• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meskipun poliandri adalah tindakan yang terlarang dalam agama maupun negara, namun pernikahan poliandri ini masih saja terjadi dan memiliki akta nikah yang diakui negara. Berdasarkan pengamatan dimasyarakat, realitas pernikahan poliandri ini terjadi dengan melalui pernikahan siri yang tidak memiliki dokumen negara atas pernikahan tersebut. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri pernikahan ini bisa terjadi dengan legitimasi beberapa pejabat terkait disebabkan kelalaian ataupun kesengajaan dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum negara sehingga akhirnya terbit akta nikah dari KUA.

Salah seorang pejabat di KUA di wilayah Medan juga mengemukakan, bahwa terjadinya poliandri dan terbitnya akta nikah dari perkawinan tersebut bisa saja dengan melakukan pelanggaran prosedur maupun penyalahgunaan berbagai surat tertentu guna memenuhi perlengkapan berkas yang dibutuhkan untuk melakukan pernikahan resmi di KUA. Di samping itu, tindakan melakukan pernikahan poliandri secara siri sering terjadi, salah satunya adalah ikatan pernikahan seorang isteri yang tengah diajukan dalam persidangan Pengadilan Agama. Semasa masih dalam pernikahan, beliau mengikat janji suci pernikahan dengan lelaki lain. Tentunya ini juga merupakan bagian dari bentuk pernikahan poliandri yang terjadi di kalangan masyarakat. Dimana pernikahan pertama belum diputus cerai oleh lembaga resmi dalam hal ini Pengadilan Agama, lantas kemudian pernikahan kedua dilaksanakan secara siri dengan menjadikan beberapa tokoh agama sebagai tuan kadi dalam pernikahan tersebut.240

Seorang perempuan sebelum resmi talak/cerainya terhadap suaminya, meski tidak bertempat tinggal bersama-sama lagi, masih/tetap memiliki ikatan perkawinan. Bila perempuan itu hendak melakukan perkawinan lagi, dia mesti cerai dahulu dengan suaminya yang terdahulu serta melewati masa tunggu, hal

240

Hasil wawancara dengan Kepala KUA Percut Sei Tuan,Ruslan Sag. MA pada tanggal 15 Desember 2020.

118

tersebut diatur pada Pasal 11 ayat 1 UUP Perkawinan.241 Waktu tunggu diatur dalam Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 39).

Setelah dilakukan observasi dan wawancara kepada berbagai pihak termasuk beberapa Kepala Kantor Urusan Agama di Sumatera Utara ditemukan bahwa terjadinya poliandri di berbagai wilayah lainnya. Namun, disebabkan permasalahan ini masuk ke ranah privasi, jarang bisa terungkap disebabkan adanya pihak-pihak yang masih menyembunyikannya. Bentuk kasus lainnya adalah adanya seorang isteri yang suaminya tidak diketahui keberadaannya karena pergi merantau ke tempat lain namun tidak memberitahukan kabar keberadaannya berbulan-bulan, namun belum ada akte perceraian yang ada yang menjadi sebab pisah keduanya.242

Sedangkan menurut pihak kepolisiandaerah Sumatera Utara Medan, sampai saat ini belum ada ditemukan laporan mengenai pernikahan poliandri yang dilakukan di lapisan masyarakat. Hanya saja hal ini disebabkan pengajuan pelaporan tindak perbuatan poliandri akan berakibat besar kepada berbagai pihak, sehingga pihak korban, keluarga atau kerabat jarang yang melaporkan tindakan ini kepada pihak Kepolisian. Karena perbuatan seperti ini sama deliknya dengan tindak pidana perzinahan yang membutuhkan adanya laporan dari korban kepada pihak yang berwenang. Namun, patut diduga tindakan ini tidak sedikit dipraktikkan oleh berbagai kalangan, dan masyarakat kerap hanya melihat sebatas sekedar tindakan perzinahan.243

Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan, ditemukan adanya berbagai kemungkinan langkah-langkah yang bisa membuat terjadinya perbuatan poliandri. Sebagaimana wawancara yang telah dilakukan, ada berbagai hal yang membuat poliandri ini benar-benar terjadi di lingkungan

241

(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan

Pemerintah lebih lanjut

242

Hasil wawancara dengan salah seorang Kepala KUA Barus di wilayah Tapanuli Tengah,

H. Aliwardana Pulungan dan KUA Pintu Pohan Meranti, Tobasa, Horas Simanjuntak, Selasa

19 November 2019.

243

Hasil wawancara dengan salah seorang staf ahli hukum Polda Sumut, Didid Minoharjo, pada tanggal 20 November 2019, jam 15.00 Wib.

