• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA

B. Perlakuan Perpajakan Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri

Melakukan Kegiatan atau Usaha Melalui Bentuk Usaha Tetap

Wajib pajak luar negeri tersebut memperoleh atau menerima penghasilan yang bersumber di Indonesia dapat dilakukan dengan cara: 152

1. Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (doing business/active income in Indonesia) dan memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Badan, namun terdapat beberapa perbedaan. 2. Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (doing business/active income

in Indonesia) dan belum memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini terutang PPh Pasal 26 menurut UU PPh atau Tax Treaty.

3. Menerima penghasilan diluar kegiatan usaha (passive income) bersumber dari Indonesia. Pemajakan atas wajib pajak luar negeri ini terutang PPh Pasal 26 menurut UU PPh atau Tax Treaty.

Pada bagian ini, akan dibahas mengenai pemajakan wajib pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber di Indonesia dengan menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia dan memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Karena pemajakan ini terkait dengan WPLN dan pemerintah dari WPLN tersebut karena pemerintah dari WPLN tersebut juga berhak untuk memungut pajak atas penghasilan wajib pajak tersebut, maka atas WPLN berlaku penuh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 jo Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) apabila tidak ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari WPLN tersebut. Namun, apabila terdapat P3B atau Tax Treaty dengan pemerintah dari WPLN, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang tercantum dalam P3B atau Tax Treaty. Kriteria BUT, objek pajak BUT dan laba setelah BUT mengacu pada isi P3B tersebut, dan mengesampingkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam UU PPh.

Perbedaan perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha yang melalui bentuk usaha tetap dengan yang tidak melalui bentuk usaha tetap adalah : 153

(a) Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT :

1) kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam negeri;

153

2) penghasilan yang menjadi objek pajak hanya terbatas yang bersumber di Indonesia.

(b) Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bukan melalui BUT:

1) dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;

2) berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;

3) tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPh, yang termasuk objek pajak BUT adalah:154

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (penghasilan BUT yang bersangkutan). 2. Penghasilan kantor pusat dari usaha, kegiatan, penjualan barang atau

pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakuka n oleh BUT di Indonesia (force of attraction). Pendekatan ini didasarkan kenyataan bahwa usaha atau kegiatan kantor pusat tersebut di Indonesia masih termasuk ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan BUT.

3. Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa, imbalan sehubungan dengan jasa/pekerjaan/kegiatan, hadiah atau

penghargaan, pensiun/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat WPLN dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.

Pemajakan BUT menurut UU PPh juga menganut 2 sistem pemajakan, yaitu:155

1. Tarif Tertentu

Tarif tertentu dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap yang menjalankan kegiatan usaha tertentu :

a. Kepmenkeu No. 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 : PPh yang terutang atas BUT berupa cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional sebesar 2,64% dari peredaran bruto/ kotor dan bersifat final.

b. Kepmenkeu No. 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 : PPh yang terutang kantor perwakilan dagang asing (representative office) sebesar 0,44% dari nilai ekspor perusahaan ke Indonesia.

2. Tarif Umum Pasal 17 dan Pasal 23 UU PPh

Tarif Umum Pasal 17 UU PPh dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap selain cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional serta kantor perwakilan dagang asing tersebut, dengan penghitungan sebagai berikut:

a. PPh terutang = tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan penghasilan kena pajak b. Penghasilan kena pajak = Penghasilan neto dikurangi kompensasi

155

c. Penghasilan neto = Objek BUT – biaya fiskal Pasal 6 ayat (1) UU PPh dan biaya tertentu bagi BUT.

d. PPh 26 atas laba setelah pajak khusus BUT = 20%/ tarif P3B dikalikan laba setelah Pajak Penghasilan.

Ketentuan Pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelengaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UUPPh, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 156

Tarif pemotongan untuk penghasilan Pasal 23 UU PPh adalah :157 (1) 15% dari jumlah bruto atas penghasilan berupa :

(a) dividen

(b) bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.

(c) royalti

(d) Hadiah dan penghargaan

(2) 15% dari perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa :

(a) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, manajemen, konstruksi, konsultan, dan jasa lain

(b) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

156

Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT juga diberikan tambahan penjelasan sebagai berikut :

(a) Biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(b) Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan adalah royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya, imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan. Pembayaran serupa yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai objek pajak BUT, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Pemajakan Laba setelah Pajak BUT (Branch Profit Taxation)

1. Sebagaimana diketahui dividen atau bagian laba hasil usaha wajib pajak dalam negeri terutang PPh Pasal 23, dan untuk memberikan perlakuan yang sama maka laba setelah BUT dikenakan pajak dengan tarif 20% sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh. Contoh: Sebuah BUT mendapatkan laba Rp. 100.000.000,- dan telah dikenakan PPh Pasal 17 sebesar Rp. 12.500.000 sehingga laba setelah pajak adalah Rp. 87.500.000. Jika sebagian income after tax dikirim ke luar negeri, maka akan dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% x penghasilan bruto, misal dikirim Rp. 50.000.000. Maka PPh Pasal 26 adalah 20% x Rp.50.000.000 =

Rp. 10.000.000 dan sisanya jika diinvestasikan kembali ke Indonesia tidak dipotong PPh Pasal 26.158

2. Sesuai Kepmenkeu No.602/KMK.04/1994 jo. KMK No. 113/KMK.03/2002, pengecualian pajak setelah laba BUT dapat diberikan dengan syarat :159

a. Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.

b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan.

c. Pengalihan atas penanaman kembali tersebut tidak dilakukan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu dua tahun setelah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi komersil.

Pada umumnya objek BUT menurut P3B hampir sama dengan UU PPh, demikian pula pajak setelah laba yang diperoleh BUT, namun perbedaannya adalah tarif yang lebih rendah dari 20%.

C. Perlakuan Perpajakan Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang Tidak

Dokumen terkait