• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Terhadap Kritik

Dalam dokumen KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19 (Halaman 115-126)

3.2 Orientasi Kritik

3.2.5 Kritik Terhadap Kritik

Tampak bahwa kritik atas kritik agaknya sudah menjadi bagi- an tak terpisahkan dari kehidupan kritik sastra Indonesia, termasuk kehidupan kritik sastra Indonesia sebagaimana tergambar dalam beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta. Kritik semacam itu pada umumnya berupa tanggapan atas tanggapan sehingga terjadi polemik. Hal ini tidaklah aneh karena hal serupa pernah terjadi pada masa-masa awal kehidupan sastra Indonesia, misalnya pada masa Pujangga Baru yang dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana.

Di harian Masa Kini, No. 38, Thn XIV, 9 Juni 1979, misalnya, Tarseisius menulis artikel berjudul “Merindu Bikin Malu”. Artikel itu mengungkapkan kritiknya atas kritik yang disampaikan oleh Ragil Suwarno Pragolapati yang dimuat di Masa Kini edisi 2 Juni 1979. Menurutnya, kurang pada tempatnyalah Ragil mengkultus- kan seorang tokoh, lebih-lebih jika kebesaran tokoh itu hanya

diukur dari aktivitas dan kreativitasnya saja. Sebab, masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan jika menilai seseorang, misalnya bagaimana karya-karyanya selama ini, apalagi jika orang itu kelak akan dijadikan contoh atau panutan. Karena itu, menurut Tarsei- sius, mengkultuskan seseorang harus sangat hati-hati.

Hal senada tampak pula dalam tulisan “Menjadi Kritikus Ce- rita Anak Tidak Mudah” (Masa Kini, 9 April 1979). Tulisan anonim ini sebenarnya merupakan kritik atas lemahnya tulisan-tulisan kritik terhadap cerita anak yang berkembang dewasa ini. Karena itu, dalam tulisan itu ditekankan bahwa dalam mengkritik cerita anak, kedudukan dan usia anak harus diperhatikan. Setelah itu, melalui tulisan itu penulis juga mengajak agar para pengarang mencoba mengarang dan juga menulis kritik atas cerita anak. Sebab, anak- anak adalah generasi masa depan yang perlu diberi kesempatan yang luas sehingga mereka mampu menghadapi tantangan.

Berbeda dengan tulisan di atas, tulisan Bambang Sadono “Kritik Sastra oleh Siapa Saja” (Pelopor, No. 23, 12 Oktober 1978) mencoba menyoroti kompetensi kritikus. Menurutnya, kompetensi kritikus perlu ditingkatkan sebelum ia melakukan kritik atau apresiasi ter- hadap suatu karya. Sebab, ia melihat, selama ini banyak orang meng- anggap bahwa kritikus hanya sebagai pengontrol dan pencaci maki daripada menempatkan fungsi dan tujuan dalam kritiknya. Karena itu, katanya, menulis kritik tidak cukup hanya bermodal “itikad baik “ saja, tetapi juga harus matang dalam memberikan pertimbangan. Akhirnya, Bambang Sadono menegaskan bahwa tujuan kritik ada- lah membangun karya yang telah ada dan bukan mengarahkannya ke hal-hal lain.

Masih berkaitan dengan hal di atas, Em Es dalam tulisannya “ Kritikus Yogyakarta Apa Kabar?” (Minggu Pagi, No. 17, 27 Juli 1980) mengemukakan tanggapan Rendra tentang kompetensi kriti- kus. Dikatakan bahwa Rendra menyatakan di Indonesia belum ada kritikus murni, artinya orang yang betul-betul hidup dari tulis- an kritiknya. Khususnya teater, Rendra sampai sekarang tidak melihat siapa yang bisa dikategorikan sebagai kritikus. Kritik di Indonesia selalu cemplang-cemplung, ampas. Untuk Yogya, sebagai kota budayawan dan seniman, dibutuhkan pengamat seni yang

baik untuk menstimulasi perkembangan kesenian di Yogya. Menu- rutnya, menulis kritik bukan sekedar menulis rasa ketidakenakan pribadi tetapi menyangkut beberapa aspek kriterium, seni, social, dan budaya. Banyak persoalan yang harus dihadapi kritikus. De- ngan kata lain, profesionalisme kritikus erat hubungannya dengan kompetensi yang dimilikinya.

