• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PENYEBAB KONFLIK

4.2 Konflik Perikanan Tangkap

4.2.2 Jenis kasus konflik

Jenis konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan terdiri dari konflik alat tangkap dan konflik pengkaplingan laut. Kedus jenis konflik tersebut tercakup dalam sembilan jenis kasus yaitu (1) kasus purse seine, (2) kasus daerah penangkapan, (3) kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara, (4) kasus lampara dasar, (5) kasus bagan apung, (6) kasus seser modern, (7) kasus gill net, (8) kasus penggunaan bom, dan (9) kasus cantrang. Selengkapnya disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Jenis kasus konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan berdasarkan periode waktu dan tempat selama periode 1979–2009

No Kasus Tahun Lokasi Konflik

1 Bagan apung 1979 Tanah Bumbu

Penggunaan bagan apung dianggap telah merebut wilayah property nelayan lokal secara turun temurun 2 Penggunaan

bom

1980 Kotabaru Penggunaan bom telah merusak habitat perairan dan melanggar UU 3 Seser modern 1990 Tanah

Bumbu

Adanya anggapan bahwa perairan pantai adalah hak nelayan tradisional, pengguna teknologi modern tidak boleh berdampingan dengan nelayan tradisional.

4 Daerah penangkapan

1996 Kotabaru Pengkavlingan daerah tangkap oleh nelayan sekitar Selat Laut, konflik terjadi setiap musim utara

5 Gill net 1999 Tanah

Laut

Masuknya gill net yang sangat panjang oleh nelayan Jateng telah melanggar UU yang ditetapkan pemerintah

6 Daerah penangkapan

2000 Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang lagi, pada musim utara

7 Lampara dasar 2002 Kotabaru Penggunaan lampara dasar yang dimodifikasi dengan penambahan danleno dan papan layang menyrupai mini trawl dianggap mengakibatkan over fishing.

7 Daerah penangkapan

2002 Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang lagi pada musim utara

8 Lampara dasar 2003 Kotabaru Kasus lampara dasar terulang lagi 9 Daerah tangkap 2003 Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang lagi

pada musim utara 10 Seser modern 2004 Tanah

Bumbu

Tabel 14 (lanjutan)

No Kasus Tahun Lokasi Konflik

11 Bagan apung 2004 Tanah

Bumbu

Kasus bagan apung terulang lagi

12 Daerah penangkapan

2004 Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang lagi di musim utara

13 Purse seine 2004 Kotabaru Penggunaan purse seine dengan alat bantu lampu 40.000 watt oleh nelayan Jawa Tengah dapat menarik ikan di wilayah perairan Kotabaru sangat merugikan nelayan lokal.

15 Lampara dasar 2004 Kotabaru Kasus lampara dasar terulang lagi

16 Seser modern 2005 Tanah

Bumbu

Kasus seser modern terulang lagi

17 Bagan apung 2005 Tanah

Bumbu

Kasus bagan apung terulang lagi

18 Daerah penangkapan

2005 Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang lagi

19 Purse seine 2005 Kotabaru Kasus purse seine terulang lagi 20 Lampara dasar 2005 Kotabaru Kasus lampara dasar terulang lagi 21 Penggunaan bom 2005 Kotabaru Kasus penggunaan bom terulang

lagi

22 Purse seine 2006 Kotabaru Kasus purse seine terulang lagi 23 Daerah

penangkapan

2006 Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang lagi 24 Pengambilan teripang dan kerang mutiara 2007 Tanah Laut

Aktivitas penyelam menggunaan kompressor mengambil karang oleh nelayan Su-Sel, Jateng, Kaltim sangat mengganggu nelayan lokal

25 Penggunaan bom 2007 Tanah Laut

Kasus penggunaan bom terulang lagi

26 Bagan apung 2008 Tanah

Bumbu

Kasus bagan apung terulang lagi

27 Seser modern 2008 Tanah

Bumbu

Kasus seser modern terulang lagi

28 Cantrang 2009 Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut

Masuknya cantrang oleh nelayan Jateng tidak bisa diterima karena nelayan tidak menggunakannya

