• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis Kritik

Dalam dokumen KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19 (Halaman 54-60)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktik penilai- annya ternyata para kritikus sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 menggunakan cara yang berbeda-beda. Baik dalam menyoroti karya sastra maupun hal-hal di luar sastra, seba- gian dari mereka ada yang menggunakan konsep atau teori terten- tu, dan sebagian lain tidak menggunakan konsep atau teori tetapi hanya menuangkan impresi-impresi selintas atas objek yang di- soroti. Mereka yang menggunakan konsep, pendekatan, atau teori tertentu menghasilkan karya kritik yang cenderung ilmiah (judisial) dan mereka yang tidak menggunakan konsep atau teori tertentu menghasilkan karya-karya kritik yang tidak ilmiah dan hanya be- rupa ulasan singkat (impresionistik).

BAB III

JENIS DAN ORIENTASI KRITIK SASTRA

INDONESIA DI YOGYAKARTA

Berdasarkan pengamatan terhadap seluruh data dapat dikatakan bahwa ternyata karya-karya kritik sastra Indonesia yang dipublikasikan di beberapa media massa cetak yang terbit di Yog- yakarta didominasi oleh karya-karya kritik yang tidak ilmiah (impre- sionistik). Dikatakan demikian karena data menunjukkan hanya ada beberapa karya kritik yang menggunakan konsep atau teori sastra tertentu. Perlu ditegaskan pula bahwa konsep atau teori yang dipergunakannya pun tidak disajikan secara eksplisit, lebih-lebih secara panjang lebar, tetapi sering hanya disebutkan inti atau po- kok-pokok pikirannya, atau bahkan hanya disebutkan tokoh pen- cetusnya.

Esai berjudul “Beberapa Anggapan dalam Puisi Romantik Indonesia” karangan Harry Avelling yang dimuat Basis, No. 22, Thn. 1972—1973, misalnya, menunjukkan kecenderungan itu. Ke- tika membahas puisi Indonesia umumnya dan puisi tahun 1920— 1945 khususnya, dalam esai tersebut Harry Avelling secara sadar sebenarnya menggunakan teori mengenai sistem norma sebagai- mana dikemukakan oleh Wellek dan Warren. Akan tetapi, pada ke- nyataannya, ia tidak memberikan penjelasan yang lengkap menge- nai konsep teori itu tetapi hanya menyebutkan nama pencetusnya (Wellek dan Warren). Dengan menggunakan konsep Wellek dan Warren, Harry Avelling sampai pada kesimpulan bahwa puisi- puisi Indonesia pada masa itu kuat dalam kecairan, campur baur, pengalaman-pengalaman permulaan yang halus, dan mengangkat dunia lain. Selain itu, menurutnya, puisi-puisi tersebut juga cende- rung individualis, idealis, subjektif terhadap alam, dan mementing- kan gambaran simbolis. Akan tetapi, katanya, karya-karya puisi itu tidak sesuai dengan norma-norma seperti yang diajukan oleh Wellek.

Kecenderungan serupa tampak pada esai Bakdi Sumanto berjudul “Ada yang Menyendat, Ada yang Lancar” (Semangat, No. 2, Oktober 1974). Dalam tulisan tersebut Bakdi mengupas proses kreatif penulisan puisi “Malam Pengantin” karya Laddy Tadjudin dan “Menjelang Akhir Hidupku” karya Sinta Kuncoro. Ketika membahas proses kreatif penulisan puisi itu Bakdi mendasarkan analisisnya pada teori R.H. Tawney sebagaimana ditulis dalam

buku Write Poetry from Within. Menurutnya, ada tiga hambatan yang ditemui dalam menulis puisi, yaitu (1) dihantui rasa takut, malu, was-was kalau diejek, diketahui rasa hatinya, takut dinilai, (2) penulis tidak tahu persis apa yang akan dikemukakannya, dan (3) belum menguasai media, kurang kata-kata atau bahasa yang digunakan. Jadi, dalam esai ini, Bakdi hanya menyebutkan ham- batan dalam proses kreatif penulisan puisi secara singkat, tidak menjelaskan secara lengkap konsepnya dan ia langsung menunjuk pada dua contoh puisi karya Laddy dan Sinta.

