• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

C. TATA LAKSANA PENELITIAN

Pada penelitian utama dilakukan ekstraksi tanin dari gambir asalan dengan faktor suhu dan jumlah pelarut yang berbeda. Variasi suhu yang digunakan untuk melarutkan adalah 400C, 600C dan 800C. Jumlah air dengan gambir asalan memiliki variasi perbandingan antara 8:1 , 10:1, dan 12:1 (v/b). Jumlah gambir asalan yang digunakan pada tiap perlakuan adalah sebanyak 150 gram.

Tahapan ekstraksi tanin dari gambir asalan hingga menjadi produk tanin bubuk adalah persiapan bahan baku, pelarutan gambir asalan dalam air yang dipanaskan, penyaringan pertama, pengendapan, penyaringan kedua, dan pengeringan. Tahapan persiapan bahan baku meliputi pengecilan ukuran gambir asalan. Setelah pengecilan ukuran, gambir asalan dilarutkan dalam air

21 dengan melakukan pemanasan hingga suhu 400C, 600C dan 800C. Tahap selanjutnya, larutan gambir disaring untuk menyaring kotoran dalam gambir yang tidak larut dalam air. Tahapan setelah penyaringan adalah pengendapan yang dilakukan selama 12 jam untuk memisahkan senyawa tanin dan katekin. Setelah proses pengendapan, untuk mengambil fraksi yang mengendap (katekin) dan tidak mengendap (tanin) dilakukan dengan menggunakan proses penyaringan. Fraksi tidak mengendap kemudian diperas dan disaring kembali sehingga diperoleh filtrat tanin.

Larutan tanin yang diperoleh kemudian dikeringkan menggunakan spray dryer dengan suhu inlet 1300C -1400C dan suhu outlet 750C-780C sehingga terbentuk tanin bubuk. Alat pengering semprot (spray dryer) yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 1. Diagram alir pembuatan tanin bubuk dari gambir asalan dapat dilihat pada Gambar 12.

22 Pelarutan Air panas (suhu air: 400C, 600C, 800C) (jumlah air:bahan = 8:1 v/b,10:1 v/b,12:1 v/b) Pengendapan (12 jam) Pemerasan Komponen Tidak larut Tanin Bubuk Komponen Larut

Pengeringan dengan spray dryer

(75-780C)

Larutan tanin Penyaringan

(Saringan 150 mesh)

Penyaringan (Kain Saring 300 mesh)

Kotoran Filtrat Tanin Gambir asalan Pengecilan ukuran (150 gram) Pasta

Gambar 12. Diagram Alir Pembuatan Tanin Bubuk dari Gambir Asalan pada Penelitian Ini

D. PROSEDUR ANALISIS

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan terhadap bahan baku yaitu gambir asalan dan produk tanin bubuk. Beberapa pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain adalah analisis proksimat, kadar tanin, kadar bahan tidak larut air, dan uji warna. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2.

E. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Faktor yang

23 digunakan adalah suhu air (400C, 600C, dan 800C) dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan (8:1, 10:1, dan 12:1 v/b). Dengan demikian terdapat 9 unit perlakuan dengan dua kali ulangan. Model yang digunakan untuk desain penelitian ini adalah sebagai berikut (Walpole, 1997):

Yijk = µ + Ai +Bj + ABij+ єk(ij)

Keterangan:

Ai : pengaruh perbandingan jumlah air dengan gambir asalan pada

taraf ke-i

Bj : pengaruh suhu pelarut (air) taraf ke-j

ABij : pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B

taraf ke-j

єk(ij) : pengaruh acak antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf

24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK GAMBIR ASALAN

Produk tanaman gambir yang sering dikenal sebagai gambir asalan merupakan ekstrak getah dari daun dan ranting tanaman gambir yang telah mengalami pengeringan. Getah tanaman gambir yang telah dikeringkan tersebut memiliki beberapa kandungan senyawa kimia dengan jumlah tertentu. Gambir asalan yang digunakan dalam penelitian adalah gambir asalan yang berasal dari daerah Kampar, Riau. Untuk mengetahui karakteristik gambir asalan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan analisis proksimat. Hasil pengujian analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Gambir Asalan No. Karakteristik Hasil Pengujian (%)

1 Air 12,36 2 Abu 12,21 3 Lemak 1,61 4 Serat Kasar 6,16 5 Protein 3,43 6 Lain-Lain 64,23

Kadar air gambir asalan yang digunakan dalam penelitian bernilai 12,36%. Nilai kadar air tersebut dipengaruhi oleh proses pengeringan dan penyimpanan gambir asalan. Proses pengeringan gambir asalan yang bersifat tradisional dengan menggunakan sinar matahari memungkinkan gambir asalan masih memiliki kandungan air yang tinggi. Nilai kadar air yang masih tinggi setelah pengeringan dapat menyebabkan tumbuhnya kapang pada saat penyimpanan.