29 Teripang dan tiram mutiara

2009 Kotabaru Kasus pengambilan teripang terulang lagi.

Di Kalimantan Selatan konflik juga terjadi dalam hal penggunaan laut untuk berbagai kepentingan. Hal ini terjadi karena laut digunakan untuk keperluan transportasi, pertambangan (batu bara, biji besi) dan budidaya (pembukaan lahan/penebangan mangrove) untuk tambak. Interaksi berbagai konflik di perairan Kalimantan Selatan disajikan pada Gambar 13.

P erika na n tangka p Purse seine Pengkavlingan laut Lampara dasar Gillnet X X X Penggunaan bom Teripang & kerang mutiara X V Bagan apung Seser modern Cantrang X B u d i D ay a Tambak Penebangan mangrove V P er ta m b an g an Tambang batubara X Tambang Biji besi X V Transportasi X X P u rse se in e P en g k av li n g an la u t La mp ar a d asar Gill n et P en g g u n aa n bom Te ri p an g & k er an g B ag an a p u n g S eser m o d er n Ca n tran g Tam b ak P en eb an g an man g ro v e b at u b ar a b ij ib es i Tran sp o rtas i

Perikanan tangkap Budidaya Per

tambangan

Sumber: Data primer diolah Keterangan: : konflik X : saling merugikan : menguntungkan bagi I : menguntungkan bagi J V : saling menguntungkan : netral

Gambar 13 Interaksi berbagai konflik di perairan Kalimantan Selatan (Modifikasi dari Cicin-Sain dan Knecht 1998)

Berdasarkan Ganbar 13 situs diurutkan menurut interaksi konflik diantara pengguna perairan laut, yaitu: netral (18 kasus), saling menguntungkan (3 kasus), menguntungkan bagi I (23 kasus), menguntungkan bagi J (8 kasus), saling

I

merugikan (9 kasus), dan konflik (33 kasus). Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Interaksi pemanfaatan pertambangan dengan perikanan tangkap

Di Kabupaten Kotabaru terdapat banyak sekali pertambangan batubara dan biji besi antara lain PT Bahari Cakrawala Sebuku, PT Sebuku Iron Lateralitic Ores, PT Trans Coalindo, PT Adibara Bransastra, PT Borneo Internusa, PT Arutmin Indonesia, PT Multi Usaha Pratama Saijaan (BUMD), PT Batu Besar Mega Nusantara. Pengerukan lahan dilakukan untuk pembangunan pelabuhan sebagai tempat untuk mendistribusikan hasil pertambangan biji besi dan batubara mengakibatkan perairan laut tercemar, hal ini terlihat perubahan warna air laut. Nelayan merasa resah dan mengeluh karena terjadi penurunan hasil tangkap. Lumpur hasil pengerukan untuk pendalaman alur pelabuhan perusahaan dan alat rongsokan dikapal-kapal yang jatuh ke laut mengganggu keamanan dan kemudahan operasional alat tangkap karena memberatkan alat tangkap yang diangkat nelayan akibat tersangkut lumpur dasar laut akibat pembuangan besi dan batu-batuan. Beberapa nelayan trammel net dan lampara dasar merasa kesal karena jaring masuk lubang kerokan dan robek, bukan hasil tangkapan yang didapat tapi ban bekas dan batuan yang tersangkut jaring bahkan jaring putus dan hancur.

Selain pencemaran laut, lampu penerangan pelabuhan yang memiliki intensitas yang tinggi mengalahkan kekuatan lampu yang digunakan sebagai atraction pada bagan tancap untuk penangkapan ikan teri. Nelayan pengguna bagan tancap merasa resah karena hasil tangkapan ikan teri mengalami penurunan.

