• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KRITIK SASTRA INDONESIA

DI YOGYAKARTA

1966—1980

Tirto Suwondo

Siti Ajar Ismiyati

Yohanes Adhi Satiyoko

BALAI BAHASA YOGYAKARTA

PUSAT BAHASA

(3)

KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 1966—1980

Penulis:

Tirto Suwondo Siti Ajar Ismiyati Yohanes Adhi Satiyoko

Penyunting:

Imam Budi Utomo Dhanu Priyo Prabowo

Cetakan Pertama:

Juni 2009

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh: BALAI BAHASA YOGYAKARTA PUSAT BAHASA

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 1966—1980/Tirto Suwondo, Siti Ajar Ismiyati, Yohanes Adhi Satiyoko—cet. 1—Yogyakarta: Penerbit Balai Bahasa Yogyakarta,

116 + viii hlm; 14.5 x 21 cm, 2009 ISBN (10) 979-188-192-8

(13) 978-979-188-192-0

1. Literatur I. Judul

II. Imam Budi Utomo 800

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual

(4)

Sebagai sebuah disiplin ilmu sastra, kritik sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memiliki kedudukan penting, sama seperti kedudukan teori dan sejarah sastra. Oleh karena ketiga disiplin ilmu sastra itu saling berkaitan, saling menopang, dan tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain maka jelas kritik sastra tidak sekadar sebagai ilmu yang hanya membahas baik-buruk suatu karya sastra, tetapi juga menjadi bagian yang penting dalam proses perkembangan teori dan sejarah sastra.

Kritik sastra modern di Indo­nesia pertama kali diperkenalkan oleh Angkatan Pujangga Baru. Pada saat itu, terjadi polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Dari pole-mik itu kemudian lahirlah konsep dan pandangan mengenai kritik sastra Indonesia. Perdebatan yang terjadi di antara para ahli tersebut, berimbas ke seluruh daerah. Sejak akhir tahun 1960-an, kritik sastra berkembang di perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi maha­siswa sastra. Di samping itu, kritik sastra juga berkembang di media massa.

Per­kembangan dunia sastra Indonesia di wilayah Yogyakarta, didu­kung oleh keberadaan media massa cetak (majalah dan koran) yang terbit di Yogyakarta. Beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta, menjadi pendukung eksistensi sastra Indonesia di Yogyakarta sejak awal hingga sekarang. Namun demikian, peranan-nya terhadap pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta ber-beda-beda; ada yang sejak pertama terbit telah memuat karya sastra (terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik), ada pula yang baru be-berapa tahun kemudian memuat karya sastra.

(5)

Buku yang merupakan hasil penelitian Balai Bahasa Yogya-karta ini diterbitkan dengan maksud untuk memberikan sumbang-an ysumbang-ang berarti bagi upaya penelusursumbang-an perkembsumbang-angsumbang-an sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, terutama sejarah kritik sastranya. Pada akhirnya, diharapkan buku ini dapat dibaca oleh masya-rakat umum dalam rangka menambah pengetahuan mengenai ke-beradaan dunia sastra Indonesia di Yogyakarta.

(6)

Puji syukur kami (tim peneliti) panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahabesar karena tugas yang dibebankan oleh Balai Bahasa Yogyakarta kepada kami untuk melakukan penelitian berjudul “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Tahun 1966—1980” dapat kami selesaikan dengan baik. Dengan selesainya tugas ini, kami merasa bahwa semua itu tiada lain berkat limpahan kasih-Nya se-hingga kami tidak bisa tidak harus mengucapkan syukur kepada-Nya.

Kami menyadari, tugas ini tidak mungkin dapat kami selesai-kan jika tanpa ada peran, keberadaan, dan keikhlasan berbagai pihak. Untuk itu, dengan rendah hati kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada pihak-pihak berikut. Pertama, Kepala Balai Bahasa Yogyakarta atas hak dan kewenangannya memberikan tugas ini kepada kami. Kedua, konsultan yang telah meluangkan waktu bagi kami untuk berkonsultasi. Ketiga, kepada kawan-kawan pene-liti di Bidang Penepene-litian dan Pembinaan Sastra Balai Bahasa Yogya-karta yang telah memberikan dorongan moral dan spirit kepada kami. Keempat, kepada semua pihak, yang tidak mungkin kami sebut satu per satu, termasuk para pengetik naskah ini, yang terlibat baik langsung maupun tak langsung sehingga penelitian ini dapat kami wujudkan. Kepada mereka semua, sungguh kami merasa berutang budi, dan semoga budi baik mereka membuahkan pahala yang melimpah dari-Nya.

Kami juga menyadari, penelitian ini masih jauh dari ideal, lebih-lebih sempurna. Oleh sebab itu, demi kesempurnaannya, saran

(7)

dan kritik dari pihak mana pun sangat kami harapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pecinta sastra Indonesia di Yog-yakarta khususnya dan para pecinta sastra Indonesia pada umum-nya.

Yogyakarta, Desember 2005 Ketua Tim,

(8)

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.2 Masalah ... 6

1.2 Tujuan Penelitian ... 7

1.3 Landasan Teori ... 7

1.4 Metode dan Teknik ... 10

1.5 Data Penelitian ... 11

1.6 Sistematika Penyajian ... 11

1.7 Ejaan ... 12

BAB II DINAMIKA KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA ... 13

2.1 Mobilitas Sosial ... 13

2.2 Tradisi Kritik ... 20

2.3 Kritikus ... 23

2.4 Media Penerbitan dan Penyebarluasan ... 26

BAB III JENIS DAN ORIENTASI KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA ... 45

3.1 Jenis Kritik ... 45

(9)

3.2.1 Kritik Terhadap Pengarang ... 52

3.2.2 Kritik Terhadap Karya Sastra ... 67

3.2.3 Kritik Terhadap Penerbit/Pengayom ... 96

3.2.4 Kritik Terhadap Pembaca ... 103

3.2.5 Kritik Terhadap Kritik ... 106

BAB IV PENUTUP ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(10)

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang

Seperti diketahui bahwa perkembangan kritik sastra di Indo-nesia, khususnya kritik sastra Indonesia modern, relatif baru. Dalam kaitan ini Teeuw (1989:73—74) mencatat bahwa yang tampil per-tama kali di bidang kritik sastra adalah Pujangga Baru. Saat itu, lewat Pujangga Baru, terjadi polemik/perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Polemik itulah yang kemudian melahirkan konsep dan pandangan Takdir menge-nai kritik sastra Indonesia yang kemudian dibukukan dalam Ke-bangkitan Puisi Baru Indonesia. Itu pula sebabnya, pada masa beri-kutnya (1950-an dan 1960-an) tampil dua tokoh penting, yakni H.B. Jassin dan A. Teeuw, yang dengan sadar mulai membangkitkan tradisi kritik sastra di Indonesia. Karya-karya kritik mereka kemu-dian dibukukan dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (5 jilid) (Gunung Agung, 1954) dan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (Pembangunan, 1952).

Pada masa berikutnya (akhir 1960-an), terjadi pula polemik antara aliran Rawamangun yang dimotori oleh kalangan akademisi seperti M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U. Nasu-tion dan aliran Ganzheit yang dimotori oleh Arif Budiman dan Gunawan Mohamad. Aliran Rawamangun berusaha menempat-kan kritik sastra sebagai ilmu dengan prinsip, teori, dan sistem

BAB I

(11)

yang jelas; sedangkan aliran Ganzheit mencoba menempatkan prinsip bahwa memahami karya sastra haruslah secara totalitas, tidak menganalisisnya unsur demi unsur. Beberapa karya kritik yang berasal dari perdebatan tersebut kemudian dibukukan oleh M.S. Hutagalung dalam Kritik Atas Kritik Atas Kritik (Tulila, 1975). Seperti diketahui pula bahwa perdebatan yang terjadi sejak Pujangga Baru hingga tahun 1960-an di antara para ahli (H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, A. Teeuw, M. Saleh Saad, M.S. Huta-galung, S. Effendi, J.U. Nasution, Arif Budiman, dan Gunawan Mohamad) itu mempunyai imbas yang luas (secara nasional). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi kritik sastra Indonesia di berbagai daerah turut berkembang, tidak terkecuali di daerah/ wilayah Yogyakarta. Sebab, sejak akhir tahun 1960-an, selain kritik sastra berkembang di perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi maha-siswa sastra, kritik sastra juga berkembang di media-media massa cetak yang terbit di wilayah-wilayah yang bersangkutan.

(12)

Kanisius), Semangat (majalah pemuda-pemudi dewasa, terbit per-tama tahun 1954, mendapat surat izin terbit baru pada 28 Maret 1966, oleh Badan Penerbit Spirit, di bawah dukungan pemuda-pemudi Katolik), Budaya (terbit pertama Februari 1953, oleh Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Ke-budayaan Provinsi DIY), Mercu Suar (terbit pertama tahun 1966, kemudian pada tahun 1972 berubah nama menjadi Masa Kini, dan pada awal 1990-an berubah —dengan manajemen baru di bawah naungan harian nasional Media Indonesia— menjadi Yogya Post), Eksponen (tabloid mingguan, terbit tahun 1970-an hingga 1980-an), dan Berita Nasional (terbit sejak awal 1970-an dan pada tahun 1990-an berubah —deng1990-an m1990-anajemen baru di bawah naung1990-an hari1990-an nasional Kompas— menjadi Bernas). Hal itu masih ditambah dengan majalah Citra Jogja terbitan Dewan Kesenian Yogyakarta dan bebe-rapa majalah kampus seperti Arena (IAIN), Humanitas (Fakultas Sas-tra UGM), CiSas-tra (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Muham-madiyah), Gatra (Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma), dan atau majalah/bulletin terbitan sanggar atau kelompok-kelompok studi seniman/sastrawan.