Nilai kadar abu gambir asalan hasil pengujian adalah 12,21%. Berdasarkan standar mutu gambir dalam SNI 031-3391-200, nilai kadar abu pada gambir asalan tidak memenuhi standar mutu I dan II. Standar mutu I dan II untuk parameter kadar abu maksimal adalah 5%. Nilai kadar abu yang cukup besar tersebut dipengaruhi oleh kondisi proses pengolahan gambir asalan. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral anorganik yang terdapat dalam suatu bahan. Daun dan ranting tanaman gambir yang digunakan dalam

25 pembuatan gambir asalan memiliki kandungan mineral dan sebagian mineral tersebut dapat larut dalam air serta terbawa selama proses pengolahan gambir. Hasil pengujian kandungan kadar lemak pada gambir asalan adalah 1,61%. Gambir asalan diolah dengan menggunakan air panas sebagai pelarut untuk mengekstraksi getah pada daun dan ranting tanaman gambir. Air merupakan senyawa polar sehingga tidak dapat melarutkan lemak yang bersifat non polar. Oleh karena hal tersebut, nilai kadar lemak pada gambir asalan bernilai sangat kecil. Namun demikian, proses pengolahan yang kurang baik dapat menyebabkan adanya kontaminasi sehingga nilai kandungan lemak meningkat.

Nilai hasil pengujian kadar serat kasar gambir asalan yang digunakan dalam penelitian adalah 6,16%. Berdasarkan Sudarmadji et al. (1989), serat kasar mengandung senyawa selulosa, lignin, dan zat lain yang belum dapat diidenstifikasi dengan pasti. Serat kasar digunakan sebagai penilaian kualitas suatu bahan dan mengevaluasi efisiensi dalam proses pengolahan. Selama proses pengolahan gambir asalan, sebagian serat kasar yang terdapat dalam daun dan ranting tanaman gambir dapat ikut terbawa dalam getah gambir. Banyaknya nilai serat yang ikut terekstrak dipengaruhi oleh proses pengolahan yang terjadi dan nilai kandungan serat kasar dalam daun dan ranting gambir asalan.

Kadar protein gambir asalan yang diperoleh dari hasil pengujian menunjukkan nilai 3,43%. Nilai kadar protein pada gambir asalan dapat dipengaruhi oleh banyaknya kandungan protein yang terdapat dalam daun dan ranting tanaman gambir. Nilai kandungan protein yang terbaca pada hasil pengukuran merupakan hasil penghitungan semua nitrogen yang terdapat dalam gambir karena metode pengujian yang digunakan adalah metode mikro Kjeldahl. Menurut Sudarmadji et al. (1989), pengukuran dengan menggunakan metode mikro Kjeldahl dapat menghitung semua nitrogen dari asam amino maupun dari komponen lain yang mengandung N seperti urea, asam nukleat, ammonia nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Nilai kandungan senyawa lain-lain yang terdapat dalam gambir asalan adalah 64,23%. Senyawa lain-lain tersebut dapat berupa karbohidrat, tanin,

26 katekin, dan senyawa lainnya. Senyawa tanin dapat berikatan dengan karbohidrat membentuk senyawa kompleks sehingga senyawa tersebut dapat dimasukan dalam kadar bahan lain-lain pada gambir asalan. Menurut Caolate (1990) dalam Yeni, et al. (2004) komponen dasar dalam tanin adalah asam galat dan flavonoid yang dapat membentuk glikosida bila polifenol berikatan dengan karbohidrat.