(2) Interaksi perikanan tangkap dengan transportasi

Lalu lintas perairan Kotabaru khususnya alur Selat Pulau Laut, Alur Selat Muara Batuan dan Selat Makasar adalah alur perdangangan lokal dan nasional (transportasi domestik) yang melayani kapal penumpang dan barang dari dan menuju pelabuhan-pelabuhan. Selain itu terdapat juga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang diperuntukkan kapal-kapal mancanegara melintasi Selat Makasar. Dengan demikian kapal yang melewati alur tersebut terdiri dari kapal perikanan, kapal barang, tongkang dan kapal penumpang dengan berbagai ukuran.

Kegiatan transportasi laut tersebut meningkatkan perekonomian lokal berupa arus barang dan manusia dari dan menuju pelabuhan-pelabuhan. Disisi lain, buangan limbah domestik dari kapal berpotensi menurunkan kualitas air laut. Perebutan fungsi laut yang mana bagi perusahaan merupakan jalur lalu-lintas perdagangan sementara bagi nelayan merupakan wilayah fishing ground. Kondisi ini sering terjadinya konflik antara nelayan dan kapal-kapal yang melalui alur tersebut. Kasus yang terjadi yaitu ditabraknya perahu nelayan oleh kapal-kapal perusahan tambang, tabrakan perahu nelayan dengan speed boatdan terganggunya nelayan pada saat melakukan penangkapan ikan.

Disepanjang pantai Pulau Tabuan sudah terlihat kepingan-kepingan batubara yang mengendap akibat frekuansi lalu lintas dan loading batubara. Konflik terjadi karena wilayah tangkap ikan yang dimiliki nelayan tradisional secara turun-temurun kini semakin sempit dan kualitasnya pun makin berkurang.

(3) Interaksi antara pemanfaatan lahan budidaya dan penangkapan ikan

Penebangan hutan bakau menyebabkan tempat pemijahan beberapa jenis ikan rusak. Penurunan fungsi ekologi laut terlihat dengan menurunnya hasil tangkap ikan bagi nelayan. Konflik ini memperlemah ikatan solidaritas nelayan tradisional dan petani tambak.

(4) Interaksi pertambangan dengan petani tambak

Mengeluhnya petani tambak udang akibat adanya pelabuhan yang mencemari perairan laut yang menjadi sumber air tambak tersebut.Kualitas air yang menurun mengakibatkan kerugian bagi petani tambak bahkan matinya usaha tambak di daerah sekitar pertambangan.

4.2.3 Penahapan konflik

Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode konflik. Konflik yang terjadi antara nelayan memiliki kedinamisan yang tinggi. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini menggambarkan dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap-tahap konflik.

Dalam penelitian ini penahapan konflik digambarkan kedalam grafik eskalasi konflik yang disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan informasi yang diperoleh selama penelitian, perkembangan konflik di perairan Kalimantan Selatan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan, yaitu (1) Prakonflik tahun 1960-1979; (2) Konfrontasi tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006; (3) Krisis tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 (4) Akibat tahun 2001, 2006-2007 dan 2009; (5) Pasca konflik tahun 2010-sekarang.

Diagnosis pentahapan konflik adalah suatu cara untuk mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan eskalasi konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningnkatan intensitas konflik dimasa depan dengan harapan untuk menghindari pola itu terjadi.

8 Konfrontasi Akibat Konfrontasi Akibat Prakonflik 6 4 2 0 1960 1979 1980 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Keterangan: Sumbu x = Tahun

Sumbu y = Eskalasi konflik

Krisis = tindakan anarkis (>2) kekerasan fisik (>4) penyanderaan kapal dan (>6) pembakaran kapal

Gambar 14 Grafik penahapan konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan

(1) Kondisi prakonflik tahun 1960-1979

Pada masa ini sumber daya yang tersedia masih banyak sehingga kehadiran nelayan dari manapun tidak dirasakan nelayan lokal sebagai pesaing dalam memanfaatkan sumberdaya. Sifat sumber daya perikanan laut yang bersifat open

Konfrontasi Krisis Pasca konflik Krisis Krisis

acces memungkinkan semua pihak untuk melakukan ekspoitasi tanpa terikat kuat pada batas-batas wilayah.

