• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV IMPLEMENTASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

2. Jenis Hukuman/Pemidanaan Dalam Hukum Pidana

Dalam Islam, ada beberapa jenis hukuman atau pemidanaan yang dapat diberlakukan. Kesemuanya ini telah ditetapkan berdasarkan tingkat kesalahan si pelaku pidana. Tindak pidana perkawinan poliandri tidak ada hukuman tersendiri. Namun, tindak pidana ini menggabungkan berbagai tindak pidana yang berlaku seperti perzinahan. Sementara itu menurut para ahli Hukum Islam menyebutkan terdapat 5 (lima) perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman mati, diantaranya adalah :294

1) Pembunuhan. 2) Perzinahan. 3) Perampokan.

4) Pemberontakan, dan 5) Murtad.

Jadi untuk melahirkan unsur keadilan maka pertanggungjawaban pidana dalam tindakan ini dapat diberlakukan dengan menerapkan hukuman ta‟zir. Hukuman ta‟zir adalah hukuman yang diterapkan oleh suatu pemerintah untuk menegakkan keadilan di lapisan masyarakat. Ta‟zir adalah salah satu hukuman pada hukum pidana Islam ataupun balasan atas suatu jarimah (pidana) dalam bentuk maksiat yang sudah dikerjakan oleh seorang pelaku tindak pidana.

Ta‟zir ialah hukuman yang sudah ditetapkan demi jarimah ta‟zir. Bentuk yang

beragam, namun penentuan penetapannya diberikan sepenuhnya pada petugas yang memiliki wewenang, yakni lembaga legislatif ataupun hakim(waliyul

292

Ibn Qayyim Jauziyah, I’lam Muwaqi’in ‘an Rabb ‘Alamin, (Beirut: Dar Al-Jail, t.th, Juz II, h.14.

293Topo Santoso, Op. Cit, h. 152

294

Noerwahidah HA, Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Islam, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1993), h. 16.

157

amri/imam). Al-Mawardi mengemukakan: “ta‟zir ialah hukuman yang

memiliki sifat memberi pendidikan terhadap maksiat (perbuatan dosa) di mana sanksinya belum ditentukan oleh syar”.295

Hukuman ta‟zir yang dapat diberlakukan bagi pelaku tindakan poliandri, dimana pemerintah dalam hal ini memberlakukan hukuman langsung kepada pelaku polindri. Adapun hukuman Ta‟zir dalam Pidana Islam didasarkan pada adanya nilai-nilai filosofis yang terdapatpada hukum pidana Islam juga berkaitandengan tujuan konsepi umum pensyari‟atan. Ulama-ulama ushul fiqh menggolongkan ragam jenis melalui tujuan umum pensyari‟atan hukum Islam melalui: (1) al-umuru al-zaruriyah, (2) al-umuru al-hajjiyah, dan (3) al-umuru

altahsiniyah. Pada tatanan al-umuru al-zaruriyah, terdapat 5 (lima) faktor asas

yang mesti dijaga untuk mencegah kemudhratan yang fatal sifatnya, yakni: agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta/kekayaan.296

Mengenai aturan hukum pidana Islam ada dikenal asas dalam hukum pidana Islam. Terdapat dasar-dasar pada hukum pidana Islam yang mampu mengklasifikasikan kepada 3 (tiga) jenis, yakni: (1) asas legalitas, (2) asas material, dan (3) asas moralitas.297 Asas legalitas adalah dasar yang berhubungan dengan unsur formal hukum pidana Islam.Asas legalitas merupan asas mengemukakan bahwa tiada ada perbuatan kejahatan/pidana serta tidak ada sanksi sebelum dibuatnya aturan yang mengaturnya, berkesesuaian dengan kaidah yang ada, yakni:

صنلبالَاةبوقعلَوةيْرجلَ

“Tiada kejahatan dan tiada hukuman tanpa undang-undang pidana terlebih

dahulu”.(Qa‟idah Fiqhiyah).

Asas tersebut berlandaskan pada ayat al-Qur‟ān surat Bani Israil:15 dan surat al-Qashash ayat 59. Asas legalitas ini menciptakan kaidah hukum:

295

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Piadana Islam, cet. 6., (Jakarta: Bulan Bintang: 2005), h. 268-270.

296Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Op.Cit, h. 1020-1024.

297

158

صنلادورولبقءلقعللَاعفلأمكحلَ

“Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan seseorang sebelum adanya nash”. Asas material adalah asas yang berhubungan dengan elemen materil hukum pidana Islam. Para fuqaha‟ berbeda pendapat mengenai perihal tersebut. Al-Mawardi mengemukakan asas hukum pidana Islam melingkup seluruh hal yang terlarang di hadapan hukum, hal tersebut berlaku bagi melakukan tindakan yang sudan dilarang hukum maupun mengabaikan tindakan yang diperintahakan hukum. Abd Qodir Auda dan Wahbah al-Zuhaili mengemukakan asas material pada hukum Islam umat meliputi tindakan yang diharamkan syara‟ untuk diperbuat saja, meliputi tindakan menyangkut jiwa, harta, dan lainnya.

Berlandaskan pada asas/dasar material tersebut, sanksi/hukuman terhadap pelanggaran hukum pidana dalam Agama Islam dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis, yakni: hudud, diyat/qisas, serta ta‟zir. Hudud serta qishash merupakan balasan hukum yang takarannya sudah ditentukan dengan nyata/jelas mengacu pada teks/nash, yakni dalil Alquran maupun al-Hadis. Pada implementasinya asas/dasar material tersebut adalah prinsip ada hukum yang mesti dijalankan, dengan pengertian, pada satu perbuatan kejahatan/pidana yang masih terdapat dugaan keraguan/kesamaran (syubahat), sehingga tidak diperbolehkan pengenaan sanksi hukum. Perihal tersebut berkesesuaian dengan prinsip hukum pidana dalam Islam:

تاهبشلبادودلحاءرد

“Tertolaknya hukuman karena adanya keraguan”.

Asas moralitas adalah asas yang berhubungan terhadap moral hukum pidana Islam, asas moral melingkupi: asas „adam al-„uzri, raf‟u al-kalām, dan

suquth al-„uqūbat. Asas „adam al-„uzri ini tidak dihiraukan ungkapan bahwa

tidak tahu hukum, asas tersebut amat berhubungan dengan asas legalitas. Asas

raf‟u al-kalam ialah asas suatu perbuatan pidana dapat ditiadakan sebab

faktor-faktor khusus, yaittu pelaku masih di bawah umur (belum baligh), orang-orang yang sedang tidur serta orang sakit jiwa.

159

Jarimah ta‟zir adalah perbuatan kejahatan yang di beri ancaman dengan

sanksi hukum ta‟zir, yakni hukuman yang tidak ditetapkan dengan sarih (jelas) pada nash baik pada Alquran ataupun pada hadis yang berhubungan dengan kriminal/kejahatan yang merugikan Hak Allah serta hambaNya, bermaksud selaku pembelajaran bagi pembuatnya serta menghindari terulangnya tindakan yang serupa. Muhammad Abu Zahrah memaknai ta‟zir melalui deraan/sanksi yang ditentukan oleh penguasa/pejabat untuk menghindari kerusakan serta mencegah kejahatan/kerusakan.

Melalui penjelasan tersebut, bisa dimengerti bahwa sanksi ta‟zir ialah deraan yang ditentukan hakim (penguasa) kepada bermacam-macam wujud kemaksiatan, hal tersbut berlaku bagi pelanggara hak Allah Swt. dan hak hamnya yang memiliki sifat menimbulkan kerugian ataupun mengusik kepentingan umum.

Menyangkut wujud sanksi ta‟zir, syariat Islam tiada menentukan dengan jelas serta tegas wuju sanksi/hukuman yang bisa diberikan terhadap pelaku. Akan tetapi, „Abd al-Qodir Audah menggolongan wujud sanks ta‟zir dalam 9 (Sembilan) bentuk, yakni : (1) sanksi mati, (2) sanksi jilid, (3) sanksi kurungan/penjara, (4) sanksi diasingkan, (5) sanksi dikucilkan, (6) sanksi celaan/cemoohan, (7) sanksi ancaman, (8) sanksi tasyhir, (9) sanksi denda/pembayaran.