Karakteristik gambir asalan sebagai bahan baku berpengaruh pada tanin bubuk yang dihasilkan dari proses ekstraksi. Beberapa karakteristik kandungan kimia gambir asalan yang berpengaruh terhadap produk tanin bubuk antara lain nilai kadar abu dan nilai kadar tanin gambir asalan. Nilai kadar abu berpengaruh terhadap jumlah mineral yang ikut terekstrak selama proses pengolahan sedangkan nilai kadar tanin berpengaruh terhadap tingkat kemurnian produk tanin yang dihasilkan. Gambir yang memiliki kadar tanin tinggi menjadi bahan baku pembuatan tanin bubuk yang potensial untuk digunakan. Dengan nilai kandungan tanin dalam bahan baku yang tinggi, jumlah ekstrak tanin yang diperoleh diharapkan juga semakin tinggi.

B. EKSTRAKSI TANIN

Senyawa utama yang terkandung di dalam gambir asalan adalah katekin dan asam catechutannat. Katekin merupakan senyawa polifenol yang memiliki bentuk sederhana cathecol. Asam catechutannat merupakan anhidrat katekin yang sering disebut tanin dalam gambir. Tanin yang terdapat dalam gambir dapat diekstrak untuk diperoleh produk tanin yang memiliki tingkat kemurnian tinggi. Proses pengambilan tanin dalam gambir asalan melibatkan proses pemisahan antara senyawa katekin dan tanin yang keduanya merupakan jenis senyawa polifenol. Menurut Fessenden (1982), polifenol merupakan senyawa yang memiliki struktur dasar berupa fenol dan fenol merupakan struktur yang terbentuk dari benzene yang tersubstitusi dengan gugus OH.

Proses pengambilan tanin atau ekstraksi tanin dari gambir asalan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan air sebagai pelarut. Menurut Carter et al. (1978), tanin memiliki sifat dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH. Penggunaan

27 jenis pelarut yang sesuai sangat mempengaruhi proses ekstraksi. Menurut Gemse (2002), faktor penting dalam ekstraksi adalah pemilihan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam ekstaksi harus dapat menarik komponen aktif dalam campuran. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, kemudahan untuk diuapkan, dan harga yang relatif murah.

Penggunaan air sebagai pelarut dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain karena air tidak berbahaya dalam penggunaannya, tidak bersifat racun, tidak bersifat korosif terhadap peralatan ekstraksi, mudah diperoleh, dan, harganya murah. Selain itu, dengan menggunakan pelarut air, katekin dan tanin dapat dipisahkan dengan metode pemisahan yang sederhana yaitu pengendapan.

Tanin dapat larut dalam air dan kelarutannya semakin besar jika dilarutkan pada suhu tinggi (Browning, 1966). Untuk mengetahui pengaruh peningkatan suhu pelarut pada proses ekstraksi, dalam penelitian ini digunakan tiga taraf suhu yaitu 400C, 600C,dan 800C. Selain suhu, faktor lainnya yang digunakan adalah perbandingan jumlah pelarut dan gambir asalan. Perbandingan jumlah air dan gambir asalan yang digunakan sebanyak tiga taraf yaitu 8:1, 10:1, dan 12:1 (v/b).

Metode ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini (Lampiran 3) mengacu pada cara pemurnian tanin dan katekin yang telah dilakukan dalam penelitian Gumbira-Sa’id, et al. (2009b). Sebelum mengalami proses ekstraksi, gambir asalan yang berbentuk silinder mengalami perlakuan pendahuluan. Perlakuan pendahuluan yang dilakukan adalah pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran berfungsi untuk memudahkan proses ekstraksi. Menurut Swen (1992), semakin kecil ukuran bahan, luas permukaan bahan yang melakukan kontak dengan pelarut akan semakin besar. Ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan kelarutan bahan dalam pelarut sehingga kadar ekstrak komponen bioaktif juga akan meningkat. Setelah mengalami pengecilan ukuran, gambir asalan bersama pelarut dipanaskan hingga suhu mencapai 400C, 600C,dan 800C. Gambir asalan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 13.

28

a b

Gambar 13. Gambir Asalan sebagai Bahan Baku

a. Gambir Asalan Utuh; b. Gambir Asalan yang Telah Mengalami Pengecilan ukuran

Pemanasan dilakukan untuk melarutkan gambir asalan dan memudahkan pelarut agar dapat mengekstrak senyawa-senyawa yang terdapat dalam gambir asalan. Pemanasan dapat merusak jaringan pada bahan yang akan diekstraksi sehingga senyawa-senyawa akan dapat mudah diikat oleh pelarut. Pemanasan dilakukan hingga semua gambir asalan terlarut dengan lama pemanasan setelah mencapai suhu yang ditentukan kurang lebih 10 menit.