Hal tersebut sedikit berbeda dengan esai karangan Hilla Veranza berjudul “Estetika dan Puisi dalam Masalah Kemanusia- an” (Basis, September 1979). Esai ini cenderung ilmiah karena ke- tika hendak menjelaskan hubungan antara estetika, puisi, dan masalah kehidupan manusia, penulis memaparkan terlebih dulu latar belakang sejarah (pasang surut estetika, posisi estetika dalam diri manusia), pengalaman estetis (kedudukan manusia dalam alam, keniscayaan pengalaman estetis), dan dasar-dasar antro- pologis puisi modern (puisi sebagai pribadi, dinamika dalam pende- katan puisi, dan letak keabadian puisi). Dengan mengutip sejumlah referensi penulis kemudian menyatakan bahwa unsur-unsur sub- jektif bekerja kuat dalam puisi. Puisi yang mencerminkan keutuhan merupakan bentuk pengambilan sikap penyair terhadap masalah kemanusiaan. Meski terjadi pengkhiatan terhadap nilai-nilai kema- nusiaan, pada dasarnya keluhuran akan tetap berbisik selama orang masih berhubungan dengan karya seni. Akhirnya, dengan me- ngutip pendapat Gunawan Mohamad dan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, penulis merasa lega bahwa kita masih bisa memperoleh nilai-nilai keabadian dalam puisi.

Tiga buah esai karya A. Teeuw, yakni “Sastra dalam Kete- gangan antara Tradisi dengan Pembaharuan” (Basis, Juni 1978), “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” (Basis, November 1979), dan “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” (Basis, Oktober 1980), menunjukkan kecenderungan ilmiah seperti karang- an Hilla Veranza di atas. Sebab, esai yang semula diajukan dalam beberapa konferensi di Jakarta itu bahkan tidak hanya merupakan kritik terhadap contoh-contoh karya sastra Indonesia, tetapi juga

ada kecenderungan untuk mengkritisi teori-teori sastra lain dan kemudian mengompilasikannya sehingga —seolah-olah— tercipta sebuah teori baru yang dapat dijadikan pegangan bagi para peneliti sastra di Indonesia. Oleh sebab itu, melalui esai-esai tersebut pem- baca akan memperoleh pencerahan sehingga mampu membaca dan menganalisis karya sastra secara benar dan tepat.

Itulah beberapa contoh karya-karya kritik sastra Indonesia yang cenderung ilmiah yang dimuat di dalam Basis dan Semangat. Sesungguhnya, Basis dan Semangat memungkinkan untuk sepenuh- nya menjadi media publikasi bagi karya-karya kritik judisial atau kritik akademik. Sebab, kedua media publikasi tersebut berupa majalah (bulanan), bahkan berlabel sebagai “majalah kebudayaan” yang tentu menaruh perhatian besar pada masalah-masalah kebu- dayaan termasuk di dalamnya sastra. Kemungkinan itu diperkuat oleh konsumen atau pembaca majalah tersebut adalah kelompok intelektual (ilmuwan, budayawan, peneliti, dosen, guru, mahasis- wa) sehingga tidak aneh jika di dalamnya dimuat karya-karya kritik sastra yang ilmiah yang secara eksplisit menggunakan landasan teori atau metode tertentu.

Kendati demikian, kenyataan membuktikan, Basis dan Semangat pun tetap didominasi oleh karya-karya kritik sastra nonilmiah (impresionistik) yang tidak menggunakan konsep atau landasan berpikir tertentu. Hal demikian dapat dipahami karena majalah- majalah itu bukanlah majalah atau jurnal ilmiah, melainkan “ma- jalah kebudayaan umum” yang mau tidak mau harus memenuhi kriteria “mudah dicerna” oleh pembaca mana pun. Karena itu, karya- karya kritik sastra yang dipublikasikan, meskipun pokok masalah yang dibahas mungkin tidak sederhana, tetapi tetap dituntut untuk tampil sederhana, ringkas, dapat dibaca cepat, dimengerti semua kalangan, di samping karena terbatasnya ruang atau halaman. Itulah sebabnya, sangat masuk akal jika kecenderungan impresio- nistik mendominasi karya-karya kritik sastra yang dimuat pada majalah tersebut.