Keberadaan nelayan dari provinsi Kalimantan Selatan seperti Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu masuk ke perairan Kotabaru atau sebaliknya melakukan migrasi musiman dapat hidup berdampingan secara harmonis. Selain itu kedatangan nelayan andon ke perairan Kalimantan Selatan masih berdampak positif yaitu sektor perdagangan maju, masyarakat dapat menjual jasa di bidang bahan dan alat tangkap, perbekalan melaut dan penginapan, serta adanya peningkatan peluang bekerja yaitu menjadi ABK bagi nelayan andon. Adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang berusaha di bidang kios-kios dan warung makan.

(2) Periode tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006 (konfrontasi)

Beberapa nelayan di Kotabaru ada yang masih menerapkan adanya pola penguasaan dan kepemilikan wilayah laut oleh kelompok masyarakat. Pola tersebut terbagi berdasarkan zone wilayah yaitu zona daerah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun, yakni hak eksploitasi sumberdaya di wilayah laut tertentu terbatas hanya untuk orang-orang dalam kelompok sosial wilayah tersebut. Namun dengan perkembangan zaman sebagian lagi dari nelayan menganut paham open acces.

Periode ini semakin banyak nelayan melakukan migrasi musiman yang datang ke perairan Kalimantan Selatan dengan membawa teknologi baru atau melakukan modifikasi terhadap alat tangkap, kualitas dan kapasitas yang berbeda pada fishing ground yang sama, membuat kenyamanan nelayan di perairan Kaliman Selatan merasa terganggu. Di perairan Kotabaru pada periode ini pula mulai terjadi teguran-teguran bahkan terjadi pertikaian-pertikaian di laut dalam bentuk penolakan terhadap penggunaan alat tangkap yang berbeda dengan alat tangkap nelayan lokal. Nelayan lokal memberikan peringatan-peringatan baik lisan maupun tertulis dan membuat perjanjian-perjanjian, walaupun pada akhirnya banyak yang melangar kesepakatan yang dibuat. Beberapa langkah pengamanan telah dibuat seperti mengadakan perpolisian masyarakat oleh pihak kepolisian, pembinaan dan sosialisasi oleh Dinas Perikanan dan Kelautan.

Kasus konflik daerah tangkap belum berakhir, pada tahun 2000-2005 terjadi lagi konfrontasi. Protes terhadap adanya pengkavlingan daerah penangkapan, dianggap menimbulkan ketidakadilan terutama oleh pengguna lampara dasar. Menentukan tapal batas dengan cara membuat patok batas wilayah perairan tempat operasional nelayan tradisional, menetapkan wilayah-wilayah tertentu yang dilarang beroperasinya nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar mini atau lainnya dan melakukan razia justru menimbulkan konflik yang lebih luas.

Pada tahun 2004 untuk menertibkan konflik daerah penangkapan yang diperebutkan oleh nelayan di Kotabaru, maka dilakukan pertemuan antar nelayan. Diskusi dihadiri oleh Bupati Kotabaru, Kapolres, nelayan Kecamatan Kelumpang Selatan, Kecamatan Kelumpang Tengah, Kecamatan Pulau Sebuku, Kecamatan Pulau Laut Utara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru. Kapolres menyarankan untuk menciptakan areal tangkapan baru, kemudian Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru menyetujui pembagian wilayah penangkapan ditertibkan kembali. Pembagian wilayahnya masing-masing yang terbagi dalam 6 daerah penangkapan (Gambar 15). Daerah penangkapan di Kotabaru terbagi berdasarkan wilayah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun mulai perairan pantai sampai 5 mil keperairan laut dengan batas sebagai berikut :

1 Zona Pudi - Sanakin -Tanjung Pemancingan

2 Zona Pulau Simbangan-Tanjung Tamiang-Sekandis-Talusi-Tanjung Semelantakan Rampa Cengal- Sesulung-Tanah Merah-Separe Kecil-Separe Besar.