Sementara itu, Bakdi Soemanto dalam tulisannya “Pledoi Sajak- Sajak Remaja Mutakhir” (Semangat, No. 7, Maret 1975) melontarkan kritik atas kritik Muhammad Ali terhadap karya para penyair muda pada pertemuan sastrawan se-Indonesia ke-2 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menurut Bakdi, Ali mengatakan, “… bahwa puisi-puisi kontemporer merupakan puncak tragedi bagi puisi umumnya dalam pelantunannya dari masa ke masa”, “… di pihak lain terdapat pula dugaan yang melibatkan eksistensi kepenyairan ke dalam kasus ini bahwa penyair-penyair kita dewasa ini tiada lagi memiliki kepekaan dan kesadaran puitika sebagaimana pernah dipunyai oleh penyair-penyair sebelumnya.” Selanjutnya, “… diban- dingkan dengan novel roman, puisi terasa lebih parah lagi keadaan- nya. Pemilihan judul, penyusunan bentuk pemakaian gatra-gatra dan simbol-simbol dan pencerapan objek-objek lebih menjurus ke- serba-kinian.” Menurut Bakdi, sikap Ali sangat disayangkan kare- na dasar pijak Ali berbicara tidak jelas, apakah berbekal pelajaran mengenai perkembangan sajak-sajak itu ataukah hanya melihat gelaja yang dihadapinya saja.

Demikian paparan singkat mengenai kritik atas kritik dalam khazanah kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Sebenarnya, kritik serupa jumlahnya masih cukup banyak, dapat disebutkan, misal- nya “Persoalan Langit Makin Mendung” (Minggu Pagi, No. 12, 21 Juni 1970) karya Ita Rahayu, “Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dengan Pembaharuan” (Basis, Juni 1978) dan “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” (Basis, November 1979) karangan A. Teeuw. Hanya saja, kritik dalam beberapa esai ini tidak secara eksplisit menanggapi kritik orang lain atas karya sastra, tetapi kritik atas kebiasaan atau tradisi membaca, memahami, meng- apresiasi, dan meneliti —yang pada hakikatnya juga merupakan kritik—karya sastra.

Seperti halnya kritik sastra Indonesia pada umumnya, kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 pun hidup secara wajar. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan kehidupan kritik sastra Indonesia pada kurun waktu sebelumnya (1945— 1965), kehidupan kritik sastra Indonesia pada kurun waktu ini lebih menunjukkan adanya perkembangan yang berarti walaupun keha- diran karya-karya kritik sastra itu masih tetap didukung oleh media publikasi (media massa cetak) yang sama dengan media publikasi pada kurun waktu sebelumnya.

Dari analisis terhadap dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966—1980 dapat dinyatakan bahwa kritik sastra Indonesia yang berkembang di Yogyakarta dipengaruhi oleh situasi secara nasional, yakni era Orde Baru yang disertai dengan semakin baik dan tertatanya sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pertumbuhan kritik sastra Indonesia itu juga ditopang oleh terjadinya mobilitas sosial yang dinamis sejak 1950-an yang ditandai oleh banyaknya calon-calon intelektual datang ke Yog- yakarta yang kemudian membangun berbagai komunitas budaya, sastra, dan pers (penerbitan) baik di perguruan tinggi maupun lem- baga-lembaga swasta.