Larutan gambir yang telah dipanaskan disaring untuk memisahkan kotoran yang tidak larut dalam air panas. Kotoran tersebut dapat berupa pasir, tanah, logam tempat pemasakan, dan daun gambir yang terikut dalam proses pengolahan hingga menjadi gambir asalan. Hasil penyaringan berupa kotoran dalam gambir dapat dilihat pada Gambar 14. Larutan gambir kemudian didiamkan selama 12 jam untuk mengendapkan katekin yang ikut terekstrak oleh pelarut air. Proses pengendapan dapat dilihat pada Gambar 15.

29 Gambar 15. Proses Pengendapan dalam Ekstraksi Tanin

Katekin memiliki sifat dapat larut dalam air panas, alkohol, asetat glasial, aseton dan sukar larut dalam air dingin. Tanin memiliki sifat dapat larut dalam alkohol dan air dingin. Dengan proses pengendapan, katekin yang sukar larut dalam air dingin akan mengendap dan dapat dipisahkan dengan tanin yang masih terlarut dalam air. Pemisahan antara katekin yang mengendap dengan tanin yang masih terlarut dalam air dilakukan dengan proses penyaringan. Fraksi yang mengendap (katekin) dapat dilihat pada Gambar 16. Fraksi yang tidak mengendap (tanin) dapat dilihat pada Gambar 17.

a b

Gambar 16. Fraksi Katekin

a. Katekin yang Mengendap pada Dasar Tabung b. Katekin Hasil Pemisahan dengan Tanin

30 Gambar 17. Larutan Tanin

Senyawa hasil pengendapan yang berupa fraksi tidak larut air dingin kemungkinan masih mengandung komponen tanin. Oleh karena hal tersebut, endapan kemudian diperas dan disaring kembali untuk mendapatkan larutan tanin. Hasil penyaringan yang berupa cairan kemudian dikeringkan dengan menggunakan alat pengering semprot untuk memperoleh hasil serbuk yang seragam. Neraca massa pembuatan tanin bubuk dapat dilihat pada Lampiran 4. Proses pengeringan larutan tanin dilakukan dengan metode spray drying. Pada metode spray drying, bahan disemprotkan dan diatomisasi membentuk droplet ke dalam suatu media pengering yang panas kemudian air dalam bentuk droplet akan menguap meninggalkan bahan kering (Dubey et al., 2009). Fungsi atomisasi pada metode spray drying adalah untuk menghasilkan droplet yang berukuran kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan mengakibatkan proses penguapan lebih cepat.

Penggunaan alat pengering semprot memiliki beberapa keunggulan dari beberapa teknik pengeringan lainnya seperti oven yang biasa digunakan untuk mengeringkan produk gambir pada skala laboratorium. Penggunaan oven memerlukan waktu cukup lama karena menggunakan suhu rendah dan hasil yang terbentuk masih memerlukan perlakuan lanjutan untuk menyeragamkan ukuran butiran produk.

Pada pengeringan dengan spray dryer, larutan tanin dikeringkan menggunakan suhu tinggi dalam waktu singkat dan menghasilkan ukuran butiran produk yang seragam. Warna produk yang dihasilkan dari proses pengeringan dengan menggunakan spray dryer juga menunjukkan hasil yang

31 lebih baik (lebih cerah) dibandingkan metode pengeringan lainya seperti dengan evaporator, vacuum drying, dan freeze drying (Gumbira-Sa’id, et al. 2009b). Contoh tanin hasil pengeringan menggunakan spray dryer dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Tanin Bubuk Hasil Pengeringan dengan Spray Dryer Proses pengeringan larutan tanin dengan spray dryer menggunakan suhu inlet 1300C - 1400C dan suhu outlet 750C - 780C. Suhu inlet dan outlet yang digunakan mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Gumbira-Sa’id, et al. (2009). Penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada suhu outlet dapat menyebabkan warna tanin menjadi lebih gelap yang berpengaruh pada penampakan dan dikhawatirkan dapat merusak komponen penyusun tanin. Penggunaan suhu outlet yang terlalu rendah menyebabkan produk yang dihasilkan masih memiliki nilai kadar air yang tinggi.

