BAB 11 KAJIAN PUSTAKA
B. Kajian Teori
1. Diskursus Sufisme
Sufisme adalah aspek ajaran esoterisme Islam yang menekankan kebersihan dan kemulian hati. Kaum Sufi sebagai pelaku utama sufisme banyak melakukan ibadah dalam rangka hubungan mendekatkan diri kepada Allah swt untuk memperoleh ridha atau perkenan-Nya serta agar mencapai ma’rifat (mengenal kasih sayang Tuhan). Karena itu perilaku sufisme atau tasawuf ini merupakan model keagamaan yang tumbuh dalam penghayatan Islam. Pengetahuan ini terjadi secara istighraqy (يقرغتسإ), melibatkan seluruh sistem pengetahuan dan potensi intelektual diri. Dalam kaitan ini, Ibnu ‘Arabi mengatakan, “seperti dikutip Nurshomad” bahwa teori pengetahuan dalam sufisme melibatkan diskursus aspek-aspek psikologis dan perilaku manusia sebagai subjek dan objek pengetahuan yang tercemin dalam perilaku dan moralitasnya.
Inilah yang menyebabkan ilmu tasawuf disebut ilmu dzauqi, rasa dan pengetahuan spiritual.22
Oleh karena itu, pendekatan sufisme adalah bersifat intuitif, berbeda dengan pendekatan filsafat yang bersifat analisis menyusul perbedaan persepsi tentang objek-objek pengetahuan. Adapun secara khusus yang dimaksud sufisme dalam studi ini ialah pola keagamaan yang berkembang atas peranan para Sufi ataupun guru-guru tarekat di Nusantara. Berdasarkan kedudukan serta peranan mereka yang telah
22 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies : Pengantar Belajar Tasawuf (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 22.
menciptakan berbagai pola keagamaan dan bentuk hubungan sosial-budaya melalui komunitas-komunitas keagamaan, terutama tarekat.23
Tarekat sebagai suatu terminologi sufisme, pada dasarnya seperti didefinisikan Trimingham, adalah suatu metode praktis yang dijalankan para Sufi dalam membimbing murid untuk merasakan hakikat Tuhan.24 Tetapi tarekat juga biasa dihubungkan dengan nama ordo sufisme, dilihat dari kegiatan guru sufi (disebut juga syekh atau mursyid) yang mengajarkan suatu tarekat kepada murid-murid melalui latihan-latihan spiritual (riyadah). Pola hubungan guru-murid ini merupakan bentuk sosial dalam komunitas tarekat. Kaum Sufi memegang peranan utama dalam menentukan tingkat kemampuan spiritual murid, sehingga apabila seorang murid dipandang telah memiliki kemampuan tertentu, maka dia, misalnya, berhak menduduki Pemimpin (Pengganti atau wakil) untuk menyampaikan metode-metode gurunya.25 Sebaliknya, para murid suatu tarekat yang biasanya datang dari berbagai lapisan masyarakat menunjukkan kepatuhan sebagai pengikut Kaum Sufi, dan mereka berperan sebagai penunjang gerakan-gerakan tarekat.26
Pendirian pokok kajian ini, berdasarkan perkembangan sufisme di Nusantara, yaitu Kaum Sufi, memiliki potensi mengerahkan fungsi tarekat
23 Dudung Abdurrahman, Sufisme Nusantara (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2018), hlm.
5.
24 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung : Penerbit Mizan, 1995).
25 Fazlur Rahman, Islam dan modernitas terjemah Ahsin Mohammad (Bandung : Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 194.