Tampak pula bahwa terbangunnya tradisi kritik sastra Indo- nesia di Yogyakarta dipengaruhi oleh identitas Yogyakarta sebagai kota pelajar, kota pendidikan, kota wisata budaya. Para kritikus

BAB IV

PENUTUP

yang berperan pun tidak hanya berasal dari Yogyakarta, tetapi juga —yang justru lebih banyak—orang-orang dari berbagai kota di Indonesia yang tinggal di Yogyakarta. Seperti halnya pada masa- masa sebelumnya, kehidupan kritik sastra Indonesia itu juga masih memiliki ketergantungan yang kuat pada media massa (majalah dan surat kabar).

Dari analisis terhadap jenis kritik yang tumbuh dan berkem- bang di Yogyakarta dapat dinyatakan bahwa kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tahun 1966—1980 tetap didomi- nasi oleh jenis kritik sastra yang bersifat umum atau impresionistik; hal tersebut disebabkan oleh media publikasi yang memuat karya- karya kritik itu ialah media massa umum (populer, bukan media ilmiah) walaupun beberapa di antara media tersebut berlabel se- bagai “media kebudayaan”. Sebagai media massa umum, tulisan- tulisan (karya kritik) yang dimuat dituntut untuk memenuhi persya- ratan sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh media massa umum. Bahkan, kecenderungan dominannya kritik impresionistik juga diperkuat oleh adanya kritik yang tulis dan dipublikasikan dalam rubrik “surat pembaca”, “kronik”, “resensi buku”, “dari redaksi”, “varia budaya”, “skets masyarakat”, dan sejenisnya, yang sesung- guhnya rubrik-rubrik tersebut tidak dimaksudkan sebagai ruang untuk kritik sastra.

Berdasarkan pengamatan terhadap orientasi kritiknya, karya- karya kritik sastra Indonesia yang berkembang di Yogyakarta pada tahun 1966—1980 menunjukkan variasi orientasi (pendekatan); dalam arti karya-karya kritik tersebut tidak hanya menyoroti ma- salah yang berkaitan dengan sistem makro, yakni sistem di luar sastra yang berkaitan dengan pengarang, penerbit/pengayom, pembaca (masyarakat penikmat), dan kritik itu sendiri, tetapi juga telah mengarah pada sistem mikro yang berkaitan dengan karya sastra terutama puisi, cerpen, novel, dan drama (sandiwara).

Secara kuantitas, karya-karya kritik yang mempersoalkan hal- hal di luar sastra, terutama kritik terhadap pengarang, tidak lagi mendominasi seperti yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya. Sebab, pada kurun waktu ini, yang paling dominan adalah karya- karya kiritik terhadap karya sastra; hal demikian berarti bahwa

pada masa 1966—1980 pengertian tentang hakikat kritik sastra adalah “kritik terhadap karya sastra” sudah sepenuhnya disadari sepenuhnya oleh para kritikus. Namun, seperti terjadi pada masa sebelumnya, sebagian besar kritik terhadap hal-hal di luar sastra itu pun cenderung tidak terfokus orientasinya; hal itu terjadi karena di dalam kritik itu subsistem pengarang, penerbitan, masyarakat pembaca, bahkan hal-hal teknis dalam pementasan dibicarakan sekaligus. Jadi, kritik sastra yang terbit di media massa pada saat itu tidak memiliki fokus perhatian yang jelas. Kendati demikian, hal itu wajar karena kecenderungan kritik umum memang demi- kian.

Secara kualitas, karya-karya kritik yang lahir dan berkembang pada masa 1966—1980 sebagian telah menunjukkan kualitas yang memadai, dalam arti bahwa kritik yang disampaikan telah meng- arah pada hal-hal yang lebih substansial. Kritik dengan kualitas yang demikian yang memberikan kontribusi besar bagi perkem- bangan kritik sastra khususnya dan perkembangan sastra Indone- sia umumnya. Hanya saja, kritik yang berkualitas itu hanya mun- cul di majalah, di antaranya Basis dan Semangat, sedangkan surat kabar seperti Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, dan Masa Kini didomi- nasi oleh karya-karya kritik yang kualitasnya rendah.