Dilihat dari peranannya terhadap pertumbuhan sastra Indo-nesia di Yogyakarta, beberapa media massa cetak yang disebutkan di atas memang berbeda-beda; ada yang sejak pertama terbit telah memuat karya sastra (terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik), mi-salnya Arena dan Medan Sastra; ada pula yang baru beberapa tahun kemudian memuat karya sastra, misalnya Pesat, sebuah mingguan politik yang terbit tahun 1945 tetapi sejak tahun 1951 memuat karya sastra, dan Kedaulatan Rakyat yang terbit sejak 1945 tetapi baru mem-buka rubrik sastra (budaya) pada awal 1980-an. Akan tetapi, bagai-manapun juga, meskipun berbeda-beda peranannya, media-media massa cetak tersebut cukup memberikan andil positif bagi perkem-bangan sastra Indonesia di Yogyakarta, lebih-lebih karena pada beberapa dekade awal kemerdekaan hingga tahun 70-an (sebelum tahun 1980) dunia penerbitan buku karya sastra boleh dikata belum berkembang. Oleh karena itu, dunia sastra secara dominan tumbuh melalui koran dan majalah.

(13)

terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik; sedangkan karya sastra yang berupa novel (cerita bersambung) dan drama tidak memper-oleh perhatian semestinya, kecuali Minggu Pagi yang pada awal tahun 1960-an pernah memuat cerita bersambung (novel) karangan Motinggo Busye berjudul “Tidak Menyerah” dan “Ahim-Ha Manu-sia Sejati” dan karangan Nasjah Djamin berjudul “Hilanglah Si Anak Hilang”.1 Oleh sebab itu, untuk mengetahui sejauh mana

keberada-an karya-karya sastra dalam media-media massa tersebut dkeberada-an sejauh mana peranannya dalam perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta secara keseluruhan, seluruh karya sastra yang di-muat di dalam media-media tersebut harus diteliti. Akan tetapi, tidaklah mungkin meneliti seluruh karya sastra yang terbit dalam media-media tersebut karena hal tersebut hanya mungkin dilaku-kan jika tersedia waktu, kemampuan, dan tentu saja biaya yang cukup (banyak). Karena penelitian ini serba terbatas, di samping karena waktu dan biaya yang amat terbatas, pembatasan terhadap objek penelitian pun harus dilakukan.

Berkenaan dengan hal di atas, penelitian ini hanya akan mem-bahas salah satu di antara sekian banyak aspek di bidang sastra, yaitu kritik sastra Indonesia dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor pada kurun waktu tahun 1966 hingga 1980. Pembatasan ha-nya pada kritik sastra tidak berarti bahwa karya-karya lain (puisi, cerpen, novel, drama dll.) tidak penting, tetapi semata karena karya-karya lain itu sudah diteliti oleh para peneliti lain, misalnya puisi oleh Widati dkk. (2003, 2004), cerita pendek oleh Triyono dkk. (2004), dan novel (cerita bersambung) oleh Mardianto dkk. (2004). Di samping itu, pembatasan media hanya pada Minggu Pagi, Ke-daulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Mu-hammadiyah, dan Pelopor juga tidak berarti bahwa media-media

(14)

lainnya tidak penting, tetapi karena memang media-media itulah yang pada kurun waktu itu (1966—1980) masih hidup dan dimung-kinkan menjadi media publikasi karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Sementara itu, pembatasan waktu penelitian hanya pada tahun 1966 hingga 1980 juga tidak berarti tahun-tahun di luar itu diabaikan, tetapi karena esai/kritik sastra yang terbit pada tahun 1945 hingga 1965 telah diteliti oleh Suwondo dkk. (2004), sedangkan esai/kritik sastra yang terbit sesudah tahun 1980 akan diteliti kemudian (tahun 2006). Oleh karena itu, cukup beralasan jika penelitian ini hanya membatasi objek penelitian berupa karya-karya kritik sastra pada Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor.

Perlu dikemukakan di sini bahwa alasan perlu ditelitinya kri-tik sastra ialah karena sebagai sebuah disiplin ilmu sastra, krikri-tik sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memiliki keduduk-an ykeduduk-ang penting, sama seperti kedudukkeduduk-an teori dkeduduk-an sejarah sastra (Wellek dan Warren, 1968). Oleh karena ketiga disiplin ilmu sastra itu (teori, sejarah, dan kritik) saling berkaitan, saling menopang, dan tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain, jelaslah bah-wa kritik sastra tidak sekadar sebagai ilmu yang hanya membahas baik-buruk suatu karya sastra, tetapi juga menjadi bagian yang penting dalam proses perkembangan teori dan sejarah sastra. Oleh sebab itu, perkembangan kritik sastra di suatu wilayah tertentu, misalnya, secara tidak terelakkan akan menjadi bagian dari para-meter perkembangan atau perjalanan sejarah dan teori sastra di wilayah yang bersangkutan. Demikian pula kiranya perkembang-an kritik sastra Indonesia di Yogyakarta.

(15)

mendukung dalam upaya atau proses kehadiran kritik sastra Indo-nesia di Yogyakarta.

Berdasarkan pengamatan sementara dapat dikatakan bahwa esai/kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang muncul dalam Ming-gu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor tahun 1966 hingga 1980 cukup beragam, dalam arti kritik tersebut tidak hanya ditujukan kepada karya sastra (secara objektif, secara mikro sastra), tetapi juga di-tujukan kepada elemen-elemen lain di luar karya sastra (secara ma-kro, cenderung sosiologis), misalnya kepada para pengarang (sang pencipta, penulis, kreator), kepada penerbit (termasuk di dalamnya pengayom), kepada para pembaca (selaku penikmat, audiens, apre-siator), dan bahkan kepada kritik itu sendiri (yang berupa diskusi terbuka atau polemik). Selain itu, kritik sastra dalam beberapa media cetak tersebut juga tidak hanya muncul di dalam rubrik yang secara eksplisit diberi nama “kritik”, “seni-budaya”, atau “sastra-budaya”, tetapi dapat muncul dalam rubrik lain, misalnya rubrik surat pembaca, ulasan, resensi atau bedah buku, dan lain-lain. Oleh sebab itu, penelitian ini akan membahas berbagai orientasi esai/ kritik sastra dengan mengesampingkan pembedaan rubrik yang ada di dalam masing-masing media massa cetak tersebut (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor).

1.1.2 Masalah

(16)

kritikusnya, dan bagaimana peran media massa cetak itu dalam per-kembangan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hing-ga 1980. Dalam pokok masalah (2) akan dilihat apa saja jenis kritik-nya berdasarkan metode penggarapan atau pekritik-nyampaiankritik-nya. Se-mentara itu, dalam pokok masalah (3) akan dilihat bagaimana fo-kus perhatian kritik; terhadap apa saja kritik itu ditujukan, apakah terhadap pengarang, karya, penerbit/pengayom, pembaca, kritik, atau terhadap hal lain yang berada di dalam lingkaran sistem kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980.

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dipapar-kan di atas, penelitian ini dimaksuddipapar-kan untuk mencapai beberapa tujuan yang mencakupi tujuan umum dan tujuan khusus. Dalam kaitannya dengan tujuan umum, penelitian ini bermaksud mem-bantu memberikan sumbangan yang berarti bagi upaya penelusur-an perkembpenelusur-angpenelusur-an sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, terutama sejarah kritik sastranya, di samping memberikan dan atau menye-diakan data deskriptif yang dapat dibaca oleh masyarakat umum dalam rangka menambah pengetahuan mengenai keberadaan dunia sastra Indonesia di Yogyakarta.

Di samping itu, dalam kaitannya dengan tujuan khusus, pene-litian ini bermaksud mengetahui keberadaan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 khususnya dalam media massa cetak Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Lebih khusus lagi, penelitian ini bermaksud mendeskripsi dan menginventarisasi berbagai hal yang berhubungan dengan jenis dan orientasi kritik sastra yang muncul dalam media-media tersebut beserta kecen-derungan dominannya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan melihat seberapa besar peranan media-media massa cetak itu da-lam konteks perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta.

1.3 Landasan Teori

(17)

Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 dan lingkup kajiannya dipusat-kan pada karya-karya kritik sastra Indonesia yang telah dipubli-kasikan dalam media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Ming-gu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor). Karena karya-karya kritik sastra tersebut —yang berupa esai, artikel, ulasan, resensi, dll.— pada hakikatnya merupakan suatu kristalisasi tanggapan atau sambutan pembaca, khususnya pembaca canggih (sophisticated reader) atau kritikus, teori yang paling tepat untuk digunakan sebagai landasan analisis ialah resepsi sastra seperti yang telah dirumuskan secara bersistem oleh Jauss (1974) dan Iser (1980, 1987) dengan prinsip da-sarnya yang terkenal, yaitu “horizon harapan” (horizon of expecta-tion) dan “tempat terbuka” (blank, apenness).

Teori resepsi sastra antara lain berpandangan bahwa pembaca (reader) merupakan variabel penting sebagai pemberi makna karya sastra; dan oleh karenanya, dalam suatu penelitian sastra, tang-gapan pembaca terhadap sastra yang antara lain terwujud dalam bentuk karya-karya kritik dapat dimanfaatkan sebagai titik tolak pem-bahasan. Namun, karena penelitian ini bermaksud mendeskripsi-kan tanggapan pembaca lewat karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang berkembang pada kurun waktu tertentu (1966— 1980), konsep teori resepsi yang diajukan oleh Jauss dan Iser akan diterapkan ke dalam beberapa kategori kritik seperti yang dikemu-kakan oleh Tanaka (1976), Said (1983), dan Abrams (1981).

