• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Terhadap Pembaca

Dalam dokumen KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19 (Halaman 112-115)

3.2 Orientasi Kritik

3.2.4 Kritik Terhadap Pembaca

Tidak jauh berbeda dengan kritik terhadap penerbit/penga- yom, kritik terhadap pembaca juga mencakupi berbagai hal, di antaranya ialah tidak adanya perhatian pembaca terhadap sastra dan atau pengarang, lemahnya daya beli masyarakat (pembaca), dan terabaikannya fungsi dan peran sastra dalam kehidupan ber- masyarakat.

Ahar dalam esainya “Membaca Poesi Terjemahan: Menyam- but The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar” (Basis, Thn. XX- 1, Oktober 1970, hlm. 185—191) mengemukakan kritiknya pada pembaca yang menganggap bahwa terjemahan-terjemahan Burton Raffel terhadap sajak-sajak Chairil Anwar terlalu bebas. Ia menya- rankan jangan buru-buru mengklaim terjemahan itu buruk atau kurang baik. Sebab, menurut Burton, terjemahan yang baik adalah keagungan bahasa poesi yang diterjemahkan ke dalam bahasa baru- nya, bukan keagungan atau keampuhan bahasa aslinya. Bagaimana- pun juga, Burton masih tetap sadar akan adanya perbedaan antara penterjemah dan penyair. Penyair, selama dia seorang penyair da- lam arti yang sesungguhnya, bukanlah milik suatu masa tertentu, melainkan milik segala zaman. Sebaliknya, seorang penerjemah datang dari kalangan pembaca yang terbatas pada zamannya sendiri. Dengan begitu, karena setiap zaman mempunyai pandang- an tersendiri tentang keagungan karya-karya Homerus, Horatius, Sappho, Chairil Anwar, dan seterusnya, setiap zaman haruslah menerjemahkan karya-karya tersebut untuk pemuasan zamannya sendiri. Kenyataan inilah yang oleh Burton di dalam artikel terse- but disebut sebagai “sekaligus hukuman dan anugerah bagi setiap terjemahan yang berhasil, sebab poesi terjemahan, kalau bukan poesi yang lahir kembali, hanyalah omong kosong belaka”.

Kedekatan hubungan agama dengan sastra ditunjukkan oleh Th. Koendjono dalam tulisan “Agama dan Sastra” (Basis, XX-1, Oktober 1972, hlm. 354—356,382) yang disampaikan dalam cera- mah di FSK UGM pada Pekan Ilmiah FSK, Januari 1971. Dalam tulisan itu Th. Koendjono mengemukakan pendapatnya bahwa bagi kesenian, agama adalah sumber inspirasi untuk segala bidang kesenian: seni bahasa, seni musik, seni patung, seni tari, dan seni

drama. Bahkan, bagi beberapa bangsa, untuk beberapa bidang kesenian itu, agama adalah tempat kelahirannya. Sebaliknya, ke- senian adalah cara pengungkapan untuk religius experience dan jiwa beragama yang wajar, yang sederajat, dan yang tepat. Keduanya (agama dan sastra) mempunyai kaitan yang erat dalam kehidupan manusia, kerja samanya dalam sejarah, dan di masa depan.

Tan Lelana dalam tulisannya “Suara Muhammadiyah Mema- suki Tahun ke-53” (Suara Muhammadiyah, No. 1, Thn. ke-53, Januari 1973) mengemukakan kritiknya terhadap pembaca pada umum- nya, bukan pembaca sastra pada khususnya. Namun, dengan kritik semacam itu, berpengaruh juga pada pembaca sastra, sebab pem- baca sastra juga implisit menjadi pembaca umum majalah Suara Muhammadiyah.

Kritik terhadap pembaca yang dapat dikatakan cukup pedas karena kekurangpengetahuan atau pengenalan mereka terhadap sastra disampaikan oleh Noeng Runua M. dalam tulisannya “Sastra Itu Omong Kosong” (Pelopor, No. 263, 16 September 1978, hlm. 4). Lewat tulisan tersebut ia menyatakan masih ada anggapan dari masyarakat pada umumnya bahwa “sastra” hanyalah lamunan, khayalan, impian, dan “omong kosong”. Terbukti sastra cukup tersisih —meski tidak sepenuhnya— dari kehidupan mereka. Novel-novel serius dan kumpulan-kumpulan puisi tinggal berdebu di toko-toko. Banyak orang tertawa ketika diajak omong tentang sastra. Bahkan sampai ada yang menertawakan seseorang yang tengah membawa majalah Horison. Anehnya, sebagian dari yang berkata demikian adalah orang-orang yang cukup bisa berpikir dan cukup berpengetahuan (berpendidikan). Hal itu, katanya, ba- rangkali disebabkan oleh belum cukup pengetahuan atau penge- nalannya terhadap sastra. Belum banyak buku-buku sastra yang dibacanya. Belum pernah mencoba membaca karya dengan penuh penghayatan dan terbebas dari prasangka buruk sehingga sangat tipis apresiasi sastranya. Anggapan demikian bisa juga muncul dari orang-orang yang baru membaca karya novel-novel pop atau hiburan, cerpen main-main, karya-karya ringan yang tidak berpikir tentang bobot. Karya yang menyinggung hidup hanya dapat kulit luarnya belaka. Karya-karya semacam itu kebanyakan dimuat di