Penelitian yang mendukung dan berkaitan dengan penggunaan suhu inlet 1300C-1400C adalah pada penelitian penggunaan pengering semprot dalam mengeringkan ekstrak kulit buah manggis dan anggur. Pada penelitian Sagara (2010), komponen fenolik yang terdapat pada kulit buah manggis baik bila dikeringkan pada suhu inlet 1600C dengan konsentrasi bahan pengisi maltrodekstrin. Penelitian dari Larrauri, et al. (1997) menyatakan bahwa komponen fenolik pada ekstrak kulit buah anggur akan mengalami kerusakan pada kondisi pengeringan 1400C. Dengan acuan tersebut, penggunaan suhu inlet spray dryer pada pengeringan larutan tanin berkisar antara 1300C-1400C.

Penggunaan spray dryer untuk mengeringkan suatu larutan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu suhu pengeringan, laju aliran bahan, laju aliran udara, dan, tekanan udara pengering (Master, 1979). Pada proses pengeringan, besarnya suhu inlet yang digunakan mempengaruhi suhu outlet

32 pengeringan. Suhu outlet yang digunakan berpengaruh pada kekeringan produk yang dihasilkan. Pengaturan bahan yang masuk ke dalam pengering semprot mempengaruhi outlet pada proses pengeringan. Laju bahan masuk yang terlalu kecil akan menyebabkan kenaikan pada suhu outlet. Kenaikan suhu outlet dapat menyebabkan pengeringan dengan panas yang berlebihan sehingga berpengaruh pada warna produk yang dihasilkan.

Setelah produk mengalami pengeringan dengan spray dryer, bubuk tanin dikemas dengan kemasan plastik. Pengemasan dan penyimpanan bubuk tanin sangat perlu diperhatikan. Kemasan tanin harus dapat melindungi tanin dari udara luar dan kondisi lingkungan sekitar yang dapat merusak tanin bubuk. Tanin bubuk yang tidak disimpan dengan baik dapat mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Sesuai dengan sifat tanin yang dinyatakan Browning (1966) bahwa warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan di udara terbuka. Contoh perubahan warna tanin dapat dilihat pada Gambar 19. Tanin bubuk yang sudah dikemas dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 19. Tanin yang Telah Mengalami Perubahan Warna

33 C. ANALISIS PRODUK

1. Rendemen

Nilai rendemen tanin bubuk menunjukkan jumlah ekstrak tanin dari gambir asalan yang dapat diperoleh dari serangkaian proses hingga mengalami pengeringan manjadi bubuk. Rendemen tanin bubuk yang dihasilkan dari ekstraksi gambir asalan bervariasi dengan kisaran antara 16% hingga 42% dry basis (Lampiran 5a). Nilai rendemen tanin bubuk antar sampel memiliki rentang yang cukup jauh dan bervariasi. Nilai rendemen tanin bubuk yang diperoleh dari ekstraksi tanin masih cukup kecil akibat kehilangan yang terjadi pada proses ekstraksi. Kehilangan bahan selama proses ekstraksi dapat terjadi pada tahap penyaringan dan pengeringan dengan spray dryer.

Pada proses ekstraksi tanin dari gambir asalan, bahan bukan tanin yang larut dalam air seperti katekin, quersetin, pyrocatechol, mineral, vitamin, dan karbohidrat dapat ikut terekstrak. Menurut Linggawati, et al. (1992), ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung dengan karbohidrat rendah. Oleh karena itu, nilai rendemen ekstrak belum dapat secara pasti menunjukkan nilai kandungan senyawa tanin dalam produk. Grafik hubungan rendemen tanin (dry basis) dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Grafik Hubungan Rendemen Tanin dengan Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan

34 Berdasarkan Gambar 21, nilai rendemen tanin memiliki kecenderungan adanya peningkatan seiring dengan kenaikan jumlah pelarut yang digunakan. Secara umum, semakin tinggi perbandingan air dan gambir asalan yang digunakan, semakin tinggi jumlah rendemen ekstrak tanin. Pada perlakuan jumlah perbandingan air dengan gambir asalan, rendemen terbesar dimiliki oleh perbandingan 12:1 (v/b) untuk setiap taraf suhu air yang digunakan. Menurut Yusro (2004), semakin banyak jumlah pelarut yang digunakan, kesetimbangan penjenuhan yang terbentuk semakin besar sehingga jumlah senyawa yang terekstrak semakin banyak. Menurut Suryandari (1981), rendemen hail ekstraksi akan terus meningkat hingga larutan menjadi jenuh. Setelah mencapai titik jenuh, tidak akan terjadi peningkatan rendemen dengan penambahan pelarut.