26 Dudung Abdurrahman, Sufisme Nusantara (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2018), hlm.
6.
dan sosial-keagamaan dalam hubungannya dengan perubahan sosial dan budaya sepanjang sejarah islamisasi di Indonesia. Dalam hal ini diasumsikan, sufisme dalam perkembangan tarekat-tarekat mempunyai dasar kepercayaan, kepemimpinan, sosial pengikut, dan peranan-peranan yang berbeda-beda. Karena itu, paradigma yang dibangun dalam kajian ini adalah “perkembangan sufisme di Nusantara selalu ditunjukkan dalam sosial-keagamaan kaum Sufi dan pekembangannya selalu seiring dengan perubahan sosial bangsa Indonesia”.27
Sosial-keagamaan Kaum Sufi. Sufisme yang berkembang melalui tarekat-tarekat, seperti dikemukakan di atas, merupakan sistem kepercayaan yang menjadi landasan kaum sufi dalam membentuk kepribadian mereka yang berpengaruh kepada para penganut. Karenanya, keyakinan dan ritus-ritus religius kaum sufi bukan hanya membentuk fakta keagamaan, melainkan juga sebagai fakta-fakta sosial. Menurut pengertian Durkheim (1938), keyakinan dan ritus seperti itu pada dasarnya benar-benar bersifat individual dan mempengaruhi cara berpikir dan berprilaku individu. Namun menurutnya, konteks sosiologi agama memperlihatkan dampak sosial dari praktek-praktek yang berkaitan dengan kategori-kategori religius, sehingga praktek-praktek ritual yang menggambarkan kebersamaan itu memiliki dampak sosial yang sangat signifikan bagi kolektifitas.28 Gagasan Durkheim ini, seperti halnya
27 Dudung Abdurrahman, Sufisme Nusantara (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2018), hlm.
6.
28 Dudung Abdurrahman, Sufisme Nusantara (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2018), hlm.
7.
dipahami Parsons dijadikan landasan teoretis tentang sosial-keagamaan.
Lebih lanjut Parsons menyatakan, tatanan sosial yang ditekankan pada fakta moral dan kesadaran kolektif telah menjadi bagian subyektifitas individual melalui mekanisme ritual religius.29
Sosial-keagamaan seperti ditampilkan Kaum Sufi dengan tarekat-tarekat di Nusantara pada mulanya bercirikan sebagai sistem yang memenuhi kebutuhan orang-orang kampung (tribesmen) yang buta huruf, baik dalam kehidupan sosial maupun religius. Bagi masyarakat rural yang buta huruf, orang mulia adalah penubuhan agama dalam bentuk emosi, yang ditata secara hierarkis berdasarkan pewarisan kharisma.30 Proses religiustias yang dilakukan Kaum Sufi memberikan kesempatan untuk melestarikan dan menyempurnakan ekspresi religiusitas, dengan tradisi, yang diistilahkan, barakah bisa diterapkan pada individu maupun kelompok. Kaum Sufi biasanya populer, membaur, mewariskan kharisma dan kurang bersifat ortodoks.31
Kepemimpinan kharismatik Kaum Sufi serta kemampuannya mempertahankan sufisme, termasuk implementasi teoretik tentang kemampuan agama dapat bertahan dalam masyarakat sekuler. Posisi agama seperti ini, oleh sejarawan atau sosiolog biasa dikaitkan dengan fungsi politik agama sebagai alat bagi kaum minoritas untuk melawan, mengadakan protes, dan kritik politik. Peran oposisional yang dimainkan
29 Dudung Abdurrahman, Sufisme Nusantara (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2018), hlm.
7.
30 Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial (Yogyakarta : IRCiSoD, 2016), hlm. 83.
31 Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial (Yogyakarta : IRCiSoD, 2016), hlm. 83.
