• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK

B. Jumlah Pajak Daerah Sebagai Acuan PAD Pemerintah

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung-jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan.

Daerah diberikan kesempatan luas untuk menggali dan memanfaatkan potensi semua sumber daya yang ada untuk meningkatkan PAD. Diperlukan upaya inovatif dan kreatif menggali PAD sebagai kontributor dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Upaya ini harus selektif untuk menghindari dampak negatif yang dapat bersifat kontraproduktif. Salah satu upaya menggali PAD adalah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah dan secara cepat. Pungutan-pungutan yang terlalu banyak jenis dan macamnya dapat menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).60

60Ahcmad Kosim, Implikasi Deregulasi Pajak Terhadap Pengelolaan PADS, Di dalam Tesis Imam Santoso, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2003, Hal 7

Konsep dan implementasi pelaksanaan otonomi daerah dalam menggali PAD harus mendapat perhatian, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani dan mengerti bahwasannya usaha pemerintah dalam pungutan pajak merupakan kebijakan yang berdampak positif untuk pembangunan. Banyak jenis pajak yang membuat beban masyarakat dan beban para investor-investor atau pengusaha dalam menjalankan aktifitasnya. Besarnya beban pajak yang dibebankan pihak pemerintah dalam melaksanakan fungsi budgeter pajak kepada subjek pajak memang memberikan kontribusi besar dalam peningkatan APBD (Anggaran Pendapatan dan Balanja Daerah), karena secara otomatis Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat.

Peningkatan PAD tentu memberikan dampak positif bagi pemerintahan, namun memberikan dampak negatif bagi para masyarakat.

Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah, terjadi melalui proses penyerahan sejumlah kekuasaan/kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di mana implementasi kebijakan desentralisasi memerlukan banyak faktor pendukung.

Salah satu faktor pendukung yang secara signifikan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya, di samping faktor-faktor lain seperti kemampuan personalia di daerah dan kelembagaan pemerintah daerah.

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan yang menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang semakin mantap, maka diperlukan

usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat61. Di sisi lain, saat ini kemampuan keuangan beberapa Pemerintah Daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, bersamaan dengan semakin sulitnya keuangan negara dan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri, maka kepada setiap daerah dituntut harus dapat membiayai diri sendiri melalui sumber – sumber keuangan yang dikuasainya. Peranan Pemerintah Daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah.62

Peningkatan PAD sangat menentukan sekali dalam penyelenggaraan otonomi daerah karena semakin tinggi PAD disuatu daerah maka daerah tersebut akan menjadi mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada pusat sehingga daerah tersebut mempunyai kemampuan untuk berotonomi. Jadi PAD merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah.

61KJ. Davey, (1998), Pembiayaan Pemerintahan Daerah, UI press, Jakarta., 1998, hal. 95.

62 Abdul Halim, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Revisi, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 2004, hal. 21-22.

Penerimaan daerah terdiri dari pendapatan daerah dan pembiayaan daerah.

Jumlah pendapatan daerah dimaksud merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai utuk setiap sumber pendapatan. Pembiayaan daerah adalah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Potensi Keuangan Daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu.

Hasil guna sisi pendapatan menyangkut semua tahap administrasi penerimaan pajak/non pajak: menentukan wajib pajak/non pajak, menetapkan nilai kena pajak, memungut pajak, menegakkan sistem pajak/non pajak, dan membukukan penerimaan.

Dalam mencapai efesiensi ini, tiga faktor yang mengancam yang patut diperhatikan adalah penghindaran pajak oleh wajib pajak, kolusi antara wajib pajak dengan petugas pajak, dan penipuan (Moral Hazard) oleh petugas pajak. Tiga faktor dimaksud pemecahannya menyangkut pula dengan penegakan hukum (Law Inforcement).

Pajak daerah, sebagai salah satu komponen PAD, merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya.

Pemerintah daerah dapat menetapkan dan memungut beragam jenis pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini sangat dimungkinkan jika pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan sendiri jenis-jenis pajak

daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada intervensi dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan kondisi yang perlu diciptakan dan menjadi suatu pandangan umum. Agar pemerintah daerah memiliki kemampuan optimal untuk memungut pajak daerah yang ada di daerahnya, perlu kiranya mempertimbangkan pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk dijadikan sumber pendapatan agar tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah.