Jika ditelaah berdasarkan perlakuan suhu, nilai rendemen tanin bubuk mengalami peningkatan dari suhu 400C ke 600C lalu mengalami penurunan pada suhu 800C. Secara umum, nilai rendemen ekstrak tanin akan mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan suhu pelarut yang digunakan sesuai dengan sifat tanin bahwa tanin larut dalam air dan akan bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas (Browning, 1966). Namun, pada proses ekstraksi tanin, senyawa fenol lainnya dalam gambir seperti katekin, quercetin dan pyrocathecol dapat ikut terekstrak. Hal tersebut dapat mempengaruhi nilai rendemen karena perbedaan sifat kelarutan dari senyawa-senyawa fenol tersebut. Pada suhu sekitar 600C terdapat kemungkianan bahwa senyawa fenol lainnya dalam gambir telah mengalami kondisi jenuh untuk dapat diekstrak.

Menurut Earle (1983), peningkatan suhu secara umum dalam proses ekstraksi akan mempercepat proses difusi pelarut ke dalam sel jaringan, sehingga pertemuan permukaan pelarut dengan padatan jumlahnya meningkat. Oleh karena hal tersebut, rendemen yang dihasilkan bertambah banyak.

Menurut penelitian Wijaya (2010), suhu optimum untuk proses ekstraksi senyawa fenolik pada kulit buah manggis adalah 600C karena

35 laju ekstraksi senyawa fenolik jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju degradasi fenolik. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa senyawa fenolik selain tanin yang terdapat dalam gambir asalan kemungkian telah mengalami kondisi optimum ekstraksi pada suhu 600C sehingga pada suhu 800C mengalami penurunan nilai rendemen. Nilai rendemen tanin bubuk tertinggi adalah 42,72% dimiliki produk S6P12 yaitu produk yang diekstraksi dengan suhu 600C dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan 12:1 (v/b).

Berdasarkan hasil perhitungan analisis ragam pada α = 0,0,5 (Lampiran 6), faktor perlakuan perbandingan jumlah air dan gambir asalan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai rendemen produk tanin bubuk. Faktor perlakuan suhu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap nilai rendemen. Namun, interaksi antara faktor perbandingan jumlah air dengan gambir asalan dan faktor suhu air memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap hasil rendemen. Penggunaan jumlah pelarut yang semakin banyak dan suhu pelarut yang semakin tinggi menyebabkan senyawa yang terekstrak semakin banyak sehingga rendemen meningkat. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa penggunaan suhu 600C dan jumlah pelarut 1800 ml tiap 150 gram gambir merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian yang menghasilkan rendemen tanin bubuk tertinggi yaitu 42,72%.

2. Kadar Tanin

Kadar tanin merupakan banyaknya tanin yang terdapat dalam suatu bahan. Menurut Hathway (1962), tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawaan polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk molekul besar dengan bobot molekul lebih besar dari 2000.

Nilai kadar tanin dalam produk menunjukkan tingkat kualitas atau kemurnian produk tanin bubuk yang dihasilkan dalam penelitian. Berdasarkan uji kadar tanin bahan awal, nilai kadar tanin gambir asalan yang digunakan adalah 38,45% (wet basis) atau 43,87% (dry basis).

36 Dengan membandingkan kadar tanin bahan awal, proses ekstraksi tanin dari gambir asalan pada penelitian ini dapat meningkatkan kadar tanin produk hingga mencapai 89% - 95% dry basis (Lampiran 5b). Grafik hubungan kadar tanin (dry basis) dengan jumlah air dan gambir asalan dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Grafik Hubungan Kadar Tanin dengan Jumlah Air dan Gambir

Dokumen terkait