119

masyarakat. Adanya beberapa pihak terkait yang melakukan kesalahan baik disengaja maupun tidak, sedikit banyaknya ada pihak yang membantu terjadinya tindakan poliandri.244

Namun akta nikah pelaku poliandri bisa diterbitkan oleh pihak yang berwenang, disebabkan adanya unsur-unsur kejahatan dalam merealisasikan dan mewujudkannya. Adanya tindakan pemalsuan identitas yang dilakukan oleh berbagai pihak dengan bantuan baik pihak individu, pihak kecamatan, kelurahan ataupun bahkan pihak KUA itu sendiri bisa memuluskan tindakan poliandri terjadi di masyarakat dengan adanya akta nikah yang diterbitkan. Berbagai identitas palsu yang didapat dari beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab dapat digunakan sebagai sandaran bagi pihak KUA mengeluarkan akte nikah bagi pasangan poliandri. Menurut Kepala KUA yang diwawancari, akte atau surat kematian adalah surat yang sangat berpontensi untuk dipalsukan oleh orang yang akan melakukan tindakan poliandri.245

Bantuan tindakan poliandri ini terjadi dengan adanya kesengajaan dari suatu pasangan yang sengaja menghilangkan surat nikahnya, sehingga diganti dengan surat keterangan yang berasal dari Bimas Kementerian Agama. Namun, sebenarnya akte nikah yang disebut hilang tersebut sebenarnya diberikan kepada pihak yang tidak bertanggungjawab untuk dirubah dan disesuaikan dengan pasangan yang akan atau telah melakukan pernikahan poliandri.

Kemudian kecurangan lainnya adalah adanya pihak KUA yang melanggar sumpah jabatannya dengan sengaja memperlambat keluarnya akta nikah bagi pasangan, namun kemudian akte nikah itu diberikan kepada pasangan lain yang bisa saja adalah pasangan nikah poliandri. Dimana isteri dari pernikahan ini masih memiliki ikatan pernikahan dengan suami sebelumnya.

Mengingat masih adanya terbuka luas tindak perbuatan poliandri ini, maka pemerintah harus memperketat pengaturan dalam bidang perkawinan, melalui menempatkan para pejabat terkait yang benar-benar amanah sebagai

244

Ibid

245

120

pencegah terjadinya poliandri. Disamping itu, masyarakat juga perlu untuk saling menjaga dan melaporkan kepada pihak berwajib apabila ditemukan kasus poliandri di daerah dekat kediamannya. Ditambah lagi harus ada kebijakan hukum yang tegas dari Negara untuk menindak para pelaku poliandri dan seluruh pihak yang terkait karena tentunya adanya kecurangan, penyalahgunaan wewenang atau mal adminsitrasi yang dilakukan.

Kebijakan hukum yang dimaksud adalah hukum terkait terjadinya perbuatan poliandri ini. Dimana, pemberlakuan hukum ini sampai menjangkau para oknum yang ikut serta melancarkan pernikahan poliandri. Karena, apabila terjadi pernikahan poliandri ini resmi melalui KUA, maka sudah barang t entu ada beberapa pihak yang patut diduga bermain untuk memenuhi berbagai syarat yang harus dipenuhi di KUA untuk melangsungkan pernikahan.

Walaupun perbuatan poliandri dapat menjangkau beberapa perbuatan pidana (delik) yang patut diduga melancarkan kegiatan praktik pernikahan poliandri seperti delik kesusilaan, delik Pemalsuan, delik halangan menikah, delik tentang Penipuan dan lain sebagainya, namun penerapan hukum poliandri mencakup semua tindakan pidana yang ada didalamnya dapat mempertegas hukum yang berlaku. Hal ini disebabkan karena perbuatan ini sangat besar efek dan akibatnya bagi para generasi ke depan dan demi menjunjung tinggi nilai-nilai pernikahan yang diakui juga oleh negara.

Mengingat tindakan poliandri merupakan salah satu kejahatan yang sangat dibenci agama, ditambah lagi masyarakat Indonesia yang bersifat religius sangat anti dengan perbuatan ini, sehingga berbagai bentuk tindakan ini dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tersendiri dengan tidak menumpang berbagai aturan pidana lain yang dilakukan untuk mewujudkan pernikahan poliandri tersebut.

Dengan adanya pertanggungjawaban hukum tersendiri bagi pelaku poliandri dapat dikenakan hukuman yang sepadan dengan perbuatannya yang melanggar nilai-nilai agama. Sedangkan bagi mereka yang akan melakukanya (baik secara siri) akan lebih mempertimbangkan secara matang sebelum

121

berbuat dan layak memikirkan akibat pidana dari perbuatan yang dilakukannya.

Sanksi hukum yang diberlakukan di berbagai wilayah di dunia, haruslah memiliki nilai efek jera bagi para pelakunya, dan demikian juga bagi masyarakat yang berniat akan melakukannya dapat mempertimbangkan secara matang karena akan berakibat hukuman pidana. Sama halnya dengan pernikahan poliandri ini yang sudah patut untuk dibuatkan suatu regulasi terkait, sehingga pelanggaran terhadap aturan ini dapat diminimalisir dan juga dihapuskan dalam negara. Kedepannya, mereka yang akan melakukan pernikahan harus benar-benar mengecek dan memperhatikan kedudukan masing-masing pasangan dan demikian juga para pejabat terkait benar-benar harus memastikan kedudukan status pasangan masing-masing dan surat atau dokumen terkait kedudukan mereka.

Aturan hukum khusus bagi perbuatan poliandri ini diharapkan dijadikan dan dimasukkan dalam suatu kumpulan regulasi terkait yang mengatur setiap warga negara dalam bertindak-tanduk di bumi nusantara. Pihak legislatif diharapkan mampu menjalankan peran sebagai regulator dalam melahirkan aturan dan regulasi yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa. Dalam hal ini, perbuatan pernikahan poliandri dapat dikenakan hukuman yang sesuai, khususnya yang menjalani pernikahan ini dengan melanggar berbagai aturan hukum yang sudah berlaku di Indonesia.

D. Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Pidana Positif Atas Perkawinan