Akhirnya, secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980 tum- buh secara wajar bersamaan dengan pertumbuhan karya sastra Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan karya sastra itu sendiri, khususnya puisi dan cerpen, kritik sastra tetap masih jauh ketinggalan. Pada masa itu teori-teori pengkajian sastra sebenarnya telah berkembang di berbagai perguruan tinggi. Akan tetapi, perkembangan teori itu tampaknya belum dibarengi oleh tradisi tulis kritik yang kuat. Oleh karena itu, tradisi kritik sastra di Yogyakarta kurang berkembang pesat.

Abrams, M.H. 1981. (Fourth Printing). A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart, and Winston.

Damono, Sapardi Djoko. 1998/1999. “Kritik Sastra Jawa”. Bahan diskusi untuk Penyusunan Buku Pintar Sastra Jawa di Wisma Argamulya, Tugu, Bogor, 3—5 Maret 1999.

de Vries, Egbert. 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor dan Gramedia.

Harnoko, Darto dkk. 2003. Demokrasi dalam Perjalanan Sejarah: Studi Kasus di DIY 1945—Awal Reformasi. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Hasyim, Mustofa W. dan Iman Budhi Santoso (ed). 1997. Begini Begini dan Begitu. Antologi Sastra Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia Festival Kesenian Yogyakarta IX-1997, Seksi Sastra Indonesia. Hutagalung, M.S. 1975. Kritik Atas Kritik Atas Kritik. Jakarta: Tulila. Iser, Wolfgang. 1980. “Interaction between Text and Reader”. In Susan R. Suleiman and Inge Crosman (ed.). The Reader in the Text. Princetown: Princetown University Press.

—————. 1987 (Fourth Printing). The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Jassin, H.B. 1954. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dasn

Esai. Jakarta: Gunung Agung.

Jauss, Hans Robert. 1974. “Literary History as a Challenge to Literary Theory.” In Cohen, Ralp (ed.). New Direction in Literary History. London: Routledge & Kegan Paul.

Kuntowijoyo. 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. Yogyakarta: Bentang.

Mardianto, Herry dkk. 2003. “Cerita Pendek Indonesia di Yogya- karta Periode 1945—1965”. Yogyakarta: Bagian Proyek Pem-

binaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah Isti- mewa Yogyakarta.

Mas’oed, Mohtar. 1990. “Negara, Masyarakat, dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia”. Dalam Akhmad Zaini Abar (ed.). Orde Baru. Solo: Ramadhani.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Lukman.

—————. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Edisi Kedua. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Ricklefs, M.C. 1994. Sejarah Indonesia Modern. Cetakan IV. Diindone- siakan oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Setiawan, Ahmad. 1998. Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suwondo, Tirto dkk. 2004. “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1945—1965”. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta. Suryadi, Linus. 1989. Di Balik Sejumlah Nama. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literary Macro-Theory. Lisse: The Peter de Ridder Press.

Teeuw, A. 1952. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru II. Jakarta: Pembangunan.

—————. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya. Triyono, Adi dkk. 2004. “Cerpen Indonesia di Yogyakarta Periode

1966—1980.” Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

Wellek, Rene and Austin Warren. 1968. Theory of Literature. Har- mondsworth, Middlesex: Penguin Books.

Widati, Sri dkk. 2003. “Puisi Indonesia di Yogyakarta Periode 1945— 1965”. Yogyakarta: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah DIY.

