• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. EKSTRAKSI TANIN

4. Kadar Abu

Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam bubuk tanin. Menurut Sudarmadji et. al. (1989), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Nilai kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian, kebersihan suatu produk yang dihasilkan dan baik tidaknya suatu proses

40 pengolahan. Grafik hubungan kadar abu (dry basis) dengan jumlah pelarut dan bahan dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Grafik Hubungan Kadar Abu Tanin Bubuk dengan Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan

Nilai kadar abu tanin bubuk (dry basis) berkisar antara 3,85% - 5,17% (Lampiran 5d). Mineral yang terdapat dalam tanin bubuk berasal dari mineral gambir yang ikut terlarut dalam air. Kadar abu gambir asalan adalah 12,21%. Penurunan kadar abu hingga mencapai 7,41%-8,61% (wet basis) memperlihatkan bahwa proses ekstraksi tanin bubuk yang telah dilakukan cukup baik karena mineral atau bahan pengotor yang terdapat dalam gambir asalan tidak banyak yang terekstrak. Nilai kadar abu yang semakin rendah menunjukkan tanin yang terekstrak lebih murni karena tidak banyak mengandung mineral yang merupakan bahan bukan tanin.

Berdasarkan Gambar 24, nilai kadar abu mengalami penurunan seiring dengan peningkatan jumlah pelarut pada suhu 600C dan 800C. Pada suhu tersebut, semakin banyak jumlah pelarut yang digunakan, semakin rendah nilai kadar abu produk. Jika ditelaah berdasarkan faktor suhu, nilai kadar abu meningkat dari suhu 600C ke 800C dan 400C kecuali pada suhu 400C dengan perbandingan air dan gambir asalan 8:1 (v/b) yang mengalami penurunan. Menurut Lehr (2000), kelarutan dari sebagian besar mineral meningkat seiring dengan peningkatan

41 temperatur. Beberapa parameter yang mempengaruhi kelarutan mineral adalah tempertaur, pH, dan nilai redox potential (Eh).

Pada dasarnya, kadar abu merupakan pengujian untuk mengetahui jumlah mineral anorganik yang terdapat dalam produk tanin bubuk setelah mengalami proses pembakaran. Menurut Sudarmadji et. al. (1989), komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi dan beberapa contoh mineral antara lain fosfor (P), besi (Fe), Na, K, Mg, S, Co, dan Zn. Menurut Betts (1999), sejumlah kecil mineral dapat larut dalam air. Sebagian besar mineral membutuhkan waktu beberapa jam untuk dapat larut dalam air dan sedikit mineral yang dapat larut dengan cepat dalam air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kadar abu terkecil yaitu 3,85% dimiliki oleh produk yang diekstrak dengan air suhu 600C dengan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 12:1 (v/b).

Berdasarkan hasil penghitungan analisis ragam pada α = 0,05 (Lampiran 10), faktor perlakuan suhu dan perlakuan jumlah air dengan gambir asalan serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar abu. Hal tersebut menjelaskan bahwa perlakuan yang terjadi selama proses ekstraksi tidak mempengaruhi nilai kadar abu produk karena hasil yang diperoleh tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Nilai kadar abu dapat dipengaruhi oleh kandungan kadar abu dari gambir asalan yang digunakan dan proses ekstraksi yang dilakukan. Pemilihan bahan baku yang memiliki nilai kadar abu rendah perlu diperhatikan untuk dapat menekan nilai kadar abu pada produk tanin bubuk yang dihasilkan.

5. Warna

Tanin memiliki warna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung dari sumber tanin tersebut. Tanin dari gambir asalan memiliki warna bubuk kuning kecoklatan. Hasil pengukuran warna menghasilkan data nilai L, a dan b. Data nilai tersebut merupakan notasi warna yang digunakan dalam sistem notasi Hunter. Menurut Soekarto

42 (1990), sistem notasi Hunter mempunyai tiga parameter untuk mendeskripsikan warna yaitu L, a, dan b.

Parameter L mempunyai nilai yang berkisar dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan kisaran nilai +a berkisar mulai 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a mulai dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b mnyatakan warna kromatik campuran biru kuning, dengan nilai +b mulai dari 0 sampai +70 untuk warna biru dan nilai –b mulai dari 0 sampai -70 untuk warna kuning (Soekarto, 1990).

