• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV METODE PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

A. Jenis-Jenis Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional

Untuk menghindari pemajakan ganda atas penghasilan dari berbagai negara, perlu diatur mengenai hak pemajakan di negara-negara tersebut berdasarkan azas pengenaan pajak. Bila tidak diatur maka akan membebani dunia usaha, karena harus menanggung beban pajak yang besar dan tidak seimbang dengan laba atau penghasilan yang diperoleh, bahkan tidak tertutup kemungkinan menjadi rugi karena persentase pajak lebih besar dari persentase keuntungan akibat terjadi

double taxation.

Menyadari bahwa tambahan beban pajak yang dapat menjurus ke over taxation berpotensi menghambat mobilitas dan laju bisnis, perdagangan, investasi, sumber daya dan jasa serta ekonomi global, maka dunia perpajakan internasional mencoba melakukan beberapa pendekatan untuk memperingan atau mengeliminasi pajak berganda internasional. Metode hak pemajakan negara untuk penghindaran pajak berganda tersebut adalah :215

a. Metode Pemajakan Unilateral

Metode ini mengatur bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan hukum di dalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional, dan ditetapkan sepihak oleh Negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang bisa mengatur negara kita karena hal itu merupakan kewibawaan dan kedaulatan negara kita. Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya PPh Pasal 26 dalam UU PPh. Apabila tidak ada

215

perjanjian tax treaty atau konvensi internasional, maka negara Indonesia memiliki hak atau kewenangan untuk menetapkan jumlah pajak terutang terhadap masyarakat internasional atau badan internasional yang memperoleh pendapatan dari negara Indonesia. Seperti halnya pajak penduduk Indonesia di negara lainnya, yang telah dikenakan pajak, atas pemajakan tersebut, pajak yang telah dibayar di negara lainnya dapat dijadikan pengurang, guna menghindari pemajakan ganda, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 UU PPh. 216

b. Metode Pemajakan Bilateral

Metode ini dalam penghitungan pemajakannya harus mempertimbangkan perjanjian kedua negara (tax treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah mengadakan perjanjian. Justru peraturan perpajakan Indonesia tidak berlaku bilamana terdapat tax treaty. Contoh penerapan model ini adalah pemajakan atas penduduk Jepang yang memperoleh penghasilan di negara Indonesia, negara Indonesia harus melihat ketentuan yang telah disepakati kedua negara apabila mau melakukan pemajakan tersebut. Penerapan pajak ganda diberlakukan dengan mengurangi jumlah pajak yang terutang, misalnya PPh Pasal 23 atas dividen yang semula 15% dapat dikurangkan menjadi 10%, karena dividen tersebut tentu akan dikenakan pajak lagi di negara di mana mereka berkedudukan.217

diakses pada tanggal 3 Oktober 2009

c. Metode Pemajakan Multilateral

Sementara pendekatan bilateral melibatkan dua negara, pendekatan multilateral melibatkan lebih dari dua negara. Secara regional (misalnya negara-negara Skandinavia), negara yang berada dalam satu kawasan dapat menutup P3B secara bersama-sama. Karena merupakan kesepakatan bersama, pemberian keringanan pajak berganda dapat lebih bersifat harmonisasi (atau malahan unifikasi) ketentuan perpajakan masing-masing negara terkait.218 Metode ini membebaskan perpajakan untuk penduduk atau badan asing yang berada di Indonesia, metode ini muncul dikarenakan adanya Konvensi Wina pada tanggal 18 April 1961 yang dihadiri 81 negara di antaranya Indonesia, yang mengatur tentang kekebalan para diplomat terutama kekebalan perpajakan wakil-wakil diplomatik.219

218

Gunadi, Op.Cit., hal. 119

Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya Pasal 3 UU PPh, dimana setiap kedutaan asing, organisasi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan penduduk asing yang bekerja di tempat tersebut, bukan subjek pajak di Indonesia, artinya pemajakannya tetap di negara dimana mereka berdomisili. Umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler, dan organisasi internasional. Para duta besar, anggota korps diplomatik dan konsuler, yang sesuai dengan hukum internasional, mendapat privelege pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara pengirimnya saja.

219

hal.56 terakhir kali

Baik pendekatan bilateral maupun multilateral diwujudnyatakan dalam bentuk penutupan P3B. Sebagai pedoman perumusan P3B, terdapat beberapa model konvensi, seperti OECD (1963,1977,1992 dan 2003), PBB (1980 dan 1999), dan Amerika Serikat (1981). Di kawasan ASEAN, perbaikan dan finalisasi terhadap rumusan model konvensi ASEAN masih sedang dilakukan secara berkelanjutan. 220

Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) merupakan model P3B untuk negara-negara maju, didirikan di Paris, 14 Desember 1960, meliputi 24 negara termasuk Jepang yang masuk tahun 1998. Model ini lebih mengedepankan asas domisili negara yang memberikan jasa atau menanamkan modal, dimana hak pemajakannya di negara domisili. Model OECD ini menguntungkan negara pengekspor modal dan merugikan negara pengimpor modal. Seringkali menghilangkan double taxation dengan cara meminta negara sumber untuk menyerahkan sebagian atau seluruh hak pemajakan atas penghasilan tertentu yang diterima oleh penduduk negara lainnya. Prinsip yang terkandung di dalamnya mencerminkan kepentingan negara-negara industri dan banyak dikembangkan oleh negara-negara Eropa.

Untuk mengetahui perpajakan yang terjadi antar berbagai negara, dapat diklasifikasikan berdasarkan pendekatan tiga model. Pendekatan ini terkait dengan negara mana Indonesia mengadakan perjanjian. Untuk negara maju dan berkembang, Indonesia menggunakan model sendiri dalam mengadakan perjanjian tersebut dengan mengombinasikan kedua model UN maupun OECD.

221

220

Model UN (United Nations) merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang dan prinsip yang terkandung di dalamnya adalah revenue oriented. Dipublikasikan tahun 1980 oleh PBB. Dikerjakan oleh The UN Group of Experts on Tax Treaties Between Developed and Developing Countries (Economic and Social Council of UN). Model ini lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, karena mereka umumnya yang menggunakan jasa dan yang menerima modal dari luar negeri, sehingga model ini lebih menerapkan pemajakan yang berasal dari negara yang memberi penghasilan. Namun demikian, model OECD dan UN

tidaklah dapat berdiri sendiri, karena tergantung kesepakatan kedua negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

Model Indonesia mengombinasikan kedua jenis model UN dan OECD, dan yang cocok digunakan di Indonesia dengan melihat hal-hal yang terkait dengan ketentuan UU PPh dan program pembangunan di Indonesia dan sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian. Hal-hal yang dapat mendorong perkembangan negara Indonesia menjadi lebih maju, dapat diatur dalam perjanjian ini, misalnya penghasilan atas guru dan peneliti, yang kedua model UN

dan OECD tidak diatur, namun dalam Model Indonesia diatur dalam pasal tersendiri.

Menurut Gunadi, secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran pajak berganda internasional yaitu metode pembebasan (exemption), metode kredit (tax credit), dan metode lainnya. Kedua metode pertama merupakan bentuk eliminasi atau keringanan pajak berganda internasional yang diikuti oleh kebanyakan negara.222

222

Dokumen terkait