—————. 2004. “Puisi Indonesia di Yogyakarta Periode 1966— 1980”. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

Tirto Suwondo lahir di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, pada 1962. Pendidikan terakhir Program Pascasarjana (S-2) UGM (2000). Masuk kerja sejak 1982, menjadi peneliti sejak 1988, dan sejak 2007 menjadi Kepala Balai Bahasa Yogyakarta. Sejak kuliah telah aktif menulis artikel, resensi, dan features tentang sastra, buda- ya, dan pendidikan. Esai-esainya dipublikasikan di media lokal, nasional, dan regional (Brunei Darussalam). Pernah menjadi warta- wan Detik (1988), Media Indonesia (1989—1991), Kartini (1991— 1993), dan redaktur jurnal Widyaparwa, Poetika, dan Bahastra. Bebe- rapa kali menjuarai lomba penulisan esai/kritik sastra tingkat nasional; terakhir masuk sepuluh besar penerima Anugerah Kritik Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta (2007).

Buku-buku hasil penelitiannya (kelompok) yang telah terbit Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa (1994); Sastra Jawa Modern Periode 1920 sampai Perang Kemerdekaan (1996); Karya Sastra Indonesia di Luar Penerbitan Balai Pustaka (1997); Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan (2001); Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan (2001); Sastra Jawa Balai Pustaka 1917—1942 (2001); Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa Modern (2005); Pedoman Penyuluhan Sastra Indonesia (2008). Buku karya sendiri yang telah terbit Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis (2001), Studi Sastra: Beberapa Alternatif (2003), Muryalelana: Seorang “Pejuang” Sastra Jawa (2005); Karya Sastra Indonesia dalam Majalah Gadjah Mada dan Gama (2006); Sastra Jawa dan Sistem Komunikasi Modern (2007); dan Esai/Kritik Sastra

dalam Minggu Pagi, Masa Kini, dan Semangat (2007). Buku cerita anak-anak yang telah terbit Sang Pangeran dari Tuban (1996), Gagal- nya Sebuah Sayembara (1998), Sepasang Naga di Telaga Sarangan (2004), Dan Langit pun Tak Lagi Kelabu (2005), dan Dewi Anggraeni: Si Putri Karandan (2008).

Siti Ajar Ismiati adalah lulusan Akademi Sekretaris dan Manajemen Istikayana (ASMI) Yogyakarta dan meraih gelar S-1 pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP Muhammadiyah (seka- rang Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta. Kini ia bekerja di Balai Bahasa Yogyakarta dan tengah menyelesaikan studi S-2 di FIB UGM. Hasil penelitiannya yang telah diterbitkan antara lain Biografi Pengarang Soenarna Siswarahardja (2001), Karya Sastra dalam Majalah Basis: 1945-1965 (2005), Suryadi Ws.: Sosok dan Kreativitasnya (2006). Sedangkan hasil penelitian kelompoknya antara lain Wanita dalam Sastra Jawa Modern: 1945-1965 (2003), dan Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa Modern (2006).

Yohanes Adhi Satiyoko, lahir di Yogyakarta 31 Oktober 1972. Lulus dari Fakultas sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta jurusan Sastra Nusantara (2002) dan dari Fakultas Sastra Univer- sitas Sanata Dharma Yogyakarta jurusn Sastra Inggris (1999). Saat ini sedang menyelesaikan studi S-2 di Fakultas Ilmu Budaya Univer- sitas Gadjah Mada Yogyakarta program pendidikan sastra. Meng- abdi pada Balai Bahasa Yogyakarta sejak tahun 2003. Selain men- jadi peneliti pada Balai Bahasa Yogyakarta juga menjadi penerje- mah bahasa Inggris dan Belanda bidang sastra, budaya, dan ba- hasa. Beberapa penelitian pernah diterbitkan di majalah Widyapar- wa. Beberapa terjemahan antara lain “Linguistik Semantik” (tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2005-2006), Teori Sastra Modern (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2007-2008), Take The Stairs (Kanisius, 2006). Saat ini aktif di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan penerbitan majalah bahasa Jawa Pagagan.

Dalam dokumen KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19 (Halaman 115-126)

Dokumen terkait