pemuka agama dalam konflik kolonialisme, misalnya dalam kasus pemberontakan rakyat melawan Kolonial Belanda pada abad XIX, bisa dijadikan pertanda keberadaan berbagai persoalan yang lebih besar menyangkut kemampuan sufisme bertahan dan melawan kolonialisme.32
Muatan ritual dan ideologis Kaum Sufi pada gilirannya bisa berkembang secara rasional karena kepentingan politik mereka, sekalipun karakter esensial sufisme tetap dikembangkan. Di sini, peran sosial-politik Kaum Sufi dikaji berdasarkan lingkungan sosial tempat gerakan mereka menancapkan pengaruh, karakter-karakter spesifik dari pengemban ideologi-ideologi dan peristiwa-peristiwa yang membentuk gerakan-gerakan religius. Selanjutnya, sifat dasar gerakan-gerakan sufisme juga dapat dikaji lewat respon-respon formatif yang dikembangkan para Sufi dalam membentuk dan mengembangkan doktrin-doktrin tasawuf dan praktek-praktek tarekat.33
2. Sufi dan Moderasi
Sikap dan pemikiran kaum sufi bisa diambil dari pemikiran imam al-Qusyairi pada kitab fenomenalnya yang cukup kental dengan ilmu tasawufnya, yakni kitab Risalah al-Qusyairiyah. Al-Qusyairi termasuk ke dalam sufi yang juga menggabungkan antara syariat dan hakikat, yang mana kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Al-Qusyairi menjelaskan kedua ini sebagai berikut, “Artinya: Setiap syariat tidak di dukung dengan
32 Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial (Yogyakarta : IRCiSoD, 2016), hlm. 83.
33 Dudung Abdurrahman, Sufisme Nusantara (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2018), hlm.
8.
hakikat maka urusannya tidak diterima, setiap hakikat yang tidak di dukung syariat maka urusannya tidak berhasil.34
Imam al-Qusyairi ingin menekankan untuk senantiasa berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadis dalam bertasawuf untuk kesehatan batin, sama dengan pandangan sufi lainnya juga mengintergrasikan aspek syariat batin untuk menjaga kehati-hatian dalam bertasawuf. Al-Qusyairi sendiri di dalam kitabnya Risalah al-Qusyairiyah menjelaskan pada bab fana dan baqa’. Istilah fana dipakai kaum sufi untuk menunjukan ke guguran sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ untuk menandakan ketampakan sifat-sifat terpuji.35
Fana sendiri menurut Imam al-Ghazali merupakan maqam terakhir yang dilalui oleh para sufi dalam perjalanan mencapai ma’rifah Allah swt (mengenal kasih sayang Tuhan). Kesempurnaan dalam konsep ini hanya bisa dicapai manakala seorang sufi yang fana terhadap dirinya sendiri dan keadaan sekelililngnya hingga setiap sesuatu yang didengarnya hanyalah Allah swt, dengan Allah (billahi), pada Allah (fillahi), dan dari Allah (minallahi). Al-Qusyairi juga menjelaskan bahwa fana ialah hilang sifat mazmumah yang ada dalam diri sufi dan digantikan dengan sifat-sifat mahmudah. Sedangkan menurut al-Kalabazi sifat fana akan selalu dibarengi oleh baqa’, seorang sufi juga ketika dalam keadaan tersebut tidak dapat membedakan setiap perbuatan dan tindakan mereka
34 Deniansyah Damanik, Moderasi Beragama Sufi : Sikap dan Pemikiran Imam al-Qusyairi (Yogyakarta : Jurnal Moderasi – Vol. 1, No. 2, 2021), hal. 191.
35 Deniansyah Damanik, Moderasi Beragama Sufi : Sikap dan Pemikiran Imam al-Qusyairi (Yogyakarta : Jurnal Moderasi – Vol. 1, No. 2, 2021), hal. 191.
disebabkan oleh seluruh tumpuan ingatan serta kesadaran hatinya yang tinggi hanya tertumpu kepada Allah swt, hingga keadaan sekeliling tiada dalam ingatannya.36
Konsep al-Qusyairi yang lain mengenai moderasi beragama, ialah ketika al-Qusyairi menjelaskan syari’at dan hakikat di dalam kitabnya Risalah al-Qusyairiyah yaitu, syariat adalah perintah yang harus ditetapi dalam ibadah. Sedangkan hakikat sendiri ialah kesaksian akan kehadiran peran serta ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan. Konsep moderasi al-Qusyairi mengenai syariat dan hakikat ini ialah ketika al-al-Qusyairi berkata diawal penjelasan yaitu bahwa setiap syariat yang kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima, dan setiap hakikat yang perwujudannya tidak dilandasi syariat tidak akan berhasil.37
3. Sufi dan Modernisasi
Sufi dan Perubahan Sosial. Perkembangan sufisme serta posisi Kaum Sufi dalam masyarakat tampak begitu kuat. Kaum Sufi biasanya menduduki posisi-posisi penghubung dan penyangga dalam masyarakat, sekalipun mereka bukan hanya satu-satunya kelompok yang mempunyai akses hubungan dengan sistem luar. Mereka tidak hanya menahan arus perubahan, tetapi secara aktif mendorong terjadinya perubahan di bidang pengembangan ajaran sufisme, menciptakan peluang-peluang pendidikan
36 Deniansyah Damanik, Moderasi Beragama Sufi : Sikap dan Pemikiran Imam al-Qusyairi (Yogyakarta : Jurnal Moderasi – Vol. 1, No. 2, 2021), hal. 192.