3 Zona Pembelacanan- Pantai-Tanjung Pulau Burung-Tanjung Ayun-Bui Merah/Kapal Pecah

4 Zona Pemancingan-Sungai Dungun-Pulau Manti-Sungai Bali-Tanjung Lita 5 Zona Tanjung Mangkok-Tanjung Gunung-Gunung Tinggi-Sekapung-Pulau

Kapak

6 Zona Labuhan Mas-Tanjung Serudung-Tanjung Seloka-Pulau Kerayaan Namun upaya pembagian wilayah penangkapan tersebut menimbulkan konflik lebih meluas karena pencegahan terhadap pengguna lampara dasar mini dan sejenisnya di wilayah tertentu tidak didukung oleh nelayan lain khususnya nelayan pengguna alat lampara dasar mini. Hal ini bahkan menuai tuduhan

terhadap pelanggaran perjanjian. Nelayan Sungai Dungun menilai nelayan Rampa melanggar jalur penangkapan yaitu nelayan lampara dasar mini hanya boleh beroperasi pada kawasan di luar jalur nelayan Sungai Tanjung Bantai Langkang Baru ke arah Pulau Manti. Nelayan yang masuk ke wilayah tersebut akan dipukuli, alat tanggkap dirampas bahkan perahu yang digunakan ditenggelamkan. Bagi nelayan yang mendapatkan perlakuan yang tidak lazim tentu saja melawan dan meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami, akhirnya penyelesaian konflik melibatkan kepolisian. Organisasi INSAN menuntut pencabutan patok batas diperairan selat sebuku kerena sangat merugikan dan Insan menuntut dihentikannya tindakan kekerasan serta menghendaki Dinas perikanan harus tegas dan lebih peduli terhadap konflik yang terjadi.

Konflik pengkavlingan laut berkaitan dengan musim udang, antara lain udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus indicus), udang jerbung (Penaeus merguensis), udang cat (Parapenaeopsis sculiptilis) dan udang lurik (Metapenaeus canaliculatus). Dalam satu tahun terdapat 3 (tiga) musim yaitu: (1) musim Utara (2) musim Barat/pancaroba dan (3) musim Tenggara. Pada ketiga musim tersebut potensi udang berbeda-beda untuk setiap wilayah di Kabupaten Kotabaru. Pada musim Utara potensi udang maksimun di daerah Selat Laut tapi minimum di wilayah lain (Tabel 15).

Tabel 15 Pola musim udang di Kabupaten Kotabaru

No Musim Bulan Potensi

Udang

Perairan

1 Musim Utara Januari-April

maksimum Selat laut: antara lain Senakin, Tg Gunung, Karang Piring, Tg Pemancingan, Pulau Manti, Sei Dungun, Tg Lita, Pulau Kapak. 2 Musim Barat

Pancaroba

Mei Minimum Selat laut

3 Tenggara (angin Selatan)

Juni-September

Maksimum Sekitar Senakin dan Tg Dewa, Tg Gunung, Tg Ayun, Karang piring, Sebuli, Senakin, Pembelacangan, Pulau Kapak,

4 Musim Barat Pancaroba

Oktober-Desember

Belum tuntas masalah konflik daerah tangkap kemudian masuknya nelayan purse seine dari provinsi lain (Jawa Tengah) ke perairan Kotabaru pada tahun 2006 mendapat izin dari DKP (sekarang KKP/Kementrian Kelautan dan Perikanan). Teknologi yang digunakan jauh lebih maju dibandingkan nelayan lokal, sehingga dalam melakukan penangkapan ikan nelayan-nelayan dari Pekalongan jauh lebih menguntungkan secara ekonomi daripada nelayan lokal. Nelayan lokal mengeluh karena hasil tangkap mereka mengalami penurunan sejak masuknya nelayan dari Pekalongan.