Jenis-jenis pajak yang dipungut di daerah sangat beragam. Pemungutan pajak daerah ini harus mengindahkan ketentuan bahwa lapangan pajak yang akan dipungut belum diusahakan oleh tingkatan pemerintahan yang ada diatasnya. ada perbedaan lapangan pajak antara daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota. Daerah propinsi memiliki 5 jenis pajak daerah, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak atas Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok.

Untuk Daerah Kabupaten/Kota, pajak daerah yang dipungut berjumlah 11 buah, yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Air tanah, Pajak Sarang Burung walet, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Bumi dan bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi, maka sumber-sumber daerah yang potensial harus digali secara maksimal dan tentu saja didalam koridor peraturan perUndang-Undangan yang

berlaku termasuk diantaranya adalah pajak daerah memang telah sejak lama menjadi unsur Pendapat Asli Daerah.

Sebagai salah satu sumber pembiayaan yang dimiliki oleh daerah, pendapatan asli daerah merupakan pendapatan yang diperoleh tingkat pemerintahan lokal (Pemda) yang digali oleh pemerintah daerah tersebut dari sumber-sumber ekonomi yang ada di daerahnya. Dalam konsep pendapatan asli daerah ini tercakup komponen-komponen penerimaan yang berasal dari hasil perolehan pajak daerah, retribusi daerah, bagian daerah yang berasal dari laba Badan Usaha Milik Daerah, serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Ciri umum yang terlihat dari sumber-sumber PAD adalah banyak jenis penerimaan yang diserahkan kepada daerah, tetapi sebagian besar kurang potensial dalam artian lebih besar biaya pemungutannya daripada hasil pungutannya.63 Secara teoritik, PAD merupakan suatu sumbangan nyata yang diberikan oleh masyarakat setempat guna mendukung status otonom yang diberikan kepada daerahnya. Tanda dukungan dalam bentuk besarnya perolehan PAD penting artinya bagi suatu pemerintah daerah agar memiliki keleluasaan yang lebih dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari maupun pembangunan yang ada di wilayahnya.

Dalam hal pajak daerah, pembagian kewenangan yang “benar” dalam struktur jenjang pemerintahan sangat jelas secara prinsip, tetapi secara umum kontroversial dalam prakteknya. Permasalahan mendasar dapat dilihat dari dua sudut. Pertama,

63Didit M. P. Pontjowinoto. “Alternatif Reformasi Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah”, dalam Prisma No. 8, Agustus 1991. Jakarta: LP3ES, 1991. Hlm. 34.

kemampuan yang melekat pada pusat untuk dapat memungut semua pajak secara lebih efisien dari daerah. Kedua, basis-basis (objek) pajak potensial yang dapat dijangkau daerah sangat beragam antara satu daerah dan daerah lainnya. Hal pertama dari permasalahan ini terkait dengan ketidakseimbangan vertikal, dan hal yang kedua ini terkait dengan ketidakseimbangan horizontal.64

Pajak daerah merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya. Pajak daerah ini diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan disetujui oleh lembaga perwakilan rakyat serta dipungut oleh lembaga yang berada di dalam struktur pemerintah daerah yang bersangkutan.

Pelaksanaan pemungutan pajak daerah tersebut, dilaksanakan dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). UU No.28 Tahun 2009 tersebut memberikan peluang kebebasan kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun Perda tentang Pajak Daerah. Dampak yang timbul kemudian adalah banyaknya bermunculan Perda-perda baru tentang Pajak Daerah yang meresahkan masyarakat dan pelaku usaha sehingga menimbulkan kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangan eekonomi dan investasi secara nasional.

Hasil penerimaan pajak diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) khususnya

64 Richard M. Bird & Francois Vaillancourt (Ed.)., Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama 2000. Hlm. 15.

bagi daerah Kabupaten/ Kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran daerah. Pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak ada jenis pungutan pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah. Oleh karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan jasa antardaerah.65

Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Sumber pendapatan asli daerah adalah :

a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan e. Lain-lain PAD yang sah

65 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, CV. Focus Grahamedia, Jakarta, 2009, Hal 85.