(18)

Di samping itu, Said (Damono, 1998/1999) membagi kritik sastra menjadi empat bentuk, yaitu (1) kritik sastra praktis/umum (practical criticism), (2) sejarah sastra/akademik (academic literary history), (3) apresiasi dan interpretasi sastra (literary appreciation and interpretation), dan (4) teori sastra (literary theory). Walaupun di-klasifikasikan menjadi empat bentuk, pengertian atau batasan yang diajukan Said pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian yang diajukan oleh Tanaka. Pengertian bentuk kritik (1) model Said sama dengan pengertian kritik umum model Tanaka; bentuk kritik (2) dan (4) model Said sama dengan kritik akademik model Tanaka; dan bentuk kritik (3) model Said lebih luwes, dalam arti kritik tersebut dapat dikategorikan baik sebagai kritik akademik maupun kritik umum model Tanaka.

Sehubungan dengan hal di atas, Abrams (1981:36—37) me-nyatakan bahwa di dalam praktik penilaiannya kritik sastra dipilah menjadi dua jenis, yaitu kritik judisial (judicial criticism) dan kritik impresionistik (impressionistic criticism); sedangkan berdasarkan pendekatan dan atau orientasinya kritik sastra dibedakan menjadi kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic criti-cism), kritik ekspresif (expressive criticriti-cism), dan kritik objektif (objec-tive criticism). Kritik judisial adalah kritik yang di dalam penilai-annya menggunakan standar (konsep, teori, aturan) tertentu, se-dangkan kritik impresionistik sebaliknya, tidak menggunakan standar tertentu tetapi hanya berdasarkan kesan (impresi) kritikus terhadap karya sastra (bdk. Pradopo, 1988:28—30). Sementara itu, kritik mimetik berorientasi pada tiruan atau gambaran ide (alam, dunia, kehidupan), kritik pragmatik berorientasi pada pembaca atau penikmat, kritik ekspresif berorientasi pada pengarang atau pencipta, dan kritik objektif berorientasi pada karya sastra (bdk. Pradopo, 2002:40—46).

(19)

kritik umum baik model Tanaka maupun Said; dan empat kategori kritik berdasarkan pendekatan atau orientasi model Abrams sesuai pula dengan beberapa kategori sistem (mikro dan makro) sebagai-mana dikemukakan oleh Tanaka.

Karena beberapa kategori kritik yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidak saling bertentangan, tetapi justru saling meleng-kapi, dalam penelitian “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Tahun 1966 hingga 1980” ini penerapan beberapa kategori kritik tersebut tidak akan dipisahkan secara tegas, tetapi justru akan dipadukan. Dalam arti bahwa penggolongan oleh beberapa tokoh tersebut akan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan data yang dianalisis.

1.4 Metode dan Teknik

Sesuai dengan konsep teori seperti yang telah dikemukakan di atas, yakni teori resepsi Jauss (1974) dan Iser (1980, 1987) yang dimodifikasikan dengan konsep Tanaka (1976), Said (1983), dan Abrams (1981), sebenarnya ada tiga metode yang dapat diterapkan di dalam penelitian ini. Pertama, metode penelitian resepsi secara eksperimental. Kedua, metode penelitian resepsi lewat kritik sastra. Ketiga, metode penelitian resepsi intertekstual. Namun, karena pe-nelitian ini hanya bermaksud meneliti berbagai sambutan pembaca yang telah dituangkan dalam bentuk karya-karya kritik (sastra), metode yang kemudian dipilih adalah metode kedua, yaitu metode penelitian resepsi sastra lewat kritik sastra. Walaupun di dalam pelaksanaan suatu penelitian metode ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara sinkronik dan cara diakronik, yang ditetapkan sebagai pedoman di dalam penelitian ini adalah cara sinkronik ka-rena objek yang diteliti adalah karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang muncul pada kurun waktu tertentu (1966— 1980).

(20)

Ber-bagai persoalan itu dikumpulkan, diinventarisasikan, dan kemu-dian diklasifikasikan sesuai dengan pokok-pokok masalah yang dibahas, baik yang menyangkut sistem makro maupun mikro sastra. Dengan kerangka berpikir deduktif-induktif-deduktif, hasil pene-litian atas karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut akhirnya disajikan secara deskriptif.

1.5 Data Penelitian

Beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980, khususnya Minggu Pagi (surat ka-bar mingguan), Kedaulatan Rakyat (surat kabar harian), Masa Kini (surat kabar harian), Basis (majalah bulanan), Semangat (majalah bulanan), Suara Muhammadiyah (majalah dwimingguan), dan Pelo-por (surat kabar mingguan) adalah media massa umum. Sebagai media massa cetak umum, tentu saja beberapa media tersebut me-muat berbagai masalah umum yang menyangkut berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan kebudayaan. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, beberapa media massa itu juga tidak hanya memuat kebudayaan Indonesia, tetapi juga kebudayaan daerah dan asing. Bahkan, kebudayaan yang berkaitan dengan seni, ia (media-media tersebut) tidak hanya memuat seni-sastra, tetapi juga seni pada umumnya.

Berkenaan dengan hal tersebut, data yang diangkat dan dijadi-kan objek penelitian ini tidak mencakupi keseluruhan karya (kritik) yang berkaitan dengan seluruh bidang seni dan kebudayaan seba-gaimana disebutkan di atas, tetapi khusus karya-karya kritik sastra Indonesia yang dimuat dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor pada kurun waktu tahun 1966 hingga 1980. Data-data karya kritik sastra Indo-nesia tersebut dapat berupa karya-karya esai, artikel, kritik, resensi, ulasan, surat pembaca, kronik, dan lain-lain.

1.6 Sistematika Penyajian

(21)

perlunya dilakukan penelitian, masalah yang perlu dibahas, tujuan penelitian, landasan teori yang digunakan sebagai “pisau bedah” pe-nelitian, metode dan teknik, data yang diangkat sebagai objek pene-litian, sistematika penyajian, dan ejaan yang digunakan sebagai pedoman penulisan laporan. Bab kedua (dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta) memuat uraian yang berkaitan dengan mobilitas sosial yang mempengaruhi kehidupan kritik sastra, tra-disi kritik yang terbangun di Yogyakarta, para kritikus yang ber-peran di dalamnya, dan media yang menerbitkan dan menyebar-luaskan karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980.

Bab ketiga (jenis dan orientasi kritik sastra Indonesia di Yog-yakarta) memuat uraian deskriptif mengenai apa saja jenis kritik dan kepada apa/siapa kritik tersebut ditujukan, apakah kepada pengarang, kepada karya (sastra), kepada penerbit atau pengayom, kepada pembaca, dan atau kepada kritik itu sendiri. Sementara itu, bab keempat (penutup) memuat simpulan atau generalisasi dari seluruh pembahasan yang telah disajikan dalam bab-bab sebe-lumnya. Setelah itu, di akhir penelitian disajikan daftar pustaka.

1.7 Ejaan

(22)

Perlu diketahui bahwa bagaimanapun juga kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980 tidak dapat terlepas dari dan bahkan selalu terikat oleh kondisi dan realitas sosial-budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, di dalam bab ini, sebelum disajikan pembahasan mengenai dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut, terlebih dulu disajikan bahasan mengenai mobilitas sosial yang sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan kritik sastra. Maka, bab ini dibagi menjadi empat subbab, yaitu (1) mobilitas sosial, (2) tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, (3) para kritikus yang ber-peran dalam kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, dan (4) berbagai media yang mempublikasikan karya-karya kritik sas-tra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980.

2.1 Mobilitas Sosial

Pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya dalam konteks ini —termasuk perubahan situasi politik dan ekonomi— dibatasi pada kurun waktu tertentu, yakni tahun 1966 hingga 1980. Akan tetapi, pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya tersebut tidak dibatasi hanya pada wilayah tertentu (Yogyakarta), tetapi men-cakupi wilayah yang lebih luas (Indonesia). Hal demikian dilaku-kan karena dinamika perubahan sosial-budaya yang terjadi di Indonesia tidak bersifat kedaerahan, tetapi bersifat nasional.

Ka-BAB II

DINAMIKA KRITIK SASTRA

INDONESIA

(23)

rena itu, apabila di Yogyakarta terjadi suatu perubahan, hal itu bukan karena Yogyakarta memiliki dinamika tersendiri yang lepas dari konteks Indonesia, melainkan karena perubahan itu melanda sebagian besar atau bahkan seluruh wilayah di Indonesia.

Seperti diketahui bahwa tahun 1966 merupakan penanda waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari sebuah rezim yang disebut Orde Lama (di bawah kekuasaan Soekarno) ke rezim Orde Baru (di bawah kekuasaan Soeharto). Peristiwa tumbangnya ke-kuasaan Orde Lama dan berkuasanya keke-kuasaan Orde Baru melalui peristiwa “Supersemar” (Surat Perintah 11 Maret) tersebut tidak hanya bersifat politis, tetapi juga dilatarbelakangi oleh beragam masalah yang berkaitan dengan praktik sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Menurut pemerintahan Orde Baru, di dalam pemerintahan Orde Lama korupsi terjadi di mana-mana, laju pertumbuhan penduduk demikian cepat, jumlah penganggur-an membengkak, tindak kejahatpenganggur-an merajalela, dpenganggur-an kebutuhpenganggur-an rak-yat akan sandang dan pangan tidak tercukupi. Hal itu terjadi kare-na pada waktu itu pemerintah bertindak sangat otoriter dengan menjadikan “politik” sebagai “panglima” sehingga segalanya di-kuasai pemerintah.

(24)

wacana anti-Barat dengan meneriakkan konsep-konsep seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, neokolonialis-me, dan neoimperialisme. Upaya pemerintah mengambil jarak ter-hadap negara-negara Barat itu terbukti berdampak pada tidak mengalirnya bantuan finansial dari mereka. Hal itu semakin hari semakin buruk karena politik luar negeri Indonesia memihak ke-pada negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, RRC, dan Eropa Timur.