37 Deniansyah Damanik, Moderasi Beragama Sufi : Sikap dan Pemikiran Imam al-Qusyairi (Yogyakarta : Jurnal Moderasi – Vol. 1, No. 2, 2021), hal. 193.
berbasis perbaikan moral dan spiritual, dan merespon beberapa problematika dampak modernisasi.
Perkembangan sufisme, khususnya selama abad XX, dapat dipastikan akan berpapasan dengan bermacam-macam perubahan sosial dan politik yang memberikan pengaruh terhadap dinamika sosial maupun politik umat Islam. Karena itu kajian ini berusaha melacak struktur sosial, konflik-konflik sosial dan kepentingan, sistem-sistem tradisional dan keagamaan, dan pola hubungan antar kelompok dalam masyarakat yang bersangkutan,38 yang diduga merupakan faktor dominan atas perubahan-perubahan penganut tarekat. Kemudian gerakan sosial mereka dengan gejalanya yang lebih kompleks dapat pula dilihat dari adanya transformasi struktural. Berdasarkan konsep ini, menurut Sartono Kartodirdjo, perubahan dapat ditelusuri dari proses integrasi dan disintegrasi, atau disorganisasi dan reorganisasi, dan proses seperti itu telah mengubah secara fundamental dan kualitatif jenis solidaritas, sebagaimana terjadi dalam perkembangan sufisme kontemporer.39
Ada beberapa Karya Ilmiah yang berkembang tentang masuknya Islam di Indonesia, mulai dari jalur perdagangan hingga peran penting sufisme. Namun, dalam polemik tersebut, peneliti sependapat dengan
38 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : Gramedia, 1992), hlm. 161-162.
39 Dudung Abdurrahman, Sufisme Nusantara (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2018), hlm.
8.
Karya Ilmiah yang mengatakan bahwa sufismelah yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.40
Kesadaran mereka akan nilai-nilai ilahiyyah dan insaniyyah dalam setiap wujud eksistensinya yang ada di alam fana ini, merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh para sufisme. Sebagaimana yang diutarakan Seyyed Hossein Nasr bahwa spiritualitas merupakan kebutuhan permanen bagi manusia. Karenanya, manusia perlu kembali menghidupkan nilai-nilai tradisional seperti tasawuf.41Value yang tersingkap dalam tataran bendawi sekalipun menyimpan nilai batiniyyah non inderawi di samping nilai-nilai zahiriyyah inderawi. Karena itulah Syaikh Tajuddin ibn
‘Athaillah dalam kitab Tâjul ‘Arus memaparkan kedua nilai tersebut dalam berbagai substansi kitabnya, dan ini bisa menjadi landasan penulis untuk membuat kajian Sufi Modern Perspektif Tafsir al-Azhar oleh Buya Hamka. Untuk melihat bagaimana al-Syaikh mempresentasikan kedua nilai tersebut dalam pemikiran dan praktek moderasi kaum shûfî akan dilihat dari pembahasan ringkas berikut ini;
a. Konsep al-Taubah
Ibnu ‘Athaillah berkata, bertaubatlah kepada Allah Azza Wajalla setiap saat, karena Allah telah mengajarkan kita dalam firmanNya;
َن ْوُحِلْفُت ْمُكَّلَعَل َن ْوُنِم ْؤُمْلا َهُّيَأ اًعْيِمَج ِ هاللّ ىَلِإ ْوُبْوُت َو
Artinya, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur[24]:31).