Sebagai contoh, dapatlah dicermati tulisan berjudul “Mem- baca Poesi Terjemahan: Menyambut The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar” (Basis, Oktober 1972) karya Ahar, “Resensi Buku”

(Basis, Mei 1978) karya B. Rahmanto dan Ariel Heryanto, “Per- temuan Sastrawan se-Indonesia ke-2: Suatu Arah” (Basis, Oktober 1974), “Sri Sumarah dan Bawuk” (Basis, Oktober 1976) karya St. Soelarto, dan masih banyak lagi, yang semuanya merupakan tulis- an-tulisan singkat yang berisi ulasan permukaan tanpa landasan konsep atau teori tertentu. Kalau demikian halnya, dapat dikatakan bahwa sebagian besar karya-karya kritik sastra Indonesia yang dimuat di majalah Basis dan Semangat tidak jauh berbeda, bahkan cenderung sama, dengan karya-karya kritik sastra yang dimuat di surat kabar seperti Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, dan Pelopor.

Data yang diperoleh dari Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, dan Pelopor seluruhnya menunjukkan kecenderungan sebagai karya kritik impresionistik. Bahkan, dalam Suara Muhammadiyah, walaupun media ini berupa majalah, karya-karya kritik yang dimuat di dalamnya pun cenderung sama dengan yang dimuat di surat kabar. Namun, hal itu dapat dipahami karena Suara Muhammadiyah terbit setiap dua minggu sekali sehingga redaksi tidak mungkin menyajikan karya-karya (tulisan) yang berbobot ilmiah. Terlebih lagi, Suara Muhammadiyah bukanlah majalah ilmiah, melainkan majalah dakwah yang dituntut harus mudah dibaca dan dipahami oleh seluruh umat.

Pada umumnya, di dalam karya-karya kritik impresionistik yang dimuat di berbagai surat kabar tersebut, para penulis (kriti- kus) hanya memberikan tafsiran-tafsiran sekilas berdasarkan peng- amatan yang sekilas pula, dan seolah mereka tidak melakukan penilai- an yang intens (baik atau buruk) berdasarkan aturan atau pedoman yang ada (berlaku), tetapi cenderung hanya memuji objek yang dikritik, atau sebaliknya. Sebagai contoh, artikel Aryasatyani ber- judul “Thema Chairil Anwar” (Minggu Pagi, No. 26, April 1970). Artikel pendek ini hanya mengungkapkan secara sekilas sepak terjang penyair Chairil Anwar. Dikatakannya bahwa Chairil adalah penyair Indonesia yang mempunyai watak kurang ajar sesuai watak yang dibawakan dalam sajak-sajaknya; Chairil adalah anak didik HB Jassin yang mempunyai bakat terpendam di balik ke- nakalannya; konon Chairil pernah datang ke kantor Pramudya,

membacakan sajaknya secara keras sampai mereka berdua beradu mulut; Chairil tertawa sampai kawan-kawannya ikut tertawa; dan kehadiran Chairil memang membawa kesegaran walaupun ia ber- watak kurang ajar; dan seterusnya. Jadi, pendapat penulis artikel ini hanya subjektif belaka walaupun mungkin sesuai dengan pengalamannya. Karena tanpa disertai bukti-bukti dan konsep- konsep yang mendasarinya, jelas bahwa kesan impresif tampak nyata dalam artikel ini.

