahkan.
Sedangkan Provinsi Sumatera Utara tidak membuat PERDA Pengelolaan Terumbu
Karang karena secara substansi telah tercantum dalam PERDA yang telah ada, yakni
Perda Pesisir. Secara rinci, nomor dan tanggal pengesahan PERDA dapat dilihat
pada tabel di atas.
Rencana Strategis (RENSTRA) tentang Pengelolaan Terumbu Karang di
daerah adalah produk dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dalam hal ini
Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten/kota maupun provinsi. RENSTRA
pengelolaan perumbu karang di lokasi COREMAP sebagian besar tersusun sebelum
dikeluarkannya Undang Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil, yang juga merupakan target capaian kelembagaan COREMAP
II. Sebagai turunan dari UU 27/2007 adalah Peraturan Menteri No. 16/2008 tentang
Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Pengertian Rencana Strategis
sesuai peraturan tersebut adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor
untuk kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional. Terkait dengan rencana strategis dalam undang undang tersebut adalah rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana
aksi di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Amanat UU tersebut adalah bahwa
pemerintah daerah wajib menyusun semua rencana tersebut.
Dokumen RENSTRA tentang Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten
Nias, Nias Selatan, Tapteng, Natuna dan Bintan telah disahkan oleh Bupati.
Pengesahan RENSTRA Kota Batam dikukuhkan lebih belakangan karena menunggu
pengesahan PERDA Kota Batam yang juga tertunda karena menunggu revisi PERDA
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Meski demikian pembahasan
Renstra Kota Batam telah dilaksanakan dan hingga akhir 2010 telah tersusun draf
final Peraturan Walikota (Perwako) untuk Renstra Pengelolaan Terumbu Karang
Kota Batam.
Draf RENSTRA Kabupaten Lingga telah selesai disusun dan telah diadakan
Penyempurnaan draft sudah dilakukan dan sudah diserahkan kepada Pemda untuk
disahkan melalui Peraturan Bupati Lingga. Sebagai kabupaten hasil pemekaran
baru, Kabupaten Lingga masih terkendala dengan sumberdaya manusia maupun
kelembagaan pemerintahan kabupaten, sehingga penyusunan RENSTRA di
kabupaten tersebut terlambat dari jadwal semula. Hal itu ditambah dengan
komitmen dari Bupati Lingga sendiri dalam mewujudkan perangkat RENSTRA
maupun PERDA Pengelolaan Terumbu Karang yang relatif masih terbatas
mengingat Bupati di kabupaten tersebut tergoda untuk memacu pembangunan
melalui eksploitasi pertambangan sumberdaya bauksit di pulau-pulau kecil di
wilayahnya dengan alasan meningkatkan pendapatan asli daerah dengan
mengabaikan aspek lingkungan dan guidelines yang telah ditetapkan donor (ADB).
Sementara itu RENSTRA Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Mentawai
tersusun belakangan meski sebenarnya rencana kegiatan tersebut telah ada sejak
2006, namun karena tidak ada pihak yang bersedia melaksanakannya pada waktu
itu – mengingat jarak lokasi relatif cukup jauh – maka RENSTRA Kab. Kepulauan
Mentawai baru tersusun pada 2009 dengan didanai APBD. Pada 2010 Kabupaten
Kepulauan Mentawai mengesahkan RENSTRA Pengelolaan Terumbu Karang-nya.
Pada tingkat provinsi, RENSTRA Provinsi Sumatera Utara telah selesai
disusun tinggal menunggu pengesahan dari gubernur, sedangkan RENSTRA
Provinsi Kepulauan Riau telah disusun pada 2005, namun pada saat itu masih
dalam kerangka internal di Dinas Kelautan Perikanan Provinsi, sehingga hanya
dikukuhkan melalui Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi. Pada 2010 pembahasan untuk RENSTRA Provinsi Kepri telah dimulai
dengan membentuk panitia kerja (Panja). Diharapkan pada 2011, Renstra Provinsi
Kepulauan Riau dapat disahkan oleh Gubernur. Sedangkan RENSTRA Pengelolaan
Terumbu Karang di Provinsi Sumatera Barat mengalami keterlambatan, sedangkan
Provinsi Sumatera Utara telah tersusun draft awal. Diharapkan pada 2011
RENSTRA di kedua provinsi telah dapat dikukuhkan dalam bentuk SK/Peraturan
Gubernur.