Nelayan Jateng melakukan penangkapan ikan pada jalur penangkapan 15 mil, secara yuridis tidak melanggar Undang-Undang yang telah mengatur Jalur-jalur penangkapan dan telah memiliki surat izin penangkapan ikan. Namun bias cahaya terlihat sebelum 12 mil perairan Kotabaru sehingga ikan-ikan yang berada di sekitar pantai atau di wilayah kewenangan daerah tertarik oleh daya tarik lampu purse seine.

Tindak lanjut terhadap keresahan nelayan yaitu dibuat kesepakatan antar nelayan mini purse seine Kotabaru dan nelayan purse seine Jateng, yakni nelayan Jateng tidak menggunakan lampu purse seine berkekuatan tinggi, tidak boleh menjual hasil tangkapan di sekitar wilayah Kotabaru. Selanjutnya dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan bahwa nelayan Jateng tidak akan merapat di pelabuhan Kotabaru untuk mengisi bahan bakar, air dan es. Yang terakhir, jika nantinya ditemukan nelayan yang melanggar kesepakatan ini, maka pihak nelayan Kotabaru akan mengambil tindakan tanpa ada tuntutan dari pihak nelayan yang menggunakan purse seine.

Kenyataannya perilaku nelayan Jateng banyak menyimpang dari kesepakatan. Nelayan lokal khususnya nelayan mini purse seine melakukan protes ke DPRD dan Bupati Kabupaten Kotabaru, tetapi protes mereka diabaikan. Akhirnya bulan Mei 2005 nelayan mini purse seine berkumpul dan membuat organisasi nelayan dengan nama AMNES (Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan). AMNES merencanakan penyerbuan dan berkeinginan untuk membakar kapal nelayan Pekalongan, namun aksi dapat digagalkan oleh Angkatan Laut dan Kepolisian Kabupaten Kotabaru

(3) Periode tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 (krisis)

Pada waktu itu telah terjadi pengkavlingan wilayah penangkapan ikan. Kemudian apabila ada orang luar yang masuk ke wilayah yang terlarang bagi alat tangkap tertentu maka terjadi pengusiran, kekerasan fisik dan perusakan alat tangkap, penyitaan dan bahkan penenggelaman kapal. Aksi ini dilakukan karena nelayan dianggap melakukan pelanggaran-pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat. Sebelumnya sudah pernah disepakati masalah jalur penangkapan dengan memberikan patok dari halayung (tiang bakang) namun karena hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak. Selain itu pada periode ini konflik menjadi terbuka, saling tuduh bahwa jalur penangkapan yang disepakati telah digeser secara illegal.

Organisasi INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) melakukan negosiasi untuk diselesaikan secara kekeluargaan dan mengharapkan tidak melakukan pengkavlingan laut dan berjanji bahwa nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar atau yang memiliki teknologi lebih tinggi tidak akan memasuki wilayah selat laut dan selat sebuku yang diperuntukkan oleh nelayan tradisonal. Namun karena kasus tersebut sudah berdampak pada kekerasan fisik penyelesaian konflik dibantu oleh pihak kepolisian. Oganisasi INSAN mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan dan aparat yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum kepada pelaku. Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru berjanji untuk membantu pembebasan perahu nelayan yang ditahan oleh nelayan dan membantu proses pengantian kerusakan atau dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut.

Pada tahun 2007 polemik antara nelayan Kotabaru dengan nelayan asal Pekalongan, Juwana, Pati Jawa Tengah yang menangkap ikan di wilayah perairan Kabupaten Kotabaru dengan menggunakan purse seine masih berlanjut. Kemudian dilakukan perjanjian antara nelayan asal Jawa Tengah yang menggunakan kapal purse seine dengan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Kotabaru yang ditandatangani di Jakarta. Namun hal ini dianggap tidak menguntungkan nelayan kotabaru, malah sebaliknya dirasa menguntungkan nelayan Jateng, sehingga nelayan Kotabaru tidak menerima hasil perjanjian dan kesepakatan yang sudah ditandatangani tersebut.