Hal serupa terlihat pula dalam tiga tulisan karya Linus Suryadi A.G. berjudul “Chairil Anwar: Pengembara Monumental” (Kedaulatan Rakyat, 16 Mei 1978), “Interlude Gunawan Mohammad: Gejala Puisi Indonesia Modern?” (Kedaulatan Rakyat, April 1976), dan “Suluk Awang Uwung Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa” (Kedaulatan Rakyat, 19 Februari 1976). Ketiga artikel ini memang secara objektif menyoroti puisi karya Chairil Anwar, Gunawan Mohammad, dan Kuntowijoyo), tetapi cara yang dilakukan Linus melihat objek (puisi) itu sangatlah subjektif karena tidak dilandasi oleh konsep tertentu di bidang ilmu tertentu. Oleh sebab itu, kesan yang dapat ditangkap oleh pembaca ialah bahwa kebenaran atas puisi berdasarkan penglihatan Linus tidak selalu benar berdasar- kan penglihatan orang lain.

Tulisan Bakdi Sumanto berjudul “Antara yang Mengental dan yang Mencair” (Semangat, Juni 1976) juga menunjukkan hal yang sama. Ketika membahas puisi “Pohon Murbei” dan “Date Di Café” karya Ridj. Ahem (Kemiri, Purworejo), Bakdi hanya menuliskan kesan-kesannya bahwa puisi itu padat dan baik dalam pemilihan kata-katanya. Dikemukakan pula bahwa sajak memang memerlu- kan ramuan kata yang padat, fungsional, dan mampu memberikan pemahaman yang tepat bagi pembacanya. Selain itu, dicontohkan juga sajak berjudul “Hari Ini” yang “tidak berhasil” seperti kedua sajak terdahulunya. Menurutnya, ada kesan ragu-ragu untuk me- madatkan tulisannya sehingga sajak itu terkesan menjelaskan. Sajak yang dikemukakan penyair ada yang bersifat kental atau cair, berdasarkan esensi puitikanya. Namun, jika terlalu cair, penyair membutuhkan banyak keterangan yang akan menjelaskan sajak- nya, dan yang paling penting ialah ungkapan yang bersifat esen-

sial dalam hidup yang dikemas dalam dimensi dan perspektif pe- nyair.

Seperti halnya karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogya- karta pada kurun waktu sebelumnya (1945—1965), dominasi karya- karya kritik sastra impresionistik pada kurun waktu ini (1966— 1980) juga diperkuat oleh adanya ulasan sederhana yang dimuat di dalam rubrik “surat pembaca”, “berita”, “kronik”, “varia remaja”, “sketsa”, dan banyaknya tulisan-tulisan anonim. Kritik yang mun- cul dalam “surat pembaca”, misalnya, terlihat pada majalah Semangat (Desember 1968, September 1970, Juni 1971, Oktober 1971, Januari 1972, Maret 1972, Mei 1972, September 1973, Mei 1980, Juni 1980, Juni 1980, Agustus 1980), Suara Muhammadiyah (No. 3 dan 4 Thn. Ke-56; No. 2, Januari 1973, No. 12, 1976; desember 1974), Basis (Okto- ber 1976), dan masih banyak lagi.

Demikian paparan singkat mengenai jenis kritik di dalam khazanah kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980. Dari paparan ringkas tersebut akhirnya dapat dinyatakan bahwa karya-karya kritik sastra pada kurun waktu ini didominasi oleh karya kritik yang berjenis impresionistik. Kenyataan itu bu- kanlah suatu kebetulan karena karya-karya kritik itu dipublikasi- kan di dalam majalah-majalah umum sehingga para kritikus pun menulis kritik yang memenuhi syarat sebagai kritik umum. Sebab, kalau tidak, kritik yang mereka tulis tidak akan mencapai sasaran yang dituju karena pembaca media massa umum itu beragam baik usia, jenis kelamin, status, pendidikan, pekerjaan, dan seterusnya. Meski demikian, tanda-tanda yang semakin menunjukkan optimis- me ialah bahwa pada kurun waktu 1966—1980 jumlah karya kritik yang objektif meningkat tajam. Hal itu berarti bahwa kini telah muncul kesadaran bahwa sesungguhnya kritik sastra adalah kritik terhadap karya, bukan kritik terhadap yang lain.

Dalam dokumen KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19 (Halaman 54-60)

Dokumen terkait