Program COREMAP II bekerjasama dengan BAPPEDA provinsi dan
kabupaten sasaran untuk mengintegrasikan RENSTRA ke dalam Rencana
31 pelaksanaan program dan dukungan pembiayaan. RENSTRA di Kabupaten Nias,
Tapanuli Tengah, dan Natuna telah terintegrasi ke dalam dokumen rencana RPJMD.
Sosialisasi PERDA dan peraturan hukum lainnya yang terkait dengan
pengelolaan terumbu karang telah disosialisasikan kecuali di Nias (hasil pemekaran
menjadi Nias Utara dan Nias Barat), Nias Selatan dan Lingga karena kedua
kabupaten terakhir tersebut belum memiliki PERDA. Dari survei yang dilakukan
pada 2009, dampak dari sosialisasi ini tampak signifikan, penangkapan yang
merusak semakin menurun lebih dari 50%. Seperti yang terjadi di Tapteng, sebelum
program COREMAP dilaksanakan perdagangan karang hias cukup tinggi. Sekitar
40-50 pedagang membuka kios terutama di tempat-tempat wisata yang menjual karang
hias tetapi sejak sosialisasi program COREMAP II dan sosialisasi PERDA,
perdagangan karang hias menurun dan hanya tinggal 2-3 orang saja yang masih
melakukannya. Mereka meminta waktu untuk menghabiskan stok yang tersisa dan
hasil wawancara dengan masyarakat/pedagang karang tersebut bahwa mereka
sudah tahu perdagangan karang dilarang dan saat ini mereka sudah beralih dengan
menjual hiasan dari kulit kerang-kerangan yang banyak terdampar di tepi pantai,
meskipun produk kerajinan tersebut relatif belum berkualitas baik, dari desain
maupun bahannya.
Kondisi demikian menjadi tugas dan peran Pemda setempat dan PIU agar
menjadi pembahasan dalam pertemuan komite pengarah daerah (KPD) sehingga
pimpinan daerah dapat menunjuk dinas/lembaga yang bertanggung jawab dalam
pembinaan terhadap mereka. Sementara itu kesadaran dan pengetahuan
masyarakat dalam mengelola sumberdaya kelautannya meningkat. Dari 371
masyarakat yang disurvei, 66% diantaranya sudah mengetahui pentingnya terumbu
karang sehingga perlu dikelola dengan baik, dari 70% yang ditargetkan.
2. Kawasan Konservasi Laut Daerah
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan, pencadangan kawasan konservasi terdiri atas pemerintah, dan
pemerintah daerah. Dalam konteks kawasan konservasi, pengelolaan kawasan
konservasi perairan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi meliputi:(1)perairan
dan/atau ke arah perairan kepulauan; dan (2) kawasan konservasi perairan yang
berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan lintas kabupaten/kota.
Sedangkan pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota, meliputi: 1/3 (sepertiga) perairan laut dari wilayah
kewenangan pengelolaan provinsi; dan perairan payau dan/atau perairan tawar
yang berada dalam wilayah kewenangannya.