40Dudung Abdurrahman, Sufisme Nusantara (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2018), hlm.
11.
41 Abi Bakr Muhammad ibn Ishak al-Bukhari al-Kalabadzi, Al-Ta’arruf Limadzhab Ahli Al-Tasawwuf (Mesir : Maktabah al-Tsaqafiyyah al-Diniyyah, 2014), hlm. 58.
Al-taubah diartikan sebagai al-ruju’ yakni kembali mendekat
(al-taqarrub) dengan menjalankan segala perintah Allah setelah menjauh dari Allah karena melanggar aturan dan hukum-hukum Allah dengan perbuatan maksiat. Prosesi taubat merupakan pintu masuk dalam menjalani ibadah kepada Allah Azza Wajalla, taubat ibarat satu bangunan yang kokoh dan kuat, tidak akan dapat berdiri dengan tegak jika tiada asas (pondasi), maka pondasi amalan (ibadah) ialah al-taubah.42
b. Konsep Hakikat Ittibâ’ al-Nabi Muhammad saw
Ibnu ‘Athaillah berkata, tiada dijangkitan penyakit lalai selain disebabkan karena lalai (alfa) untuk mengikuti Rasulullah dan tiada diangkat derajat seseorang melainkan dengan mengikut (setia) kepada baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mengikuti Nabi tersimpan dua cara yakni mengikuti nabi secara zahir dan mengikuti Nabi secara batin. Mengikuti secara zahir seperti cara menjalankan salat, puasa, zakat, haji dan beberapa amalan ibadah lainnya dan mengikuti nabi secara batin bermasud bahwa segala amalan (ibadah) yang kita jalankan hendaklah di dalam hatinya tersimpan keikhklasan (kepatuhan) dan ketundukan kepada Sang Khaliq. Ketahuilah bahwa jika ibadah apa saja yang kita jalankan tanpa ada keikhlasan dalam hati maka tiada berguna dan pastilah terjangkit penyakit kronis yakni sombong, ujub dan lainnya. Jika demikian (hati-hatilah) Aku (Allah)
42 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunai Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 130.
akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-ku.43 c. Konsep Ahwâl al-Qalb wa al-Nafs
Hati bagaikan sebatang pohon yang disirami air ketaatan.
Keadaan hati dapat mempengaruhi buah (hasil) yang diproduksi oleh anggota tubuh. Buah dari mata ialah perhatian terhadap perkara yang positif, buah telinga ialah mendengar al-Qur’an dan buah lidah ialah dzikrullah, kedua tangan dan kaki membuahkan amal-amal kebajikan.
Sedangkan ketika hati kering, tiada disirami dengan air kebajikan maka buahnya akan rontok berguguran tiada memberi manfaat terhadap diri apalagi orang lain, karena itu ketika batinmu kering, siramilah dengan dzikrullah.44
Hati yang dimaksudkan oleh al-Syaikh Ibn ‘Athaillah dalam kalimat ini ialah hati yang sebenarnya bukan kiasan metafora. Ia menambahkan seperti tertulis dalam kitab Hikamnya, “Kelezatan yang dirasakan hawa nafsu yang sudah bersarang dalam hati merupakan virus membahayakan”.45 Ketika penyakit nafsu dan syahwat bersarang dalam hati, obat apapun tidak akan dapat melunturkan virus yang
43 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunai Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 131.
44 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunai Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 133.
45 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunai Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 133.
sudah kronis, dzikir, kekuatan iman dan tawakkal dalam segala peristiwa dapat mengikis secara perlahan.46
d. Konsep Asrâr al-Shalah
Syaikh Abu Hasan al-Syadzili berkata, keadaan dirimu bisa diukur melalui shalat, jika engkau meninggalkan perkara duniawi, engkau akan bahagia, namun jika engkau tetap membawanya dalam munajatmu, engkau akan menderita. Saat kakimu sulit melangkah menuju rabbmu berarti engkau sulit untuk menemui Tuhanmu, bagaimana mungkin engkau akan berjumpa dengan kekasihmu jika hati, kaki dan anggota tubuhmu tiada bergerak menuju kepada-Nya?
