• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

B. Manajemen Konflik

5. Jenis Gaya Manajemen Konflik

Ada 5 jenis gaya manajemen konflik yang dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Pickering (2001), Bebbe (2011), Wood (2007) , Winardi (1994) dan Supratiknya (1995). Dari beberapa tokoh tersebut diketahui bentuk-bentuk manajemen konflik yaitu : kompromi, kolaborasi, tindakan menghindari, akomodasi dan kompetisi.

a. Kompromi

Pada gaya ini, individu yang berkonflik mencoba menemukan jalan tengah dalam konflik dimana solusi yang ditawarkan agak memenuhi kebutuhan semua pihak (Pickering,

2001). Orang yang menggunakan gaya ini tidak sepenuhnya mendapatkan apa yang diinginkan, namun mencoba sedikit mengalah demi tercapainya solusi yang adil bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik (Beebe, 2011).

Menurut Supratiknya (1995), gaya ini menganggap tercapainya tujuan pribadi maupun hubungannya dengan pihak lain yang terlibat dalam konflik adalah cukup penting. Hal ini membuat individu yang terlibat dalam konflik mau mengorbankan sedikit tujuannya dan hubungannya dengan pihak lain demi tercapainya kepentingan dan kebaikan bersama.

b. Kolaborasi atau kerjasama

Gaya ini melihat konflik sebagai masalah yang harus diselesaikan (Beebe, 2011). Menurut Supratiknya (1995), gaya ini menganggap konflik merupakan masalah yang harus dicari pemecahannya yang harus sejalan dengan tujuan pribadi maupun tujuan lawannya. Hal ini membuat individu yang menggunakan gaya ini sebagai manajemen konflik, berusaha mengutamakan tujuan pribadi dan hubungannya dengan pihak lain, serta selalu berusaha mencari penyelesaian yang memuaskan kedua pihak dan mampu menghilangkan ketegangan serta perasaan negatif lain yang mungkin muncul dalam diri pihak yang berkonflik.

Pickering (2001) berpendapat bahwa dalam gaya ini, individu yang berkonflik mencoba mengadakan pertukaran

informasi. Individu mencoba melihat sedalam mungkin semua perbedaan yang ada dan mencari pemecahan masalah yang disepakati semua pihak.

Menurut Beebe (2011), gaya ini berfokus pada kepentingan bersama. Gaya ini juga dapat menghasilkan banyak pilihan untuk memecahkan masalah. Individu yang menggunakan gaya ini didorong untuk dapat berpikir kreatif dan berusaha mencapai berbagai alternatif solusi (Pickering, 2001).

Orientasi dari gaya ini adalah menang-menang (Beebe, 2011). Keputusan mengenai pemecahan masalah didasarkan pada kriteria yang obyektif. Menurut Wood (2007), orientasi menang- menang mengasumsikan bahwa biasanya terdapat cara untuk mengatasi perbedaan agar setiap orang yang terlibat konflik merasa diuntungkan. Orientasi ini menghasilkan solusi yang cukup memuaskan kebutuhan dan dapat melidungi kesehatan hubungan. Winardi (1994) berpendapat bahwa kondisi menang-menang meniadakan alasan untuk melanjutkan atau menimbulkan konflik kembali. Hal ini dikarenakan tidak adanya hal yang dihindari dan semua persoalan dibicarakan secara terbuka. Winardi (1994) menambahkan bahwa gaya manajemen konflik ini merupakan pendekatan yang paling berhasil untuk mengatasi konflik.

c. Tindakan menghindari (avoidance)

Merupakan gaya manajemen konflik dengan cara menghindari dan mundur dari konflik (Beebe, 2011). Orang yang menggunakan gaya ini, mencoba menarik diri dari situasi yang ada (Pickering, 2001). Menurut Pickering, gaya ini dapat menimbulkan kejengkelan pada pihak yang berkonflik dengan individu tersebut, dan tidak memberikan kepuasan, sehingga konflik cenderung akan terus berlanjut. Pickering (2001), menambahkan bahwa gaya menghindar seringkali dianggap tidak tepat dikarenakan gaya ini terkesan menimbulkan sikap tidak peduli dengan konflik yang terjadi. Hal ini diperkuat dengan pendapat Beebe (2011), yang mengungkapkan bahwa gaya menghindari konflik seringkali menunjukkan bahwa seseorang memiliki kepedulian rendah untuk orang lain serta bagi dirinya sendiri. Menurut Supratiknya (1995) orang yang menggunakan gaya manajemen konflik ini percaya bahwa setiap usaha memecahkan konflik hanya akan sia-sia, sehingga memilih untuk menghindarinya.