Masyarakat nelayan Kotabaru yang tergabung dalam HNSI menganggap kalau kesepakatan kedua yang telah ditandatangani tersebut atas nama pribadi, dan bukan atas nama HNSI, sebab sekarang ini yang bersangkutan sudah bukan ketua HNSI. Akhirnya terjadi inseden pembakaran kapal nelayan Jawa Tengah yang ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp. 1,4 milyar. Insiden pembakaran kapal purse seine milik nelayan Jateng di perairan Pulau Kerayaan Pulau Laut Selatan Kotabaru memicu ribuan nelayan Kotabaru menggelar aksi protes di depan gedung DPRD Kotabaru yang menuntut diusirnya kapal-kapal purse siene dari perairan Kotabaru. Massa yang tiba secara bergelombang sekitar pukul 10.00 wita melempari gedung DPRD dengan air mineral, mobil-mobil milik anggota DPRD yang parkir di halaman tak luput dari aksi pukulan pengunjuk rasa.

Sementara itu pada tahun 2007 di Kabupaten Tanah Laut terjadi konfrontasi. Keresahan sejumlah nelayan Tanah Laut yang sudah tiga bulan merasa hasil tangkapan mereka menurun drastis bahkan rugi karena masuknya nelayan andon yang melakukan pengambilan teripang dan kerang mutiara dan memiliki surat izin. Nelayan andon yang masuk ke perairan Kalimantan Selatan berasal dari Sulawesi (Ujung Pandang, Maros dan Serigi), Kalimantan Timur dan Jawa Timur (Ra’as). Nelayan andon menggunakan kompresor sebagai alat bantu dalam melakukan usaha penangkapan teripang dan kerang.

Nelayan Sumenep dan nelayan Tanah laut melakukan eksploitasi perikanan pada wilayah fishing ground yang sama yaitu daerah Tanjung Selatan yang secara horizontal berjarak 40 mil dari desa Tabanio. Perairan Tanjung Selatan merupakan daerah yang subur, banyak terdapat sumber alam yang merupakan usaha penangkapan potensial bagi nelayan Tanah Laut yang merupakan ladang usaha perikanan tangkap secara turun temurun. Perairan Tanjung Selatan dikenal oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Tanah Laut selain mengandung sumberdaya ikan juga memiliki terumbu karang dan teripang yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mengundang nelayan luar tertarik masuk untuk mengambil sumberdaya tersebut. Perairan Tanjung Selatan merupakan perairan yang dangkal dengan kedalaman perairan berkisar 12-27 meter.

Kesepakatan mulai dibuat dengan melakukan negosiasi antara nelayan Tanah Laut dengan Sumenep yaitu pengoperasian penangkapan ikan disesuaikan

dengan aktivitas nelayan lokal. Nelayan Sumenep hanya beroperasi pada siang hari, sedangkan nelayan Tanah Laut malam hari. Kesepakatan ini dicapai dalam rembug tapi adanya campur tangan TNI AL, akibatnya sejumlah nelayan Tabanio kurang puas dengan kesepakatan itu, karena walaupun jadwal melaut bisa diatur, namun secara ekonomis tetap merugikan nelayan lokal. Apalagi pengaturan jadwal melaut itu merupakan solusi yang ditawarkan pihak TNI AL (LANAL). Mereka sebenarnya tetap menghendaki agar nelayan Sumenep dilarang menjamah perairan di Tanah Laut, kecuali jika menggunakan alat tangkap yang sama dengan nelayan lokal.

Konflik semakin memanas dan kritis karena jumlah kapal nelayan