Bertolak dari kenyataan itulah pemulihan ekonomi dimulai dengan mengubah struktur ekonomi yang semula berpola kolonial ke pola yang bersifat nasional. Langkah yang dilakukan pemerin-tah pada awalnya adalah menumbuhkembangkan pengusaha pri-bumi. Para pengusaha Indonesia yang umumnya kekurangan modal diberi hak dan kesempatan untuk ikut membangun ekonomi nasio-nal melalui Program Benteng yang pada 1950 hingga 1953 mem-berikan bantuan kredit kepada sekitar 700 perusahaan. Program itu bertujuan melindungi perusahaan pribumi, membentuk ke-lompok pengusaha yang tangguh, yaitu dengan memberikan lisensi impor barang yang kemudian dijual di dalam negeri dengan ke-untungan yang tinggi. Sebab, pada saat itu terjadi perbedaan kurs mata uang resmi dengan yang tidak resmi atau yang berada di pasar gelap (Budiman, 1991:31).

Usaha di atas sebenarnya cukup memuaskan karena jumlah pengusaha pribumi meningkat. Pada Juni 1953 tercatat jumlah importir nasional melonjak dari 800 menjadi 3.500 (bahkan ada yang menyebut 6.000 hingga 9.000 importir). Akan tetapi, yang ter-jadi kemudian tidaklah seperti yang diharapkan. Sebab, Program Benteng ternyata justru semakin memperkuat pengusaha Cina dan India, bukan pengusaha Indonesia itu sendiri. Hal demikian terjadi karena ternyata para pengusaha Indonesia lebih suka menjual lisensinya kepada perusahaan asing (Cina dan lain-lain) dengan “kedok” melakukan kerja sama (Budiman, 1991:31).

(25)

Orde Baru berkuasa, kebijakan ekonomi diarahkan pada strategi yang berorientasi ke luar. Strategi itu memberi peluang bagi swasta untuk berperan aktif dalam sistem pasar bebas. Langkah itu di-harapkan segera dapat memberikan hasil tanpa memerlukan perombakan radikal struktur sosial-ekonomi (Mas’oed, 1990:116— 117). Hal itu setidaknya dapat dicermati dari diberlakukannya peraturan 3 Oktober 1966 yang memuat pokok-pokok usaha, yaitu (1) penyeimbangan anggaran belanja, (2) pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya di bidang pangan, ekspor, prasarana, dan industri, (3) penundaan pembayaran utang luar negeri dan upaya mendapatkan kredit baru, dan (4) penanam-an modal asing guna memberi kesempatpenanam-an kepada negara lain untuk turut membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja, mem-bantu usaha peningkatan kerja, dan memmem-bantu usaha peningkatan pendapatan nasional.

(26)

hubung-an denghubung-an AS dhubung-an Jephubung-ang, misalnya, terbukti merupakhubung-an lhubung-angkah strategis bagi upaya rehabilitasi ekonomi.

(27)

pada kegiatan impor beras berkurang karena pemerintah telah mencapai swasembada beras. Gambaran ini menunjukkan prestasi yang luar biasa yang antara lain sebagai akibat dari kemajuan tek-nologi, di samping kebijakan ekonomi dan peningkatan pangan oleh pemerintah dan adanya inisiatif serta kerja keras para petani.

Kesejahteraan rakyat di bidang ekonomi dan pangan mendo-rong pula meningkatnya penyediaan sarana pendidikan. Penyedia-an sarPenyedia-ana pendidikPenyedia-an meningkat jauh melebihi penyediaPenyedia-an sarPenyedia-ana pendidikan pada masa kolonial yang tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk melek huruf (Ricklefs, 1994:434). Pada 1930 jum-lah penduduk yang melek huruf hanya 7,4% (13,2% pria dan 2,3% wanita). Pada 1971 angka-angka itu naik menjadi 72% pria dan 50,3% wanita, dan pada 1980 masing-masing adalah 80,4% pria dan 63,6% wanita. Lebih jauh Ricklefs mencatat bahwa keuntung-an-keuntungan dari pendidikan umum dalam bahasa Indonesia tidak hanya terlihat dari jumlah penduduk yang melek huruf, te-tapi juga meliputi peningkatan jumlah penduduk yang dapat meng-gunakan bahasa Indonesia (bahasa nasional), yaitu dari 40,8% pada tahun 1971 menjadi 61,4% pada tahun 1980.

(28)

pada bahasa khas desa. Dialek dan intonasi yang khas sudah ham-pir tidak dikenal lagi. Bahasa Indonesia menjadi makin populer di masyarakat karena kedekatan mereka dengan media massa, baik cetak maupun elektronik, yang menggunakan bahasa Indonesia dengan berbagai gaya dan ragam yang ditawarkan. Keadaan itu semakin signifikan dengan diberlakukannya Kurikulum 1975 yang semakin memperkokoh kedudukan bahasa Indonesia. Alasannya adalah bahwa bahasa Indonesia diasumsikan merupakan salah satu sarana yang dapat memperkuat terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.

(29)

pimpinan sampai ke pimpinan terendah di pedesaan, Golkar pun akhirnya identik dan atau layak disebut sebagai “Partai Pemerin-tah”.

Kenyataan serupa terjadi dalam dunia pers dan penerbitan. Pers pada dekade 1970-an (bahkan 1980-an hingga sebelum masa reformasi) adalah pers Pancasila yang kehadirannya tidak bebas karena segalanya harus seiring dengan konsep stabilisasi, “per-satuan dan ke“per-satuan”, dan ideologi pembangunanisme. Karena itu, pers dan penerbitan (koran, majalah, dan buku) yang tidak sehaluan dengan ideologi dominan (negara) tidak diberi hak hidup. Oleh sebab itu, berbagai jenis media massa cetak yang banyak muncul pada awal tahun 1950-an harus mati pada masa Orde Baru. Hal itu terbukti pada masa berikutnya (akhir 1970-an) banyak koran, majalah, dan buku yang dibreidel atau dilarang peredaran-nya; bahkan ada beberapa personalnya yang ditangkap dan dipen-jarakan. Khususnya di wilayah Yogyakarta, media massa cetak yang hidup pada kurun waktu itu (1966—1980) di antaranya ialah Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pelopor, Basis, Suara Muhammadiyah, Semangat, Masa Kini, dan Berita Nasional. Kenyataan demikian itu tidak hanya menciptakan kondisi yang “tenang karena takut”, te-tapi juga menyumbat kreativitas masyarakat—termasuk seniman, sastrawan, budayawan, dan kritikus—sehingga hal itu berpenga-ruh pada perkembangan bidang seni, sastra, budaya, dan kritik.

2.2 Tradisi Kritik

(30)

pikiran-pikiran rasional daripada perasaan-perasaan emosional.

Berkembangnya tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980 tampaknya tidak hanya dipenga-ruhi oleh hal-hal sebagaimana disebutkan di atas, tetapi juga oleh adanya situasi yang secara makro membangkitkan perkembangan kritik sastra di Indonesia yang telah dimulai sejak masa Pujangga Baru. Dalam kaitan ini Rahmanto (1990) menjelaskan bahwa lewat Pujangga Baru saat itu terjadi polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Melalui perdebatan itu lahirlah kon-sep-konsep STA tentang kritik sastra yang kemudian dibukukan dalam Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Berikutnya, pada dekade 1950-an dan 1960-an, muncul dua tokoh (H.B. Jassin dan A. Teeuw) yang dengan sadar mulai membangkitkan tradisi kritik sastra di Indonesia. Karya-karya kritik mereka kemudian dibukukan dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (5 jilid) (Gunung Agung, 1954) dan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (Pembangunan, 1952).

Pada masa berikutnya, tepatnya pada dekade 1960-an akhir, terjadi polemik antara aliran Rawamangun dan aliran Ganzheit. Ketika itu aliran Rawamangun dimotori oleh kalangan akademisi seperti M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U. Nasution; sedangkan aliran Ganzheit dimotori oleh Arif Budiman dan Gunawan Mohamad. Aliran Rawamangun berusaha menem-patkan kritik sastra sebagai ilmu dengan prinsip, teori, dan sistem yang jelas; sedangkan aliran Ganzheit mencoba menempatkan prinsip bahwa memahami karya sastra haruslah secara totalitas, tidak menganalisis unsur demi unsur. Beberapa karya kritik dalam perdebatan tersebut kemudian dikumpulkan oleh M.S. Hutaga-lung dan dibukukan ke dalam Kritik Atas Kritik Atas Kritik (Tulila, 1975).

(31)

berkembang di media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Ming-gu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Basis, Semangat, Pelopor, Suara Muham-madiyah, Masa Kini, Berita Nasional). Jika dilihat dari daerah asalnya, para penulis kritik di media massa itu, —hal ini akibat berlang-sungnya mobilitas sosial yang terjadi di sekitar tahun 1950-an—, sebagian besar bukan asli orang Yogyakarta, melainkan berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang datang ke Yogyakarta de-ngan tujuan mengembangkan pengetahuan dan wawasan baik me-lalui pendidikan maupun sekadar hijrah untuk sementara.

Hanya saja, yang berkembang ialah bukan tradisi kritik sastra Indonesia khususnya, melainkan tradisi kritik pada umumnya. Sebab, yang menjadi perhatian media massa pada masa itu tidak hanya sastra Indonesia khususnya, tetapi seni-sastra-budaya pada umumnya; dan oleh karena itu sastra Indonesia, termasuk kritik-nya, hanya menjadi bagian kecil dari wilayah yang luas dan kom-pleks tersebut. Kendati demikian, keterbukaan media massa cetak di Yogyakarta terhadap karya-karya kritik sastra Indonesia telah menjadi bukti bahwa tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada periode ini lebih maju jika dibandingkan dengan tradisi kritik pada masa sebelumnya.