Menurut Beebe (2011), gaya ini termasuk dalam manajemen konflik yang berorientasi kalah-kalah. Wood (2007) berpendapat bahwa orientasi kalah-kalah mengasumsikan bahwa konflik memberikan kekalahan pada setiap orang yang terlibat. Orientasi ini cenderung bersifat destruktif. Orang yang menggunakan orientasi ini biasanya menghindari konflik dengan

beragai cara. Padahal menghindari konflik dengan berbagai cara dapat sangat merugikan karena akan menunda kebutuhan atau hak dan menjadi tidak mampu untuk jujur pada orang lain.

Winardi (1994) berpendapat bahwa, apabila tak seorangpun yang terlibat dalam konflik mencapai keinginannya dan alasan terjadinya konflik tidak mengalami perubahan. Konflik yang dikelola dengan orientasi kalah-kalah seakan-akan terselesaikan atau bahkan lenyap untuk sementara waktu, namun akan memiliki tendensi untuk muncul kembali pada masa mendatang.

d. Akomodasi

Akomodasi adalah untuk menyerah pada tuntutan orang lain (Beebe, 2011). Dalam gaya ini, hubungan sangat diutamakan sehingga kurang mementingkan tujuan-tujuan pribadinya (Supratiknya, 1995). Gaya ini membiarkan pihak lain yang berkonflik dengannya lebih menonjol daripada dirinya (Winardi,1994).

Menurut Pickering (2001), gaya manajemen konflik akomodasi menilai orang lain lebih tinggi dan memberi nilai rendah pada diri sendiri dan barangkali mencerminkan rasa rendah diri orang tersebut. Perhatian yang besar pada kepentingan orang lain menyebabkan seseorang berusaha memuaskan kebutuhan orang lain, dengan mengorbankan hal yang sebenarnya penting bagi dirinya sendiri.

Gaya manajemen konflik ini termasuk dalam manajemen konflik yang berorientasi "kalah-menang” (Beebe, 2011). Menurut Winardi (1994), orientasi ini terjadi bila salah satu pihak mencapai apa yang diinginkan sedangkan yang lainnya tidak.

e. Kompetisi

Pada gaya manajemen konflik ini, individu mencoba untuk menaklukkan lawan dengan memaksanya menerima solusi konflik yang disodorkannya (Supratiknya, 1995). Individu yang menggunakan gaya ini cenderung berfokus pada dirinya sendiri dan mengabaikan orang lain. Individu tersebut cenderung ingin selalu menang dengan mengorbankan orang lain yang sedang berkonflik dengannya (Beebe, 2011).

Beebe (2011), menambahkan bahwa pada gaya ini individu cenderung mencoba mengendalikan orang lain dengan memberikan ancaman dan peringatan. Hal ini didukung dengan pendapat Supratiknya (1995) yang mengatakan bahwa individu yang menggunakan gaya manajemen konflik ini selalu mencari menang dengan cara menyerang, mengungguli dan mengancam pihak lain.

Menurut Beebe (2011), individu yang menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi memiliki filosofi menang-kalah. Wood (2007) berpendapat bahwa manajemen konflik yang berorientasi menang-kalah menganggap bahwa konflik adalah kompetisi dan hanya memiliki satu pemenang. Orientasi ini sering

kali merusak hubungan karena seorang dari yang lain harus mengalami kekalahan. Orang yang seringkali mengalami kekalahan akan memunculkan ketidak nyamanan pada dirinya sendiri dan akan menimbulkan frustasi. Dan sering kali orang yang kalah memiliki keinginan untuk membalas dengan berusaha memenangkan perdebatan berikutnya

Dari kelima gaya manjanemen konflik tersebut memang terkadang individu tidak selalu hanya menggunakan satu pendekatan atau satu gaya manajemen konflik saja. Hal ini dikarenakan individu tersebut terkadang juga menyesuaian situasi atau konteks dimana konflik tersebut terjadi. Namun dalam menghadapi konflik individu selalu memiliki salah satu gaya atau pendekatan yang dominan yang cenderung sering digunakannya.

6. Manfaat Konflik yang ditangani dengan manajemen konflik yang

Dokumen terkait