Tanin gambir pada umumnya berwarna kuning kecoklatan. Nilai a dan b hasil pembacaan colorimeter untuk tanin bubuk adalah positif yang masing-masing menunjukkan warna merah dan kuning. Rentang nilai a pengujian warna pada tanin bubuk adalah 21,09-24,56 sedangkan rentang nilai b adalah 11,19-12,12. Hasil pengukuran warna untuk nilai L bervariasi antara 48,91 dan 54,30. Hasil pengukuran warna dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Warna Tanin Bubuk Suhu

(0C)

Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan Nilai L Nilai a Nilai b 0 H Whiteness 40 8 53,91 21,26 12,05 10 51,30 23,09 11,69 12 50,20 23,96 11,41 60 8 48,91 24,56 11,19 10 54,30 21,09 12,12 12 51,25 22,70 11,60 80 8 49,57 24,40 11,30 10 52,06 22,29 11,61 12 52,75 21,90 11,85

Nilai a, dan b yang diperoleh dari pembacaan colorimeter dapat dinyatakan dalam 0H. Nilai 0H merupakan atribut yang menunjukkan derajat visual warna yang terlihat. Nilai 0H diperoleh melalui perhitungan

43 invers tangen perbandingan nilai b dan a. Nilai 0H kemudian dibandingkan dengan diagram warna 0H sehingga dapat diketahui warna bahan secara visual. Rata-rata nilai 0H produk tanin bubuk adalah 79,82 yang menunjukkan spektrum warna kuning. Nilai 0H dari produk tanin bubuk dapat dilihat pada diagram warna Gambar 25. Warna yang diperlihatkan pada diagram warna hue menunjukkan warna tanin produk yang dihasilkan.

Gambar 25. Diagram Warna Hue Tanin Bubuk

Selain 0H, data L, a, dan b hasil pengukuran dengan colorimeter dapat dikonversi menjadi nilai derajat putih atau whiteness produk tanin bubuk yang distandarisasi dengan warna putih BaSO4. Nilai whiteness produk bubuk berkisar antara 64,99% dan 74,26% (Lampiran 5e). Nilai whiteness yang semakin tinggi menunjukkan bahwa tanin bubuk semakin mendekati warna putih yang berarti semakin cerah. Grafik hubungan antara nilai whiteness dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan dapat dilihat pada Gambar 26.

44 Gambar 26. Grafik Hubungan Whiteness Tanin Bubuk dengan Jumlah Air

dan Gambir Asalan

Berdasarkan Gambar 26, nilai whiteness produk gambir tidak menunjukkan suatu kecenderungan tertentu terhadap faktor-fakor yang digunakan dalam penelitian. Nilai whiteness produk tanin bubuk tertinggi adalah 74,26% yang dimiliki produk S6P10 yaitu produk yang diekstrak dengan suhu 600C dan perbandingan air dengan gambir asalan 10:1 (v/b). Nilai whiteness yang tinggi menunjukkan kualitas tanin yang lebih baik. Menurut Browning (1966), tanin berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung dari sumber tanin. Warna tanin akan berubah menjadi lebih gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan di udara terbuka. Semakin gelap warna bubuk tanin, kualitas tanin bubuk semakin rendah. Penampakan contoh produk tanin bubuk dapat dilihat pada Gambar 27.

45 Hasil analisis ragam pada α = 0,05 (Lampiran 11) menunjukkan bahwa faktor perbandingan jumlah air dan gambir asalan serta interaksi antara faktor suhu dan jumlah perbandingan air dengan bahan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai whiteness. Namun, faktor suhu air yang digunakan dalam ekstraksi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai whiteness. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan terbaik yang menghasilkan nilai whiteness tertinggi sebesar 74,26% adalah perlakuan dengan suhu air panas 600C dan jumlah air dengan gambir asalan 10:1 (v/b).

Meskipun hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh jumlah pelarut yang digunakan dan pengaruh interaksi antara suhu dan jumlah pelarut yang ditambahkan, terdapat kemungkinan bahwa proses pengeringan juga berpengaruh pada warna tanin bubuk yang dihasilkan. Proses pengeringan menggunakan spray dryer dengan suhu yang tidak stabil antar perlakuan berpengaruh pada warna masing-masing tanin bubuk. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi menyebabkan warna tanin menjadi lebih gelap dan nilai whiteness menjadi rendah.

Dokumen terkait