Untuk peningkatan PAD terkait dengan peran legislatif daerah dalam hal ini adalah pada tingkat kebijakan dimana dewan harus menentukan unsur kelayakan dan kemudahan jenis pungutan serta dapat menjamin keadilan baik secara vertikal maupun horizontal. Disamping itu dewan juga dapat berpartsisipasi dalam bentuk pengawasan. Bila dewan benar-benar mampu menjalankan fungsinya dengan baik dalam kebijakan dan pengawasan, maka optimalisasi PAD akan benar-benar terwujud.

Pengaturan tentang pajak daerah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.34 Tahun 2000. Berdasarkan UU tersebut Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap masing-masing jenis pajak. Untuk itu daerah diberikan kewenangan memungut 16 jenis pajak. Penetapan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pajak tersebut secara umum dapat dipungut hampir di semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan pungutan yang baik.

Jenis pajak propinsi bersifat limitatif yang berarti propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan. Adanya pembatasan jenis pajak propinsi tersebut terkait dengan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten/kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu.

Propinsi dapat tidak memungut pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang

hasilnya kurang memadai. Besarnya tarif pajak propinsi berlaku definitif yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia.

Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang telah ditetapkan secara eksplisit, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang tersebut. Namun ada rambu-rambu atau kriteria yang harus diikuti :66

a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;

b. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;

c. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;

d. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau obyek pajak pusat;

e. Potensinya memadai;

f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;

g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, dan;

h. Menjaga kelestarian lingkungan.

Jika ada pajak daerah yang akan dikenakan tidak memenuhi satu saja dari rambu di atas, maka seyogyanya dipertimbangkan untuk dibatalkan pengesahannya.

66Pasal 2 ayat 4 huruf a-h UU No.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

UU No.28 Tahun 2009 secara tegas telah menyatakan bahwa pemerintah pusat bisa meminta daerah untuk membatalkan pajak-pajak yang dianggap tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.

Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditetapkan Undang-Undang. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh propinsi dan yang dipungut oleh kabupaten/kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.

Menurut Kristiadi, pajak daerah secara teori hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :67

a. Tidak bertentangan atau searah dengan kebijakan pemerintah pusat b. Sederhana dan tidak banyak jenisnya

c. Biaya administrasinya rendah

d. Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat

e. Kurang dipengaruhi oleh “business cycle” tapi dapat berkembang dengan meningkatnya kemakmuran

f. Beban pajak relatif seimbang dan “tax base” yang sama diterapkan secara nasional

Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Untuk itu

67Machfud Sidik, Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Yogyakarta, 1999, hal. 25.

pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya.68

Pajak Daerah merupakan salah satu penerimaan daerah yang berperan penting dalam membiayai pengeluaran daerah. Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kemampuan suatu daerah adalah dengan melihat besarnya kontribusi pajak Daerah terhadap PAD.

Data kontribusi pajak daerah terhadap total Pendapatan Asli Daerah dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2

Kontribusi Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Asli Daerah Tahun 2005-2009

No Tahun PAD Pajak Daerah Kontribusi

1 2005 769.561.690.000 655.884.680.000 85,2%

2 2006 964.641.290.000 764.519.110.000 62,8%

3 2007 1.257.093.510.000 926.592.210.000 54,3%

4 2008 1.477.547.430.000 1.274.416.990.000 74,3%

5 2009 1.451.957.630.000 1.072.196.790.000 54,5%

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Riau

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kontribusi Pajak Daerah terhadap Pendapatan Asli daerah (PAD) dari tahun 20052009 adalah berkisar antara 73,3%

-68Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI, hal. 33

86,2%. Kontribusi Pajak daerah terhadap PAD yang terendah diperoleh pada tahun 2007 sedangkan kontribusi tertinggi diperoleh pada tahun 2008. Namun dapat dilihat bahwa kontribusi dari tahun 2005-2009 menunjukkan bahwa pajak daerah memberikan kontribusi yang cukup besar.

Keadilan pungutan terjadi jika pungutan telah memperhatikan asas manfaat dan asas kemampuan membayar dari wajib pajak. Upaya kelayakan dan keadilan ini diwujudkan dalam bentuk penentuan tingkat pajak. Besarnya pajak yang dikenakan terhadap wajib pajak juga didasarkan kepada kemampuan membayar (ability to pay), ini cukup adil secara horizontal, karena pada golongan yang sama harga yang ditetapkan sama sesuai dengan manfaat yang diterima si wajib pajak.

C. Kontribusi Pajak Air Permukaaan dan Pajak Air bawah Tanah Terhadap