majalah-majalah hiburan atau diterbitkan oleh penerbit-penerbit komersial. Kebanyakan yang menulis karya-karya semacam itu adalah para remaja yang baru mulai menulis atau pengarang-penga- rang senior yang menulis dengan pamrih mencari uang semata. Jakob Soemarjo dalam Majalah Poestaka Nomor 4, tahun 1978 juga mengatakan bahwa “di Indonesia, karya-karya semacam itu justru banyak sekali diterbitkan dan banyak pula penggemarnya, ter- utama para remaja dan ibu-ibu yang masih terpukau oleh liuk-liuk romantisme asmara.”

Sementara itu, esai berjudul “Seni, Pada Dasarnya Menuju ke Kesempurnaan” karya Marsudi Asti (Masa Kini, No.235, Thn. XIII, 12 Februari 1979) berbicara tentang seni pada umumnya, bu- kan khusus sastra. Dalam esai itu penulis menekankan bahwa seni pasti bertujuan, yaitu mencapai kesempurnaan (bagi pembaca). Meskipun sempurna itu tidak ada akhirnya, tetapi kesempurnaan tetap harus diraih dan diusahakan. Sebab, pada hakikatnya, seni menyesuaikan pada tujuan manusia (pembaca). Sedangkan A. Teeuw dalam esainya berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” (Basis, Thn. XXIX-2, November 1979) menge- mukakan penjelasannya tentang bagaimana seharusnya membaca puisi khususnya dan sasra pada umumnya. Katanya, dalam mem- baca sastra, kita (pembaca) tidak bisa lepas dari konvensi bahasa, sastra, dan budaya. Sebab, latar belakang pembaca berbeda-beda, tentulah karya yang sama akan sangat mungkin berbeda penafsir- annya.

Di samping itu, tercermin dari “Hasil Angket Suara Muhamma- diyah Tahun 1975” (Suara Muhammadiyah, No. 2, Tahun 1976, hlm. 31), redaksi Suara Muhammadiyah berhasil mengumpulkan isian angket dari para pembaca. Namun sayang, jawaban angket yang diterima tidak cukup banyak sehingga hasilnya belum bisa diang- gap memadai untuk dijadikan dasar mengetahui apa yang diingin- kan oleh pembaca. Namun, dari sekian banyak angket yang masuk dapat ditangkap bayangan apa “selera” pembaca. Dari sekian ba- nyak penjawab hanya 4% wanita. Seluruh penjawab berusia lebih dari 17 tahun dan 23% darinya berpendidikan lebih dari SMA atau yang sederajat. Rubrik yang paling digemari pembaca dan

menempati urutan ke-1 dari 12 topik yang ada adalah “Tafsir Wah- yu Illahi”. Sedangkan pembaca topik sastra (Puitisasi Terjemahan Alquran) menempati urutan ke-9 dari 12 topik yang ada, dan cer- pen mendapat penilaian “jelek” dari pembaca. Penilaian itu dapat diartikan sebagai penilaian mengenai mutu tulisan tetapi juga kecenderungan untuk menyukai atau tidak menyukai rubrik yang bersangkutan. Untuk rubrik “Seni dan Budaya” hal itu masih me- rupakan usulan dan saran dari pembaca untuk tulisan yang perlu ditambahkan pada penerbitan berikutnya.

Selanjutnya, melalui tulisan “Hasil Angket Basis Tahun 1980” (Basis, Thn. XXX-1, 1980, hlm. 25—26), pengasuh Basis menunjuk- kan siapa pembaca Basis dan rubrik apa saja yang disukai atau tidak disukai. Pembaca Basis adalah dosen atau guru, mahasiswa atau siswa, rohaniawan, pegawai negeri, pegawai swasta, abri, wartawan, wiraswasta, dan lain-lain. Sementara, jumlah pembaca topik sastra, seni, dan bahasa menempati urutan ke-4 dari 12 topik yang ada. Hanya saja, di sini tidak dijelaskan seni apa saja yang dibaca (disukai) oleh pembaca sehingga tidak jelas pula sebenarnya pembaca sastra Indonesia.

Dalam dokumen KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19 (Halaman 112-115)

Dokumen terkait