(32)

Berkenaan dengan hal tersebut, tidak mengherankan jika karya-karya kritik sastra yang ditulis oleh nama-nama para akade-misi seperti A. Teeuw, Dick Hartoko, Kuntara Wiryamartana, Suripan Sadi Hutomo, Umar Kayam, Bakdi Sumanto, B. Rahmanto, Harry Aveling, Boen S. Oemaryati, Th. Koendjono, Andre Harjana, dan masih banyak lagi itu sering muncul di majalah Basis dan Se-mangat. Sementara itu, nama-nama di luar kelompok akademisi seperti Emha Ainun Najib, Linus Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pra-golapati, dan masih banyak lagi yang kadang-kadang muncul di majalah Basis dan Semangat juga (justru lebih sering) muncul di surat kabar seperti Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pelopor, Masa Kini, dan Berita Nasional.

Di samping beberapa hal di atas, yang tidak kalah penting ialah bahwa tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980 juga didukung oleh munculnya kelompok atau grup atau pusat pergaulan sastra seperti PSK (Persada Studi Klub) yang dimotori oleh Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Soe-parno S. Adhi, dan lain-lain di bawah naungan Pelopor Jogja yang bermarkas di Jalan Malioboro. Lewat rubrik “Persada” dan “Sabana” Pelopor Jogja itulah, para pengarang, juga para kritikus, mengem-bangkan dan memuat karya-karyanya.

Harian Masa Kini juga bertindak sama. Di bawah naungan rubrik “Insani” Emha Ainun Najib, Suparno S. Adhi, Mustofa W. Hasjim, dan lain-lain juga membentuk kelompok yang diberi nama “Insani Club”. Melalui “Insani Club” itulah, para penulis biasa ber-diskusi dan mengembangkan kreasi sehingga karya-karyanya, ter-masuk karya kritik sastra, dimuat di rubrik “Insani”. Sementara itu, khusus hasil karya puisi, dimuat di kolom “Insani”, “Kulmi-nasi”, dan “Titian”. Pada awal tahun 1980-an, hal serupa dilakukan pula oleh para penulis yang biasa mengirimkan karangannya ke rubrik “Renas” harian Berita Nasional asuhan Linus Suryadi A.G.

2.3 Kritikus

(33)

waktu 1966 hingga 1980? Kalau dicermati, walaupun tidak dapat didata secara keseluruhan, para kritikus (penulis) yang berperan dan mempublikasikan karya-karya kritik sastra Indonesia pada kurun waktu tersebut sebagian besar adalah nama-nama baru dan sebagian lagi nama-nama yang sudah muncul pada kurun waktu sebelumnya. Dalam Minggu Pagi tahun 1970-an, misalnya, muncul bebe-rapa kritikus, antara lain, Aryasatyani (No. 3, 26 April 1970), Bang Aziz (No. 6, 7 Juni 1970), Ita Rahayu (No. 12, 21 Juni 1970), Zan Zappa Group (No. 3, 24 April 1977), MP/AM (No. 21, 28 April 1977), Arwan Tuti Artha (No. 21, 28 Agustus 1977, No. 13, 29 Juni 1980), Joko S. (No. 26, 2 Oktober 1977), N.N. Sukarno (No. 29, 23 Oktober 1977), Deded Er Moerad (No. 30, 30 Oktober 1977), Joko Santoso (No. 30, 30 Oktober 1977), Hendro Wiyanto (No. 53, 5 April 1980 dan No. 9, 1 Juni 1980), Pappi Eska (No. 3, 20 April 1980), Afauzi Safi Salam (No. 12, 22 Juni 1980), SB Tono, Noto Sunarto, Niesby Sabakingkin, Putu Arya Tirtawirya, Veven SP Wardana, Niesby (No. 16, 20 Juli 1980), Em Es (No. 17, 27 Juli 1980), Tarseisius, Faruk HT, Albert P. Kuhon (No. 18, 3 Agustus 1980), Heru Kesawa Murti (No. 22, 31 Agustus 1980), Gendut Riyanto (No. 23, 7 Septem-ber 1980), Arie MP dan Hendro Wiyanto (No. 24, 14 SeptemSeptem-ber 1980), M. Sutrisno (No. 27, 5 Oktober 1980), Yudiono KS dan Tuti (No. 28, 12 Oktober 1980), Retno D dan Edi Romadon (No. 29, 19 Oktober 1980), Yuliani Sudarman (No. 34, 23 November 1980), Bambang Widiatmoko, Heru Kesawa Murti, Korrie Layun Rampan (No. 35, 30 November 1980), dan masih banyak lagi.

(34)

Dalam Masa Kini (sebelumnya bernama Mercu Suar) juga banyak muncul penulis esai/kritik (esais/kritikus), di antaranya, Slamet Riyadi S. (18 September 1974); Ragil Suwarno Pragolapati (12 Februari 1979, 15 Januari 1979); Yunus Syamsu Budhi (10 Februari 1979); Ajie SM (13 Januari 1979); Emha Ainun Najib (9 April 1979); Marsudi, Asti (12 Februari 1979); Kecuk Ismadi (6 Januari 1979); Mustofa W. Hasyim (9 Mei 1979, 30 Juni 1979); Tar-seisius (9 Juni 1979), dan masih banyak lagi seperti Rachmat Djoko Pradopo, Soekoso D.M., dan Linus Suryadi A.G.

Sementara itu, dalam majalah Basis dekade 1970-an muncul nama-nama kritikus yang sebagian besar berasal dari kalangan akademisi, antara lain, Bakdi Sumanto (Oktober 1974, Maret 1975), Teeuw (Mei 1978, Juni 1978, November 1981), Dick Hartoko (De-sember 1973, Mei 1978), Ariel Heryanto (Mei 1978), B. Rahmanto (Mei 1978, Desember 1979, Maret 1980, November 1981), Mochtar Lubis (Maret 1980), Andre Hardjana (1971), Umar Kayam (Juni 1979), St. Soelarto (Oktober 1976), Sapardi Djoko Damono (Maret 1980), Harry Aveling (1972—1973, Februari 1974), Hila Veranza (September 1979), Yunus Mukri Adi (Oktober 1976), Ahar (Oktober 1970), Th. Koendjana (Oktober 1972), Emha Ainun Najib, Ragil Suwarno Pragolapati, Sutadi (1979), Linus Suryadi A.G., dll.

(35)

Di samping muncul dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis, dan Semangat, para kritikus muncul juga di dalam majalah Suara Muhammadiyah dan Pelopor. Di dalam Suara Muham-madiyah muncul Mohammad Diponegoro (Juli 1980), A. Hanafi M.A. (Juni 1968), T. Loekman (No. 3 dan 4 Thn. ke-56), Darwis Khudori (April 1975), S. Tirto Atmodjo (Januari 1973), S. Kartamihardja (Juni 1972), Joko Susilo (Oktober 1975), dan Tan Lelana (Januari 1973). Sementara itu, para kritikus yang sering muncul dalam Pelopor sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam PSK (Persada Studi Klub) pimpinan Umbu Landu Paranggi. Di antara mereka adalah Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budi Santosa. Namun, kadang-kadang juga muncul nama dari luar komunitas PSK, misalnya Bambang Sadono SY dengan kritiknya “Kritik Sastra oleh Siapa Saja” (Pelopor, No. 23, 12 Oktober 1978).

Demikian beberapa kritikus yang turut mengembangkan tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980. Nama-nama besar seperti Teeuw, Umar Kayam, Bakdi Sumanto, Sapardi Djoko Damono, Mochtar Lubis, Jakob Sumardjo, B. Rahmanto, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi A.G., Korry Layun Rampan, Faruk, dan masih banyak lagi itu yang pada dekade selan-jutnya (1980-an dan 1990-an) masih terus mengembangkan dunia kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, di samping muncul nama-nama. Hanya saja, sebagian besar dari para kritikus tersebut adalah juga pengarang (penyair, cerpenis, novelis) sehingga tidaklah jelas batasan antara kritikus dan pengarang. Biasanya batasan itu akan menjadi jelas jika dilihat dari jumlah karyanya; kalau jumlah karya kritiknya lebih banyak dan menonjol, ia cenderung disebut sebagai kritikus, dan sebaliknya, jika jumlah karya kreatifnya lebih banyak, ia cenderung akan disebut sebagai pengarang. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan seseorang akan mendapat julukan ganda, yaitu pengarang sekaligus kritikus.

2.4 Media Penerbitan dan Penyebarluasan

(36)

Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini (Mercu Suar), Basis, Se-mangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Sebab, beberapa media massa cetak itulah yang di samping mempublikasikan karya-karya sastra (puisi, cerpen), juga mempublikasikan karya esai/kritik sas-tra Indonesia. Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan keberadaan media-media tersebut dalam upaya mengembangkan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta.

(37)

Dari tahun pertama hingga tahun ketujuh (1954) Minggu Pagi mengalami perubahan bentuk, dari majalah ke tabloid dan bebe-rapa tahun kemudian berubah lagi menjadi koran mingguan hingga sekarang. Pada tahun 1970-an, susunan redaksi Minggu Pagi meng-alami pergantian, yaitu Samawi (pemimpin umum), M. Wonohito (pemimpin redaksi), Purbatin Hadi, Sudarmadi, Ahmad Munif, Endang Kusrin (redaktur pelaksana), Yana Mariyani (sekretaris redaksi), dan Rustam Saman (wartawan foto). Sementara itu, harga langganan per bulan Rp100,00, eceran Rp25,00, iklan per kolom Rp150,00, dan iklan keluarga Rp1.000,00. Pada awal tahun 1980-an susun1980-an redaksi mengalami perg1980-anti1980-an lagi, yaitu H. Samawi (pemimpin umum), M. Wonohito (pemimpin redaksi), Purbatin Hadi (managing editor), Ahmad Munif (redaktur pelaksana), Pur-batin Hadi, Ahmad Munif, Arie Sudibyo (dewan redaksi), M.M. Nobuko (sekretaris redaksi), dan Rustam Saman (wartawan foto). Adapun harga langganan per bulan Rp200,00 dan harga eceran Rp55,00.