Terkait dengan capaian penguatan kelembagaan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan mengeluarkan ketentuan yang merupakan turunan dari PP No. 60/2007
yakni Peraturan Menteri No. 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Perairan
dan Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi
Perairan. Peraturan tersebut memuat pengertian Kawasan Konservasi Perairan
yakni kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Sasaran penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah untuk
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan serta ekosistemnya
sehingga dapat terjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan
sumberdaya ikan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
Sesuai peraturan tersebut, lembaga pemerintah (termasuk pemerintah
daerah) dapat mengusulkan inisiatif calon kawasan konservasi perairan, selain
dapat diusulkan oleh orang perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga
penelitian, lembaga pendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat. Proses
pengajuan usulan insiatif tersebut disampaikan kepada Menteri Kelautan dan
Perikanan dengan tembusan Gubernur dan Bupati/Walikota terkait; Gubernur
dengan tembusan Menteri dan Bupati/Walikota terkait; atau Bupati/Walikota
dengan tembusan Menteri dan Gubernur. Berdasarkan usulan inisiatif calon KKP
tersebut, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
melakukan/memberikan penilaian usulan calon KKP.
Berdasarkan penilaian usulan inisiatif calon KKP, selanjutnya Menteri,
Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan
identifikasi dan inventarisasi untuk mengumpulkan data, informasi dan analisis
sebagai bahan rekomendasi calon KKP. Setelah identifikasi dan inventarisasi calon
33 dengan kewenangannya memberikan keputusan berupa pencadangan KKP.
Gubernur atau Bupati/Walikota mengusulkan kawasan konservasi yang telah
dicadangkan kepada Menteri untuk ditetapkan. Tahap terakhir Menteri Kelautan
dan Perikanan menetapkan kawasan konservasi perairan (KKP) setelah sebelumnya
dilakukan evaluasi penataan batas KKP.
Berhubung di tingkat nasional dan daerah telah dikenal luas atau populer
dengan istilah sebelumnya yakni Kawasan Konservasi Laut Daerah, maka dalam
penulisan laporan ini yang dimaksud Kawasan Konservasi Laut Daerah adalah
memiliki pengertian yang sama dengan istilah Kawasan Konservasi Perairan (KKP)
Daerah sesuai Permen 17/2008.
Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKLD) di lokasi proyek COREMAP II
termasuk tata ruang dan kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan dalam kawasan
tersebut, dikuikuhkan melalui Peraturan Bupati. Sesuai dengan Project Logical Framework (Logframe) dan hasil persetujuan antara Executing Agency dan ADB pada mid-term review 2009 menyatakan bahwa target pengelolaan 60,000 hektar terumbu karang adalah termasuk ekosistemnya seperti padang lamun dan hutan
bakau di dalam dan luar KKLD. Oleh karena itu dilakukan pencadangan KKLD yang
diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati.
a) Pencadangan Kawasan Konservasi Laut Daerah
Sebagian besar capaian Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) di lokasi
program COREMAP II pada tahap penetepan pencadangan. Hingga 2010, terdapat
enam penetapan pencadangan KKLD yang telah disahkan melalui SK Bupati yaitu
KKLD Kabupaten Nias Selatan, Tapteng, Mentawai, Batam, Bintan dan Natuna
sedangkan rencana pengelolaan KKLD baru di lima kabupaten yaitu Tapteng,
Mentawai, Batam, Bintan dan Natuna.