„Abd al-Qadir Audah berpendapat asas hukuman ta‟zir pada syariat Islam ialah tiada membinasakan/mematikan, tapi hanya selaku ta‟dib ataupun pemberian pelajaran. Namun, sejumlah ulama fiqh menberikan satu dispensasi terhadap aturan hukum tersebut, yakni kebolehan dipusatkan pemberian sanksi mati, bila dimungkinkan oleh kebutuhan masyarakat, ataupun bila masalah tidak dapat dilaksanakan terkecuali melalui cara membunuh yang bersangkutan. Esensi jarima ta‟zir yakni tindakan yang melanggar hukum yang sifatnya menimbulkan kerugian ataupun mengusik ketertiban masyarakat wewenang hakimlah yang untuk memberikan/menjatuhkan sanksi tertentu berkesesuain terhadap tindakan yang melanggar ketetapan syara‟ yang jelas.

160

a. Jarimah ta‟zīr yang menyangkut hak Allah.

b. Jarimahta‟zīr yang menyangkut hak individu/manusia.

Apabila diamati melalui sisi sifat, jarimah ta‟zir bisa digolongkan juga atas 3 (tiga) jenis, yakni:

a. Ta‟zir sebab mengerjakan tindakan maksiat.

b. Ta‟zīr sebab mengerjakan tindakan yang mengancam/membahayakan hajat umum.

c. Ta‟zīr sebab bertindak melanggar hukum.

Diamati melalui sisi dasar/asas hukum dari segi dasar hukum maka ta‟zir juga bisa digolongkan menjadi 3 (bagian) jenis, yakni:

a. Jarimah ta‟zir yang bermula dari pada jarimah-jarimah hudud ataupun

qishah, akan tetapi syarat-syaratnya tidak dicukupi, ataupun syubhat,

contohnya tindakan mencuri yang tidak ada hingga nishab, ataupun oleh keluarganya sendiri.

b. Jarimah ta‟zir yang jenis diutarakan pada nash syara‟ tapi sanksinya belum/tidak ditentukan, contohnya riba, suap serta curang terhadap takaran/timbangan.

c. Jarimah ta‟zir yang baik jenisnya ataupun hukumannya tiada/belum ditetapkan oleh syara‟.

Jenis-jenis jarimah ta‟zir tersebut seluruhnya diberikan pada hakim (ulil

amri), contoh kasusnya pegawai pemerintahan yang melanggar kedisplinan

yang telah ditetapkan pemerintah.

Menambahkan penjelasan di atas, Abdul Aziz Amir yang disebut pada buku Hukum Pidana Islam yang ditulis oleh Ahmad Wardi Muslich, menggolongan jarimah ta‟zir dengan detail menjadi beberapa jenis/bagian, sebagai berikut:

a. Jarimah ta‟zir; berhubungan atas pembunuhan,

b. Jarimah ta‟zir; berhubungan tindakan yang menyebabkan luka/kesakitan, c.Jarimah ta‟zir; berhubungan atas pidana kehormatan serta pengerusakan

akhlak,

161

e. Jarimah ta‟zir; berhubungan atas kepentingan insani/individu, dan

f. Jarimah ta‟zir; berhubungan atas kemaslahatan dan keamanan masyarakat umum.298

Jumlah terkait hukuman ta‟zir amat banyak, hal tersebut dikarenakan cakupannya terhadap seluruh tindakan kejahatan/maksiat yang sanksinya tidak ditetapkan secara syara‟ serta dipercayakan pada hakim (ulil amri) untuk mengelola aturan hukum dari yang terkecil sampai yang terbesar. Dalam proses hukum (pengadilan) terkait jarimah ta‟zir, ulil amri/hakim dipercayakan wewenang terhadap pemilihan beberapa antara ke-dua sanksi/hukuman tersebut, dan memliki wewenang untuk penyesuaian dengan

jarimah yang diperbuat oleh pelaku. Pada ta‟zir sanksi tersebut tidak

ditentukan dengan ketetapan (dari Allah Swt. dan Rasullullah SAW), dan qadhi ataupun hakim diperbolehkan untuk menimbang bentuk sanksi yang hendak diputuskan begitu juga dengan kadar/nilainya.299

B. Sanksi Pidana Dalam KUHP Atas Terbitnya Akta Nikah Poliandri