Di samping memuat artikel artikel umum, Minggu Pagi juga memuat cerita pendek dan cerita bersambung. Sejak awal tahun 1950 an Minggu Pagi melahirkan beberapa penulis cerita populer, di antaranya, Jussac MR. Pada sekitar tahun 1960, cerita bersam-bung yang mendapat sambutan luas dari pembaca, di antaranya, “Hilanglah Si Anak Hilang” karya Nasjah Djamin, “Tidak Menye-rah” dan “Ahim-Ha Manusia Sejati” karya Motinggo Busye. Kemu-dian, pada tahun 1960-an, karya-karya tersebut diterbitkan dalam bentuk buku (novel) oleh penerbit Bukittinggi dan Jakarta. Yang lebih menarik lagi adalah, sejak akhir tahun 70-an, Minggu Pagi juga menampilkan ruang khusus untuk remaja dengan nama rubrik “Varia Remaja”. Dalam ruang tersebut, di samping dimuat puisi dan cer-pen, juga ditampilkan beberapa tulisan (esai/kritik) yang berisi ulasan dan pembimbingan penulisan cerpen.

(38)

rubrik budaya (dan sastra). Beberapa karya kritik yang anonim tersebut, di antaranya, “Dunia Sastra Erat Hubungannya dengan Penerbit: BP Budayata Mempelopori Penerbitan Karya-Karya Sas-trawan Indonesia” (Minggu Pagi, No. 41, 12 Januari 1969); “Minggu Pagi” di Tengah Masyarakat” (Minggu Pagi, No. 1, Thn. VII, 4 April 1954); dan “Tiada Krisis dalam Kesusastraan (Tapi Kantong Para Sastrawan yang Mengalami Krisis)” (Minggu Pagi, No. 41, Thn. VII, 9 Januari 1955).

Sementara itu, esai/kritik dalam Minggu Pagi yang jelas penu-lisnya, antara lain, “Aku Mulai Dari Tidak Tahu” oleh Motinggo Busye (No. 46, 11 Februari 1962) dan “Manikebu” oleh Bakri Siregar (No. 25, 20 September 1964). Sementara nama Pramoedya Ananta Toer dengan tulisannya berjudul “Kemampuan Pengarang” mun-cul pada Minggu Pagi, No. 26, September 1953. Di samping itu dimuat pula profil A.A. Navis (No. 41, 7 Januari 1962), Goenawan Mohammad (No. 17, 28 Juli 1963), Hartojo Andangdjaja (No. 30, 27 Oktober 1963), Arifin C. Noer (No. 40, 5 Januari 1964). Hal lain yang menarik adalah dimuatnya naskah drama komedi Ida karya Sri Murtono mulai No. 12, 20 Juni 1965 sampai No. 14, 4 Juli 1965. Kritik sastra dalam Minggu Pagi muncul pula dalam rubrik Surat Pembaca, misalnya, tulisan/surat S. Ning (dari Sala), Soepar-no (dari Ngawi), dan M. SugijoSoepar-no (dari Yogya) dalam Minggu Pagi, No. 38, 20 Desember 1964; atau tulisan/surat A.T.Darnoto (dari Cimahi, Jawa Barat), S. Dajani (dari Pacitan, Jawa Timur), dan Tjeng Thay Hien (dari Djuwana, Jawa Tengah) dalam Minggu Pagi, No. 44, 1 Februari 1953.

(39)

Muda Baca Puisi dan Saling Ejek” karya MP/AM (No. 21, 28 April 1977), “Pengalaman Saya Menulis Cerpen” karya Arwan Tuti Artha (No. 21, 28 Agustus 1977), “Novel Remaja Sok Nyentrik” karya Joko S. (No. 26, 2 Oktober 1977), “Aduh Putu Wijaya Dipentaskan Kita-Kita” karya N.N. Sukarno (No. 29, 23 Oktober 1977), “Teater Sekolah: Tak Suka Drama Realis” karya Deded Er Moerad (No. 30, 30 Oktober 1977), dan “Novel Remaja: Arjuna Mencari Cinta” karya Joko Santoso (No. 30, 30 Oktober 1977).

Sejak akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an, esai/kritik dalam Minggu Pagi cukup banyak, bahkan dalam sekali terbit dapat dimuat dua hingga tiga buah. Hal tersebut terjadi karena esai/ kritik itu muncul pada tiga rubrik, yaitu “Sastra-Budaya”, “Varia Remaja”, dan “”Musik Film Teater”. Beberapa esai/kritik yang dapat didata pada Minggu Pagi dekade ini, antara lain, “Parimin Jadi Penyair” Hendro Wiyanto (No. 53, 5 April 1980); “Pentas Teater Repu-blik Sukses” Pappi Eska (No. 3, 20 April 1980); “Kritik Sepanjang Jalan Bukan Tembakan Terarah” Hendro Wiyanto (No. 9, 1 Juni 1980); “Teman-Temannya itu Juga Tidak Pernah Membosankan (resensi novel)”, “Novel Laris di Buku atau di Layar Putih” Arwan Tuti, “Teater di Jogja: Siapa yang Akan Memulai Dulu” Afauzi Safi Salam (No. 12, 22 Juni 1980).

Pada Minggu Pagi, No. 13, 29 Juni 1980 muncul tiga esai, yaitu “Membicarakan Nasib Kumpulan Cerpen” Arwan Tuti Artha, “Dunia Novel Pop Lesu” SB Tono, “Kerjasama Teater Disco Pentas-kan Los-nya Putu” MP, dan “Sepucuk Surat Sastra” Arwan Tuti. Esai “Pengarang Indonesia sedang Belajar” Noto Sunarto, “Drama Bisa Menanggulangi Goncangan Jiwa” Niesby, “Pengarang (Suka Duka)” Putu Arya Tirtawirya dimuat pada No. 14, 6 Juli 1980. Pada No. 15, 13 Juli 1980 dimuat esai “Lahirnya Novelis Wanita: Dunia Penulisan Makin Kaya” Ata, “Teater Sekarang Kehabisan Konsep” Niesby, dan “Puisi Periode 70-an dalam Kritik Sastra” Putu Arya Tirtawirya. Esai “Arjuna Pop, Arjuna Drop Out” Veven SP War-dana dan “Perut Kosong, Drama dan Manfaatnya” Niesby dimuat pada No. 16, 20 Juli 1980.

(40)

No. 17, 27 Juli 1980. Karya Tarseisius “Trend Novel yang Sukar Didekati”, Faruk “Novel Dua Novelis Jogja”, SB Tono “Mungkin-kah Bernostalgia Sastra Populer”, dan Albert P. Kuhon “Malam Jahanam dalam Perdana Kelam” dimuat pada No. 18, 3 Agustus 1980. Karya Ata “Memperhitungkan Novelis Koran dan Majalah” dan Niesby “Pantomim dalam Latihan Dasar Teater” muncul pada No. 20, 17 Agustus 1980. Esai “Chairul Anwar Menulis Novel dari Keisengan” Veven SP Wardana, “Dardanella Konvensi Baru Lakon Kita” Niesby, dan “Teater Remaja Perlu Uluran Tangan” Heru Ke-sawa Murti muncul pada No. 22, 31 Agustus 1980.

Pada Minggu Pagi, No. 23, 7 September 1980 muncul esai Ata “Pembinaan Cerpen Bisa Dikembangkan?”, Niesby “Lima Warna Teater Timur dalam Tradisi”, dan Gendut Riyanto “Bukan Puisi Kong-kret, Bukan Puisi Raya”. Esai Arie MP “Kebudayaan Kritik Teater Jogja dalam Jenangsungsuman” dan Hendro Wiyanto “Pengakuan Pariyem di Karta Pustaka” dimuat pada No. 24, 14 September 1980. Pada No. 25, 21 September 1980 dimuat esai karya Ata “Tokoh Wayang dalam Karya Sastra Indonesia”, Niesby “Tokoh dan Aspek Struktur dalam Pembicaraan”, dan Heru Kesawa “Wajah Teater Remaja dan Penempatan Sikap Berteater”. Esai “Novel Remaja Merangsang Hasrat Inovasi” karya Asmoro, “Siapa Paling Banyak Menulis Surat” karya Ata, dan “Magangnya Cerpenis” karya E. Suhindro muncul pada No. 26, 28 September 1980. Sedangkan karya M. Sutrisno “Hidup Ternyata Penuh Ironi” dan Arie MP “Peran Kritik dalam Kegiatan Seni-Budaya” dimuat pada No. 27, 5 Okto-ber 1980.

(41)

Eksperimen Improvisasi dan Insidentil” Niesby dan “Bambang Widiatmoko” karya Ata dimuat pada No. 32, 9 November 1980. Pada No. 34, 23 November 1980 muncul “Sikap Etis dalam Teater” karya Heru Kesawa dan “Mahasiswa Juga Bisa Main Drama” karya Yuliani Sudarman. Pada No. 35, 30 November, No. 36, 7 Desember, dan No. 37, 14 Desember 1980 masing-masing dimuat satu esai, yaitu “Antara Mencipta dan Membaca Puisi” karya Bambang Widiatmoko, “Kewajaran dalam Teater” karya Heru Kesawa Murti, dan “Ahmadun Yossi Herfanda” karya Korrie Layun Rampan. Sedangkan esai “Menyambut Baik Hadirnya Pengarang Wanita” Ny. Hafsah Ahmad, “Kreatif Identik dengan Produktif” Niesby, dan “Dua Puluh Empat Penyair Bali” Korrie Layun Rampan dimuat pada No. 38, 21 Desember 1980.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Minggu Pagi sejak tahun 1960-an hingga 1970-an banyak melahirkan nama-nama besar sastrawan Indonesia, misalnya W.S. Rendra, A. Bastari Asnin, Arifin C. Noer, Gerson Poyk, Hartoyo Andangjaya, Motinggo Busye, Nasjah Djamin, dan Korrie Layun Rampan. Nama-nama besar ter-sebut sejak 1980-an hingga 1990-an, bahkan sampai sekarang, cukup disegani baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan demikian, dapat dikatakan jika Minggu Pagi memiliki peranan yang cukup besar dalam perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta umumnya dan perkembangan kritik sastra pada khususnya.