Allah swt berfirman; “Shalat dapat mencegahmu melakukan perkara keji dan munkar”. 47
Maka barangsiapa yang ingin mengetahui keadaan dirinya dihadapan tuhannya, hendaklah ia meperhatikan bagaimana ia menjalankan salatnya, ketika segala jawârih terlibat dalam salat, maka rabbmu akan menerimanya namun saat engkau menjalankan salat hati dan pikiranmu berkhayal ke tempat lain, ingatlah bahwa tuhanmu tiada memerlukan gerak-gerik, rukuk dan sujudmu melainkan rasa ta’dzim dan kekhusyu’anmu dalam beribadah.48
46 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Al-Hikam al-Athariyyah ; Syarh Wa Tahlil (Beirut-Lebanon : Daar al-Fikr, 2003), hlm. 128.
47 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunai Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 133.
48 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunai Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 134.
Ungkapan tersebut terlihat begitu jelas, ukuran dekat, jauh, makbul atau mardud-Nya sebuah ibadah, keterkaitan hati dalam menjalankannya merupakan keyword utama dalam keterkabulannya, hati ghafil dan lalai akan menjadikan amal ibadah menjadi sia-sia.
Keterpaduan jiwa dan raga dalam bertaqarrub merupakan gambaran kekuatan hubungan dan koneksitas seorang hamba dengan tuhannya.
Gerakan (al-harakat) yang kita lakukan, ruku’, i’tidal, sujud dan berbagai hal lainnya akan menjadi sia-sia jika hati kita tidak merasakan hidup dan terhubung dengan-Nya dalam shalat.49
e. Konsep Sinergitas Dunia dan Akhirat
Manusia secara fitrah merupakan makhluk sosial, karena itulah ia mesti berinteraksi antar sesama, manusia tidak akan pernah dapat hidup sendiri tanpa teman dan sahabat. Ukuran baik dan tidaknya seorang manusia akan terlihat dari teman dan sahabatnya, oleh itu pilihlah sahabat dan teman yang dapat memberikan kekuatan untuk bertaqarrub kepada Allah swt. Allah swt telah memilihkan Rasulullah saw teman dan sahabat yang akan menolong dan mencintai umatnya.50
Konsep moderasi Islam jika dihubungkan dengan kedua sinergitas tersebut, maka dengan mendasarkan pola dan sikap tingkah laku hidup kepada Allah swt, maka harmonisasi dapat terjaga, kata al-takfir untuk yang berbeda pandangan maupun dukungan dapat
49 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunai Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 134.
50 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunai Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 135.
diminimalisir dan tidak akan pernah terjadi. Ukuran kedekatan seseorang kepada tuhannya bukan karena penampilan dan pemikiran yang menjadi tolak ukurnya, melainkan sikap mereka saat berhubungan dengan antar sesama (hablum minnallah) terus tercipta hingga tak ada kata lain melainkan saling mengasihi (hablum minannas).51
4. Sufisme Perspektif Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka
Buya Hamka merupakan salah satu mufassir Indonesia yang kental akan nilai-nilai sufistik dalam menafsirkan al-Qur’an. Konsep sufistik yang ditawarkan Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar ialah mengutamakan hati nurani karena kejernihan hati inilah yang memberikan dampak positif terhadap sikap pelakunya. Tasawuf bagi Buya Hamka adalah kunci keselamatan bagi manusia dari keterpurukan hidup yang bersifat duniawi menuju pada kehidupan yang bahagia dan tenteram. Hal ini tentunya cocok jika diaplikasikan pada manusia yang hidup di era modern yang penuh dengan berbagai gemerlap dunia yang menggiurkan.52
Meski demikian, bukan berarti Buya Hamka menyarankan umat Islam untuk ber-uzlah dan menjauhi dari kepentingan dunia, namun Buya Hamka justru menekankan pada poin penting bahwa yang harus ditinggalkan dan dijauhi oleh manusia adalah akhlak yang tercela yang menyebabkan manusia sombong dan lupa bahwa kenikmatan yang ia
51 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunai Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 135.