Sedangan Rencana Pengelolaan KKLD Kabupaten Nias, hingga 2010 telah
dilakukan konsultasi publik, namun pemekaran Nias menjadi tiga kabupaten
mendatangkan kendala tersendiri, sehingga Rencana Pengelolaan KKLD di Kab. Nias
hingga akhir 2010 belum dikukuhkan. sedangkan rencana pengelolaan KKLD
kabupaten Nias Selatan dan Lingga baru mulai disusun tahun 2009. Secara rinci,
Tabel 3:Pencadangan Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Rencana Pengelolaannya
Lokasi Penetapan
Pencadangan KKLD
Management Plan
Batam SK Walikota No. KPTS. 114/HK/VI/ 2007, 4 Juni 2007
Zonasi:
Zona inti: DPL 13 lokasi Zona Pemanfaatan: Wisata
Natuna SK Bupati No. 299 Tahun 2007, 5 September 2007
Zonasi di tiga kawasan : Inti Seksi Konservasi di Dinas KP
Bintan SK Bupati No. 261/VIII/2007, 23 Agustus 2007
Review:
Pantai Barat Mapur untuk perikanan berkelanjutan Pantai Timur Bintan untuk zona pemanfaatan
Utara Mapur untuk zona inti Organisasi Pengelola KKLD:. Perbup No. 20 Tanggal 6 Agustus 2010
Lingga
Direview kembali karena delineasi mengacu pada SK Bup Kepri yang lama. Delineasi ulang untuk penetapan SK Bupati Lingga
Delineasi baru telah diajukan ke Bupati, namun karena bahan belum lengkap, dan ada catatan dari Bupati mengenai
wilayah/luasan,Saat ini sedang direview
Mentawai SK Bupati No. 178 Tahun 2006, 11 Desember 2006
Konservasi di Dinas KP, telah disahkan Perbup. Sudah
35 Perairan di Sitardas,
Jago-jago, dan Tapian Nauli untuk zona perikanan berkelanjutan Pulau Mursala untuk
ekowisata
Rencana perluasan zona inti meliputi P. Mursala, namun krn ada lokasi-lokasi tempat
perlindungan nelayan saat badai dll, maka sdg direvisi
Nias SK Bupati No. 050 /139/K/
2007, 29 Juni 2007 -
Nias Selatan Identifikasi calon KKLD: zona
inti Luaha Idano Pono, Hayo, Sifitu Ewali, dan Sibaranum Pono.
Dokumen Management Plan terdapat kekeliruan luasan, karena mengacu pada luasan SK Bupati, luasnya kurang di bawah 10%. Selain itu konsultan pihak ketiga belum memenuhi syarat pelaporan, yakni belum menyerahkan Buku II.
Perkembangan menggembirakan terdapat di Kabupaten Kepulauan
Mentawai, Pemda Kabupaten Kepulauan Mentawai telah mengeluarkan beberapa
kebijakan di antaranya:
a. Surat Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 523.1/59/PUP.KM/V/2009
tanggal 29 Mei 2009 kepada Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(KP3K) – DKP tentang usulan Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah
sebagai Taman Wisata Laut.
b. Peraturan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 25 tahun 2008 tanggal 26
November 2009 tentang pembentukan Balai Pengelolaan Kawasan Konservasi
Laut Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Sebagai upaya untuk mempercepat capaian Kawasan Konservasi Laut
Daerah, pada 2009 dilakukan Pilot Project KKLD di kabupaten Natuna, Bintan dan Kota Batam. Meskipun masih tahap awal hal ini diharapkan mendorong daerah
lainnya untuk mengikuti jalur serupa seperti pilot project tersebut. Sebagai gambaran, berikut luasan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah
Tabel 4:Ekosistem Terumbu Karang dan lainnya dalam KKLD
Kabupaten Luas (ha) Padang
Lamun
b) Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah
Di sejumlah daerah telah tersusun Rencana Pengelolaan (management plan)
Kawasan Konservasi Laut daerah (KKLD) enam kabupaten. Meski telah tersusun,
namun kesesuaian laporan akhir dengan perangkat panduan rencana pengelolaan
KKLD yang telah disusun oleh PMO masih belum sesuai harapan. Oleh karena itu di
sejumlah daerah harus dilakukan revisi Rencana Pengelolaan tersebut. Terbatasnya
tenaga ahli di bidang konservasi laut merupakan kendala tersendiri bagi daerah
untuk memperoleh tenaga konsultan pihak ketiga yang dapat memenuhi harapan.
Sejumlah revisi Rencana Pengelolaan dilakukan di sejumlah daerah, meski dengan
pendanaan melalui Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD).
Meskipun demikian, berbagai capaian telah dihasilkan daerah, antara lain
dengan ditetapkannya organisai pengelola KKLD, dan bahkan sebagian telah
mengajukan KKLD yang bersangkutan untuk ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan seperti di Kab. Kepulauan Mentawai.
Dengan adanya capaian RENSTRA dan PERDA Pengelolaan Terumbu karang,