(42)

Hal tersebut disebabkan oleh Kedaulatan Rakyat tidak memiliki rubrik sastra-budaya seperti halnya Minggu Pagi. Oleh karena itu, kalau ada artikel/esai sastra yang masuk ke meja redaksi, artikel/ esai sastra tersebut dimuat di rubrik “Opini” seperti halnya artikel-artikel umum lainnya. Sekadar contoh, artikel-artikel/esai/kritik sastra karya Linus Suryadi A.G. berjudul “Chairil Anwar: Pengembara Monumental” dimuat pada edisi 16 Mei 1978, “Suluk Awang Uwung Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa” dimuat pada edisi 19 Februari 1976, dan “Interlude Goenawan Mohammad: Gejala Puisi Indone-sia Modern?” dimuat pada edisi April 1976. Kritik yang membahas puisi karangan Linus Suryadi tersebut kemudian dikumpulkan dalam buku Di Balik Sejumlah Nama (Gadjah Mada University Press, 1989) bersama sejumlah karyanya yang lain.

Di samping terbit di Minggu Pagi dan Kedaulatan Rakyat, karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966— 1980 juga banyak terbit di Masa Kini. Harian Masa Kini merupakan kelanjutan dari harian Mercu Suar. Harian Mercu Suar pertama kali terbit tahun 1966 dengan STT No. 16/SK/PDHMI/SIT/66 dan SIT No. 016/Per/SK/Dirjen PPG/SIT 1967. Harian yang diterbit-kan oleh Yayasan Mercu Suar itu mencantumditerbit-kan slogan “Melak-sanakan Pancasila dan Dakwah”. Dari slogan yang dicantumkan tersebut jelas bahwa Mercu Suar merupakan harian yang di samping sehaluan dengan pemerintah —yakni ingin menegakkan asas dan nilai-nilai Pancasila sebagaimana digariskan oleh pemerintah Orde Baru— juga ingin menegakkan nilai-nilai keagamaan tertentu (dak-wah Islam).

(43)

Redaksi/Penanggung Jawab), Drs. Muhadi Sofyan (Wakil Pemim-pin Redaksi), Drs. Moh. Lutfi, Mukhlas Abror, Drs. Muidin, Wildan Hm., Sudarsono S.H. (Redaksi), dan Siti Mujilah (Sekretaris Redak-si).

Setelah secara rutin hadir di tengah masyarakat, harian Mercu Suar yang beralamat redaksi di Jalan Brigjen Katamso 75, Yogya-karta, itu memang benar-benar melaksanakan tujuannya, yaitu dak-wah (Islamiyah). Hal itu dapat dibuktikan melalui tulisan-tulisan (berita, artikel, dll.) yang disajikan di dalamnya yang sebagian besar bernafaskan agama Islam. Bahkan, karya-karya sastra yang dimuat dalam rubrik “sastra-budaya” asuhan Muchlas Abror dan Mustafa pun secara dominan adalah karya yang bertema religius (Islami). Dapat disebutkan, misalnya, puisi berjudul “Tuhan Hanya Satu” karya Sutapa Kc dan “Isu Dewan Jendral” karya Manan Bz (Mercu Suar, 12 April 1967), “Untukmu Jua” karya A. Mustafa (Mercu Suar, 19 April 1967), “Kesadaran Damai” karya Sri Hidayati dan “Kepa-da Muhammadiyah” karya Zubai“Kepa-dah (Mercu Suar, 2 Agustus 1967), dan sebagainya.

Kendati demikian, kenyataan di atas bukan tidak mengan-dung resiko. Sebab, dengan kecenderungan yang mengarah pada isme tertentu (Islam), harian tersebut menjadi terlalu eksklusif dan resikonya adalah sulit merebut atau menguasai “pasar”. Padahal, “pasar” merupakan salah satu penentu hidup matinya suatu media. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian, pada hari Rabu, 5 Januari 1972, harian Mercu Suar berganti nama menjadi Masa Kini. Hal demikian sesuai dengan pernyataan salah seorang redaktur Masa Kini, Teguh Ranusastra Asmara, bahwa perubahan nama dari Mercu Suar menjadi Masa Kini, antara lain, dilatarbelakangi oleh ke-inginan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman (“pa-sar”).

(44)

(Redaksi), Siti Mujilah (Sekretaris Redaksi), dan Drs. M. Luthfie (Pembantu Khusus). Perlu diketahui bahwa H. Ahmad Basuni, pada waktu menjabat pemimpin redaksi Masa Kini, ia juga masih men-jabat wakil pemimpin umum di Suara Muhammadiyah. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika harian Masa Kini berhubungan erat dengan majalah Suara Muhammadiyah.

Walaupun sudah berganti nama dan berganti slogan, tampak bahwa ciri khas Masa Kini masih cenderung sama dengan Mercu Suar. Hal tersebut agaknya disebabkan oleh pengelolanya yang hampir tidak berubah sehingga tampilan Masa Kini pun masih cenderung eksklusif. Walaupun ia telah mencantumkan pernyataan “indepen-den”, sajian isi (berita, artikel, features, tajuk rencana, kolom, dll.) masih juga didominasi oleh hal-hal yang berkaitan dengan dakwah agama Islam. Bahkan karya puisi dan cerpen yang tampil di bawah rubrik “Insani: Lembar Kreasi dan Aspirasi” pun masih didominasi oleh tema-tema religius (Islami).

Hanya sekadar contoh, dapat disebutkan puisi berjudul “Puisi” karya Manshur, “Detak-detak” karya Isan Ryanto, dan “Di Atas Menara” karya B. As (Masa Kini, 18 Mei 1972), “Pembaringan Terakhir” karya Candra, “Gelisah” karya Fakhurrakhman (Masa Kini, 11 Mei 1972), “Masih Juga ada Tanya” karya Hida suryakusu-ma, “Rachmat” karya Surahman (Masa Kini, 7 Juni 1972), “Mo-hammad” karya M. Jatiman (Masa Kini, 21 Juni 1972), “Bersyukur” karya Rochmat” (Masa Kini, 5 Juli 1972), dan “Ikhlas” karya Am-rullah (Masa Kini, 26 Juli 1972). Sedangkan cerpen yang bertema religius, antara lain, “Setan-Setan” karya Iskandar (Masa Kini, 16 September 1972); “Yah, Apa Yang Kucari” karya Inin Muntaco (Masa Kini, 11 Oktober 1972); “Kere” karya Hadjid Anto Hastoro (Masa Kini, 18 November 1972); “Hampir Terjadi di Malam Itu” karya Iskandar (Masa Kini, 28 Oktober 1972); “Ketokan Pintu” karya Ma-sykur Wiratmo (Masa Kini, 30 Juni 1979); “Malam Terakhir” karya Bam-bang WD (Masa Kini, 13 Januari 1979); dan sebagainya.

(45)

juga kolom puisi yang dibagi menjadi dua, yakni “Insani” dan “Kulminasi”. Puisi yang dimuat di “Insani” adalah karya-karya para pemula atau yang sudah lumayan jurus sastranya, sedangkan yang dimuat di “Kulminasi” adalah karya-karya para pendekar yang sudah matang jurus sastranya (Hasyim, 1997). Akan tetapi, puisi karya penyair yang sudah matang kadang-kadang dimuat pada kolom “Titian”. Pada waktu itu halaman seni budaya berturut-turut diasuh oleh Muchlas Abror, Soeparno S. Adhy, Emha Ainun Nadjib, dan Aji Sudarmadji Muchsin. Sedangkan yang bertindak sebagai pengaruh pada awal 1980-an, antara lain, Mustofa W. Hasyim, Adil Amrullah, dan Indra Tranggono.

(46)

Kini, 9 Mei 1979); “Catatan untuk Cerpennya Masykur: Teknik Pengejut yang Sedikit Gila” Mustofa W. Hasjim (Masa Kini, 30 Juni 1979); dan “Merindu Bikin Malu” Tarseisius (Masa Kini, 9 Juni 1979). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari harian Masa Kini lahir nama-nama seniman (penyair) yang cukup terkenal di kemu-dian hari, beberapa di antaranya Emha Ainun Najib, Linus Suryadi, Ragil Suwarno Pragolapati, Rachmat Djoko Pradopo, Soekoso D.M., dan Mustofa W. Hasjim. Kebesaran nama mereka memang bukan semata karena Masa Kini, tetapi dengan berkiprahnya mereka di harian Masa Kini, setidaknya terlihat bahwa harian ini memiliki andil yang cukup bagi pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta.

Tidak dapat dipungkiri bahwa majalah Basis (terbit sejak tahun 1950) juga menjadi media yang cukup aktif menerbitkan karya-karya yang berkaitan dengan sastra. Hanya saja, majalah bulanan yang pada tahun 1960-an diasuh oleh N. Drijarkara, Zoetmoelder, R.J. Kaptin Adisumarta, Dick Hartoko (Dewan Redaksi), A. Brotowirat-mo, W.S. Rendra, E. Sumardjono, P. Swantoro (Pembantu Tetap) dan beralamat redaksi di Jalan Amat Jajuli 2, Yogyakarta, itu tidak secara khusus memuat tulisan tentang sastra, tetapi memuat masa-lah kebudayaan pada umumnya, dan kritik sastra, lebih-lebih kritik sastra Indonesia, hanya menjadi bagian kecil darinya. Namun, yang pantas diacungi jempol adalah bahwa sejak awal penerbitannya majalah bermisi Katolik terbitan Yayasan BP Basis itu telah memper-hatikan kehidupan sastra, termasuk kritik sastra Indonesia.