52 Abidiyah Kamila, Dimensi Sufistik dalam Tafsir al-Azhar Karya Buya Hamka (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2019), hlm. 76.
terima di dunia ini adalah atas kehendak Allah swt. Melalui penafsirannya dalam Tafsir al-Azhar, khususnya yang berkaitan dengan ayat-ayat bernuansa tasawuf, Buya Hamka menghimbau agar manusia senantiasa memperbaiki akhlaknya dan menghambakan diri kepada Allah swt.
Karena segala hal yang ada di dunia ini hanya bersifat sementara. Yang kekal adalah kehidupan akhirat, dan cara untuk menuju kebahagian dunia dan akhirat adalah dengan menjadi manusia yang berakhlak shalih.53
Selain pada ayat-ayat bertemakan tasawuf, Buya Hamka juga memberikan penafsiran-penafsiran bernuansa sufistik pada ayat-ayat yang belum tentu memiliki term khusus yang berkaitan dengan tasawuf. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa ketika menguraikan ayat-ayat al-Qur’an, Buya Hamka cenderung tidak mengungkapkannya secara tematik sebagaimana sub-judul yang beliau cantumkan. Fakta bahwa Buya Hamka menyisipkan penafsiran-penafsiran bernuansa tasawuf pada ayat-ayat yang belum tentu memiliki term tasawuf ini menjadi bukti bahwa Tafsir al-Azhar memanglah tafsir yang mengandung nilai-nilai sufistik.54
Adapun Corak penafsiran tasawuf Buya Hamka adalah tasawuf bercorak Isyari, yaitu tasawuf yang berdasarkan kaidah ilmiah yang nyata dan realistis serta pentakwilan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikombinasikan, yang menjadi asumsi bahwa tafsir
53 Abidiyah Kamila, Dimensi Sufistik dalam Tafsir al-Azhar Karya Buya Hamka (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2019), hlm. 76.
54 Abidiyah Kamila, Dimensi Sufistik dalam Tafsir al-Azhar Karya Buya Hamka (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2019), hlm. 76.
isyari adalah al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin.55 Makna zhahir adalah teks ayat Qur’an sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut, dimana dalam setiap penafsiran ayat-ayat tasawuf, Buya Hamka menfasirkanya berdasarkan kaidah, kaidah ilmiah, dan tidak berdasarkan kajian-kajian mistik yang dibangun atas dasar riyadhah ruhiyyah, atau latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya atau lebih deikenal dengan mukasyafah, tapi tidak dengan Buya Hamka, Buya Hamka menafsirkan ayat-ayat tasawuf berdasarkan kaidah ilmiah.
Dengan demikian Tafsir al-Azhar adalah kitab tafsir yang mengandung nilai-nilai sufistik di dalamnya, dengan terpenuhinya indikator kesufistikan dan adanya karakter khusus yang menjadi ciri khasnya. Tafsir al-Azhar terindikasi sebagai kitab tafsir bernuansa sufistik dinilai dari keselarasannya dengan tolak ukur diterimanya tafsir sufi sebagaimana yang telah dipaparkan oleh beberapa ulama sebelumnya. Di sisi lain, Tafsir al-Azhar juga memiliki karakter khusus yang popular di sebut dengan “sufi yang modern”, dengan dua ciri khusus yang melekat padanya, yakni kecenderungan ortodoks dan terlibat dalam aktivitas dunia.56
55 Ahmad Muslim, Corak Penafsiran Tasawuf Buya Hamka (Lampung : IAIN Raden Intan, 2016), hlm. 88.
56 Abidiyah Kamila, Dimensi Sufistik dalam Tafsir al-Azhar Karya Buya Hamka (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2019), hlm. 78.
42