Pada tahun 1970-an, Basis semakin eksis ketika Dick Hartono tampil sebagai pemimpin redaksi dan Sapardi Djoko Damono, A. M. Slamet Soewandi, dan M. Sudiraatmadja tampil sebagai pem-bantu (redaktur). Eksistensi tersebut tidak berubah ketika sejak pertengahan 1970-an hingga 1980-an nama G. Moedjanto, Peter Surya, dan B. Rahmanto masuk menjadi redaktur menggantikan Sapardi Djoko Damono. Di tangan redaktur B. Rahmanto karya-karya sastra (terutama puisi) dan juga kritik sastra, termasuk kritik sastra Indonesia, lahir dengan mantap di majalah yang sejak awal 1980-an beralamat di Jalan Abubakar Ali 1, Yogyakarta, itu.

(47)

Menyam-but Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar” (Oktober 1970) karya Ahar; “Agama dan Sastra” (Oktober 1972) karya Th. Koendjono; “Beberapa Anggapan dalam Puisi Romantik Indonesia” (1973) karya Harry Avelling; “Explication De Texte Suatu Metode Kritik Sastra” (Desember 1973) karya Dick Hartoko; “Pertemuan Sastrawan Se-Indonesia Ke-2” karya Bakdi Sumanto (Maret 1975, dalam rubrik Kronik); “Sebuah Surat Terbuka” (Oktober 1976) karya Yunus Mukri Adhi; “Maut dan Cinta Mochtar Lubis” karya B. Rahmanto dan “Langit Biru Laut Biru Ajip Rosidi” karya Dick Hartoko (…?); “Sri Sumarah dan Bawuk” (Oktober 1976) karya St. Soelarto; “Sastra Belanda mengenai Indonesia sebagai Salah Satu Dimensi dalam Sastra Indonesia” (Mei 1978) karya Dick Hartoko; “Sorotan dari Hamburg atas Karya Rendra” (Mei 1978) karya A. Teuuw; “Upacara” karya Ariel Heryanto dasn “Sepi Terasing”, “Tunas-Tunas Luruh selagi Tumbuh”, “Hilanglah Si Anak Hilang”, dan “Kemarau” kar-ya B. Rahmanto (Mei 1978, resensi buku); “Sastra dalam Ketegang-an Ketegang-antara Tradisi dKetegang-an PembaruKetegang-an” (Juni 1978) karya A. Teeuw; “Membangun Kehidupan Teater Kontemporer di Yogyakarta” (Juni 1979) karya Umar Kayam; “Sastrawan … Mana Karyamu?” karya B. Rahmanto, “Estetika dan Puisi dalam Masalah Kemanusiaan” (Sep-tember 1979) karya Hilla Veranza; “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” (November 1979) karya A. Teeuw; , “Pengarang dan Wilayahnya” karya Mochtar Lubis, “Catatan Kecil atas Bianglala Sastra” (Desember 1979) karya B. Rahmanto; “Catatan Ringkas tentang Puisi Indonesia Mutakhir” karya Sapardi Djoko Damono (Maret 1980); “Strategi Kebudayaan Rendra” karya Celly Akwan, resensi “Mitos dan Komunikasi” A. Teuuw dan “Burung-Burung Manyar” B. Rahmanto (November 1981).

(48)

dan dicetak oleh Badan Penerbit Spirit di bawah dukungan pemuda-pemudi Katolik dan memiliki hubungan erat dengan majalah kebu-dayaan umum Basis itu terbit setiap tanggal 18 (majalah bulanan). Pada tahun-tahun awal penerbitannya hingga 1970-an majalah Se-mangat tidak dapat hadir (terbit) secara rutin (ajeg), lebih-lebih di tahun-tahun sekitar meletusnya G-30-S PKI 1965.

Sejak awal penerbitannya hingga tahun 1960-an majalah Semangat berukuran tiga per empat kuarto (16 x 24 cm) dengan ke-tebalan rata-rata 20 halaman (termasuk cover) dan beralamat redak-si di Jalan Margokridanggo 14 (sekarang Jalan Abubakar Ali) Yogya-karta. Akan tetapi, sejak tahun 1970-an, ukuran majalah tersebut berubah menjadi kuarto (21 x 29 cm) dengan ketebalan rata-rata 34 halaman. Alamat redaksinya pun berpindah dari Jalan Abubakar Ali 14 ke Bintaran Kidul 5, Yogyakarta, yang semula hanya sebagai kantor administrasi. Majalah itu sengaja ditujukan kepada kaum muda; hal itu ditandai dengan motto yang berbunyi “Spirit Pemuda Pemudi Dewasa” yang ditulis (dicantumkan) di cover majalah.

Hingga tahun 1960-an majalah Semangat tidak secara lengkap mencantumkan tim redaksi yang mengasuhnya karena di dalam ruang redaksi hanya dicantumkan Direksi (Drs. P.I. Oey Liang Lee), Pemimpin Redaksi (P. Simatupang), dan Sensor (B. Liem Bian Bing S.J.). Namun, pada tahun 1970-an, majalah tersebut secara eksplisit mencantumkan para pengasuhnya, yaitu: Direksi (The Eng Gie, B. Wonosunaryo, dan P. Simatupang); Pemimpin Umum (P. Simatu-pang); Penanggung Jawab (F.J. Basuki); Pemimpin Redaksi (J. Mardjuki); Redaksi (P. Simatupang, J. Mardjuki, dan The Eng Gie); Pelaksana Teknis (P. Walgito); Ilustrator ( R. Susilo dan Ben Han-daya Atmadjaja); Pembimbing (Al. Purwadi), dan Tata Usaha (P. Walgito). Sementara itu, hingga awal tahun 1960-an harga eceran majalah itu Rp2,50 dan harga langganan per kwartal Rp7,50, se-dangkan pada tahun 1970-an harga eceran Rp175,00 dan harga langganan per triwulan Rp525,00. Untuk pelanggan luar Jawa di-tambah ongkos kirim Rp10,00 per eksemplar.

(49)

pada rubrik-rubrik yang dibuka di dalamnya, mulai dari “Surat Pembaca”, “TTS (Pelatih Otak)”, “Mode”, “Tokoh”, sampai “Psiko-logi”, “Seni”, “Puisi”, “Cerpen”, “Budaya”, “Lembaran Kehidup-an”, “Religi”, “Berita Luar Negeri”, dan sebagainya. Pada tahun 1970—1980-an, sejak mengalami penambahan rubrik dan jumlah halaman, jumlah rubrik yang ditampilkan relatif ajeg (rutin), yakni sekitar 20.

Pada Semangat edisi maxi, nomor 2, Oktober 1978, tahun ke-24, misalnya, dimuat 20 rubrik (isi), yaitu (1) “Foto Kulit Depan: Orang-orang Jakarta”, (2) “Mari Kita Tanya Komputer: Novel-novel Pop dan Pengarangnya”, (3) “Dari Hati ke Hati: Harapan + Cinta = Hidup”, (4) “Di Wikrama Putra: Cinta tanpa Suara”, (5) “In Memoriam Paus Paulus VI”, (6) “Ketombe”, (7) “Kisah di Balik Suksesnya: Soichiro Honda”, (8) “Dari Mata Turun ke Hati: Puna-kawan dan Bima”, (9) “Pulang”, (10) “Dunia Puisi: Umbu Landu Paranggi”, (11) “Insinyur Seksi”, (12) “Mode Bulan Ini”, (13) “Pela-tih Otak”, (14) “Mari Beternak Ayam”, (15) “Bung Semprul”, (16) “Manfaat Sebuah Pesawat Radio”, (17) “Bingkisan Kecil Kak Truly”, (18) “Sekitar Masalah: Dependensi Obat”, (19) “Surat Pembaca”, dan (20) “Udara Berlin Kurang Disukai”.

Meskipun majalah Semangat adalah majalah umum, masalah-masalah yang berkaitan dengan sastra-seni-budaya (puisi, cerpen, drama, dan esai/kritik) mendapat perhatian yang serius; dan jenis sastra yang hampir secara rutin tampil adalah puisi, cerpen, dan esai/kritik. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan (perkembang-an) sastra Indonesia di Yogyakarta, boleh dikatakan majalah Se-mangat memiliki andil cukup besar; terbukti karya-karya (puisi, cerpen, esai) para penulis/pengarang Yogyakarta sering tampil di dalamnya, misalnya puisi-puisi Umbu Landu Paranggi (No. 2, Oktober 1978), Ragil Suwarno Pragolapati, dan sebagainya yang tergabung dalam Persada Studi Klub (PSK), cerpen Bakdi Sumanto, esai Mayon Sutrisno (No. 6, Februari 1976), Julius Poer (No. 4, De-sember 1971), Bakdi Sumanto (No. 8, April 1975), dan lain-lain.

(50)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perubahan pada teori yang selama ini diungkapkan Jassin, bahwa kritik adalah penilaian baik dan buruknya suatu karya sastra,

penelitian sastra yang mengangkat kritik sosial dalam karya sastra. 3) Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan sastra. Indonesia khususnya penelitian

Pada makalah ini diuraikan tentang konsep paradigma gastro kritik, fenomena sastra kuliner dalam karya sastra Indonesia, fungsi dan peran gastro kritik.. Sastra berwawasan

Dalam melakukan kritik, kritikus akan menunjukkan hal yang bernilai/tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan kebaruan-kebaruan dalam karya

Hanya saja, jika dibandingkan dengan masa Orde Lama, kehidupan kritik sastra Indonesia pada masa Orde Baru lebih menunjukkan perkembangan yang berarti walau

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah apakah AKBM bisa didekati dengan kritik sastra, padahal karya ini lebih dominan sebagai terjemahan Al-Qur’an, bukan karya yang murni muncul

Kritik sastra Jawa modern telah menunjukkan keanekaragaman; dalam arti tidak hanya mempersoalkan sistem pengarang, penerbit, dan masyarakat pembaca, tetapi juga telah

Analisis jeung interpretasi dina karya sastra kudu dipatalikeun jeung ngajen kana eta karya Wellek & Warren, 1968... Kritik nu hade/sampurna Kritik nu kurang hade/teu sampurna